Kinara kembali ke rumahnya tepat pukul lima sore. Semburat jingga yang menawan ditambah embusan angin sore, menambah pesona siluet Kinara saat memarkirkan mobilnya.
Kinara buru-buru turun dari mobilnya dan bergegas membuka pintu rumah. Tepat setelah ia membuka pintu bahkan sebelum melangkah. Hidungnya mencium aroma tembakau yang tajam.
Kirana merajut alisnya seolah sedang berpikir. Ia segera masuk dan menolehkan kepalanya.
Kinara menyadari sesuatu, bahwa Sian sedang duduk di sofa dengan jari mengapit sebuah batang rokok yang mengeluarkan asap.
Jendela di sampingnya terbuka. Hingga angin mampu masuk merembes gorden membuatnya terayun.
Tubuh Kinara seakan membeku. Kilasan saat berada di kantornya siang ini menghantarkan beberapa gejolak rasa yang susah dijelaskan.
Ia ingin kejelasan mengenai hubungannya dengan Jina. Namun sebelum ia berhasil menggerakkan bibirnya. Kinara diingatkan kembali dengan dia yang ingin memutus hubungan dengannya.
Kinara langsung mengalihkan pandangannya. Ia hendak mengabaikannya dan segera menuju kamarnya.
Baru satu langkah ia melangkah. Suara yang begitu tenang dan merdu merobek indera pendengarannya.
Kinara langsung memandang wajah Sian. Untuk pertama kalinya, ia mendengar suara Sian yang begitu tenang.
Kinara tak ingin memprovokasi Sian, alhasil ia langsung mendekati Sian.
Kinara memperhatikan Sian menghisap batang rokoknya. Ia juga memperhatikan Sian saat mencari-cari sesuatu di dalam tas kerjanya.
Sian mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya pada Kinara. Kinara memperhatikan kartu itu sambil menunggu penjelasan dari Sian.
Namun rupanya Sian tak berniat untuk memberikan penjelasan.
“Ini...”
Sian mematikan batang rokoknya di asbak lalu berdiri dan menatap Kinara acuh tak acuh.
“Itu adalah uang untuk biaya rumah sakit. Aku tidak ingin berhutang apa pun dan terlibat apa pun denganmu.”
Kinara memegang kartu itu dengan sangat erat. Hatinya tiba-tiba bergejolak kembali.
“Terima kasih.”
Kinara langsung buru-buru berbalik dan meninggalkan Sian yang masih berdiri si ruang tamu.
Kinara langsung melemparkan kartu yang berada di tangannya dengan sembarangan saat sudah berada di kamarnya.
“Dia berbicara denganku dengan nada normal hanya ingin memberikanku uang ganti rugi. Dia juga berinisiatif datang ke rumah ini hanya untuk itu. Ah, haruskah aku senang atau sedih.”
Kinara membuang napasnya lalu ambruk di ranjang. Kepalanya berdenyut memikirkan sesuatu.
“Tunggu! Apakah dia akan menginap di sini. Jika dia menginap di sini bukankah aku harus tidur di kamar yang sama. Kamarnya sekarang sudah berganti menjadi ruang perpustakaan.”
Kinara mengamati langit-langit rumah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengannya jika ia harus menempati ranjang yang sama.
“Tidak! Itu mustahil!”
Saat gejolak hatinya berperang dengan otaknya. Suara pintu terdengar hingga menginterupsi Kinara.
“Nyonya Muda, makan malam sudah siap. Maukah anda turun dan makan malam?”
Kinara langsung bangun dan membuka pintu kamarnya.
“Aku akan malam nanti. Sebaiknya, panggil Sian untuk makan malam.”
Kinara lalu menutup pintunya dan berjalan melewati asisten rumah tangga.
“Nyonya Muda ingin ke mana?”
“Aku akan mempelajari naskahku di ruang baca.”
“Apakah Nyonya Muda ingin dibuatkan minuman hangat atau kudapan kecil?”
“Tidak usah. Kamu layani saja...”
Sebelum Kinara menyelesaikan ucapannya. Netra Kinara melihat keberadaan Sian. Dia dengan tenang berjalan seolah tak mendengar apa pun.
“Tuan Muda, makan malam sudah siap,” ucap asisten rumah tangga.
Kinara melihat asisten rumah tangga yang diacuhkan hanya bisa menghela napas. Kinara melihat sekilas Sian dan buru-buru pergi.
“Tuan Muda, apakah Tuan Muda akan makan malam sekarang?”
Sian tak menjawabnya lagi. Pria itu sibuk dengan netra yang sedang menangkap objek yang menjauhinya.
