Kepala Kinara berdenyut. Tangannya terulur untuk memijit pelipisnya. Beberapa hari yang lalu, alasan ia cepat-cepat terbang ke Jepang untuk menghindari Sian agar hubungannya tak terlalu buruk namun yang ia dapatkan setelah kembali. Hubungannya dengan Sian semakin runyam.
Kinara berpikir bahwa menghindari Sian bukanlah jalan satu-satunya tapi jika dia menghadapi Sian, juga bukan pilihan yang terbaik.
“Ah, aku benar-benar pusing. Bagaimana jika pesta pernikahan itu benar-benar diadakan. Dia pasti akan mempermalukanku habis-habisan.”
Kinara membalikkan selimutnya dan berdiri di depan cermin.
“Aku akan membuat jadwalku padat. Dengan begitu aku akan mempunyai alasan. Bukankah cara itu selama ini sungguh efektif. Haruskah aku bertemu dengan kakek?”
Kinara menyipitkan matanya dan tersenyum. Detik berikutnya ia buru-buru pergi ke kamar mandi.
Kinara menyiapkan mentalnya untuk bertemu kakek Lee. Ia mengatur napasnya yang tiba-tiba memburu. Sungguh, ia seperti orang yang akan perang.
Beberapa kali ia merapalkan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa. Tak lupa ia juga melatih senyum tulus yang akan selalu tersungging di wajah mungilnya.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Kakek Lee bersikeras untuk mengadakan pesta. Namun bukan Kinara namanya jika ia tidak keras kepala. Dengan bujukan dan sedikit rasa sedih yang dibuat-buat. Kinara berhasil merobohkan sikap arogansi dari kakek Lee.
“Terima kasih kakek. Kamu yang terbaik,” ucap Kinara.
“Dari mana kamu berbicara layaknya seperti madu.”
Kinara hanya tersenyum dan kakek Lee pun tertawa.
Saat Kinara pulang dari kediaman kekek Lee. Itu masih siang, jadi ia berniat untuk berjalan-jalan sebentar. Tentu saja Kinara memilih tempat yang sepi.
Kinara duduk santai di sebuah taman yang jarang orang kunjungi. Ditemani buku gambar dan juga pensil. Kinara dengan lincah dan penuh perhatian mencoret-coret buku warna putih itu.
Ia membentuk pola-pola baju yang sederhana namun terlihat indah. Beberapa kali ia berhenti untuk mengamati keadaan sekitar. Tanpa sadar waktu pun berlalu hingga pukul sembilan malam.
Sian memasuki rumahnya dengan wajah lelah. Saat pertama kali masuk, orang yang menyambutnya adalah kakek Lee. Sian berhenti di tempatnya namun detik berikutnya, ia sudah menguasai dirinya sendiri.
“Kakek. Kakek benar-benar akan tinggal di sini?”
Kakek Lee tidak langsung menjawabnya. Matanya menyipit mencari keberadaan seseorang.
“Dimana istrimu? Mengapa kamu tidak pulang bersama?”
“Dia bekerja di dunia hiburan. Tentu saja kami tidak pulang bersama,” ucap Sian yang jelas-jelas malas menanggapi.
“Dia tadi pagi menemuiku.”
“Untuk apa dia menemui kakek? Apakah dia mencoba untuk...”
“Dia menemuiku untuk menunda acara pesta pernikahanmu. Awalnya aku ingin mengadakan pesta pernikahan kalian saat ulang tahunku. Apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Tidak! Tidak ada.”
“Cepat temukan dia.” Perintah kakek Lee.
“Kakek, dia bukan lagi anak kecil. Dia bisa pulang sendiri.”
“Apa ini? Bagaimana bisa seorang suami berkata seperti itu?”
Sian tak menanggapi. Pria itu malah berjalan menuju kamarnya. Namun baru mendapati satu pijakkan. Seruan kakek Lee membuatnya berhenti.
“Pergi temukan dia! Bawa dia ke pulang!”
