X. ARE U OKAY?

...'Dibalik kata tidak apa-apa. Sebenarnya, aku membutuhkanmu.'...

.......

.......

...☘ ☘ ☘...

BUNYI jam weker digital yang ada di samping tempat tidur mulai mengganggu pendengaran gadis berusia delapan belas tahun itu. Tangan mungilnya perlahan meraih jam tadi dan segera mematikannya. Tiara mengerjapkan mata beberapa kali dan merentangkan tangannya ke atas. Ia menggeleng cepat. Kepalanya agak pusing pagi ini.

Selesai mandi dan berpakaian, dia berjalan menuruni tangga. Tiara melangkahkan kaki ke arah dapur. Netra birunya menangkap sosok William yang sedang sibuk meletakkan beberapa piring berisi makanan ke atas meja.

“Kau sudah bangun, Ara?" tanya pria itu sambil tersenyum.

"Mau kubantu, Kak?"

"Boleh. Bisa tolong bantu pindahkan sup itu ke mangkuk?"

"Iya, siap."

Ia pun mengambil mangkuk berukuran sedang dan mengisinya dengan sup sayur buatan William. Gadis itu merasa bingung, kenapa aroma masakan pria itu selalu enak. Pasti ada rahasia di resepnya.

Setelah meletakkan mangkuk sup tadi ke atas meja, Tiara menarik kursi dan duduk berhadapan dengan William. Dahinya berkerut melihat sang ketua hanya mengenakan kaos polos dengan celana jeans warna hitam. Bukan pakaian kantor yang biasa ia gunakan.

"Kakak hari ini tidak berangkat ke kantor?"

"Tidak. Aku ingin istirahat hari ini."

"Kakak sakit?"

"Bukan. Aku tidak sakit, Ara. Hanya sedikit kelelahan."

"Harusnya kakak tidur dan istirahat. Tidak usah mengantarku, aku bisa berangkat sendiri."

"Aku tetap mengantarmu."

"Kak, aku bukan anak kecil. Umurku sudah delapan belas tahun. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Walaupun begitu, kau tetaplah adik kecilku yang manis. Hari ini aku akan mengantarmu," tegasnya sambil mengacak rambut Tiara pelan.

"Terserah."

"Habiskan sarapanmu. Supnya tidak enak kalau dingin."

"Iya."

Ia terkekeh pelan dan memakan kembali sarapannya. Tiara juga melanjutkan makannya kembali yang sempat tertunda. Tiba-tiba dia teringat mimpinya semalam. Pandangan mereka bertemu sekilas. Gadis itu buru-buru menghindari tatapan dari William. Tiara ragu ingin menceritakan isi mimpinya atau tidak.

"Ada yang ingin kau katakan, hm?"

"Eh? Tidak ada."

"Jangan bohong."

Tiara pasrah. Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari pria dengan netra cokelat itu. Ia pasti bisa mengetahuinya seolah-olah William dapat membaca pikiran orang lain. Apa dia dulu pernah belajar ilmu psikologi?

"Aku hanya bermimpi aneh semalam."

"Mimpi apa?"

"Ehmm, Aku tidak terlalu ingat, tapi rasanya seperti nyata."

"Mimpi hanya bunga tidur kau tau, kan—“

"Masalahnya aku melihatmu berubah menjadi vampir, Kak."

William tiba-tiba terdiam. Mata cokelat miliknya menatap Tiara serius. Sedetik kemudian, tawanya meledak melihat raut wajah bingung di wajah gadis yang lebih muda darinya itu.

“Pfftt— kau bercanda? Apa aku terlihat seperti vampir? Aku bahkan tidak punya taring."

"Ah, ya, kamu benar."

“Sudah kubilang itu hanya mimpi. Berhenti memikirkan sesuatu yang tidak penting.”

Ia tersenyum dan mengacak rambut gadis di depannya lagi. Sikapnya yang hangat membuat Tiara tersenyum.

...* * *...

Telinga gadis itu menangkap suara keributan dari para pelanggan. Tiara yang tengah mencuci piring segera mematikan kran air di wastafel. Setelah mengeringkan tangannya dengan handuk, ia pun berjalan keluar dari dapur.

