Tak terasa sudah enam tahun keluarga Pak Risman bertahan di paviliun milik Hilman. Kendati sering berurusan dengan hal-hal mistis, keimanan mereka yang kukuh justru membuat pertahanannya kuat. Pak Risman dan Bu Inah tak tahu kalau penyebab dari semua itu adalah Sukma. Makhluk gaib sangat menyukai anak itu, sehingga berani mendekatinya sejak lahir ke dunia ini.
Hari ini saatnya Sukma potong rambut. Bu Inah tak tahan melihat rambut panjang putrinya yang gimbal seperti anak gembel. Belum lagi kutu-kutunya yang besar, membuat Sukma sering menggaruk kepalanya.
Didudukkannya Sukma di sebuah kursi plastik di depan rumah. Seperti biasa, Bu Inah menjadi pegawai salon dadakan demi mengirit biaya potong rambut. Dengan menggunakan gunting dan sisir seadanya, ia mulai memotong rambut Sukma.
"Ibu, pelan-pelan potongin rambutnya, biar Dedek nggak sakit lagi," rengek bocah itu sambil sesekali menarik ingusnya.
"Iya, nanti Ibu potonginnya pelan-pelan, Dek," kata Bu Inah menyisir rambut putrinya yang kusut dengan perlahan. Ia memulainya dari rambut bagian bawah agar Sukma tidak kesakitan.
Bu Inah mulai memotong rambut Sukma. Beberapa helai rambut bocah itu turun ke lantai. Sukma meringis kesakitan, seperti dijambak keras-keras oleh ibunya. Akan tetapi, kali ini ia berusaha menahan rasa sakitnya. Hanya uraian air mata saja yang diluapkannya.
Dari rumah utama, Farah berjalan dengan tergesa-gesa menuju paviliun. Wajahnya yang memberengut, seolah-olah menggambarkan ketidaksabarannya pada Bu Inah.
"Bu Inah! Bu Inah!" teriak Farah kesal.
Sesaat Bu Inah menghentikan kegiatan potong rambut, lalu melirik pada Farah. "Ada apa, Bu?"
"Kamu ini ditungguin dari tadi, ternyata malah potongin rambut Sukma. Kamu ini sebenernya menghargai majikan nggak, sih?" gerutu Farah, memelototi Bu Inah.
"Maaf, Bu. Saya kira Albi akan pergi ke tempat les matematika sebentar lagi."
"Iya, dia akan pergi sebentar lagi, tapi saya juga butuh bantuan Ibu buat bantuin dia siap-siap."
"Baiklah, Bu. Nanti setelah selesai memotong rambut Sukma, saya ke sana."
"Cepetan, ya," kata Farah sambil bergegas meninggalkan paviliun.
Bu Inah hanya membalas dengan anggukan. Secepatnya ia mengumpulkan kembali konsentrasinya, laku kembali memotong rambut Sukma. Lagi-lagi bocah itu meringis kesakitan tatkala rambutnya dipotong.
"Ibu, kapan selesai potongin rambut Dedeknya?" tanya Sukma kesal.
"Sebentar lagi, Dek. Tinggal dirapikan."
"Ya udah, jangan lama-lama. Sakit banget, loh, Bu."
"Iya, Ibu mengerti."
Di tengah pembicaraan mereka, Atikah keluar dari paviliun. "Bu, tadi Tante Farah minta Ibu buat bantuin siap-siap A Albi, ya?"
"Iya. Kamu jangan ke sana, ya. Sebentar lagi Ibu beres potongin rambut Dedek, kok."
"Tapi aku pengin bantuin meringankan kerjaan Ibu," desak Atikah.
"Sudah Ibu bilang, jangan ke sana. Kamu tahu akibatnya kalau sampai ke sana?"
"Iya, iya. Nanti aku dimarahi Tante Farah, kan?"
"Nah, itu tahu."
"Tapi aku salah apa, Bu? Aku cuma mau bantuin A Albi siap-siap aja, kok. Apa karena aku ini orang miskin?"
Bu Inah menghela napas sejenak ketika mendengar perkataan itu keluar dari mulut putrinya. Setelah selesai membuat potongan bop pada rambut Sukma, ia menyuruh putrinya itu berdiri dan melepas kain penutup tubuh agar rambutnya tidak membuat lehernya gatal. Selanjutnya wanita itu mengibaskan kain bekas penutup badan Sukma, lalu pergi ke dalam untuk mengambil sapu.
"Bu, Ibu masih belum jawab pertanyaanku," kata Atikah jengkel.
Sambil menyapu lantai, Bu Inah menjawab, "Kalau kamu sudah tahu jawabannya, ngapain tanya-tanya lagi sama Ibu? Sudahlah, mending kamu main sama teman-teman yang lain."
