XI. LOST MEMORIES

...'Kepingan demi kepingan itu temukanlah. Kau akan tau rahasia dibaliknya.'...

.......

.......

...☘ ☘ ☘...

PRIA bertubuh tinggi itu tengah duduk di sofa yang dilapisi kain beludru merah dengan ukiran terbuat dari emas di setiap sisinya. Mata onyx hitamnya menatap lurus ke luar jendela. Ia sedikit melonggarkan dasi yang ia kenakan.

Louis tak habis pikir, orangtuanya akan mengadakan pesta dansa minggu depan dengan dalih mencarikan mate untuknya. Padahal dia sudah berkali-kali menegaskan kepada orang tuanya bahwa dia yakin bisa menemukan mate-nya sendiri. Namun, ibunya yang ingin segera memiliki seorang cucu itu membuat sang raja tak mengubah keputusannya.

“Sial.”

Tangan besar miliknya meraih gelas berisi cairan merah pekat di atas meja. Ia mendekatkan gelas itu ke wajahnya. Louis menghirup aroma darah itu dulu sekilas. Lumayan. Baru satu tegukan, pria itu langsung melempar kasar gelas itu ke arah dinding. Gelas berukuran sedang itu hancur dalam sekejap menjadi serpihan-serpihan kecil saat menyentuh permukaan dinding.

Isi gelas tadi membasahi dinding dan mengalir ke bawah membuat genangan merah di lantai kamar milik Louis. Rahang pria itu mulai mengeras. Ia menatap tajam genangan merah pekat di depannya. Sudah sejak puluhan tahun lamanya, setiap kali dia meminum darah rasanya selalu saja sama, hambar. Rasa haus pria itu tak pernah bisa terpuaskan.

“Ck. Menyebalkan.”

Kemudian, Louis beranjak dari sofa dan berjalan menuju balkon. Ia memejamkan matanya sejenak menikmati semilir angin malam yang menyapu wajahnya perlahan. Matanya kembali ia buka ketika menyadari kemunculan seseorang.

“Salam hormat, My Lord.”

“Apa laporanmu, Lee?” tanya Louis tanpa menoleh.

“Kami berhasil menangkap salah satu mata-mata yang menyamar sebagai juru masak istana.”

“Bagus. Kau boleh pergi.”

“Baik, Pangeran.”

Pria dengan surai abu-abu gelap itu memberi hormat pada tuannya. Sedetik kemudian, pria tadi menghilang. Seringai kecil muncul di bibir Louis.

“Jadi, kalian ingin bermain-main denganku?”

Louis melirik arloji berwarna silver di tangan kirinya. Lewat tengah malam. Ia berjalan masuk ke dalam kamarnya lagi.

“Anda memanggil saya, Pangeran?” tanya seorang dengan jas hitam khas pelayan yang tiba-tiba muncul di depan Louis.

Edwin Lou, kepala pelayan di kerajaan ini. Pria itu juga merupakan orang kepercayaan ayahnya. Orang yang sempat menjadi butler-nya juga sebelum Louis memiliki pelayan pribadi.

“Kumpulkan seluruh pelayan sekarang.”

“Yes, My Prince.” jawab pria tadi yang kemudian menghilang.

Louis berjalan keluar kamar. Ia menuruni tangga dan melangkah menuju aula istana. Para pelayan sudah berkumpul dan berbaris rapi. Mereka menundukkan kepala saat langkah kaki sang pangeran mendekat.

Ia menatap tajam ke arah mereka. Netra kelam itu mengamati setiap wajah para pelayan dengan teliti. A piece of cake. Mudah baginya untuk menemukan pengkhianat di tengah-tengah mereka, tapi dia sengaja ingin menghabisi mereka satu persatu.

“Bawa tikus itu kemari,” suruhnya pada pria dengan pakaian serba hitam yang ada di depannya.

“Yes, My Lord.” jawab pria itu yang kemudian menghilang.