Mata biru shappire-nya melotot menangkap sosok dua orang pria dengan setelan jas hitam mewah duduk di salah satu meja pelanggan. Para pelanggan wanita berteriak histeris melihat dua makhluk yang bisa dikatakan memiliki ketampanan di luar batas wajar itu duduk tak jauh dari mereka.

“AAHH~ MEREKA TAMPAN SEKALI!”

“Bukankah mereka terlihat seperti aktor!?”

"Kakak tampan, lihat kemari!" teriak salah satu pelanggan.

Evan yang mendengar teriakkan gadis-gadis itu langsung menoleh. Ia mengedipkan mata ke arah mereka. Hal itu sukses membuat beberapa gadis pingsan di tempat. Evan malah tertawa kecil. Louis menghela nafas pelan melihat kelakuan adiknya.

Tiara mematung ketika mata onyx hitam itu tiba-tiba menatapnya. Seringai kecil muncul dibibir pria bertubuh tinggi itu. Target buruannya sudah terlihat. Matanya tetap fokus menatap kelinci kecil yang berada hadapannya.

"Pelayan."

"Iya, Tuan. Anda ingin pesan apa?" tanya salah satu pelayan wanita yang ada di samping Louis.

"Aku ingin Tiara Kim yang melayani kami. Bisa kau panggil dia?"

"Apa bedanya saya dengan Tiara, Tuan? Saya juga pelayan di cafe ini. Lagipula hari ini dia bertugas di bagian dapur, bukan melayani tamu."

"Kau ... membantahku?" tanya Louis dingin.

Tubuh pelayan wanita itu gemetar melihat kilatan cahaya di mata hitam pekat milik Louis. Tatapan tajam pria itu serasa menusuknya. Pria itu benar-benar mengerikan.

"B-baik. Saya akan memanggilnya. M-mohon tunggu sebentar."

Pelayan itu berjalan ke arah Tiara dengan wajah pucat pasi. Bahunya masih gemetar dan raut wajah ketakutan itu membuatnya kesal. Mereka bahkan menakuti orang yang tidak bersalah. Pecundang.

"Rin, kamu tidak apa-apa?"

"M-mereka mencari mu."

"Apa yang mereka berdua katakan?"

"Mereka ingin kau yang melayani mereka."

'Mencariku? Apa rencana mereka sebenarnya?'

"Istirahatlah. Wajahmu sangat pucat."

"I-iya."

Tiara mengepalkan tangannya dan berjalan mendekat ke arah meja mereka. Ia mengamati  para pengunjung cafe sekilas. Para gadis itu menatap mereka berdua dengan tatapan memuja. Sepertinya mereka sudah terjerat pesona kedua vampir ini.

"Maaf, saya membuat anda menunggu. Apa tuan-tuan ingin memesan sesuatu?" tanya Tiara ramah sambil tersenyum.

'Walaupun musuh, mereka tetap pelanggan. Kau harus ramah, Tiara.'

“Apa kau selalu melayani pelanggan dengan senyum mengerikan itu?”

“Sepertinya anda salah paham. Saya selalu tersenyum seperti ini. Jadi... anda berdua ingin pesan apa?”

“Aku pesan bubble tea,” ujar Evan.

“Baik. Satu bubble tea … Lalu bagaimana dengan anda?"

"Aku ingin darahmu."

“M-maaf?”

“Aku tak suka mengulangi perkataan ku. Catat saja yang tadi.”

“Bisa anda ulangi pesanan anda?”

“Darahmu.”

“Huh?”

"Kenapa kau tidak menulisnya?"

"Maaf, Tuan. Itu tidak terdaftar dalam menu. Silakan anda lihat lagi daftar menu kami."

"Apa aku harus memesan mu dulu?"

'Pria ini benar-benar—'

"Jika anda tidak bisa membaca menu dengan benar, saya sarankan anda untuk memesan espresso."

"Sayangnya, aku hanya ingin darahmu—"

"Baiklah. Satu espresso untuk anda. Mohon tunggu sebentar, Tuan." potong Tiara sambil melangkah pergi dari sana.

Beberapa menit kemudian, Tiara kembali dengan nampan berisi segelas bubble tea dan secangkir espresso pesanan mereka.

