XVIII. MONOCHROME

..."Some stories aren't black and white." ~ CJ Roberts...

.......

.......

...☘☘☘...

PRIA dengan surai hijau gelap itu menggandeng tangan mungil bocah berusia delapan tahun disampingnya. Mereka berdua berjalan menuju sebuah rumah dengan papan kayu bertuliskan 'Panti Asuhan' yang terpampang jelas di depan pagar.

Tiara kecil mengeratkan genggaman tangan pada pamannya. Jujur, dia merasa takut. Pamannya tersenyum sambil mengelus kepalanya pelan, coba menenangkan keponakannya itu. Kemudian, Daniel mengetuk pintu kayu di depannya cukup keras.

Tak lama seorang gadis cantik dengan surai violet gelap membukakan pintu. Senyum ramah langsung menyambut mereka berdua.

"Ada perlu apa, Tuan?"

"Saya yang menghubungi anda tempo hari."

"Hmm ... Tuan Daniel Choi?" tebak gadis itu.

"Iya, benar."

"Oh, kalau begitu silakan masuk. Maaf, saya tidak mengenali anda tadi."

"Tidak apa-apa."

"Mari, silakan duduk. Saya buatkan minuman dulu."

"Terima kasih."

Tiara mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruang tamu bernuansa biru pastel dengan sofa panjang warna putih begitu meneduhkan pandangannya. Banyak foto-foto yang dihiasi bingkai minimalis tersusun rapi di atas bufet membawa kesan hangat dan penuh kekeluargaan di dalam ruangan.

Beberapa menit kemudian, Yura kembali sambil membawa nampan berisi secangkir kopi, jus jeruk, dan stoples kue kering. Kedua orang itu mulai mengobrol, sedangkan Tiara hanya diam sambil menatap asap yang mengepul dari cangkir. Setelah selesai mengurus semua berkas dan keperluan, pria itu pamit undur diri.

Daniel memegangi bahu anak kecil di depannya itu. "Maaf, Ara. Paman tidak bisa mengurusmu. Jadilah anak baik."

Ia kemudian mengacak pelan rambut gadis itu untuk terakhir kalinya. Lalu, Daniel berjalan keluar meninggalkan sang keponakan. Tiara hanya terdiam menatap kepergian pamannya. Semakin lama sosok pria itu semakin menghilang dari pandangannya. Tangan milik Yura membelai wajahnya lembut.

"Jangan sedih, Ara. Ayo kita ke ruang tengah, yang lain sudah menunggumu."

'Yang lain? Siapa?' batinnya.

Tangan Yura beralih menggandeng tangan mungil milik Tiara. Mereka berjalan menuju ruang tengah. Suara keributan dan canda tawa memasuki indera pendengaran bocah itu. Keributan tadi mulai mereda ketika anak-anak kecil di dalam ruangan tersebut melihat Yura masuk bersama gadis cilik di belakangnya.

"Anak-anak, kakak ingin memperkenalkan seseorang kepada kalian. Mulai sekarang, Ara adalah anggota keluarga kita juga."

Tiara menundukkan pandangannya sejak tadi. Ia tidak berani menatap ke arah anak-anak yang berada di depannya. Kedua matanya fokus memperhatikan sepasang kaos kaki merah muda bergambar tokoh kartun Piglet yang melekat pas di kaki mungilnya.

"Jangan takut. Kami tidak akan melukaimu," ucap seorang gadis cilik dengan netra coklat gelap itu sambil memegang salah satu tangan Tiara.

Perlahan Tiara mengangkat wajahnya. Netra coklat itu tampak terpana. Ia pun memeluk erat tubuh kecil bocah di depannya.

"Aaa~ Manis ... Kau manis sekali. Aku jadi ingin memakan mu. Imutnya~~ "

"Dia imut!"

"Aku juga ingin memeluknya!"

"Aku juga!"

"Aku juga mau peluk!"

Mereka semua pun berlarian ke arah Tiara dan berebut untuk memeluk adik baru mereka itu. Bahkan diantara mereka ada yang mencubit pipi mulus Tiara saking gemasnya.

"Yak! Gantian dong!"

"Imutnya~"

"Aku belum puas peluknya!"

"Kak! Gantian! Aku juga mau peluk Ara!"

"Hei! Kenapa kau mendorongku?!"

"Jangan geser-geser, dong!"

"Aku duluan yang peluk! Kamu, kan, sudah dapat giliran tadi!"

"Aku duluan!"

"Aku!"

"Aku?!"

"STOP!" teriak Yura.

Ia menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan perkataannya, "kalian ini apa-apaan? Kembali ke tempat duduk masing-masing!"

