XVII. FLASHBACK

MOBIL Mercedes-Benz mewah itu melaju kencang menuju mansion pribadi milik Louis yang letaknya cukup jauh dari sana. Tiara merasa canggung berada di pangkuan Louis. Apalagi ada orang lain selain mereka berdua di dalam mobil. Dia tidak ingin pelayan pribadi Louis salah paham dengan posisi duduk mereka sekarang.

“Aku bisa duduk sendiri.”

"...."

 “Kubilang aku bisa duduk sendiri,” ulang gadis itu.

“Hm.”

Tiara berdecak kesal. Ia berusaha bangkit dari pangkuan pria itu. Sialnya, rasa sakit kembali menjalari tulang belakang gadis dengan surai hitam itu. Louis mendesah pelan. Tangan kanan Tiara tanpa sengaja menyentuh bagian bawahnya. Pipi gadis itu memerah, menahan malu. Ia segera mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.

“M-maaf.”

“Maaf saja tidak cukup. Kau sudah menyentuhnya.”

“A-aku tidak sengaja.”

“Sebagai gantinya ….”

Pria tampan itu mendekatkan wajahnya ke arah Tiara. Gadis itu berusaha menjaga jarak. “Aku juga ingin menyentuh—“

Tiara terjatuh. Ia meringis menahan sakit. Louis hanya bisa menahan tawa melihat gadis itu jatuh dengan posisi tengkurap. Kedua siku dan lututnya tampak sedikit memar karena membentur bagian bawah mobil cukup keras.

‘Sialan.’

“Butuh bantuan?”

“Tidak. Terimakasih.”

‘Punggungku— sakit!’ batin Tiara.

“Dasar.”

“Eh?”

Louis menarik jaket tebal milik Tiara dan mengangkat tubuh mungil gadis itu ke atas dengan satu tangan. Lalu, pria itu meletakan Tiara tepat di sampingnya di sampingnya. Netra biru itu langsung menatapnya tajam kedua obsidian gelap di depannya.

“AKU BUKAN HEWAN PELIHARAANMU, BRENGSEK!”

Kevin Lee, pelayan pribadi sang pangeran hampir saja menginjak pedal rem secara mendadak ketika mendengar teriakan gadis itu. Ia berdeham pelan, sebelum membenarkan posisi duduknya seperti semula.

Ia sendiri tampak terkejut melihat keakraban mereka berdua. Apalagi Tiara secara terang-terangan berani melawan tuannya. Keluarga kerajaan manapun pasti berpikir dua kali untuk menentang Louis. Lain halnya dengan gadis hunter itu. Dia sejak tadi berbicara kasar dengan sang pangeran mahkota. Luar biasa.

Dia sedikit menoleh ke belakang, “Kita sudah hampir sampai, Pangeran.”

...***...

Sebuah gerbang besi setinggi sepuluh meter yang ada di depan mobil mereka terbuka. Mobil mewah itu memasuki area taman yang begitu luas. Sebuah kolam air mancur menjadi jantung dari taman semakin memperindah tempat itu. Mobil mereka berhenti tepat di depan mansion. Lee segera turun dan membukakan pintu belakang mobil hitam

itu. Louis keluar bersama Tiara yang kini berada di gendongannya.

“Psstt—Turunkan aku. Aku bisa jalan.”

Louis melirik gadis itu sekilas. “Hanya orang bodoh yang suka mengatakan suatu hal yang sudah jelas tak bisa mereka lakukan, untuk terlihat kuat di depan orang lain.”

“Kau menyindirku?”

“Menurutmu?”

“Arghhh— terserah. Aku muak. Cepat turunkan aku!”

Pria bertubuh tinggi itu hanya diam. Ia tetap berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Louis membuka pintu kamar dengan satu tangannya. Keringat dingin mulai membasahi pelipis gadis itu. Apa pangeran psikopat itu berniat menyiksanya lagi? Damn it. Ia tak mungkin bisa melawan Louis dalam kondisinya yang sekarang.

“Kenapa kita masuk ke kamar?”

“Apa kau perlu bertanya?”

