HUJAN deras mengguyur kota Seoul. Langit malam itu dihiasi amukan petir yang menjilat ngeri dibalik awan. Suara gemuruh guntur yang menggelegar membuat anak kecil itu terjaga.
Tiara meringkuk di bawah selimutnya. Takut. Ia menutup telinganya erat-erat dengan kedua tangan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Jantungnya berdegup kencang. Bibir mungilnya bergerak pelan, memanggil seseorang.
“M-mom . . . Mommy.”
Anak berusia lima tahun itu menangkap suara langkah kaki seseorang yang menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Ia tak bergerak sejengkal pun dari atas ranjang. Bahkan dirinya terlalu takut sekedar untuk membuka matanya yang tengah tertutup rapat.
Tiba-tiba seseorang menarik selimut tebal di atasnya, ia membatu.
“Sayang, kau tak apa—“
“Mom!” pekik Tiara.
Sedetik kemudian, Hana langsung memeluk erat tubuh mungil putri tunggalnya. Sang ibu tersenyum menenangkan sambil mengusap kepala anak perempuannya itu pelan.
“Ara takut.”
“Tenang . . . Ibu disini. Kamu tidak perlu takut, Sayang.”
“Jangan pergi.”
“Tentu saja tidak. Mommy akan menemanimu di sini. Tak apa. Hujannya sebentar lagi reda. Ibu akan menjagamu.”
Anak perempuan itu mendongak. Netra biru shappire-nya mengamati raut wajah cantik sang ibu. Aneh. Ada perasaan yang mengganjal. Sebuah firasat buruk tiba-tiba saja muncul. Dadanya sesak. Ia menggeleng pelan. Ia kembali memeluk ibunya, lebih erat.
“Ara sayang Mommy.”
“Mom juga menyayangimu. Sangat.”
Tiga puluh menit berlalu, hujan di luar masih turun dengan derasnya. Seolah awan hitam belum puas memuntahkan seluruh isi perutnya ke bumi. Hana mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia menggigit bibirnya sendiri. Wanita dengan surai hitam itu tak bisa tenang. Perasaan tak enak terus mengganggunya.
‘Semoga tak ada hal buruk yang terjadi . . . .’
“Mom?”
Hangat. Ia menunduk ke bawah. Tangan kecil Tiara mengusap pipinya lembut. Hana tersenyum melihat netra biru berkilauan bak lautan di depannya. Malaikat kecilnya begitu menggemaskan.
“Iya, Sayang?”
“Mommy belum tidur?”
“Mom, kan sedang menjagamu. Lanjutkan tidurmu lagi, ya.”
“Engghhh— baiklah.“
'BRAKK!'
Iris hijau emerald milik Hana membelalak ketika jendela kamar di samping mereka tiba-tiba terbuka lebar. Hembusan angin dingin menerobos masuk, bercampur rintik-rintik air hujan yang berakhir membasahi karpet. Suara nyaring jendela yang beradu dengan dinding disertai kilatan petir membuat Tiara kembali terjaga.
“Ara?” panggil sang ibu.
“Iya, Mom.”
“Kita pergi ke tempat bibi sekarang.”
“Eunghh— sekarang? Tapi kan di luar masih hujan.”
“Ibu ada perlu dengan bibi. Lekas pakai jaketmu, ya. Mommy, siapkan mobil dulu."
“Iya.”
Ibunya itu mengusap kepalanya pelan, “anak pintar."
Kemudian, Hana berjalan keluar dari kamar putrinya. Tiara setengah sadar menyibakkan selimut hangat yang enggan ia tinggalkan. Gadis kecil itu sedikit berjingkat. Lantai keramik di bawahnya terasa beku seperti es.
Tangan mungilnya meraih jaket merah muda dengan gambar ‘Minnie Mouse’ yang menggantung di dekat lemari. Jaket favoritnya. Lalu, ia memakai jaket tadi. Selesai. Dia berjalan keluar kamar.
“Mom, Ayo kita berangkat!”
Hening. Tak ada jawaban. Suara guntur yang nyaring diiringi suara derau hujan di luar sana memenuhi indera pendengarannya. Ia sama sekali tak mendengar suara balasan ibunya. Tiara berjalan menuju kamar sang ibu. Lalu, dia membuka pintu kayu di depannya dan masuk ke dalam. Tiara memanggil nama ibunya lagi. Kosong. Ia tak menemukan sosok ibunya.
“Mom?”
“Mommy?!” panggil gadis kecil itu lebih keras.
Telinganya menangkap suara seseorang dari arah dapur. Ia tersenyum senang. Ibunya pasti tengah menyiapkan bekal untuknya. Tiara sedikit berlari ke arah dapur sambil bersenandung kecil.