Tatapan Sian berubah menjadi dingin. Ia benar-benar kesal dan sumber kekesalannya diperoleh karena satu wanita.
“Tidak mudah untuk membuatnya menghilang dari pandanganku. Sekarang dia tidak ada di rumah. Mengapa aku harus mencarinya?” lirih Sian.
“Sian.”
“Baiklah, aku akan mencarinya. Kakek seharusnya istirahat. Ini sudah malam,” ucap Sian.
Pria itu membalikkan badannya namun tak segera bergegas mencari.
Tepat pukul empat pagi, Kinara kembali ke rumah. Pada saat itu asisten rumah tangganya sudah mulai bekerja.
Kinara memasuki rumahnya dengan biasa karena ia menganggap bahwa Sian tidak ada di rumah.
Saat akan memasuki kamar, suara asisten rumah tangganya menginterupsinya.
“Nyonya.”
“Eh, ada apa?”
“Tuan Muda...”
Kinara mengerutkan keningnya, “Ada apa dengannya?”
“Sepertinya kemarin malam terjadi sesuatu. Tuan Muda terlihat seperti mabuk. Saya sudah membersihkan kamarnya dan Tuan Muda saat ini masih tidur.”
Kinara mengangguk, “Baiklah. Kamu lanjutkan pekerjaanmu.”
Kinara menatap asisten rumah tangganya yang sudah pergi. Lalu matanya menatap pintu yang berseberangan dengannya. Itu adalah kamar dimana Sian berada.
“Ada apa denganmu?” gumam Kinara.
Kinara tak jadi memasuki kamarnya melainkan memasuki kamar Sian. Matanya yang kecil menilik fitur wajah Sian yang tak seperti biasanya. Wajah angkuh dan sombong itu kini berubah menjadi wajah memelas dan penuh kesedihan.
Kinara cepat-cepat kembali turun. Kakinya melangkah ke dapur. Melihat persediaan bahan-bahan di dalam kulkas.
Ia akan membuatkan sup pereda mabuk, Sundubujjigae. Kinara memilih beberapa sayuran, jamur, kerang dan telur. Tidak lupa bahan utamanya adalah tahu sutera khas Korea.
Kinara merebus bahan tersebut dan menambahkan beberapa bumbu. Kinara menyajikannya panas-panas di dalam ttukbaegi.
Kinara tahu betul bahwa Sian tidak ingin melihatnya. Kinara memutuskan untuk pergi ke kamarnya setelah ia selesai dengan supnya.
Kinara mandi dan bergegas memoles wajahnya kembali. Ia juga mengganti pakaiannya.
Setelah dirasa pas, ia segera turun kembali. Saat berada di anak tangga, Kinara berpapasan dengan asisten rumah tangganya.
“Nyonya, anda akan pergi lagi?”
“Ya,” ucap Kinara dengan ringan seraya menganggukkan kepalanya.
“Aku sudah memasakkan sup untuknya. Pastikan dia memakannya karena itu bisa membuatnya lebih baik.”
“Baik, Nyonya.”
“Bagus.”
“Nyonya akan kembali pergi pekerja di jam pagi ini. Padahal Nyonya baru saja kembali.”
Kinara hanya tersenyum. Pada kenyataan ia tak mempunya jadwal apa-apa pagi ini. Alasan tepatnya ia keluar hanya karena ia merasa keadaan Sian yang akan membuncah saat melihatnya.
Ia tidak ingin menyalakan api kemarahan pada diri Sian.
“Jaga dia baik-baik. Akhir-akhir ini temperamennya susah ditebak. Oh, dan pastikan jangan beritahu bahwa aku yang memasaknya.”
Asisten rumah tangga itu mengangguk karena ia paham betul alasannya. Asisten rumah tangga sudah mengetahui bahwa Sian tidak menyukainya.
“Aku akan pergi sekarang.”
