I. VAMPIRE HUNTER

..."Sesuatu yang kau anggap sepele...

...bukan berarti tak berharga,...

...Dia hanya menyembunyikan kilauan nya dari yang lain."...

.......

.......

...☘ ☘ ☘...

❝SELAMAT datang, Tuan." ucapku pada pria yang baru masuk ke dalam cafè sambil tersenyum simpul.

Ada yang membalasku. Ada juga yang hanya diam. Akan tetapi, begitulah manusia. Setiap individu memiliki keunikan tersendiri dalam berekspresi. Don't judge a book, by its cover. Tidak ada yang tahu.

Aku bekerja sebagai pelayan di cafè ini. Tugasku menjaga kasir, mengantar makanan ke meja pelanggan, juga tukang bersih-bersih. Sangat fleksibel. Aku menyukai pekerjaan ini.

Ekor mataku menangkap sosok pria dengan surai keemasan yang duduk tak jauh dari tempatku. Aku menghela nafas. Dia datang lagi dan lagi. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan.

Dia akan duduk di kursi yang sama. Memesan kopi. Tidak ada pembicaraan. Pria itu hanya diam menikmati kopinya sambil sesekali memperhatikan salah seorang pelayan. Orang aneh. Apa dia-- seorang stalker?

"Permisi, kak."

Aku menoleh. "Eh, I-iya? Ada yang bisa saya bantu?"

'Peraturan pertama, jangan melamun di tempat kerja, Tiara! Dasar bodoh!'

"Saya ingin membayar makanan kami," jawab gadis dengan seragam SMA itu memberikan bon makanan dan beberapa lembar uang kepadaku.

"Ahh-- iya. Terimakasih. Ini uang kembaliannya. Semoga hari anda menyenangkan."

Mataku turun melihat ponsel milikku yang bergetar di bawah LCD komputer. Ada sebuah panggilan masuk. Segera kugeser tombol ke area hijau untuk menerima panggilan tadi.

"Iya, Master."

"Ada tugas untuk team ß malam ini. Alamatnya akan kukirim lewat pesan."

"Baik."

Lalu, panggilan itu terputus diiringi masuknya sebuah pesan dari penelpon tadi. Jariku otomatis menekan pesan yang muncul di layar notifikasi. Pesan itu berisi alamat sebuah club malam yang cukup terkenal di distrik ini dan informasi tambahan tentunya.

Aku langsung mengirim ulang pesan tadi ke anggota tim yang lain. William dan Claire. Lima detik kemudian, mereka membalasnya. Aku tersenyum melihat Claire memberikan jempolnya padaku dari kejauhan.

'Malam ini mereka tidak akan bisa lolos.'

...***...

Kugosokkan tanganku sambil meniupnya pelan. Kuakui aku menyukai salju. Akan tetapi, jujur aku kurang menyukai suasana dingin yang menusuk tulang seperti sekarang. Dari dulu aku memang tak tahan dengan dingin.

Basecamp kami letaknya tersembunyi di pinggiran kota. Hampir memasuki hutan. Basecamp kami lebih terlihat seperti rumah tua reyot dari luar. Dihiasi semak belukar dan tanaman merambat menimbulkan kesan angker bagi sebagian orang. Apalagi letaknya yang jauh dari jangkauan orang. Tentunya orang akan berpikir dua kali untuk masuk ke sana.

Claire menekan tombol kecil rahasia di samping pintu masuk. Terdengar suara sistem yang otomatis keluar dari sana.

"Enter your password ...."

Claire memasukkan sandi dengan menekan beberapa tombol di bagian samping pintu. Tangannya bergerak dengan cepat saat menekan tombol.

"Password corrected. Scanning your body, Ma'am."

Sebuah sinar laser merah meng-scan tubuh kami berdua dari bawah ke atas. Jika kami tidak terdaftar sebagai anggota tim, sinar laser akan menghancurkan kami menjadi potongan kecil-kecil. Sistem keamanan yang cukup mengerikan.

"Welcome to Base camp, Ma'am. Have a nice day!"

Pintu baja berlapis-lapis di depan kami pun terbuka satu demi satu. Kemudian, kami masuk ke dalam. Keadaan base camp tampak berbeda jika dibandingkan dilihat dari sisi luar. Dari dalam, basecamp tampak seperti apartment mewah bernuansa sedikit klasik dengan warna dominan black and white. Kamuflase ini merupakan ide dari William, sang leader.

Kurebahkan tubuhku ke atas sofa empuk warna merah marun di sana. Claire duduk di sampingku sambil mengambil majalah di atas meja. Aku segera berganti posisi, duduk di sampingnya.

"Apa kakak tidak merasa sedang diawasi baru-baru ini?" tanyaku penasaran.

"Hm? Diawasi siapa?"

"Salah satu pelanggan di cafè kita."