Atikah tertegun, mengingat lagi pertanyaan yang diucapkannya pada sang ibu. "Jadi benar, cuma karena kita ini orang miskin, aku dijauhkan dari A Albi?"
Bu Inah mengangguk.
"Kalau begitu, kenapa kita nggak jadi orang kaya saja? Bapak dan Ibu sama-sama bekerja, Om Hilman juga. Terus, kenapa Bapak dan Ibu yang bekerja sampai sore nggak bisa dapat banyak uang kayak Om Hilman?"
Bu Inah menaruh sapunya, kemudian berjongkok dan memandangi putrinya lekat-lekat. "Nak, nasib setiap orang itu beda-beda. Tuhan sudah menuliskan takdir setiap orang. Om Hilman itu orang yang berpendidikan, jadi uang yang didapat juga berbeda dari Bapak dan Ibu."
"Oh, begitu, ya? Jadi, kalau ingin kaya, aku harus kayak Om Hilman, ya? Sekolah yang tinggi-tinggi biar pinter dan dapat uang banyak kayak Om Hilman."
Bu Inah membelai rambut panjang Atikah. "Selain itu, kamu juga harus berusaha dan bekerja keras. Jangan lupa berdoa pada Allah, agar selalu diberi rezeki yang bermanfaat."
"Baiklah, Bu. Akan aku lakukan semua yang dikatakan Ibu. Kalau begitu, aku mendingan main sama Dedek aja."
"Nah, begitu dong, anak Ibu yang cantik." Bu Inah mencium kening Atikah. "Kalau begitu, Ibu bantuin dulu Bu Farah, ya."
"Iya."
Bergegas Bu Inah pergi memenuhi tugasnya di rumah Hilman. Atikah menuntun Sukma masuk ke paviliun, lalu menyiapkan handuk untuk adiknya mandi. Diliriknya Sukma sebentar, mata adiknya itu begitu sayu. Sesekali bocah berusia enam tahun itu mengurut kening.
"Kamu kenapa, Dek?" tanya Atikah cemas.
"Kepala Dedek pusing, Teh. Badan Dedek kerasa panas begini. Boleh, ya, Dedek nggak mandi dulu?"
Atikah menyentuh dahi Sukma. Raut wajahnya semakin cemas ketika mengetahui suhu tubuh sang adik sangat tinggi. Segera ia membaringkan Sukma di kasur, kemudian membawa segelas air hangat dari dapur.
Sebenarnya itu bukanlah hal aneh bagi keluarga Pak Risman. Setiap kali selesai dipotong rambut, Sukma mendadak demam. Ia akan jatuh sakit selama tujuh hari tujuh malam, setelah itu akan sembuh seperti sedia kala. Kendati demikian, Atikah yang jarang menangani hal ini, terkadang merasa gugup. Semampunya ia bertindak seperti yang dilakukan ibunya pada Sukma. Memberinya air minum hangat, membiarkan adiknya istirahat, dan memberi paracetamol untuk meredakan demamnya.
"Diminum dulu air hangatnya, Dek," ujar Atikah, membantu adiknya bersandar sejenak.
Sukma meminum air hangat itu. Ia mengembuskan napas, kemudian berbaring kembali.
"Dek, kenapa, sih, tiap kamu dipotong rambut atau kuku suka mendadak begini? Perasaan, Teteh baik-baik saja kalau sudah dipotong rambut."
"Aku juga nggak tahu, Teh. Rasanya sakit banget. Badan aku lemes, sampai susah buat bangun," jelas Sukma dengan suara parau dan lemah.
"Kalau begitu, seharusnya Ibu nggak usah potong rambut kamu saja."
"Tapi Ibu suka ngambek kalau aku nggak mau dipotong rambut. Katanya kayak anak gembel. Padahal kita bukan gembel, 'kan, Teh?"
"Tentu saja bukan, Dek. Kita punya rumah kayak orang lain," kata Atikah menyelimuti tubuh Sukma. "Sudahlah, Dek. Sebaiknya kamu bobo, ya. Nanti Teteh beliin bubur buat kamu."
Sukma menutup kedua matanya. Keringat dingin mengalir deras dari dahinya. Bersamaan dengan lelapnya Sukma, para dedemit yang menghuni paviliun pun pergi. Mereka menghilang bersama setiap helai rambut Sukma yang sudah dipotong. Namun, ada satu makhluk yang bandel. Wanita tua yang merangkak ke dinding, masih menghuni kamar keluarga Pak Risman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments
Amara
jadi ingat ada anak dari tengger atau wonosobo yaa lupa,mereka pas kecil juga berambut gimbal ,tapi setelah besar hilang gembelnya.
2024-12-31
0
Maz Andy'ne Yulixah
Owlah potong rambut kelemahan Sukma😌
2024-04-03
0
Berdo'a saja
Atikah pasti udah mau SMP
2023-05-08
0