Kinara berjalan keluar dari rumahnya. Sebelum ia mencapai pintu pagar. Langkah kakinya berhenti sejenak. Ia segera memutar badannya dan matanya melihat rumah besar itu dengan kesedihan.
“Sian. Tahukah kamu, aku sudah menunggu lama untuk bisa berdampingan denganmu.”
Kinara mengucapkannya dengan senyuman yang melankolis.
“Namun saat aku bisa bersamamu. Sepertinya kamu tidak menyukainya. Tenang saja, aku akan menjauh jika kamu menyuruhku untuk menjauh.”
Ketika sinar matahari mencoba menerobos lewat celah tirai dan memenuhi ruangan. Sebuah kenyitan tercipta di sana.
Seakan terpukul oleh hantaman besar. Kepala Sian begitu terasa sakit. Pria itu mencoba untuk bangun dan duduk untuk memulihkan sebagian besar kesadarannya.
Ia memijit keningnya sebelum pergi ke kamar mandi untuk merasakan segarnya air.
Saat selesai mandi, Sian bergegas untuk turun. Namun langkahnya terhenti saat gendang telinganya menangkap suara wanita yang tengah berbicara.
Alisnya berkerut saat matanya mengawasi wanita itu pergi hingga tenggelam dari balik pintu.
“Tuan Muda, anda sudah bangun?” tanya asisten rumah tangga saat melihat Sian menuruni anak tangga.
Sian tak menjawab namun kepalanya mengangguk sedikit sebagai jawaban.
Pria itu menuju ke ruang makan diikuti asisten rumah tangga di belakangnya.
Sian duduk tenang menatap semangkuk sup yang masih mengepul. Dari penampilannya sepertinya enak. Namun saat berpikir bahwa itu adalah masakan dari wanita yang ia benci. Seakan egonya menahannya.
“Tuan Muda, silakan dimakan supnya.”
Sian tak menjawab, pria itu hanya menatap semangkuk sup tersebut.
Melihat Sian yang seakan diam, asisten rumah tangga merasa takut dan cemas. Ia takut bahwa Sian menemukan kecurigaan.
“Apakah Tuan Muda tidak menyukainya? Saya akan membuangnya segara!”
Tangan asisten itu terulur namun sebelum tangan itu dapat menjangkau Sian sudah menghentikannya.
“Jangan! Biarkan di sana. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu.”
Asisten rumah tangganya awalnya bingung namun ia segera pergi dari hadapan Sian.
Saat Sian sendirian, tangannya terulur untuk menarik semangkuk sup ke arahnya dan mengaduknya.
Ia meraup sesendok penuh dan menjejalkannya dalam mulutnya. Hal pertama yang ia rasakan adalah bahwa sup itu begitu lezat hingga ia ingin segera melahapnya segera. Suasana hati Sian juga meningkat.
Ia meraih suapan demi suapan hingga suapan terakhir. Alisnya berkerut. Pria itu meletakkan sendoknya kembali.
Sebagai gantinya ia menatap mangkuk itu. Dalam lamunannya seperti bayangan wanita hadir di benaknya. Bayangan itu terlihat buram hingga Sian tak mampu mengenalnya.
“Tuan Muda! Tuan Muda!”
Sian tersentak dalam lamunannya sebelum ia menoleh ke asisten rumah tangganya.
“Apakah Tuan Muda ingin menambah lagi?”
Seolah-olah ia teringat sesuatu. Bahwa faktanya adalah yang membuat sup itu adalah wanita yang ia benci. Ekspresinya menjadi buruk seketika.
“Tidak.”
Sian segera meraih ponselnya dan berlalu.
“Benar kata Nyonya, suasana hati Tuan Muda memang sulit ditebak.”
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Anis Swari
Kinara padahal perhatian banget loh tapi memang temboknya Sian yang terlalu tinggi dan kokoh sulit ditembus
2023-07-12
0
Seniwatiw Seniwatiw
bagus
2022-04-25
0
Little Peony
Semangat selalu Thor 🌻
2021-04-23
0