"Seorang pria?"

"Iya."

"Oh itu ... Aku tahu."

"Lalu, kenapa kau membiarkannya?"

Pipinya sedikit memerah dan mengalihkan pandangannya dariku, "dia tipeku."

Aku kehilangan kata-kata. Ternyata dia menyukai pria itu. Pantas saja dia hanya diam. Wanita memang rumit.

Aku tersenyum jahil, "Jadi ... Kau tertarik pada pria misterius itu, hmm?"

"Eh? Kalau itu--" Claire menaruh majalahnya, "ayo kita buat makan malam sebelum menjalankan misi. Kau pasti lapar, kan, Ara?"

"Beritahu aku dulu, Kak. Kau menyukainya, kan. Wajahmu memerah."

Claire berdeham pelan. Ia segera berdiri dan berjalan ke dapur dengan langkah tergesa-gesa. Aku tahu dia berniat menghindari pertanyaanku tadi. Aku mengikutinya ke dapur.

"Kita mau masak apa malam ini?"

Claire mengecek isi kulkas. Lalu, dia mengambil beberapa ikan segar dan sayuran.

"Seperti biasanya. Hanya ini yang ada di kulkas. Aku lupa belanja."

...***...

Kami bertiga duduk di ruangan khusus mengitari sebuah meja kayu berbentuk bundar. Hanya ada satu penerangan di ruangan ini. Tepat di atas meja ini. William mengeluarkan sebuah kertas bergambar sebuah denah gedung.

"Tempat ini punya ruangan bawah tanah yang digunakan khusus untuk menyimpan darah manusia bagi para vampir yang berkunjung."

William menggeser jarinya, "tepat di sebelah sini."

Aku mengangguk paham. Sedetik kemudian, dia kembali menjelaskan.

"Kita harus membereskan semua vampir yang ada di sana dan mengambil kotak kayu yang berada di ruangan tadi."

"Apa isi kotaknya, Kapten?" potongku.

"Aku tidak tahu tapi master menyuruh kita mengambilnya," Ia melanjutkan lagi, "untuk misi kali ini, kita akan masuk dan berbaur dengan para pengunjung. Claire, tugasmu masuk ke dalam ruangan pengendali sistem dan meretas semua sandi juga kamera CCTV yang ada di sana."

"Baik."

"Ara, kau yang mengawasi keadaan di club."

"Baik."

"Aku akan menyamar sebagai pekerja di sana dan masuk ke ruang bawah tanah. Baiklah, siapkan senjata kalian. Berkumpul di basemen. Pukul sebelas. Laksanakan!"

"Yes, sir!"

Aku mendapat posisi yang mudah tetapi juga berbahaya. Bayangkan saja hampir seluruh pengunjung di sana adalah vampir. Makhluk penghisap darah berhati dingin yang menganggap manusia sebagai hewan ternak yang bisa mereka perlakukan dengan keji. Mereka adalah makhluk yang terburuk.

Aku mengambil kaos hitam tanpa lengan dari dalam lemari dan memakainya. Seperti biasanya kukepang rambutku ke kanan. Ini akan mempermudah gerak tubuhku nantinya. Selesai.

Tanganku meraih sepasang pedang yang kugantungkan di dinding kamar. Pedang ini adalah senjata kesayanganku. Setiap vampir yang terkena pedang ini walaupun hanya goresan kecil, dia akan langsung berubah menjadi abu. Keistimewanya lagi, pedang ini tidak akan terlihat sebelum digunakan. Hanya pemilik pedang yang bisa melihatnya.

"Kurasa aku butuh pistol juga," gumamku pelan.

Kutarik laci meja riasku. Ada banyak jenis pistol di sana. Aku mengambil dua tipe pistol yang berbeda dan mengisinya dengan beberapa amunisi. Satu pisau lipat berukuran kecil dari laci lainnya.

"Apa kau sudah siap?"

Aku menoleh. Claire sudah berdiri di ambang pintu. Ia terlihat seksi dengan balutan kaos ketat tanpa lengan berwarna merah itu. Bagian dada yang rendah membuat belahan dadanya sedikit terlihat. Rambut panjang terurai bebas menutupi leher jenjang miliknya. Cantik. Kadang aku berpikir, kapan aku bisa punya tubuh seksi sepertinya.

"Tunggu sebentar."

Kusembunyikan sepasang pedang tadi di balik punggungku. Dua pistol di balik saku blazer putih yang kukenakan. Lalu, pisau lipat tadi kuselipkan ke dalam sepatuku. Perfect.

"Apa kau membawa busur panahmu, Kak?"

"Tentu saja."

Claire juga mempunyai senjata khusus yang diberikan oleh Master secara langsung. Ia memiliki busur panah yang berguna dalam serangan jarak jauh. Sedangkan William sendiri memiliki sebuah pistol yang spesial juga tentunya. Peluru di dalamnya tidak akan pernah habis. Begitu pula dengan busur panah milik Claire.

