VIII. SECRET BOOK AND MEMORIES

...'Tanpa sadar dia membuka gerbang itu. Tak ada jalan kembali.'...

.......

.......

...☘☘☘...

“ADA yang ingin kukatakan padamu,” William tampak menghela nafas sebelum melanjutkan, “aku ingin bilang… Kalau aku—“

“K-kalian berdua sedang apa?”

Pria dengan surai cokelat gelap itu langsung melepaskan pelukannya. Mereka berdua menoleh ke arah Claire yang berdiri mematung sambil menatap mereka dengan mata membelalak, tak percaya. Gadis berusia dua puluh tahunan itu masih berusaha mencerna situasi mereka berdua yang terlihat seperti berpelukan. Tidak. Mereka memang melakukannya.

“Oh, jadi ini yang kalian lakukan kalau aku tidak ada. Kau benar-benar berani, ya, pak ketua.”

“K-kau salah paham, Oke!”

“Hehe. Teruskan saja. Aku kembali karena dompetku tertinggal,” ujar gadis itu sambil mengambil dompet warna hitam di atas sofa.

"Apa kau bertemu seseorang tadi, Kak?” selidik Tiara pada gadis bersurai cokelat kemerahan itu.

Claire tampak sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan dari fighter tim mereka. Tiara bisa tahu karena dia mencium aroma vampir yang tertinggal di tubuh Claire. Aroma yang sama. Pria bertubuh tinggi yang sering berkunjung ke café tempat mereka bekerja. Gwan Yeong-jun. Claire tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya dari mereka berdua.

“Hanya seorang teman. Kalau begitu aku pamit.”

“Tunggu, Kak. Ini sudah terlalu malam. Biarkan Kak William mengantarmu.”

“Aku bisa jaga diri, Tiara. Lagipula aku tidak ingin mengganggu acara kalian.”

“Apa maksudmu, Kak?”

“Apa kau tidak tahu? Saat seorang pria bersentuhan dengan wanita yang dia sukai. Dia tidak akan bisa menahan— SAKIT!”

William menarik telinga milik gadis itu dengan keras. Tiara tak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi wajah Claire kesakitan.

“Jangan meracuni Tiara dengan pikiran kotormu itu. Ao, akan kuantar kau pulang.”

“Ampun … Aduh, Sakit!”

“Ini hukuman karena sudah mengajari Tiara yang tidak-tidak.”

“Siapa yang mengajarinya? Jelas-jelas kau malah memeluk—“

“Kita ke basemen sekarang,” tegas William sambil berjalan ke arah basement. Tangannya masih menarik telinga milik Claire.

Tiba-tiba Tiara teringat dengan dua buah buku yang dipinjamnya dari perpustakaan kemarin. Dia belum sempat membacanya. Lalu, gadis itu berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Tangan mungilnya meraih dua buku tebal dari rak kayu dan meletakkannya di atas meja belajar.

Ia menyalakan lampu baca. Lalu, Tiara mengambil buku pertama. Buku dengan tebal sekitar sepuluh sentimeter itu mempunyai ukiran-ukiran yang indah di bagian luar. Dia mulai membaca kata demi-kata di lembar pertama buku tersebut.

“Tulisan kuno lagi? Ah, kalau begini aku sama sekali tidak bisa membacanya.”

Kepalanya mendadak pusing melihat tulisan latin kuno dalam buku tebal itu. Tiara membuka lembaran yang lain. Lagi dan lagi. Ia menghela nafas panjang. Ternyata buku itu ditulis menggunakan huruf dan simbol kuno.

“Bagaimana aku bisa membacanya? Apa aku minta kak William untuk mengajariku?”

‘Ddrrtt….’

Ponsel hitam gelap yang berada tak jauh dari tangannya bergetar. Dahinya berkerut melihat notifikasi panggilan di layar ponsel. Sebuah nomor tak dikenal.

“Siapa yang menelpon malam-malam begini?”

‘Mungkin hanya orang iseng.’

Gadis itu mengedikkan bahunya, tak peduli. Ponselnya itu berhenti bergetar. Tiara kembali fokus dengan kegiatannya tadi. Ia beralih ke buku lainnya. Buku kedua tampak lebih lusuh dan usang. Banyak debu yang menutupi bagian sampul. Tangannya bergerak membersihkan sampul buku tadi sambil sesekali meniupnya.

Ponselnya kembali bergetar dengan panggilan dari nomor yang sama. Tiara berdecak kesal. Ia segera mengangkat panggilan tadi.