Beberapa detik kemudian, Kevin Lee kembali muncul bersama seorang pria dengan rantai besi membelenggu tangannya. Seragam koki yang ia kenakan berlumuran darah dan sobek dibeberapa bagian memperlihatkan tubuhnya dipenuhi luka sabetan. Orang bodoh sekalipun tahu kalau pria itu baru saja disiksa.

Beberapa maid tampak menjerit melihat kehadiran pria dengan keadaan mengenaskan itu. Louis berjalan mendekat. Iris matanya menangkap sorot ketakutan dari tahanan itu.

“A-ampun … Bunuh saja h-hamba, Pangeran.”

“….”

“H-hamba hanya disuruh. Ampuni hamba, Pangeran.”

“Walaupun aku melepaskanmu, tuanmu itu akan melenyapkanmu juga. Kau tidak akan bisa lari.”

Bahu pria itu gemetar. Dia tahu tidak ada cara untuk melarikan diri lagi. Ia hanya pasrah menanti maut yang sudah ada di depan mata. Tangan besar milik Louis mencengkeram kuat leher milik pria tadi. Ia mengangkat tubuh itu ke atas hingga kaki pria itu melayang di udara.

“T-tolong lepaskan a-aku … T-tolong ….” mohon pria tadi sambil berusaha melepaskan tangan Louis di lehernya.

Sang pangeran mahkota menyeringai kecil. Kekuatan si pelayan tadi sangat jauh berbeda jika dibandingkan dirinya. Ia semakin kuat mencengkeram leher pria itu.

“Suruhan mereka memang sampah.”

Jeritan dari para pelayan kembali terdengar nyaring saat kepala pria itu jatuh ke lantai dan menggelinding di dekat kaki kiri sang pangeran.

Tubuh tak bernyawa itu tergeletak dengan darah mengucur deras. Ia berjongkok di sebelah mayat tanpa kepala itu. Kemudian, Louis membersihkan tangannya yang penuh darah dengan baju koki yang dikenakan pria tadi.

“Bahkan darahmu membuatku muak.”

Ia kemudian berdiri dan menatap para pelayan istana. Louis tersenyum menang melihat wajah pucat pasi salah satu pengkhianat yang ada di tengah-tengah mereka. Ia menikmati raut wajah ketakutan itu. Sangat.

“Bereskan semuanya.”

“Yes, My Lord.”  jawab pribadi Louis.

Louis mengalihkan pandangan, “kalian bisa kembali.”

Para pelayan itu menundukkan kepalanya memberi hormat pada sang pangeran sebelum meninggalkan aula. Louis kembali ke kamarnya. Raut wajahnya tetap datar, seolah tak ada yang terjadi.

Kevin Lee, Pelayan pribadinya bersama rekan timnya yang lain dengan cepat membereskan mayat koki tadi. Mereka bertiga merupakan pelindung sekaligus bawahan dari Louis. Tim ini sengaja dibuat oleh raja untuk melindungi dan membantu sang pewaris tahta. Walaupun mereka tahu Louis bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan mereka.

...***...

Gadis dengan surai gelap itu membuka matanya sesaat setelah sinar menyilaukan tadi perlahan mulai meredup. Manik biru sapphirenya disambut pemandangan Taman bunga yang luar biasa indah. Dia terpesona melihat berbagai jenis bunga yang sedang mekar dan air mancur berukuran besar yang menjadi jantung taman itu.

Telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Ia segera bersembunyi di balik batang pohon. Tiara melihat dua anak kecil tengah berlarian mengelilingi taman. Anak bersurai hitam itu tertawa kecil melihat anak yang lebih kecil darinya itu mengejarnya dari belakang.

“Kakak, kembalikan cokelatku!” teriak anak berambut pirang.

“Ambillah, jika kau ingin mendapatkannya kembali.”

“Awath kau!” jawab anak itu dengan aksen cadelnya.