“I told you to let me go. Are you deaf, Sir?!” (Kubilang untuk melepaskanku. Apa kau tak dengar, Tuan?)

“Akan kuantar kau pulang nanti.”

“Antar aku sekara—“

Jantung Tiara seakan berhenti berdetak ketika pria itu mengecup bibirnya sekilas. Pipinya langsung memerah ketika dirinya beradu pandang dengan Louis.

“Jika kau bicara sekali lagi, aku akan menciummu.”

Kemudian, Louis meletakkan tubuh mungil Tiara ke atas ranjang berukuran king size yang ada di sana. Lalu, dia bejalan masuk ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama, pria bertubuh jangkung itu keluar dari sana. Ia kembali mengangkat tubuh mungil Tiara dengan lengannya.

Louis menaikkan sebelah alisnya, ia heran melihat perubahan sikap Tiara. Berbeda dengan beberapa menit lalu, gadis itu kini hanya diam tanpa melakukan perlawanan. Langkahnya terhenti melihat bath up yang sudah ia siapkan tadi penuh dengan busa beraroma mawar. Pria itu tampak berpikir sejenak. Kemudian, dia mendudukkan Tiara di pinggiran bath up.

Seringai kecil muncul di bibirnya. “Kau bisa melepas pakaianmu sendiri, kan?”

Gadis itu mengangguk cepat. Louis berjalan keluar dan menutup pintu kamar mandi. Setelah melepaskan semua pakaiannya, Tiara merendamkan tubuhnya ke dalam air. Kepalanya mendongak ke atas. Ia memejamkan mata biru sapphire nya sejenak, menikmati waktu berendam seperti ini sangat jarang ia rasakan sekarang.

Kejadian beberapa menit lalu tiba-tiba melintas di benaknya. Semburat merah terlihat di pipi mulusnya

itu. Ia menampar wajahnya sendiri cukup keras.

‘Aku pasti sudah gila. Sial!’

...***...

Sebelas tahun yang lalu.

Gadis kecil dengan mata biru sapphire itu hanya diam menatap jendela besar di samping ranjangnya. Tatapannya kosong. Seorang perawat tengah sibuk mengganti cairan infus miliknya. Selesai. Ia membelai lembut kepala anak kecil itu sebelum beranjak pergi dari sana.

“Bagaimana keadaan keponakan saya, Dok?”

“Keponakan anda mengalami trauma berat. Tiara butuh banyak istirahat dan terapi. Efek dari trauma membuat keponakan anda tidak bisa bicara. Saya belum bisa memastikan efeknya permanen atau tidak.”

Wanita bersurai hitam tadi melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia menarik kursi kayu di dekat ranjang Tiara. Hatinya teriris melihat keadaan keponakan kecilnya yang bisa dibilang begitu memperihatinkan. Ayah Tiara meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Ibunyalah yang selalu berada di sisinya. Akan tetapi, takdir merenggut paksa semua dari dirinya.

So-eun menangis melihat keponakan kecilnya itu harus menanggung beban yang teramat berat. Tubuhnya sendiri bahkan menggigil hebat ketika melihat jasad sang adik yang terbelah menjadi dua bagian. Lalu, bagaimana dengan bocah dihadapannya? Ia tak bisa membayangkan bagaimana kondisi Tiara saat menyaksikan kejadian pembunuhan itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri.

“Ara. Ini bibi.”

Gadis kecil berusia tujuh tahun itu tak menjawab. Ia tetap menatap lurus ke arah jendela. Tatapannya kosong. Tangan wanita yang merupakan kakak kandung ibunya itu menggenggam erat tangan mungil milik Tiara.

“Kamu tidak sendirian. Bibi di sini. Bibi yang akan menemani kamu, Sayang.”

...***...

“Nah, Ara... Ini rumah bibi. Mulai sekarang ini rumah Ara juga,” jelas bibinya sambil menggandeng tangan bocah perempuan itu.

Tiara berjalan mengikuti langkah bibinya masuk ke dalam rumah minimalis dengan gaya modern itu. Seorang gadis kecil dengan surai hijau gelap berlari menghampiri mereka. Ia tampak manis dengan gaun biru laut yang ia kenakan.