Asisten rumah tangga melihat Sian yang sedari tadi melihat kepergian Kinara hanya bisa menampilkan ekspresi bingung.
“Apakah Tuan Muda ingin menunggu Nyonya Muda sebentar dan makan bersama? Nyonya Muda sedang mempelajari naskahnya.”
Sebelum asisten rumah tangganya berhasil menyelesaikan kalimatnya. Sian meraung ganas di sana.
“Siapa yang ingin makan bersamanya!”
Pria itu kemudian pergi dalam suasana hati yang tak ceria seperti biasa.
...
Cahaya matahari menembus kaca jendela yang berderet di salah satu sisi ruangan, membuat ruangan itu terasa hangat, terang, dan sangat nyaman. Ruang duduk itu dilengkapi sofa besar yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu di tengah-tengah ruangan. Lantainya berlapis karpet tebal. Rak yang dipenuhi berbagai jenis buku dan novel. Kebanyakan buku mengenai bisnis menutupi salah satu dinding di sana.
“Ah, badanku sakit sekali,” keluh Kinara yang sejak tadi malam tidur di sana.
Matanya mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
Mata indah itu menatap jam yang digantungkan di dinding.
“Apakah dia sudah pergi ke kantor?”
Kinara langsung menoleh ke arah jendela karena tanpa sengaja gendang telinganya mendengar suara mobil yang dinyalakan.
Ia buru-buru bangkit dari duduknya. Berlari kecil menuju ke jendela hanya untuk mengintip mobil Sian perlahan menghilang dari pandangannya.
Kinara berbalik dan berjalan ke bawah menuju dapur, ”Ada minuman? Aku haus setengah mati.”
“Nyonya Muda, anda sudah bangun?”
“Ya.”
“Sebaiknya Nyonya Muda sarapan.”
“Ya.”
Saat mengambil satu suapan, tiba-tiba suara ponsel Kinara berbunyi. Itu adalah pesan dari Minji.
Kinara buru-buru membukanya dan begitu selesai membacanya. Ia mendesah keras.
Minji menyuruhnya untuk berkumpul sesekali dengan sosialita. Ya, Winter memang sesekali akan berpartisipasi dalam acara sosialita. Meskipun itu hanya berkumpul cantik di sore hari namun niat mereka adalah saling memamerkan kekayaan mereka.
Kinara sungguh tidak cocok pergi ke acara itu. Namun ia harus tetap menjalaninya sebagai Winter. Karena bahkan hidupnya dan tubuhnya sudah bukan miliknya lagi.
“Aku lebih suka membaca novel romantis dan rebahan daripada pergi ke acara tersebut.”
Ia bangkit juga dari bangkunya dan memandang ke sekeliling ruang duduk.
“Nyonya Muda, apa yang anda cari?”
“Huh, tidak ada.”
Sore ini, Kinara sudah bersiap-siap menuju ke tempat pertemuan. Minji sudah mengatur semuanya. Baju, sepatu dan tas yang akan di bawa.
Kinara menatap pantulan dirinya sendiri dan merasa jijik pada bayangan itu.
“Apakah ini dinamakan baju? Ini lebih tepat dinamakan kain perca.”
Kinara berputar sedikit untuk melihat punggungnya dan menggeleng pelan.
“Aku akan menggantinya. Aku bisa masuk angin jika memakai ini.”
Kinara tiba di acara pertemuan sedikit terlambat. Oleh karena itu, saat tiba di sana sudah banyak orang yang berkumpul.
Keluarga Lee adalah keluarga terpandang dan mempunyai status sosial paling tinggi. Dan Winter adalah orang yang mempunyai status paling tinggi di sini karena menikahi pewaris keluarga Lee.
Itulah mengapa saat Kinara tiba di sana. Ia langsung disambut. Kinara kikuk di sana. Ia hanya bertegur sapa seperlunya dan sesekali menimpali pembicaraan.
Hingga suara yang membuat suasana hati Kinara berubah.
“Winter. Ah, dia yang aku ceritakan. Dia adalah istri dari Tuan Muda keluarga Lee.”
Pria di samping Jina menatapnya dengan ekspresi terluka.
Kinara tetap tenang dan merasa tidak terganggu meskipun pikirannya sedang menduga-duga. Entah, pertunjukkan apa yang dilayangkan Jina untuknya nanti.
.
.
.
Selalu dukung certa agar dapat dilanjut...like, komen dan vote juseyo...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Anis Swari
love you...cerita ini bagus sekali
2023-07-19
0
Neni Setyorini
kok Lom pulang juga winter
2022-05-30
0
Seniwatiw Seniwatiw
oke pastinya
2022-04-25
0