“Ara sudah siap, Mom. Ayo kita—“
Lututnya tiba-tiba lemas. Ia jatuh terduduk sambil menatap nanar pemandangan mengerikan di hadapannya. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Anak itu mendapati pria berbaju serba hitam itu tengah menggigit leher ibunya. Tubuh mungilnya tiba-tiba menegang. Pria itu meneguk cairan merah pekat yang mengalir keluar dari luka di leher ibunya.
Wanita itu berusaha mendorong pria misterius tadi agar menjauh darinya. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Tenaganya tak cukup kuat untuk menahan pria itu. Kesadaran Hana perlahan mulai memudar.
“M-mom?”
Ibunya menoleh lemah. Samar-samar ia bisa melihat putri kecilnya itu terduduk di lantai dengan raut wajah ketakutan.
“A-ara?! Pergi dari sini!”
Tiba-tiba pria bertubuh tinggi itu berhenti. Mata merahnya beralih menatap bocah polos di belakangnya. Ia tersenyum kecil menunjukkan taring di sudut bibirnya. Tiara menggigil hebat. Ketakutan yang luar biasa tiba-tiba menghantui benaknya.
Tubuhnya mendadak kaku ketika pria tadi berjalan mendekat. Kedua manik merah itu menatapnya lapar. Darah di mulut pria tadi beberapa kali menetes ke bawah meninggalkan bercak noda merah di lantai. Jantungnya berdegup kencang. Apa dia akan mati?
"LARI SAYANG! CEPAT PERGI!"
Teriakan ibunya itu membuat sel-sel syarafnya kembali bekerja normal. Tiara seolah ditampar kembali ke dunia nyata. Matanya memanas melihat ibunya yang terluka parah itu berusaha berdiri menghalangi langkah pria tadi. Wanita itu tersenyum hangat kearah putri kecilnya.
“Kau harus selamat, Ara. Aku menyayangimu.”
Sedetik kemudian, vampir tadi merobek perut ibunya dari belakang. Tubuh tak bernyawa itu limbung ke bawah.
“MOM!”
Iris biru sapphire itu terbuka lebar sekarang. Nafas gadis yang tengah duduk di atas ranjang itu tak beraturan. Keringat dingin membasahi keningnya. Lagi. Sudah tiga hari berturut-turut, Tiara kembali memimpikan kejadian itu. Kejadian yang takkan pernah bisa dia lupakan seumur hidup.
Tangannya mengacak kasar rambutnya yang terurai berantakan. Rahang bawah gadis itu mengeras, menahan gejolak emosi yang sudah memuncak. Rasanya sakit. Dadanya terasa sesak. Air matanya beberapa kali menetes ketika teringat senyuman hangat ibunya itu untuk terakhir kali. Ia menangis terisak.
Makhluk itu telah merenggut nyawa ibunya. Sosok yang sangat berharga baginya lebih dari apapun. Perlahan tangis tadi berubah menjadi seringai kecil ketika matanya menangkap sepasang bilah pedang yang menggantung di dinding kamar.
“Eyes for eyes. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa juga. Kalian harus mati.”
***
..."Sesuatu yang kau anggap sepele...
...bukan berarti tak berharga,...
...Dia hanya menyembunyikan kilauan nya dari yang lain."...
.......
.......
...☘ ☘ ☘...
❝SELAMAT datang, Tuan." ucapku pada pria yang baru masuk ke dalam cafè sambil tersenyum simpul.
Ada yang membalasku. Ada juga yang hanya diam. Akan tetapi, begitulah manusia. Setiap individu memiliki keunikan tersendiri dalam berekspresi. Don't judge a book, by its cover. Tidak ada yang tahu.
Aku bekerja sebagai pelayan di cafè ini. Tugasku menjaga kasir, mengantar makanan ke meja pelanggan, juga tukang bersih-bersih. Sangat fleksibel. Aku menyukai pekerjaan ini.
Ekor mataku menangkap sosok pria dengan surai keemasan yang duduk tak jauh dari tempatku. Aku menghela nafas. Dia datang lagi dan lagi. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan.
Dia akan duduk di kursi yang sama. Memesan kopi. Tidak ada pembicaraan. Pria itu hanya diam menikmati kopinya sambil sesekali memperhatikan salah seorang pelayan. Orang aneh. Apa dia-- seorang stalker?
"Permisi, kak."
Aku menoleh. "Eh, I-iya? Ada yang bisa saya bantu?"
'Peraturan pertama, jangan melamun di tempat kerja, Tiara! Dasar bodoh!'
"Saya ingin membayar makanan kami," jawab gadis dengan seragam SMA itu memberikan bon makanan dan beberapa lembar uang kepadaku.
"Ahh-- iya. Terimakasih. Ini uang kembaliannya. Semoga hari anda menyenangkan."
Mataku turun melihat ponsel milikku yang bergetar di bawah LCD komputer. Ada sebuah panggilan masuk. Segera kugeser tombol ke area hijau untuk menerima panggilan tadi.