“Mama! Eh, mama bareng siapa?”

“Jessica, kamu masih ingat Ara, kan?”

Anak itu berpikir sejenak sebelum mengangguk antusias.

“Dia akan tinggal disini dan jadi adikmu mulai sekarang. Ajak Tiara main, ya. Mama mau siapkan makan malam.”

“Iya, Ma. Ayo, Ara!” ajak gadis cilik itu sambil menarik tangan Tiara.

Mereka berlari menuju kamar gadis cilik itu. Jessica kecil sangat antusias mengajak Tiara bermain. Akan tetapi, gadis dengan netra biru itu hanya diam. Ekspresi wajahnya datar. Layaknya sebuah boneka, jiwanya telah mati.

“Sica! Tiara! Makan malam sudah siap,” teriak So-eun dari arah dapur.

“Iya, Ma.”

Jessica kecil kembali menarik tangan milik gadis bersurai hitam itu. Mereka berdua melangkah menuju ke dapur.

“Ma, hari ini masak apa?”

“Hari ini mama masak makanan kesukaanmu, Sayang.”

“Yeayy!” Jessica kecil berteriak senang.

“Aku pulang.”

“Papa!” pekik Jessica.

Gadis cilik dengan surai hijau gelap itu segera berlari menghampiri sosok pria tampan yang baru memasuki pintu rumah. Seulas senyum muncul di bibir pria itu. Ia pun menggendong anak semata wayangnya.

“Papa. Papa. Jessica kangen!”

“Papa juga. Mamamu mana?”

“Mama ada di dapur. Hari ini Ara tinggal disini, Pa. Sica jadi punya adik perempuan.”

“Sica suka?”

“Iya. Kan ada yang diajak bermain. Sica enggak suka sendirian.”

“Welcome back, Honey.”

Wanita bersurai hitam itu tampak senang. Ia mengambil alih tas kerja milik suaminya. Pria itu tersenyum kemudian mencium kening istrinya.

“Papa~ Sica juga mau dicium,” protes anak mereka membuat keduanya terkekeh geli.

“Sica mau?”

Gadis kecil itu mengangguk cepat. Ayahnya kemudian mencium pipi mulus milik Jessica. Bocah itu tampak senang. Ia balas mencium pipi ayahnya.

“Sica sama mama dulu, ya. Papa mau mandi,” rayu sang ibu.

Bocah itu menggeleng cepat. “Sica masih kangen. Papa, Sica juga ikut mandi.”

“Nanti kamu sakit, Sayang.”

“Enggak mau.”

Netra biru itu menatap momen kebersamaan keluarga kecil itu dari balik pintu dapur. Raut wajah Tiara tetap datar. Akan tetapi, ada sesuatu yang terasa berdenyut nyeri di dalam sana.

'Ayah? Ayah sudah mati, kan? Ibu juga sudah mati. Lalu kenapa aku masih hidup?'

...***...

So-eun memasukkan Tiara ke sekolah yang sama dengan Jessica. Setiap hari ayah Jessica yang bertugas mengantar mereka berdua ke sekolah. Sedangkan, ketika pulang ibunya yang akan menjemput mereka. Gadis dengan mata biru sapphire itu hanya diam ketika beberapa teman sekelasnya bertanya berbagai hal tentang dirinya.

Gurunya yang beralih menjawab pertanyaan dari para murid. Ia tak menjawab bukan karena dirinya sombong. Tiara memang tak bisa bicara lagi sejak hari itu. Hari yang tak bisa dia lupakan seumur hidup. Tanpa ia sadari seorang anak laki-laki dengan surai violet gelap itu mengamati Tiara dari tempat ia duduk.

...***...

Hari ini adalah hari ulang tahun Jessica. Gadis berumur sepuluh tahun itu sangat antusias ketika memikirkan hadiah ulang tahun apa yang akan diberikan oleh kedua orangtuanya nanti. Pukul lima sore. Tiara dan Jessica bersembunyi di balik sofa putih yang ada di ruang tamu. Jessica ingin memberi kejutan sebuah kue tart lengkap dengan lilin untuk orangtuanya. Ia ingin mengucapkan rasa terima kasih pada kedua orang yang paling menyayanginya itu.