Mereka terus berlarian sambil sesekali sang adik berteriak kesal. Melihat tingkah lucu dua bocah tadi membuat Tiara tanpa sadar tersenyum.

'BRUKK!'

Kaki sang adik tersandung batu, dia jatuh tersungkur. Lututnya terluka akibat membentur tanah cukup keras. Ia mulai menangis. Anak dengan surai kelam tadi berlari menghampiri adiknya.

“Kau tidak apa-apa?”

“Thakit, Kak … Lutut Evan sakit.”

“Tidak apa-apa. Nanti juga sembuh. Berhentilah menangis. Kamu, kan, laki-laki.”

“Tapi… masih sakit, Kak."

Anak itu kemudian berjongkok memunggungi adiknya. Tangannya mengode agar adiknya itu segera naik ke punggungnya. Adiknya masih belum mengerti.

“Naiklah. Aku akan menggendongmu.”

“Apa tidak apa-apa?”

“Iya.”

Anak dengan rambut pirang itu pelan-pelan naik ke punggung kakaknya. Walaupun masih sedikit menangis anak itu tampak senang dan memeluk erat-erat leher kakaknya sambil tersenyum.

“Kau terlalu erat memelukku.”

“Evan sayang kak Louis.”

“Hm? Kenapa?”

“Karena kakak baik, perhatian… Evan suka.”

“Kau suka padaku?”

Adiknya itu mengangguk antusias. “Iya, Evan sangat suka. Bolehkah Evan jadi anak kakak?”

“Kau kan adikku. Lagipula kita sudah punya—“

“Ayah jahat, Kak. Ayah selalu marah kalau Evan ajak bermain.”

“Kau tak perlu mengajak ayah. Kau bisa mengajakku kalau kau ingin bermain.”

“Benarkah?!”

Kakaknya itu terkekeh geli melihat reaksi adiknya. Ia bahkan bisa melihat mata Evan berbinar dari balik punggungnya. Begitu polos dan menggemaskan. Sang kakak hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Tiba-tiba senyuman di bibir anak itu memudar setelah netra kelamnya menangkap sosok pria yang sangat ia kenali, ayahnya.

Raut wajah Evan terlihat takut. Ia segera turun dari gendongan kakaknya. Tangan sang adik meremas kuat setelan putih yang dipakai kakaknya. Leon menatap mereka dengan tatapan menusuk.

Sebuah tamparan keras mengenai pipi kanan anak sulungnya. Louis terlempar beberapa meter hingga berhenti menabrak pohon besar didekat sana. Louis kesakitan tetapi ia lebih memilih diam dan menahannya.

Tubuh kecilnya limbung ke tanah. Dadanya terasa sesak. Ia bahkan muntah darah hanya karena menerima satu tamparan dari ayahnya itu. Pandangannya buram.

“Bangun.”

Louis menggeleng cepat. Ia tak boleh terlihat lemah di depan pria arogan itu. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Louis memaki dirinya sendiri yang begitu lemah jika berhadapan dengan ayahnya yang memang keturunan asli iblis. Leon menyunggingkan senyum ketika putera kecilnya itu menatapnya dengan sorot penuh kebencian.

‘Bagus.’

“Tadi Ayah menyuruhmu apa?”

“Belajar.”

“Lalu, kenapa kau ada disini?”

“Aku hanya ingin bermain dengan Evan sebentar.”

“Louis, kau adalah pewaris tahta. Tidak ada waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna.”

“Tapi aku hanya—“

Tatapan pria di depannya itu sama sekali tak berubah lembut. Louis kecil hanya diam. Ia tak berani berucap lagi.

“Jangan membantah. Masuk ke kamarmu sekarang.”

Louis berjalan meninggalkan ayahnya dan adik laki-lakinya. Ekspresi Leon masih datar. Tidak ada rasa penyesalan yang tergambar di wajahnya setelah melakukan kekerasan pada anak sulungnya.

