Mentari bergulir menuju peraduan. Malam segera menjemput, langit kian menggelap. Setelah selesai dengan tugasnya menata kebun, Pak Risman izin pulang pada Farah. Bersama dengan itu pula, Hilman baru datang dari pabrik.
"Eh, Bapak mau pulang sekarang?" tanya Hilman dari depan teras.
"Iya, sepertinya tidak ada pekerjaan lagi, Pak."
"Oh, ya sudah, kalau begitu Bapak boleh pulang. Ini uang buat Bapak hari ini," ucap Hilman seraya menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan.
Pak Risman mengerutkan dahi tatkala menatap uang yang hendak diberikan padanya itu. "Loh, bukannya kemarin Bapak bilang akan membayar saya seratus ribu saja?"
"Pak Risman, ini untuk jajan kedua putri Bapak."
"Tapi, Pak ... uang yang kemarin Bapak kasih juga masih ada. Saya jadi nggak enak kalau dapat bayaran lebih."
"Tidak apa-apa, Pak. Ambil saja. Kebetulan saya ada rezeki lebih hari ini." Hilman menarik tangan Pak Risman, lalu menaruh uang gajinya hari ini. "Oya, Pak, lusa bawa keluarga Bapak kemari, ya."
"Akan saya usahakan. Saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Pak Risman bergegas pergi dari rumah Hilman. Dalam hatinya tersimpan kerinduan amat besar pada kedua putrinya di rumah. Rasa syukur ia panjatkan berlipat-lipat ganda pada Yang Maha Kuasa. Kelelahannya bekerja mencari nafkah, terbayar sudah oleh gaji harian yang terbilang sangat besar dibandingkan saat menjadi pemulung.
Sementara itu, Farah melipat kedua tangan sambil menatap sinis pada suaminya. Dengan tergesa-gesa ia menghampiri Hilman yang berjalan menuju kamar. Seperti biasa, Hilman pun acuh tak acuh pada reaksi ketus sang istri yang menurutnya cukup menyebalkan itu.
"Pa! Papa!" seru Farah dengan wajah memberengut.
"Apa?"
"Ngapain, sih, ngasih uang lebih ke dia? Bukankah semalam Papa bilang mau ngasih gaji dia seratus ribu aja?"
"Ya terserah aku dong, Farah. Hari ini uang dari buyer udah cair, makanya aku kasih Pak Risman gaji lebih. Kamu ini, sedekah sedikit aja jadi masalah."
"Bukan begitu, Pa. Sebelum ngasih sedekah ke orang lain, pikirkan dulu anak dan istri. Sudah cukup atau belum?"
"Memangnya uang lima juta per bulan yang aku kasih ke kamu belum cukup, begitu? Baiklah, bulan depan aku naikin uang nafkah ke kamu. Nggak pantas kamu cemburu sama pegawai baru kita cuma karena masalah uang." Hilman melengos ke kamar, tanpa memedulikan Farah yang semakin kesal.
...****************...
Ada kebiasaan baik di keluarga Pak Risman sebelum tidur. Bu Inah menyiapkan makan malam dengan lauk seadanya di ruang tengah yang cukup semput bagi mereka. Bersama-sama mereka menghabiskan waktu bersama, sambil menyantap makanan dengan lauk tahu dan tumis kangkung.
Di tengah acara makan malam mereka, Pak Risman membuka pembicaraan. Ia menceritakan pengalamannya bekerja hari ini. Hilman yang sangat baik dan Farah yang cukup jutek, tak luput dari pembahasannya. Bu Inah tersenyum-senyum, sambil menyuapi Atikah.
"Keluarga mereka unik, ya, Pak. Biasanya kalau suaminya baik, istrinya bawel."
"Iya, tapi anaknya juga lucu dan menggemaskan. Sama kayak Atikah."
"Oh, mereka juga punya anak seumuran Atikah?"
"Nggak seumuran juga, sih, Bu. Usianya dua tahun lebih tua dari Atikah."
"Begitu, ya."
"Oya, Bu. Tadi juga Pak Hilman nyuruh Bapak buat memboyong Ibu dan anak-anak kita tinggal di paviliun mereka."
"Aduh, Pak. Kenapa Pak Hilman itu baik sekali? Terus, Bapak bilang gimana sama dia?"
"Bapak cuma bilang 'akan diusahakan' saja, Bu. Habis, nggak enak kalau menerima pemberian orang lain terus-terusan. Udah dikasih kerjaan bagus, dikasih tempat tinggal juga."
"Iya, ya. Tapi, bagaimana kalau nanti Pak Hilman menyusul ke sini, terus membawa keluarga kita pindah ke paviliunnya?"
Pak Risman mengedikkan bahu. "Entahlah, terserah nanti saja. Kalau menurut Ibu, bagaimana?"