"Iya, Master."
"Ada tugas untuk team ß malam ini. Alamatnya akan kukirim lewat pesan."
"Baik."
Lalu, panggilan itu terputus diiringi masuknya sebuah pesan dari penelpon tadi. Jariku otomatis menekan pesan yang muncul di layar notifikasi. Pesan itu berisi alamat sebuah club malam yang cukup terkenal di distrik ini dan informasi tambahan tentunya.
Aku langsung mengirim ulang pesan tadi ke anggota tim yang lain. William dan Claire. Lima detik kemudian, mereka membalasnya. Aku tersenyum melihat Claire memberikan jempolnya padaku dari kejauhan.
'Malam ini mereka tidak akan bisa lolos.'
...***...
Kugosokkan tanganku sambil meniupnya pelan. Kuakui aku menyukai salju. Akan tetapi, jujur aku kurang menyukai suasana dingin yang menusuk tulang seperti sekarang. Dari dulu aku memang tak tahan dengan dingin.
Basecamp kami letaknya tersembunyi di pinggiran kota. Hampir memasuki hutan. Basecamp kami lebih terlihat seperti rumah tua reyot dari luar. Dihiasi semak belukar dan tanaman merambat menimbulkan kesan angker bagi sebagian orang. Apalagi letaknya yang jauh dari jangkauan orang. Tentunya orang akan berpikir dua kali untuk masuk ke sana.
Claire menekan tombol kecil rahasia di samping pintu masuk. Terdengar suara sistem yang otomatis keluar dari sana.
"Enter your password ...."
Claire memasukkan sandi dengan menekan beberapa tombol di bagian samping pintu. Tangannya bergerak dengan cepat saat menekan tombol.
"Password corrected. Scanning your body, Ma'am."
Sebuah sinar laser merah meng-scan tubuh kami berdua dari bawah ke atas. Jika kami tidak terdaftar sebagai anggota tim, sinar laser akan menghancurkan kami menjadi potongan kecil-kecil. Sistem keamanan yang cukup mengerikan.
"Welcome to Base camp, Ma'am. Have a nice day!"
Pintu baja berlapis-lapis di depan kami pun terbuka satu demi satu. Kemudian, kami masuk ke dalam. Keadaan base camp tampak berbeda jika dibandingkan dilihat dari sisi luar. Dari dalam, basecamp tampak seperti apartment mewah bernuansa sedikit klasik dengan warna dominan black and white. Kamuflase ini merupakan ide dari William, sang leader.
Kurebahkan tubuhku ke atas sofa empuk warna merah marun di sana. Claire duduk di sampingku sambil mengambil majalah di atas meja. Aku segera berganti posisi, duduk di sampingnya.
"Apa kakak tidak merasa sedang diawasi baru-baru ini?" tanyaku penasaran.
"Hm? Diawasi siapa?"
"Salah satu pelanggan di cafè kita."
"Seorang pria?"
"Iya."
"Oh itu ... Aku tahu."
"Lalu, kenapa kau membiarkannya?"
Pipinya sedikit memerah dan mengalihkan pandangannya dariku, "dia tipeku."
Aku kehilangan kata-kata. Ternyata dia menyukai pria itu. Pantas saja dia hanya diam. Wanita memang rumit.
Aku tersenyum jahil, "Jadi ... Kau tertarik pada pria misterius itu, hmm?"
"Eh? Kalau itu--" Claire menaruh majalahnya, "ayo kita buat makan malam sebelum menjalankan misi. Kau pasti lapar, kan, Ara?"
"Beritahu aku dulu, Kak. Kau menyukainya, kan. Wajahmu memerah."
Claire berdeham pelan. Ia segera berdiri dan berjalan ke dapur dengan langkah tergesa-gesa. Aku tahu dia berniat menghindari pertanyaanku tadi. Aku mengikutinya ke dapur.
"Kita mau masak apa malam ini?"
Claire mengecek isi kulkas. Lalu, dia mengambil beberapa ikan segar dan sayuran.
"Seperti biasanya. Hanya ini yang ada di kulkas. Aku lupa belanja."
...***...
Kami bertiga duduk di ruangan khusus mengitari sebuah meja kayu berbentuk bundar. Hanya ada satu penerangan di ruangan ini. Tepat di atas meja ini. William mengeluarkan sebuah kertas bergambar sebuah denah gedung.
"Tempat ini punya ruangan bawah tanah yang digunakan khusus untuk menyimpan darah manusia bagi para vampir yang berkunjung."
William menggeser jarinya, "tepat di sebelah sini."
Aku mengangguk paham. Sedetik kemudian, dia kembali menjelaskan.
"Kita harus membereskan semua vampir yang ada di sana dan mengambil kotak kayu yang berada di ruangan tadi."
"Apa isi kotaknya, Kapten?" potongku.
