Two Princes Of Vampire Kingdom

Two Princes Of Vampire Kingdom

PROLOGUE

HUJAN deras mengguyur kota Seoul. Langit malam itu dihiasi amukan petir yang menjilat ngeri dibalik awan. Suara gemuruh guntur yang menggelegar membuat anak kecil itu terjaga.

Tiara meringkuk di bawah selimutnya. Takut. Ia menutup telinganya erat-erat dengan kedua tangan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Jantungnya berdegup kencang. Bibir mungilnya bergerak pelan, memanggil seseorang.

“M-mom . . . Mommy.”

Anak berusia lima tahun itu menangkap suara langkah kaki seseorang yang menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Ia tak bergerak sejengkal pun dari atas ranjang. Bahkan dirinya terlalu takut sekedar untuk membuka matanya yang tengah tertutup rapat.

Tiba-tiba seseorang menarik selimut tebal di atasnya, ia membatu.

“Sayang, kau tak apa—“

“Mom!” pekik Tiara.

Sedetik kemudian, Hana langsung memeluk erat tubuh mungil putri tunggalnya. Sang ibu tersenyum menenangkan sambil mengusap kepala anak perempuannya itu pelan.

“Ara takut.”

“Tenang . . . Ibu disini. Kamu tidak perlu takut, Sayang.”

“Jangan pergi.”

“Tentu saja tidak. Mommy akan menemanimu di sini. Tak apa. Hujannya sebentar lagi reda. Ibu akan menjagamu.”

Anak perempuan itu mendongak. Netra biru shappire-nya mengamati raut wajah cantik sang ibu. Aneh. Ada perasaan yang mengganjal. Sebuah firasat buruk tiba-tiba saja muncul. Dadanya sesak. Ia menggeleng pelan. Ia kembali memeluk ibunya, lebih erat.

“Ara sayang Mommy.”

“Mom juga menyayangimu. Sangat.”

Tiga puluh menit berlalu, hujan di luar masih turun dengan derasnya. Seolah awan hitam belum puas memuntahkan seluruh isi perutnya ke bumi. Hana mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia menggigit bibirnya sendiri. Wanita dengan surai hitam itu tak bisa tenang. Perasaan tak enak terus mengganggunya.

‘Semoga tak ada hal buruk yang terjadi . . . .’

“Mom?”

Hangat. Ia menunduk ke bawah. Tangan kecil Tiara mengusap pipinya lembut. Hana tersenyum melihat netra biru berkilauan bak lautan di depannya. Malaikat kecilnya begitu menggemaskan.

“Iya, Sayang?”

“Mommy belum tidur?”

“Mom, kan sedang menjagamu. Lanjutkan tidurmu lagi, ya.”

“Engghhh— baiklah.“

 

'BRAKK!'

Iris hijau emerald milik Hana membelalak ketika jendela kamar di samping mereka tiba-tiba terbuka lebar. Hembusan angin dingin menerobos masuk, bercampur rintik-rintik air hujan yang berakhir membasahi karpet. Suara nyaring jendela yang beradu dengan dinding disertai kilatan petir membuat Tiara kembali terjaga.

“Ara?” panggil sang ibu.

“Iya, Mom.”

“Kita pergi ke tempat bibi sekarang.”

“Eunghh— sekarang? Tapi kan di luar masih hujan.”

“Ibu ada perlu dengan bibi. Lekas pakai jaketmu, ya. Mommy, siapkan mobil dulu."

“Iya.”

Ibunya itu mengusap kepalanya pelan, “anak pintar."

Kemudian, Hana berjalan keluar dari kamar putrinya. Tiara setengah sadar menyibakkan selimut hangat yang enggan ia tinggalkan. Gadis kecil itu sedikit berjingkat. Lantai keramik di bawahnya terasa beku seperti es.

Tangan mungilnya meraih jaket merah muda dengan gambar ‘Minnie Mouse’ yang menggantung di dekat lemari. Jaket favoritnya. Lalu, ia memakai jaket tadi. Selesai. Dia berjalan keluar kamar.

“Mom, Ayo kita berangkat!”