"Kak Willy mana?"

"Senior sudah ada di basemen. Ayo, kita ke sana sekarang."

"Oke."

William sudah menunggu di dalam mobil sport warna silver miliknya. Kami berdua segera masuk ke dalam. Mobil itu melaju pelan merapat ke arah pintu garasi yang masih tertutup.

"I'm a sexy man, " ucap William santai.

"Password accepted. The garage door will be open in two seconds."

"2 ...."

Aku terkekeh geli mendengar sandi itu. Terasa janggal jika kau memuji dirimu sendiri bukan. William mendecih. Mungkin dia tak terima kalau aku menertawakannya. Kata sandi di Basecamp kami terlalu absurd. Bahkan kata sandi aneh itu berbeda untuk kami bertiga. Kocak. Namun, karena hal itu aku bisa mengingat semua sandi. Aneh memang.

"1 ...."

Pintu garasi terbuka, "Good luck, Sir!"

Mobil kami perlahan menanjak ke atas dengan panjang sekitar sepuluh meter. Setelah mobil kami sampai di keluar, jalan miring tadi menutup dengan otomatis.

"Claire, siapkan peralatan retasmu."

"Ya, Kapten. Aku sedang mengerjakannya sekarang," sahut Claire sambil terus sibuk berkutat dengan laptop mininya.

William Blackwood, posisinya sebagai ketua tim ini. Dia yang menyusun strategi dan partnerku dalam bertarung melawan vampir. Otaknya yang cerdas selalu mengalirkan ide yang tak terduga. Ia juga merupakan salah satu penembak jitu di organisasi hunter.

Claire Anderson sebagai hacker dan archer. Ia yang mendukung kami bertarung dari balik layar. Kemampuan bertarungnya mungkin bisa dibilang masih dibawah kami berdua. Akan tetapi, kemampuan memanahnya dan kecepatan gadis itu meretas sebuah sistem tidak bisa diremehkan.

Posisiku sendiri sebagai Fighter. Tugasku bertarung, melindungi anggota dan menjaga pertahanan tim kami. Kekuatan, kecepatan dan kelincahan wajib dimiliki seorang Fighter. Keahlianku adalah bela diri dan memakai berbagai senjata. Aku juga kebal akan gigitan vampir karena saat pelatihan hanya para Fighter yang disuntik vaksin setiap hari.

"Ara, jangan sampai kau lengah. Mereka bisa menerkammu kapan saja."

"Berhenti menakut-nakutiku, Kak. Kau yang harusnya berhati-hati."

William menggaruk kepalanya sendiri, "benar juga."

"The system was activating."

"Nah, selesai."

"Good Job!" pujiku pada Claire.

"Oke, Kita hampir sampai. Ingat tugas kalian masing-masing dan tetap waspada."

"Yes, sir."

Kami memasang sebuah alat komunikasi jarak jauh berukuran kecil di telinga. Kututupi alat kecil bernama earpiece tadi dengan jepit rambut berbentuk bunga berukuran cukup besar. Mobil kami berhenti di pinggir jalan agak jauh dari area club yang akan kami masuki.

"Cek! H-06, kau bisa mendengarku?" tanya pria dengan manik cokelat itu sambil menekan tombol kecil di alat komunikasi kami.

"Ya, Kapten. H-06, disini. Over."

"H-04, kau bisa mendengar suaraku?"

"Yes, Sir. H-04, disini."

Hunt 04 adalah kode keanggotaan ku.

"Bagus. H-06, jalankan misimu lebih dulu."

"Baik."

Claire keluar dari mobil sambil membawa sebuah flashdisk berukuran mini yang ia sembunyikan di saku belakang celana jeansnya. Ia berjalan menuju bagian parkir yang sepi dan mendekat ke arah samping club.

"Ruang kendali sistem berada di lantai tiga. Kau bisa menjangkaunya?"

"Ya, Kapten."

Claire menembakkan sebuah pistol ke arah lantai tiga. Bukan peluru melainkan sebuah jangkar berukuran kecil dengan tali panjang keluar dari sana.

'TAKK!'

Jangkar tadi mengait kuat pada besi balkon di lantai tiga gedung tersebut. Gadis itu menarik pelatuk lagi dan dia secara otomatis naik ke atas.

"Aku sudah sampai, Kapten."

"Kerjakan tugasmu dan H-04, kau bisa masuk sekarang. Kalian hati-hati."

"Baik."

Bahkan dari jarak sejauh ini aku bisa mencium bau busuk mereka. Aroma yang memuakkan. Kakiku melangkah santai ke arah pintu masuk. Penjaga pintu di hadapanku ternyata juga seorang vampir. Aku hanya tersenyum tipis. Pria bertubuh besar itu mengamati ku sebentar, menanyakan kartu identitas ku. Selesai. Dia membiarkanku masuk. Rintangan pertama, lolos.