"Aku tidak tahu tapi master menyuruh kita mengambilnya," Ia melanjutkan lagi, "untuk misi kali ini, kita akan masuk dan berbaur dengan para pengunjung. Claire, tugasmu masuk ke dalam ruangan pengendali sistem dan meretas semua sandi juga kamera CCTV yang ada di sana."
"Baik."
"Ara, kau yang mengawasi keadaan di club."
"Baik."
"Aku akan menyamar sebagai pekerja di sana dan masuk ke ruang bawah tanah. Baiklah, siapkan senjata kalian. Berkumpul di basemen. Pukul sebelas. Laksanakan!"
"Yes, sir!"
Aku mendapat posisi yang mudah tetapi juga berbahaya. Bayangkan saja hampir seluruh pengunjung di sana adalah vampir. Makhluk penghisap darah berhati dingin yang menganggap manusia sebagai hewan ternak yang bisa mereka perlakukan dengan keji. Mereka adalah makhluk yang terburuk.
Aku mengambil kaos hitam tanpa lengan dari dalam lemari dan memakainya. Seperti biasanya kukepang rambutku ke kanan. Ini akan mempermudah gerak tubuhku nantinya. Selesai.
Tanganku meraih sepasang pedang yang kugantungkan di dinding kamar. Pedang ini adalah senjata kesayanganku. Setiap vampir yang terkena pedang ini walaupun hanya goresan kecil, dia akan langsung berubah menjadi abu. Keistimewanya lagi, pedang ini tidak akan terlihat sebelum digunakan. Hanya pemilik pedang yang bisa melihatnya.
"Kurasa aku butuh pistol juga," gumamku pelan.
Kutarik laci meja riasku. Ada banyak jenis pistol di sana. Aku mengambil dua tipe pistol yang berbeda dan mengisinya dengan beberapa amunisi. Satu pisau lipat berukuran kecil dari laci lainnya.
"Apa kau sudah siap?"
Aku menoleh. Claire sudah berdiri di ambang pintu. Ia terlihat seksi dengan balutan kaos ketat tanpa lengan berwarna merah itu. Bagian dada yang rendah membuat belahan dadanya sedikit terlihat. Rambut panjang terurai bebas menutupi leher jenjang miliknya. Cantik. Kadang aku berpikir, kapan aku bisa punya tubuh seksi sepertinya.
"Tunggu sebentar."
Kusembunyikan sepasang pedang tadi di balik punggungku. Dua pistol di balik saku blazer putih yang kukenakan. Lalu, pisau lipat tadi kuselipkan ke dalam sepatuku. Perfect.
"Apa kau membawa busur panahmu, Kak?"
"Tentu saja."
Claire juga mempunyai senjata khusus yang diberikan oleh Master secara langsung. Ia memiliki busur panah yang berguna dalam serangan jarak jauh. Sedangkan William sendiri memiliki sebuah pistol yang spesial juga tentunya. Peluru di dalamnya tidak akan pernah habis. Begitu pula dengan busur panah milik Claire.
"Kak Willy mana?"
"Senior sudah ada di basemen. Ayo, kita ke sana sekarang."
"Oke."
William sudah menunggu di dalam mobil sport warna silver miliknya. Kami berdua segera masuk ke dalam. Mobil itu melaju pelan merapat ke arah pintu garasi yang masih tertutup.
"I'm a sexy man, " ucap William santai.
"Password accepted. The garage door will be open in two seconds."
"2 ...."
Aku terkekeh geli mendengar sandi itu. Terasa janggal jika kau memuji dirimu sendiri bukan. William mendecih. Mungkin dia tak terima kalau aku menertawakannya. Kata sandi di Basecamp kami terlalu absurd. Bahkan kata sandi aneh itu berbeda untuk kami bertiga. Kocak. Namun, karena hal itu aku bisa mengingat semua sandi. Aneh memang.
"1 ...."
Pintu garasi terbuka, "Good luck, Sir!"
Mobil kami perlahan menanjak ke atas dengan panjang sekitar sepuluh meter. Setelah mobil kami sampai di keluar, jalan miring tadi menutup dengan otomatis.
"Claire, siapkan peralatan retasmu."
"Ya, Kapten. Aku sedang mengerjakannya sekarang," sahut Claire sambil terus sibuk berkutat dengan laptop mininya.
William Blackwood, posisinya sebagai ketua tim ini. Dia yang menyusun strategi dan partnerku dalam bertarung melawan vampir. Otaknya yang cerdas selalu mengalirkan ide yang tak terduga. Ia juga merupakan salah satu penembak jitu di organisasi hunter.
Claire Anderson sebagai hacker dan archer. Ia yang mendukung kami bertarung dari balik layar. Kemampuan bertarungnya mungkin bisa dibilang masih dibawah kami berdua. Akan tetapi, kemampuan memanahnya dan kecepatan gadis itu meretas sebuah sistem tidak bisa diremehkan.