“Halo.”

“….”

Hening. Tak ada jawaban dari seberang telepon.

“Yeobseyo.”

“…."

Tiba-tiba si penelpon tadi menutup panggilannya. Tiara hanya terdiam sambil menatap layar ponsel. Aneh.

“Apa dia berniat menakutiku?”

Tiara kembali meletakkan ponselnya. Tangannya bergerak membersihkan buku kuno tadi. Buku bersampul 'The Power of Darkness' itu memiliki bentuk yang unik. Ukiran bunga mawar dengan gaya minimalis yang ada di bagian sampul tampak nyata. Tiara belum pernah melihat cover buku seperti ini sebelumnya. Dia mencoba membuka buku tadi, tapi buku itu tak bisa dibuka.

“Apa ada cara khusus untuk membukanya?”

Netra biru sapphire-nya mengamati setiap ukiran di buku tebal itu. Ada sesuatu yang aneh. Ukiran-ukiran dalam sampul buku itu berpusat pada sebuah simbol yang ada di bagian tengah sampul depan.

Telinganya menangkap suara mobil memasuki pekarangan basemen. Dia melirik jam weker digital yang berada di atas meja di samping tempat tidur. Pukul setengah satu.

“Sial. Ini sudah lewat tengah malam.”

William akan marah jika tahu Tiara tidur terlalu larut. Ia buru-buru menyembunyikan buku tebal tadi di bawah bantal. Kemudian, gadis cantik itu menarik selimut dan pura-pura tidur. Suara pintu yang dibuka membuat jantungnya berdebar kencang. William berdiri di ambang pintu sambil menatapnya cukup lama.

“Sudah tidur rupanya.”

Pria bertubuh tinggi itu melangkah mendekat dan menghidupkan lampu tidur di samping ranjang.

“Good night, Ara.” ujar William sambil membelai rambut gadis itu pelan.

Lalu, dia berjalan keluar ke arah pintu. Tangan besar milik William menekan saklar lampu yang otomatis membuat lampu di kamar gadis itu mati . Setelah pria itu menutup pintu, Tiara perlahan membuka matanya. Netra biru itu menatap lampu tidur di samping tempat tidurnya.

“Apa kau memang perhatian pada orang lain? Atau … hanya padaku?”

...***...

Kedua obsidian kelam itu menatap salju putih yang turun perlahan dari kaca jendela kamarnya.

“Apa yang kau pikirkan, Kak?” tanya Evan yang tengah duduk di sofa sambil menyesap cangkir berisi darah di depannya.

Pria yang dipanggilnya itu hanya melirik adiknya sekilas, tak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Evan. Dia kembali menatap keluar jendela.

“Tidak ada."

“Kita berdua sudah hidup bersama selama ratusan tahun. Ah— tidak. Ribuan tahun. Jadi ... aku tahu kau sedang berbohong atau tidak.”

“Aku ingin keluar,” ucap Louis sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Aku ini belum selesai bicara— Dasar.”

Evan kembali menikmati minumannya. Ia mengaduk cairan merah dalam cangkir dengan jari telunjuk. Kemudian, ia membersihkan darah dari jari telunjuk itu dengan lidahnya sendiri.

“Akan lebih enak jika diminum langsung jari pemiliknya,” keluh Evan.

Louis berjalan ke arah danau yang letaknya berada di belakang kastil. Danau ini merupakan tempat favoritnya sejak kecil. Ajaibnya, air di danau itu tidak membeku padahal saat ini musim dingin dan salju turun terus menerus. Di tempat ini Louis bisa melepaskan semua beban pikiran dan masalahnya. Tempat ini juga menyimpan kenangan terpendamnya bersama seseorang.

Mata onyx hitam itu kini terpejam. Seulas senyuman tipis muncul di bibirnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan terpaan angin dingin dan salju yang mulai menutupi sepatunya. Tubuhnya yang sedingin es itu mematung di pinggir danau. Iris kelam itu kembali terbuka saat mengingat sebuah kenangan. Ingatan bersama gadis yang membuatnya menjadi seperti ini. Cinta pertamanya.

“Aku merindukanmu.”

...🌷🌷🌷...

Note :

*Yeobseyo artinya Halo (biasa dipakai pada percakapan di telepon.)

Terpopuler

Comments

😐울란😐

😐울란😐

hayoooo siapa itu🙃🤭🤭

2021-03-12

1

Bella Nadia

Bella Nadia

Lanjut kak! Udah penasaran

2020-12-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!