"Ini pesanan anda, Tuan." ujarnya sambil meletakkan kedua minuman itu ke atas meja hati-hati.

Saat meletakkan secangkir kopi itu, tangan dingin milik Louis menarik tangan gadis itu ke arahnya. Segelas kopi hitam yang Tiara pegang tadi otomatis jatuh mengenai setelan jas mewah yang dia kenakan. Pria bertubuh tinggi itu beranjak dari kursinya. Netra kelam itu berubah tajam.

“Apa kau tidak bisa bekerja dengan benar?”

“Saya tidak sengaja. Tadi tuan menarik tangan saya dan—“

“Kau ingin bilang ini salahku?”

“Akan tetapi, anda memang—“

Belum sempat gadis itu meneruskan perkataannya, Louis langsung mengguyur bubble tea pesanan adiknya ke atas kepala Tiara. Teriakan merendahkan dari para pelanggan terdengar riuh. Iris biru shappire nya melebar melihat seringai kecil dibibir pria itu.

“Kau pantas mendapatkannya.”

Pria dengan surai hitam itu kembali meletakkan gelas tadi ke atas meja. Para pelanggan wanita mulai menghina Tiara dengan berbagai kata-kata kasar. Damn! Rasanya dia ingin sekali merobek mulut wanita-wanita itu sekarang juga. Tangannya mengepal kuat melihat senyum kemenangan yang pria tampan itu tunjukkan.

“Sayang sekali. Padahal aku sedang ingin minum bubble tea,” gerutu Evan.

“Ayo, pergi.” ajak Louis pada adiknya.

“Eh— Kau menumpahkan bubble tea-ku!”

“….”

“Aish— Percuma saja. Bye-bye, Kelinci kecil.”

Mereka berjalan meninggalkan Tiara tanpa rasa bersalah sedikitpun. Makhluk sombong seperti mereka tidak akan pernah mengerti rasanya dipermalukan.

“Kau—" teriak Tiara sambil mengarahkan tinjuan ke arah Louis.

Matanya melebar melihat Louis berhasil menangkap pukulannya itu dengan mudah. Tangan besar pria itu memutar pergelangan tangan Tiara hingga mengeluarkan bunyi retakan. Pria itu mematahkan tangannya. Lagi.

Wajah tampan milik Louis mendekat ke arah Tiara. Iris hitam pekat itu tidak terlihat seperti mata

manusia kebanyakan. Dia lebih terlihat seperti iblis.

“Bukan hanya tanganmu. Aku bisa saja mematahkan bagian tubuhmu yang lain atau mengambil hidupmu sekarang juga jika aku menginginkannya.”

“…”

“Anggap ini sebagai hukumanmu.” bisiknya pelan.

Tubuh gadis itu tiba-tiba membeku setelah mendengar ucapan pria di depannya. Dia tak bisa menggerakkan anggota badannya sendiri. Louis mencium pergelangan tangannya lembut lalu tersenyum menang. Kemudian, mereka berdua berjalan meninggalkannya.

Gadis itu hanya bisa memandangi punggung mereka yang kian menjauh tanpa bergerak sejengkal pun. Beberapa detik kemudian, ia baru bisa menggerakkan tubuhnya. Hyung-seok Yang baru masuk ke café, berlari menghampirinya. Tangannya memegangi kedua bahu milik Tiara. Ia menatapnya khawatir.

“Kau tidak apa-apa?”

"Jangan cemas, Kak. Aku tidak apa-apa."

"Akan kupanggilkan Peter untukmu."

"Tidak usah."

"Tanganmu patah lagi dan kau bilang tidak apa-apa?! Kau waras?!"

"Aku memang baik-baik saja."

"Kita ke rumah sakit. Sekarang."

"A-apa?"

"Ayo!" seru Hyung-seok sambil menarik lengan gadis itu.

"Kak, berhenti! Aku bisa membenarkannya sendiri."

"...."

Hyung-seok diam, tak menjawab. Dia tetap menarik Tiara keluar dari cafè. Lalu, menyuruh gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Tiara memilih pasrah. Tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauan pria ini.

Jika dia membantah, Hyung-seok akan berubah menjadi sosok yang lebih mengerikan dari William. Ocehan yang keluar dari mulutnya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya. Ceramah yang luar biasa panjang dan menusuk.