Posisiku sendiri sebagai Fighter. Tugasku bertarung, melindungi anggota dan menjaga pertahanan tim kami. Kekuatan, kecepatan dan kelincahan wajib dimiliki seorang Fighter. Keahlianku adalah bela diri dan memakai berbagai senjata. Aku juga kebal akan gigitan vampir karena saat pelatihan hanya para Fighter yang disuntik vaksin setiap hari.
"Ara, jangan sampai kau lengah. Mereka bisa menerkammu kapan saja."
"Berhenti menakut-nakutiku, Kak. Kau yang harusnya berhati-hati."
William menggaruk kepalanya sendiri, "benar juga."
"The system was activating."
"Nah, selesai."
"Good Job!" pujiku pada Claire.
"Oke, Kita hampir sampai. Ingat tugas kalian masing-masing dan tetap waspada."
"Yes, sir."
Kami memasang sebuah alat komunikasi jarak jauh berukuran kecil di telinga. Kututupi alat kecil bernama earpiece tadi dengan jepit rambut berbentuk bunga berukuran cukup besar. Mobil kami berhenti di pinggir jalan agak jauh dari area club yang akan kami masuki.
"Cek! H-06, kau bisa mendengarku?" tanya pria dengan manik cokelat itu sambil menekan tombol kecil di alat komunikasi kami.
"Ya, Kapten. H-06, disini. Over."
"H-04, kau bisa mendengar suaraku?"
"Yes, Sir. H-04, disini."
Hunt 04 adalah kode keanggotaan ku.
"Bagus. H-06, jalankan misimu lebih dulu."
"Baik."
Claire keluar dari mobil sambil membawa sebuah flashdisk berukuran mini yang ia sembunyikan di saku belakang celana jeansnya. Ia berjalan menuju bagian parkir yang sepi dan mendekat ke arah samping club.
"Ruang kendali sistem berada di lantai tiga. Kau bisa menjangkaunya?"
"Ya, Kapten."
Claire menembakkan sebuah pistol ke arah lantai tiga. Bukan peluru melainkan sebuah jangkar berukuran kecil dengan tali panjang keluar dari sana.
'TAKK!'
Jangkar tadi mengait kuat pada besi balkon di lantai tiga gedung tersebut. Gadis itu menarik pelatuk lagi dan dia secara otomatis naik ke atas.
"Aku sudah sampai, Kapten."
"Kerjakan tugasmu dan H-04, kau bisa masuk sekarang. Kalian hati-hati."
"Baik."
Bahkan dari jarak sejauh ini aku bisa mencium bau busuk mereka. Aroma yang memuakkan. Kakiku melangkah santai ke arah pintu masuk. Penjaga pintu di hadapanku ternyata juga seorang vampir. Aku hanya tersenyum tipis. Pria bertubuh besar itu mengamati ku sebentar, menanyakan kartu identitas ku. Selesai. Dia membiarkanku masuk. Rintangan pertama, lolos.
Suara dentuman musik yang nyaring langsung menyambutku ketika kakiku melangkah masuk ke dalam club malam itu. Bau alkohol, asap rokok, dan bau para vampir memenuhi ruangan membuatku sedikit mual. Kalau bukan karena misi aku tidak akan mau menginjakkan kaki di tempat busuk seperti ini.
"Perlu bantuan, Nona?" tanya seorang pelayan pria.
"Tidak. Terimakasih."
Aku duduk di salah satu kursi pelanggan. Di meja hanya ada botol-botol berisi alkohol dan wine berkadar tinggi. Mata biru sapphire ku mengamati seluruh ruangan.
Di bagian tengah atau bisa dibilang pusat ruangan, banyak orang sekaligus vampir yang menari di lantai dansa. Gadis-gadis seksi dengan pakaian minim bertebaran di seluruh club. Ada bartender yang sibuk melayani para pelanggan, juga banyak orang bercumbu mesra di pojok ruangan. Walaupun umurku sudah delapan belas tahun, tetapi ketika dihadapkan dengan adegan tak senonoh seperti ini. Rasanya tetap saja menjengkelkan.
"Apakah anda ingin memesan sesuatu?" tanya seorang pelayan pria.
"Tidak," jawabku tanpa menoleh.
"Benar kau tak ingin memesan, Adik kecil?"
Aku yang mendengar kata 'adik kecil' menengok ke arah pelayan tadi. William terlihat tampan dengan setelan waiters dengan nampan di tangan kanannya. Senyuman manis menghiasi bibir pria itu. Ia cukup menarik perhatian beberapa wanita di club ini.
William mendekatkan wajahnya. Lalu, berbisik pelan.
"Santai sedikit, Ara. Mereka bisa curiga jika kau tak bisa berbaur dengan wajah kaku seperti itu."
"What? Apa aku harus menari seperti orang-orang gila di sana dan menggoda pria untuk jadi one-night stand? Begitu?"