"Tapi kak, aku belum memeluk Tiara."

"Aku juga."

"Aku juga! Aku juga!"

"Anak-anak diam dulu. Kalian harus tau, Tiara bukan boneka yang bisa kalian mainkan. Jadi, perlakukan adik kalian dengan baik. Apa kalian sudah paham?"

"Iya, Kak Yura. Maafkan kami," jawab mereka semua kompak.

"Kamu tidak apa-apa, Tiara?"

Bocah itu mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Yura. Terdengar suara langkah kaki seseorang yang baru masuk ke dalam rumah. Tangan kanannya memegang kantong plastik berukuran cukup besar berisi daging ayam mentah.

"Kak, daging ayam di toko depan sudah habis jadi aku--”

Iris amber milik bocah itu tampak melebar melihat sosok bocah dengan mata biru sapphire itu tengah berdiri di depannya. Surai violet gelap miliknya tampak berantakan. Kaos putih polos yang dia kenakan terlihat sedikit basah oleh keringatnya sendiri. Yura tersenyum lembut ke arah bocah laki-laki yang merupakan adik kandungnya itu.

"Akhirnya kau pulang juga, Al."

"K-kenapa dia ada disini?"

"Hm? Siapa? Maksudmu Tiara? Oh, dia adik barumu."

"Apa? A-ADIK?!"

...***...

Gadis itu membuka matanya perlahan. Ia segera bangkit dan keluar dari bath up. Tiara melangkahkan kakinya ke tempat shower. Bunyi gemericik air terdengar ketika tangannya memutar kran. Selesai. Kemudian, ia memakai salah satu piyama mandi yang menggantung di sana.

Netra biru sapphire itu menatap bayangan dirinya di cermin. Tanpa sadar Tiara menyentuh bibirnya sendiri. Kejadian beberapa menit lalu melintas di benaknya. Sensasi ketika pria itu menyentuh bibirnya kembali terasa.

'Arrghh-- Bodoh. Bodoh. Sebenarnya apa yang kupikirkan?!' batin gadis itu sambil memukul kepalanya sendiri cukup keras.

...***...

Louis tengah duduk bersandar di sofa warna merah marun di ruang tengah. Rahang bawah yang kokoh dengan garis wajah yang tegas membuat pria itu tampak menawan. Tak ada yang bisa menolak pesona sang pangeran. Mata onyx hitam miliknya fokus membaca deretan kata di buku tebal yang berada di tangannya.

Lee berjalan mendekat. Pria dengan surai abu-abu gelap itu berhenti. Kemudian pelayan pribadinya itu berlutut sambil menundukkan kepalanya, memberi hormat.

"Ada apa?" tanya Louis tanpa mengubah arah pandangannya.

"Gadis itu melarikan diri, Pangeran. Apa anda ingin hamba melakukan sesuatu?"

"Biarkan saja."

"Yes, My Lord." jawab Lee sambil kembali memberi hormat.

Mata onxy hitam itu beralih menatap gelas berisi cairan merah pekat di atas meja kaca yang berada di samping tempat duduknya. Sesuatu yang menarik tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia menutup buku tadi. Sudut bibirnya sedikit terangkat membuat sebuah seringai kecil.

"Kau tak perlu khawatir, Lee. Aku sendiri yang akan menghukumnya."

...***...

Gadis dengan rambut hitam itu masih berlari. Nafasnya tak beraturan. Letak mansion mewah milik pangeran vampir itu cukup jauh dari pusat kota bila ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Sialnya, tak ada satupun kendaraan yang melintasi jalanan tersebut.

Tiara berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya. Gadis itu mengambil ponselnya dari saku jaket tebal yang ia kenakan. Ia membuka daftar kontak di ponselnya kemudian menelpon nomor milik 'William'. Lalu, dia mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

Belum sempat panggilan tadi tersambung, layar ponselnya mendadak mati. Tiara hanya bisa menghela nafas pelan. Tak ada harapan. Dia segera memasukkan ponsel miliknya ke dalam sakunya lagi. Ia memutuskan untuk kembali berlari. Akan tetapi, baru melangkah beberapa meter ia menghentikan langkahnya. Tiara merasakan aura gelap yang berasal dari seorang vampir. Anehnya aura tersebut terasa familiar.

Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam hutan. Pepohonan pinus yang tinggi menjulang tertutup salju putih itu menyambutnya. Masuk lebih dalam. Lagi dan lagi. Netra biru sapphirenya melebar ketika menangkap sesosok pria tengah menggigit leher rusa yang tergeletak di atas salju. Pria itu meminum cairan merah pekat yang mengalir keluar dari sana.