...***...

"Bagaimana keadaannya, Peter?" tanya Hyung-seok pada seorang dokter pria yang baru saja keluar dari ruangan yang ada di depannya.

"Mungkin butuh waktu beberapa bulan untuk menyembuhkan pergelangan tangannya.”

"Separah itu, kah?"

"Kita hanya bisa menunggu perkembangannya. Kau boleh masuk sekarang."

"Terima kasih, Peter."

"Iya sama-sama. Jangan biarkan adikmu melakukan sesuatu yang ceroboh lagi." ujar dokter muda itu sambil tersenyum.

"Aku mengerti."

Tiara masih duduk di tepi ranjang. Ia beralih menatap pria yang baru masuk ke dalam ruangan. Tangan kanannya dibalut perban dan dikaitkan dengan kain ke bahu kirinya. Gadis itu tersenyum melihat Hyung-seok berjalan mendekat.

Pria itu berdecak kesal. "Kau masih bisa tersenyum disaat seperti ini?"

"Hm? Memangnya salah, ya?"

"Berhenti membuatku khawatir. Kalau rasanya sakit, katakan saja. Jangan malah tersenyum seperti orang bodoh!"

Tiara terkekeh pelan menanggapi perkataan pria di depannya itu. Hyung-seok terlihat semakin kesal. Ia memukul kepala gadis itu cukup keras.

"Apa sebenarnya isi otakmu itu, huh?!"

"Sakit!"

'BRAKK!'

Perhatian mereka berdua beralih ke arah pintu yang dibuka dengan kasar. Pria dengan netra cokelat itu berlari ke arah mereka. Rambutnya tampak berantakan. Kaos putih yang ia kenakan terlihat basah oleh keringatnya sendiri. Nafas pria itu bahkan tak beraturan.

"Apa kau tidak apa-apa? Tanganmu patah lagi?!"

"Tenanglah, Kak. Aku tidak apa-apa."

"Kau tidak tau aku khawatir setengah mati?! Aku langsung berlari kemari saat menerima telepon dari Hyung-seok."

"Aku tidak apa-apa. Dokter Peter sudah mengobatiku."

William beralih menatap Hyungseok,"kau sudah bilang akan menjaganya. Kenapa Ara bisa terluka seperti ini?"

"Kamu menyalahkanku? Dengar, Will. Aku sedang pergi saat kejadian berlangsung."

"Kau, kan, bisa kembali ke cafè. Apa kau tidak bisa lebih perhatian padanya?"

"Aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Jaga bicaramu, William."

"Aku sudah menitipkan Tiara padamu. Harusnya kau bisa lebih bertanggungjawab."

"Aku sudah tanggungjawab dengan langsung membawanya ke rumah sakit dan menelponmu!"

Telinga gadis itu mulai panas mendengar pertengkaran dua orang super protective di depannya. Ia hanya bisa tersenyum kaku. Bisa-bisa gendang telinganya pecah dan masuk ruang UGD karena ocehan mereka berdua.

"Apa kalian berdua akan terus bertengkar? Ini rumah sakit," sela gadis itu berusaha menengahi pertengkaran mereka.

"Karena kelalaian Hyung-seok, tanganmu patah lagi."

"Hei! Kau masih menuduhku?!"

"Ini bukan kesalahan siapapun. Ini semua salahku. Aku tidak ingin melihat kalian bertengkar. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja," ucap Tiara sambil tersenyum ke arah mereka berdua.

“Tiara …”

“Iya? Kenapa?”

“Aku jadi ingin memelukmu,” ujar William sambil mencubit pipi gadis di depannya.

“Kamu—“

Kemudian, mereka berdua tertawa. Hyung-seok mengacak rambut Tiara pelan sambil tersenyum lembut.

"Cepatlah sembuh. Kami berdua khawatir padamu."

"I-iya."

Matanya terasa panas melihat perhatian kedua orang ini pada dirinya. Ia ingin menangis.

"Kenapa kamu menangis?" tanya William bingung.

"Apa tanganmu sakit?" timpal Hyungseok.

Tiara menggeleng pelan. Kedua pria itu tampak bingung dengan perubahan mood gadis di hadapan mereka.