"Ibu juga bingung, Pak. Kalau nanti Pak Hilman mengajak kita tinggal di sana, mau tidak mau, Ibu juga harus bekerja bantu-bantu masak di rumah mereka. Nggak enak kalau cuma numpang tinggal doang mah."
"Benar juga, ya."
Atikah yang tertarik dengan pembicaraan mereka berdua, tak tahan untuk ikut berbincang-bincang. Kejadian tadi pagi yang sangat aneh, mulai terucap dari bibir mungilnya.
"Pak, Pak! Tadi Dek Sukma bisa lari-lari sambil ngomong, loh!" kata Atikah antusias.
"Benarkah?"
"Iya. Katanya pengin ketemu Ibu."
"Nggak usah dihiraukan, Pak. Itu cuma khayalannya saja. Hari ini bukan Atikah saja yang berkhayal, tapi Neng Putri juga," jelas Bu Inah.
"Neng Putri? Ngapain dia ke sini?"
"Tadi Ibu sedang melayat Pak Subekti, jadi mereka dititipkan pada Neng Putri. Pas Ibu pulang, tahu-tahu rumah ini berantakan aja. Nggak tahu mereka pada main apaan." Bu Inah menyuapi Atikah lagi.
"Biasa, Bu, namanya juga anak-anak. Eh, katanya Ibu melayat Pak Subekti. Memangnya Pak Subekti meninggal, ya?"
"Tadi pagi jenazah Pak Subekti dibawa ambulans. Kata tetangga, jenazah Pak Subekti sudah tak berbentuk karena diterkam hewan buas. Ibu juga nggak tahu pasti, soalnya jenazah dia disimpan di peti mati."
"Innalillahi wa innaliaihi roji'uun. Semoga dia diterima di sisi-Nya dan diampuni segala dosanya."
"Aamiin, Pak. Umur nggak ada yang tahu."
Setelah selesai makan, Bu Inah membereskan piring kotor beserta makanan yang tersisa. Pak Risman asyik bermain dengan Atikah, sementara Sukma sudah tertidur lelap. Bayi itu biasanya bangun menjelang dini hari tiba, dan tentu saja membuat Bu Inah terpaksa begadang.
Semakin tua malam, maka rasa kantuk datang. Keluarga Pak Risman tidur di tengah rumah dengan kasur busa. Kendati hidup pas-pasan, biasanya mereka tidur nyenyak sekali. Akan tetapi, ada yang berbeda dari Bu Inah. Tidak biasanya ia merasa gelisah dalam tidurnya.
Di alam mimpi, Bu Inah berjalan di antara tumpukan sampah. Perlahan-lahan ia menyusuri jalanan yang bau dan becek. Setelah cukup jauh meninggalkan TPS, wanita itu melihat Sukma merangkak menaiki tumpukan sampah yang menggunung.
Merasa khawatir, Bu Inah menghampiri bayinya, kemudian menggendong Sukma. Namun, sosok bayi di tangannya berubah menjadi iblis. Wujudnya sama persis seperti yang dilihat Bu Ratmi saat bayi itu pertama kali diserahkan oleh perawat. Seluruh tubuhnya hitam legam, bola matanya merah, di kepalanya terdapat dua tanduk seperti sapi, dan kuku-kukunya tajam berwarna hitam. Bu Inah terbelalak menyaksikan bayinya yang lucu berubah menjadi sosok mengerikan. Tangannya yang gemetar, menjatuhkan bayi itu ke tumpukan sampah.
Sukma terus merangkak, bahkan kedua kakinya mampu berdiri tegak dan menopang badannya. Perlahan ia berjalan menuju puncak gunung sampah, mendekati sosok seorang raksasa yang sangat besar. Rambutnya panjang dan gimbal, kepalanya bertanduk, serta tubuhnya berwarna hitam. Kaki dan tangannya dipasangi gelang emas berukuran besar.
"S-Sukma! Jangan ke sana!" teriak Bu Inah ketakutan.
Raksasa itu berbalik badan, kemudian mengangkat bayi kecil yang berjalan ke arahnya, menggunakan kedua jari. Saat menengadah, tampak kepalanya yang seperti lembu, dari mulutnya tampak empat gigi taring yang panjang. Matanya yang merah menyala, menatap tajam pada Bu Inah.
"Jadi kau yang mengurus putriku?" tanya makhluk itu dengan senyum menyeringai.
Seketika daya tubuh Bu Inah tumbang tatkala mendapati sosok raksasa yang mengerikan itu berbicara padanya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya kian memburu. Sekujur tubuhnya gemetar hebat akibat ketakutannya pada raksasa itu. Jangankan menolong Sukma, berdiri saja ia tak mampu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Apakah Sukma titisan Om Wowo😁
2024-04-03
0
Berdo'a saja
ayah nya Sukma
2023-05-08
0
Siska
ngeriiii. keren sih ini
2022-02-10
0