Suara pintu rumah yang terbuka membuat jantung Jessica berdebar kencang. Ia tak bisa menutupi kegembiraannya yang luar biasa.

“Apa maksudnya semua ini?” protes So-eun sambil membanting sebuah map kertas ke atas meja kayu.

“Aku sudah bosan denganmu,” jawab pria itu santai.

“APA?!”

“Aku ingin kau menandatangani surat perceraian ini dan kita … selesai.”

“Aku tidak mau. Jessica masih terlalu kecil. Dia masih butuh perhatian dari kita berdua, Daniel.”

“Dia sudah besar. Dia pasti mengerti. Kamu tinggal tanda tangan. Apa susahnya?!"

“Aku tidak—“

Sebuah tamparan keras mengenai pipi wanita itu. So-eun menangis dengan suara yang cukup keras. Ia tampak menahan sakit.

“Berhenti buang-buang waktu. Cepat tandatangani suratnya.”

Suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Ia masih bertahan demi anaknya. Akan tetapi, sekarang pria itu memintanya untuk bercerai. Rumah tangga yang sudah mereka bina selama dua belas tahun itu hancur dalam waktu singkat. Dengan tangan gemetar wanita bersurai hitam itu menandatangani surat persetujuan cerai yang terbungkus rapi di dalam map.

“Bagus. Satu hal lagi. Kau bisa mengambil hak asuh Jessica. Aku tidak ingin mengurusnya. Tapi aku tetap akan memberikan uang—“

“Papa … Papa tadi bilang apa? Apa maksudnya papa tidak mau mengurus Jessica?”

Kedua orang tuanya menoleh terkejut melihat keberadaan dua anak kecil di balik sofa. Mereka tak tahu kedua anak itu menyaksikan pertengkaran mereka berdua sejak awal.

“J-JESSICA?!” pekik ibunya.

“Kenapa mama menangis? Jessica nakal, ya?”

“Tidak, Sayang. Sica anak baik.”

“Lalu kenapa … kenapa kalian membuang Sica? Kalian jahat. AKU BENCI! AKU BENCI KALIAN!”

Gadis kecil itu sekejap berlari keluar rumah. Kedua orang tuanya langsung mengejar Jessica yang sudah menghilang dari pandangan mereka. Gadis bermata biru sapphire itu melangkah pelan tertinggal jauh oleh dua orang dewasa tadi. Ia hanya mengamati keluarga kecil itu dari kejauhan. Suara benturan keras diiringi suara jeritan histeris itu membuat iris matanya melebar.

...***...

Jessica Choi, nama itu terukir di batu nisan yang berada di depan mereka. Rintik-rintik air hujan tiba-tiba jatuh membasahi area pemakaman. Langit seakan ikut berduka melihat kematian gadis manis itu. Tidak ada orang seperti dia yang mau menerima Tiara, walaupun dirinya tak bisa berbicara. Tidak ada orang seperti dia yang mengajaknya bermain, padahal Tiara tidak menanggapi sama sekali. Tak ada lagi orang yang akan menarik tangannya dan mengajak Tiara kemanapun ia pergi. Tidak ada.

Air mata gadis kecil itu jatuh ketika melihat figura foto Jessica yang tengah tersenyum manis terpampang di sana. Ia bahkan belum sempat mengucapkan terimakasih padanya. Namun, Jessica sudah meninggalkan dirinya lebih dulu. Ia merasa kesepian. Ia sendirian. Ia ditinggal sendiri. Lagi.

‘Kenapa … Kenapa bukan aku saja yang mati?’

...***...

Terpopuler

Comments

Lilis Ferdinan

Lilis Ferdinan

karena ceritanya bagus,masih lanjut baca, walau alurnya bikin gagal fokus,, 🤭🤭

2022-10-16

0

Who Dis

Who Dis

Keren banget alurnya, tp msh penasaran papanya tiara siapa

2022-05-28

1

Mahdaleni Leni

Mahdaleni Leni

thor alur lompat2...otak aq bingung🤦‍♂️🤦‍♂️🤦‍♂️

2021-02-14

8

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!