"Dasar. Kau berpikir terlalu jauh. Aku akan menghukummu jika kau berani melakukannya."
William menjauhkan tubuhnya. Ia kembali tersenyum. Aku bisa melihat beberapa wanita itu curi-curi pandang dengannya. Sialnya, pria itu sengaja mengedipkan matanya ke arah mereka. Para wanita tadi langsung nosebleed melihat ketampanan leader kami.
"Damn! He's hot!"
"Can I get your number, Babe?!"
'Bolehkah aku menendang wajah pria ini?'
"Jadi, Nona ... Anda ingin pesan apa?"
"Orange Juice."
"Baik. Saya sudah mencatat pesanan anda. Tunggu sebentar."
Tak sampai lima menit, William kembali berjalan ke arahku dengan nampan berisi segelas jus jeruk di tangannya. Ia kemudian pergi lagi. Kami masih menunggu hasil kerja Claire.
"Ok, Guys. Aku sudah selesai," ucap Claire dari alat tadi.
Aku yang mendengar suaranya menghembuskan nafas lega. Setidaknya penderitaan ku akan segera berakhir.
"Bagus. Aku masuk sekarang," ucap William.
...***...
Sesekali aku menyedot jusku yang tinggal setengah gelas. Aku bisa merasakan adanya dua aura gelap yang tak biasa di dalam tempat ini. Aura gelap yang begitu pekat. Aku bahkan tak bisa memperkirakan berapa banyak nyawa yang sudah mereka ambil agar bisa menghasilkan aura membunuh yang kuat semacam ini.
"H-04, ke ruang bawah tanah sekarang. Kapten sepertinya butuh bantuan."
"Baik. Aku segera ke sana."
Aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju gudang bawah tanah. Beberapa pasang mata menatapku lapar. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara pria hidung belang dengan vampir di sini. Mereka terlihat sama.
Langkahku terhenti ketika melihat dua penjaga pintu masuk gudang. Mereka berdiri di depan pintu kayu itu sambil menatapku tajam.
'Sudah ketahuan ternyata.'
Aku terus melangkah santai mendekati mereka berdua. Gigi taring muncul di sudut bibir mereka. Desisan keluar dari mulut pria bertubuh tinggi besar itu.
"Tidak sabar untuk mati, hm?"
Kulepas blazer putih yang aku kenakan tadi lalu membuangnya sembarangan. Kemudian, tanganku meraih sepasang pedang milikku dari balik punggung.
"Ayo kita mulai."
...🌷🌷🌷...
...'Pertemuan mereka berdua sudah digariskan oleh benang takdir. Seorang malaikat maut dan pangeran iblis.'...
.......
.......
...❇️❇️❇️...
PRIA bersurai hitam itu menghela nafas pelan melihat kelakuan adiknya. Evan sedari tadi sibuk memandangi pantulan dirinya di depan cermin. Adik laki-lakinya itu tersenyum seduktif sambil mengedipkan mata, memuji dirinya sendiri. Hal yang bodoh, menurut Louis.
“Sial. Evan Kingsley. Kau memang tampan. Pantas saja banyak gadis yang menyukaimu,” ujar pria itu sambil menyugar surai pirangnya ke belakang.
Sebuah pukulan cukup keras tiba-tiba mengenai kepalanya. Evan meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya pelan. Ia langsung menatap tajam pria yang tengah berdiri disebelahnya itu.
“Kenapa kau memukulku, Louis?!” protesnya.
“Dasar narsis,” sahut kakaknya itu sambil mengacak pelan surai pirang milik Evan.
“Hentikan. Hei— Kau merusak rambutku!”
“Ck. Ayo berangkat.”
“Eh— Tunggu!“
Mereka berdua masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir di depan kastil. Mobil berwarna hitam metalik itu melaju kencang meninggalkan kastil megah yang berada di tengah hutan. Louis masih fokus mengemudi ketika pria yang berusia lebih muda darinya itu membuka pembicaraan.
“Kudengar akhir-akhir ini para hunter semakin sering berkeliaran.”
“Kau takut?”
“Tentu saja tidak. Malah mereka yang membuat perburuan kita semakin menantang.”
“Hati-hati. Mereka manusia yang sudah terlatih.”
“Adikmu ini tak mungkin kalah.”
Tak lama, mereka tiba di salah satu club malam yang cukup terkenal di Seoul. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam dan langsung disambut hangat oleh pria pemilik club tersebut. Mereka yang notabene pelanggan VVIP, tentunya menjadi prioritas utama dalam hal pelayanan. Wanita-wanita club dengan pakaian super minim mulai mengerubungi kedua pria tampan itu.
“Apa anda ingin minum, Tuan~?”
“Tidak,” jawab Louis singkat.