Mata merah darah milik pria itu tampak terpejam menikmati setiap aliran darah segar yang membasahi kerongkongannya. Ia segera berbalik ketika menyadari keberadaan seseorang yang tengah berdiri memperhatikannya dari kejauhan. Iris merah darah itu melebar.

"S-senior?"

...***...

Lucas segera menyalakan mesin motor sport putih miliknya. Kemudian, dia membuka kaca penutup helm yang dikenakannya. Netra hijau terang itu menatap malas gadis yang tengah berdiri canggung dihadapannya itu.

"Sedang apa kau? Ayo naik."

"A-apa?"

"Akan kuantar kamu pulang."

'Aku tidak salah dengar, kan?' batin Tiara.

Tiara segera berjalan mendekat. Kemudian, dia naik ke atas motor. Suasana canggung sangat terasa menyelimuti mereka berdua. Selama ini Tiara jarang berbicara dengan pria itu. Bahkan ia sendiri juga sedikit tak menyukai Lucas karena pria itu entah kenapa tak pernah ramah padanya. Lantas kenapa Lucas sekarang mau mengantarnya pulang? Apakah besok akan terjadi badai? Pikir gadis itu.

Pria itu menoleh ke belakang. "Pegangan."

"Eh, begini?" tanya gadis itu sambil memegang ujung jaket tebal yang dipakai pria di depannya.

"Ck. Kau bisa jatuh, bodoh."

"Aku tidak akan jatuh. Tenang saja."

"Terserah."

Sepeda motor yang dikendarai oleh mereka pun melaju kencang di jalanan. Tanpa sadar Tiara memeluk erat pinggang pria dengan netra hijau terang di depannya. Tubuh pria itu sedikit melonjak ketika sepasang tangan mungil milik Tiara melingkar di pinggangnya.

Aroma manis yang menguar dari tubuh gadis itu membuat seluruh darahnya mendidih. Padahal dia baru saja minum, tapi kerongkongannya serasa terbakar. Aroma darah gadis itu membuatnya kembali haus. Ia segera menambah laju kecepatan motornya. Berlama-lama dengan gadis ini hanya akan membuat akal sehatnya menghilang.

'Sialan,' umpatnya dalam hati.

Ketika motor sport putih milik fighter tim alpha itu mulai memasuki pusat kota, Lucas mulai memelankan laju motornya. Tiara yang baru sadar tengah memeluk seniornya langsung melepaskan tangannya dari pinggang pria itu. Pipinya sedikit memerah karena malu.

Ia berdeham pelan. "Maaf, aku tidak sengaja."

"Tak usah dipikirkan," potong pria itu

"Baiklah. Ehmm, Senior ...."

"Hm?"

"Maaf juga karena aku sudah mengganggumu tadi."

Pria dengan topi hitam itu tiba-tiba terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab permintaan maaf Tiara atau tidak. Satu sisi dia merasa terganggu karena kehadirannya tadi, tetapi di sisi lain dia merasa malu karena Tiara yang notabene salah seorang anggota hunter melihatnya minum darah secara langsung.

Dalam peraturan organisasi, dia dan anggota tim alpha tidak boleh meminum darah dari manusia atau hewan secara langsung. Ia hanya diperbolehkan minum pil darah yang telah disediakan oleh master. Dengan kata lain, Lucas juga telah melanggar peraturan tersebut.

"Senior?"

"Hn."

"Jadi bagaimana?"

"Apanya?"

"Apa kau mau memaafkanku?"

"Entahlah."

"Huh? Maksudnya?"

"Kalau kau berjanji tidak akan melaporkan kejadian tadi pada master, mungkin ... aku akan memaafkanmu."

"Aku janji."

"Bagus kalau begitu."

Tiba-tiba gadis itu menepuk bahu Lucas cukup keras sambil menyuruh seniornya itu untuk menghentikan laju motornya. Pria itu segera menepi ke pinggir jalan.

Ia berdecak kesal. "Apalagi?"

"Kita harus putar balik."

"Apa?"

"Aku melupakan sesuatu."

"Sesuatu?"

"Aku meninggalkan pedangku di gang yang tadi kita lewati."

"Kenapa kau tak bilang dari tadi?!"

"Aku saja baru mengingatnya, bagaimana aku bisa memberitahumu?!"

"Ck, dasar merepotkan."

Walaupun begitu, dia tetap menuruti permintaan juniornya itu. Dia merasa sedikit cemas mendengar pedang milik Tiara tertinggal di sana.

"Bagaimana kalau ada orang lain yang menemukannya?"

"Senior, tolong jangan menakutiku!"

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!