Hening. Tak ada jawaban. Suara guntur yang nyaring diiringi suara derau hujan di luar sana memenuhi indera pendengarannya. Ia sama sekali tak mendengar suara balasan ibunya. Tiara berjalan menuju kamar sang ibu. Lalu, dia membuka pintu kayu di depannya dan masuk ke dalam. Tiara memanggil nama ibunya lagi. Kosong. Ia tak menemukan sosok ibunya.

“Mom?”

“Mommy?!” panggil gadis kecil itu lebih keras.

Telinganya menangkap suara seseorang dari arah dapur. Ia tersenyum senang. Ibunya pasti tengah menyiapkan bekal untuknya. Tiara sedikit berlari ke arah dapur sambil bersenandung kecil.

“Ara sudah siap, Mom. Ayo kita—“

Lututnya tiba-tiba lemas. Ia jatuh terduduk sambil menatap nanar pemandangan mengerikan di hadapannya. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Anak itu mendapati pria berbaju serba hitam itu tengah menggigit leher ibunya. Tubuh mungilnya tiba-tiba menegang. Pria itu meneguk cairan merah pekat yang mengalir keluar dari luka di leher ibunya.

Wanita itu berusaha mendorong pria misterius tadi agar menjauh darinya. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Tenaganya tak cukup kuat untuk menahan pria itu. Kesadaran Hana perlahan mulai memudar.

“M-mom?”

Ibunya menoleh lemah. Samar-samar ia bisa melihat putri kecilnya itu terduduk di lantai dengan raut wajah ketakutan.

“A-ara?! Pergi dari sini!”

Tiba-tiba pria bertubuh tinggi itu berhenti. Mata merahnya beralih menatap bocah polos di belakangnya. Ia tersenyum kecil menunjukkan taring di sudut bibirnya. Tiara menggigil hebat. Ketakutan yang luar biasa tiba-tiba menghantui benaknya.

Tubuhnya mendadak kaku ketika pria tadi berjalan mendekat. Kedua manik merah itu menatapnya lapar. Darah di mulut pria tadi beberapa kali menetes ke bawah meninggalkan bercak noda merah di lantai. Jantungnya berdegup kencang. Apa dia akan mati?

"LARI SAYANG! CEPAT PERGI!"

Teriakan ibunya itu membuat sel-sel syarafnya kembali bekerja normal. Tiara seolah ditampar kembali ke dunia nyata. Matanya memanas melihat ibunya yang terluka parah itu berusaha berdiri menghalangi langkah pria tadi. Wanita itu tersenyum hangat kearah putri kecilnya.

“Kau harus selamat, Ara. Aku menyayangimu.”

Sedetik kemudian, vampir tadi merobek perut ibunya dari belakang. Tubuh tak bernyawa itu limbung ke bawah.

“MOM!”

Iris biru sapphire itu terbuka lebar sekarang. Nafas gadis yang tengah duduk di atas ranjang itu tak beraturan. Keringat dingin membasahi keningnya. Lagi. Sudah tiga hari berturut-turut, Tiara kembali memimpikan kejadian itu. Kejadian yang takkan pernah bisa  dia lupakan seumur hidup.

Tangannya mengacak kasar rambutnya yang terurai berantakan. Rahang bawah gadis itu mengeras, menahan gejolak emosi yang sudah memuncak. Rasanya sakit. Dadanya terasa sesak. Air matanya beberapa kali menetes ketika teringat senyuman hangat ibunya itu untuk terakhir kali. Ia menangis terisak.

Makhluk itu telah merenggut nyawa ibunya. Sosok yang sangat berharga baginya lebih dari apapun. Perlahan tangis tadi berubah menjadi seringai kecil ketika matanya menangkap sepasang bilah pedang yang menggantung di dinding kamar.

“Eyes for eyes. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa juga. Kalian harus mati.”

 

***

Terpopuler

Comments

Ali

Ali

sukaaaaaaaa...keren bnget thorrr👍👍👍👍

2021-02-23

2

Mahdaleni Leni

Mahdaleni Leni

wooooow...kereeeen lgsung cinta sy thooor🥰🥰🥰🥰🥰

2021-02-13

2

Linda

Linda

lanjut

2021-02-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!