Rayuan dari para wanita itu membuatnya risih. Dia sama sekali tak tertarik pada tubuh mereka. Walaupun para wanita itu menari striptis di depannya sekalipun, wajahnya tetap dingin dan datar layaknya gunung es yang sulit ditaklukkan. Alasannya tidak tertarik, karena mereka menjual kehormatan mereka hanya demi selembar kertas. Manusia memang bodoh, pikirnya.
“Tuan, mau minum?” tanya wanita cantik dengan dress mini warna merah cerah di samping Evan.
“Tuangkan segelas untukku.”
“Baik.”
Lain halnya dengan Evan Kingsley, adiknya itu begitu menyukai wanita berparas cantik dengan tubuh aduhai yang langsung membuat hormonnya naik. Dia beberapa kali memeluk para wanita di sampingnya. Louis hanya diam memperhatikan tingkah adiknya itu.
'Apa dia tidak menyadari mereka semua bekas para pria yang berkunjung di club ini?' batin Louis.
“Mau tambah lagi, Tuan?"
“Boleh. Asal dituangkan wanita cantik sepertimu. Aku pasti meminumnya sampai habis.”
“T-tuan bisa saja.”
"Seriously. I have not meet an angel in person like you."
"A-apa?"
"You're my angel, babe."
Pipi wanita itu langsung memerah.
“Kau ... baru disini?” tanya Evan sambil sedikit menggoyangkan gelas berisi wine di tangannya.
“Iya, Tuan. Saya baru bekerja disini kemarin.”
“Mau menemaniku malam ini?” bisiknya pada wanita tadi yang mulai salah tingkah.
Wanita itu mengangguk pelan. Evan berdiri dan menarik tangan wanita tadi. Kakaknya itu hanya meliriknya sekilas. Tak peduli.
“Louis, aku duluan.”
“Hn.”
Evan dan wanita tadi berjalan menuju ke arah lantai dua. Pria bertubuh tinggi itu menghela nafas pelan. Para wanita itu tidak menyadari bahaya yang mengancam diri mereka sendiri. Sudah pasti, wanita itu akan kehilangan nyawanya malam ini.
“Tuan, apa anda tidak ingin saya temani juga? Saya berani jamin kalau saya bisa memuaskan anda,” ujar salah seorang wanita sambil bergelayut manja di lengan pria itu.
Louis mengangkat sebelah alisnya, 'memuaskan? Apa manusia ini bercanda?'
“Tidak.”
“Aku ingin merasakan sentuhan dari anda.”
Wanita bersurai pirang itu coba merayu Louis dengan sengaja mendekatkan dadanya ke arah lengan pria itu. Louis langsung menepis kasar tangan wanita yang tadi berada di lengannya. Tangan kanannya beralih mencengkeram rahang bawah wanita tadi cukup kuat.
“Sangat mustahil. Bahkan dalam mimpimu,” pria itu tersenyum kecil, “berhenti menggodaku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan tubuh menjijikan mu itu. Paham?”
Wanita tadi diam mematung. Ia tak berani mengeluarkan satu patah kata pun. Lidahnya kelu. Bahunya bergetar hebat. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
“Hei, Annie. Kau tidak apa-apa?” tegur salah seorang temannya.
“A-aku tidak apa-apa.”
“Kau yakin? Wajahmu tiba-tiba pucat. Apa kamu sakit?”
“T-tidak. Aku izin ke belakang sebentar.”
Pria itu menuangkan sedikit anggur merah ke gelas kosongnya. Lalu, meminumnya dalam satu tegukan. Muak. Louis memutuskan untuk beranjak dari sofa, berjalan menjauh dari tempatnya tadi.
Tiba-tiba, ia mencium aroma darah yang berbeda. Manis. Rasa haus langsung menyelimuti kerongkongannya. Aneh. Biasanya dia tahan dengan berbagai aroma darah. Akan tetapi, kali ini dia kalah. Sungguh tak masuk akal.
Netra hitamnya mencari sosok pemilik darah itu. Sedetik kemudian, ia menemukannya. Aroma manis itu berasal dari seorang gadis yang tengah duduk sendirian sambil meminum jus yang dia pesan. Sebuah seringaian kecil muncul di bibir pria itu.
‘Aku harus mendapatkannya. Harus.’
Ia memilih mengamati korbannya lebih dulu. Gadis dengan blazer putih itu tiba-tiba beranjak dari kursinya. Louis menaikan sebelah alisnya, melihat gadis tadi berjalan menuju ke arah gudang penyimpanan. Aneh. Menurutnya, tak banyak manusia yang tahu arah menuju gudang penyimpanan, selain pemilik klub tentunya.
'Apa yang ingin dia lakukan?' batinnya.
Pria itu berjalan mengikuti Tiara. Para vampir yang melihat kehadiran sang pewaris tahta itu langsung menundukkan kepala, memberikan hormat. Pria itu menanggapi mereka dengan senyuman tipis tanda bahwa ia menerima salam mereka.