Suara dentuman musik yang nyaring langsung menyambutku ketika kakiku melangkah masuk ke dalam club malam itu. Bau alkohol, asap rokok, dan bau para vampir memenuhi ruangan membuatku sedikit mual. Kalau bukan karena misi aku tidak akan mau menginjakkan kaki di tempat busuk seperti ini.

"Perlu bantuan, Nona?" tanya seorang pelayan pria.

"Tidak. Terimakasih."

Aku duduk di salah satu kursi pelanggan. Di meja hanya ada botol-botol berisi alkohol dan wine berkadar tinggi. Mata biru sapphire ku mengamati seluruh ruangan.

Di bagian tengah atau bisa dibilang pusat ruangan, banyak orang sekaligus vampir yang menari di lantai dansa. Gadis-gadis seksi dengan pakaian minim bertebaran di seluruh club. Ada bartender yang sibuk melayani para pelanggan, juga banyak orang bercumbu mesra di pojok ruangan. Walaupun umurku sudah delapan belas tahun, tetapi ketika dihadapkan dengan adegan tak senonoh seperti ini. Rasanya tetap saja menjengkelkan.

"Apakah anda ingin memesan sesuatu?" tanya seorang pelayan pria.

"Tidak," jawabku tanpa menoleh.

"Benar kau tak ingin memesan, Adik kecil?"

Aku yang mendengar kata 'adik kecil' menengok ke arah pelayan tadi. William terlihat tampan dengan setelan waiters dengan nampan di tangan kanannya. Senyuman manis menghiasi bibir pria itu. Ia cukup menarik perhatian beberapa wanita di club ini.

William mendekatkan wajahnya. Lalu, berbisik pelan.

"Santai sedikit, Ara. Mereka bisa curiga jika kau tak bisa berbaur dengan wajah kaku seperti itu."

"What? Apa aku harus menari seperti orang-orang gila di sana dan menggoda pria untuk jadi one-night stand? Begitu?"

"Dasar. Kau berpikir terlalu jauh. Aku akan menghukummu jika kau berani melakukannya."

William menjauhkan tubuhnya. Ia kembali tersenyum. Aku bisa melihat beberapa wanita itu curi-curi pandang dengannya. Sialnya, pria itu sengaja mengedipkan matanya ke arah mereka. Para wanita tadi langsung nosebleed melihat ketampanan leader kami.

"Damn! He's hot!"

"Can I get your number, Babe?!"

'Bolehkah aku menendang wajah pria ini?'

"Jadi, Nona ... Anda ingin pesan apa?"

"Orange Juice."

"Baik. Saya sudah mencatat pesanan anda. Tunggu sebentar."

Tak sampai lima menit, William kembali berjalan ke arahku dengan nampan berisi segelas jus jeruk di tangannya. Ia kemudian pergi lagi. Kami masih menunggu hasil kerja Claire.

"Ok, Guys. Aku sudah selesai," ucap Claire dari alat tadi.

Aku yang mendengar suaranya menghembuskan nafas lega. Setidaknya penderitaan ku akan segera berakhir.

"Bagus. Aku masuk sekarang," ucap William.

...***...

Sesekali aku menyedot jusku yang tinggal setengah gelas. Aku bisa merasakan adanya dua aura gelap yang tak biasa di dalam tempat ini. Aura gelap yang begitu pekat. Aku bahkan tak bisa memperkirakan berapa banyak nyawa yang sudah mereka ambil agar bisa menghasilkan aura membunuh yang kuat semacam ini.

"H-04, ke ruang bawah tanah sekarang. Kapten sepertinya butuh bantuan."

"Baik. Aku segera ke sana."

Aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju gudang bawah tanah. Beberapa pasang mata menatapku lapar. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara pria hidung belang dengan vampir di sini. Mereka terlihat sama.

Langkahku terhenti ketika melihat dua penjaga pintu masuk gudang. Mereka berdiri di depan pintu kayu itu sambil menatapku tajam.

'Sudah ketahuan ternyata.'

Aku terus melangkah santai mendekati mereka berdua. Gigi taring muncul di sudut bibir mereka. Desisan keluar dari mulut pria bertubuh tinggi besar itu.

"Tidak sabar untuk mati, hm?"

Kulepas blazer putih yang aku kenakan tadi lalu membuangnya sembarangan. Kemudian, tanganku meraih sepasang pedang milikku dari balik punggung.

"Ayo kita mulai."

...🌷🌷🌷...

Terpopuler

Comments

Mahdaleni Leni

Mahdaleni Leni

hayalanku ky difilm2

2021-02-13

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!