"Kenapa kau menangis? Katakan pada kami."

"Akan ku panggil Peter kemari jika tanganmu sakit."

"Terimakasih sudah mau peduli padaku. Aku menyayangi kalian. Maaf, sudah membuat kalian selalu khawatir."

"Boleh aku memelukmu?"

Hyung-seok langsung memukul kepala William dengan keras. Pria bersurai cokelat itu meringis kesakitan sambil memegang kepalanya.

"Kenapa kau memukulku?"

"Bodoh. Tangan Tiara sedang sakit dan kau ingin memeluknya?"

"Apa masalahnya?"

“Kau ini benar-benar—“

***

Tiara menggerakkan tangannya perlahan. Siang tadi, dokter Peter membuka perbannya dan dia mengatakan bahwa tangannya sudah pulih sekarang.

Sewaktu dirinya sakit, William dan Claire yang setiap hari mengurusnya. Claire juga membantunya berganti pakaian. Tentu dia tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum senang karena akhirnya dia bisa makan sepuasnya dan berlatih pedang lagi.

Ia menoleh ke arah pintu. Seorang mengetuk pintu kamarnya cukup keras. Terdengar suara lembut dari balik pintu kayu itu.

"Makan malam sudah siap, Ara."

"Iya. Aku segera turun."

Kemudian, mereka bertiga makan malam bersama. Sedari tadi manik cokelat milik pria itu mengawasi setiap gerakan tangan Tiara. Sebenarnya gadis itu merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan William.

"Apa yang kau khawatirkan, Kak?"

"Tanganmu benar sudah sembuh?"

"Iya."

"Kau yakin?"

"Tentu."

"Baiklah. Apa kau tidak ingin aku suapi?"

"Kak! Aku sudah sembuh."

"Terserah kamu saja."

Selesai makan malam, Claire dan William sibuk menyiapkan keperluan mereka untuk menonton film. Berbagai snack, minuman soda dan camilan tergeletak di atas meja.

"Kamu tidak ingin menonton?" tanya William.

"Tidak, Kak. Aku ingin istirahat saja,"

"Tiara, kemari. William sengaja membeli banyak makanan untukmu. Kau tahu, kan, aku sedang diet."

"Aku sudah kenyang. Kalian nonton berdua saja. Aku mengantuk."

Tiara berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu kamarnya sebelum berjalan ke arah meja belajar. Tangannya meraih buku tebal kuno dari dalam laci. Kemudian, dia menyalakan lampu belajar di atas meja.

Ia terdiam sejenak memikirkan cara untuk membuka buku itu. Sebuah ide liar muncul di benaknya.

"Apa mungkin—"

Lalu, dia mengambil pisau lipat berukuran kecil dari laci yang lain. Tiara menggoreskan pisau tadi ke jari telunjuknya. Darah segar keluar dari luka yang sengaja dibuatnya. Gadis itu mengarahkan tetesan darah tadi ke atas buku itu. Cairan merah pekat mengalir mengikuti ukiran yang ada di bagian sampul dan berhenti pada simbol yang ada di tengah gambar.

Tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dengan lebar. Tirai-tirai putih itu berterbangan tertiup angin. Tiara terkejut melihat buku berjudul 'The Power of Darkness' itu terbuka cepat dengan sendirinya. Matanya mengamati tulisan dengan tinta merah yang ada di dalam buku itu.

"Ini ... huruf latin kuno?"

Sebuah sinar putih menyilaukan keluar dari buku. Tiara melindungi mata biru sapphire miliknya dengan tangan kanannya sendiri. Tubuh mungilnya seakan tertarik ke dalam buku.

"A-apa ini?!"

Sinar tadi perlahan meredup. Buku tebal itu tertutup kembali. Angin kencang tadi tiba-tiba menghilang. Sunyi. Gadis itu pun tak ada di kursinya. Tubuhnya menghilang bersamaan dengan cahaya yang menyisakan semilir angin malam yang menerbangkan tirai putih itu perlahan.

...🌷🌷🌷...

Terpopuler

Comments

Bella Nadia

Bella Nadia

Makin menarik

2021-01-20

6

Allen

Allen

Next

2021-01-20

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!