“Hormat kami, Pangeran. Apa ada sesuatu yang anda inginkan?” tanya seorang pria berwajah pucat di depannya.
“Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu. Aku sedang berburu sekarang.”
“Maafkan hamba sudah mengganggu, Pangeran.”
“Hn.”
Louis kembali mengikuti aroma darah milik gadis tadi. Langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Ia terpana. Gadis itu melawan dua vampir penjaga hanya dengan kedua pedang di tangannya. Sekali tebas, dua vampir berbadan besar itu berubah menjadi abu.
Ketika gadis itu membuka pintu gudang, ada sekitar sepuluh vampir keluar dari sana. Mereka langsung menerjangnya. Dengan gesit, dia melompat ke belakang dan menghabisi para vampir tadi sekaligus dengan kedua pedangnya.
‘Menarik.’
Pria bertubuh tinggi itu mendekat. Tiara yang menyadari keberadaannya dengan sigap memasang kuda-kuda, mengarahkan mata pedang miliknya ke arah leher pria itu. Mata biru sapphire nya menatap Louis tajam. Pria itu sedikit mencondongkan tubuh tingginya ke arah Tiara. Ia tersenyum tipis, meremehkan.
“Kau ... Ingin membunuhku?”
“....”
Mereka beradu pandang. Tiara masih menatap tajam kedua obisidian kelam milik pria di depannya. Tak ada rasa takut. Netra birunya diselimuti rasa dendam dan kebencian yang begitu besar pada makhluk haus darah itu. Mata yang begitu indah namun mengeluarkan aura membunuh disaat yang bersamaan.
Sedetik kemudian, gadis itu menyerang Louis dengan pedangnya. Pria itu menghindari tebasan tadi dengan mudah. Tubuh gadis itu memutar dan memberikan tendangan keras mengenai dada pria di depannya. Ia berdecak kesal. Pria itu samasekali tak bergeser dari tempatnya. Tendangan kerasnya tidak memberikan efek apapun.
“Lumayan,” puji pria itu
Pria itu melepas jas hitam yang ia kenakan. Louis mencoba sedikit serius menghadapi gadis itu. Kedua obsidian gelapnya berubah warna menjadi coklat keemasan. Tiara semakin waspada. Secepat kilat, Louis menarik pergelangan tangan kanan gadis itu dan melakukan kuncian ke belakang. Tiara mengerang kesakitan ketika pria itu tiba-tiba memutar pergelangan tangannya, hingga patah.
“Lepaskan dia!” seru seorang pria bersurai cokelat sambil menodongkan pistolnya ke arah Louis.
William menggenggam erat pistol di tangannya. Dia kesal. Vampir itu tak mengindahkan ancamannya. Louis mengambil alih pedang di tangan gadis itu dan mengarahkan pedang tadi ke leher jenjang milik Tiara. Pria itu menatap William sambil tersenyum tipis.
“Tembak dan kita lihat siapa yang lebih dulu mati.”
“Kau— Kubilang lepaskan dia.”
“Kau pikir aku bercanda?”
Pedang itu sedikit menggores leher Tiara. Cairan merah pekat mengalir keluar dari sana. Iris mata Louis berubah menjadi merah dalam sekejap. Kedua taring keluar dari sudut bibirnya. Dalam jarak sedekat ini aroma darah gadis itu membuatnya hilang kendali.
‘Aroma darahnya. Sial.’
Manik cokelat itu melebar melihat pria di depannya benar-benar melukai rekannya. Pertahanannya mulai goyah. William menatap gadis itu cemas. Ia perlahan menurunkan senjatanya.
Ia kembali menatap tajam sosok vampir di depannya. “Apa yang kau inginkan?”
“Buang senjatamu dan aku akan melepaskannya.”
“Jangan percaya ocehan vampir busuk ini, Kak! Sial. Aku akan membunuhmu, brengsek!”
Louis melirik gadis itu sekilas. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis gila itu. Seseorang yang nyawanya di ujung tanduk masih bisa mengancam akan membunuh dirinya. Ia hampir tertawa. Dia tak tahu gadis di depannya benar-benar naif atau memang bodoh sampai ke tulang.
“Baik. Tepati janjimu,” jawab William sambil melempar pistol miliknya sembarangan.
“Apa yang kau—“
“Keputusan yang tepat.”
Louis segera melepaskan kuncian tangan gadis itu. Kemudian, dia berjalan meninggalkan mereka berdua. Ia tertawa pelan sambil menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. Ternyata mempermainkan manusia seperti mereka cukup berhasil mengusir kebosanannya.
Sudut bibir pria tampan itu terangkat mengingat kejadian beberapa menit lalu. Gadis itu ternyata lebih menarik dari yang dia bayangkan.
‘Kita akan bertemu lagi... Kitten.'
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!