“Ayah jahat. Evan benci Ayah!” teriak Evan kecil sambil berlari mengejar kakaknya.

“Kau terlalu keras padanya, Yang Mulia. Louis masih kecil. Dia berhak menikmati masa kecilnya juga,” ujar seorang perempuan cantik sambil menepuk pelan bahu pria itu.

“Aku seperti ini juga demi kebaikannya sendiri. Aku tidak ingin dia menjadi sosok pemimpin lemah.”

“Tetap saja. Itu bukan cara yang benar untuk mendidik anak.”

“Hn.”

“Apa kami mengganggu kalian?”

Mereka berdua menoleh ke sumber suara dan mendapati sepasang suami istri dengan dua anak laki-laki bersama mereka berjalan mendekat.

“Selamat datang, Ian.” sambut sang ratu sambil tersenyum ramah.

“Aku kesini karena merindukanmu, Kakak sepupu.” ujar pria itu sambil tersenyum.

“Jangan menggodanya di depanku, Womanizer.” sindir Leon.

“Apa ini. Pffttt— Aku hanya bercanda. Kau masih posesif seperti biasa, Leon.”

“Apa mereka berdua ini anak kalian?” tanya sang ratu.

“Iya.”

“Mereka berdua sangat manis. Apa dia perempuan?” tanya Anna lagi sambil mencubit pipi seorang anak berambut pirang yang memiliki wajah imut.

“Dia anak laki-laki, Anna.” jawab wanita dengan rambut pendek itu.

“Eh, Benarkah? Tapi dia cantik untuk ukuran anak laki-laki. Imutnya.”

“Kau ingin buat satu juga?” sahut Leon.

“A-apa?”

Sebuah mawar merah jatuh di dekat kaki Tiara. Gadis itu mengambil mawar merah tadi. Ketika dia berdiri, Tiara sudah tidak berada di Taman. Dia kini berada di dalam hutan.

Pohon-pohon di hutan ini memiliki tinggi sekitar beberapa puluh meter di atas permukaan tanah dan juga diameter batangnya begitu besar. Gelap. Gadis itu tidak tahu apakah hari sudah malam atau sinar matahari memang tak bisa menerobos masuk karena pepohonan di dalam hutan yang terlalu lebat.

Iris birunya mengamati sekitar. Tiara berjalan hati-hati menelusuri hutan. Bagaimanapun caranya dia harus keluar dari hutan. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria tergeletak berlumuran darah di sana. Tanpa pikir panjang, Tiara segera berlari menghampiri pria itu.

“Apa kau tidak apa-apa?”

Pria itu tampak menahan sakit. Tangan kekar miliknya memegangi luka tusukan di perutnya. Darah membasahi tangan dan kemeja yang ia kenakan. Tiara segera menarik tangan pria itu dan meletakkan di bahunya. Dia membantu pria misterius tadi agar bisa berdiri dan menyadarkan tubuh tinggi milik pria itu ke batang pohon yang ada di dekat sana.

Tangannya melepas satu persatu kancing kemeja milik pria di depannya. Baru saja dia melepaskan beberapa kancing, tangan dingin itu menahan Tiara. Iris kelamnya menatap Tiara tajam.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya dingin.

'Sial. Dimana aku pernah mendengar suara itu sebelumnya?' batin Tiara.

“Menolongmu.”

“Aku tidak butuh bantuanmu.”

Gadis itu tak menanggapi perkataan Louis dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Sedangkan Louis masih menatapnya tajam.

Pria itu menaikkan satu alisnya. “Apa kau tak dengar? Kamu tuli?”

Tiara berdecak kesal. Dia mulai membenci orang ini. Akan tetapi, dia memilih diam tak menjawab pertanyaan yang Louis lontarkan. Setelah berhasil menarik tangannya, gadis bersurai hitam itu kembali melepaskan kemeja yang dikenakan sang pangeran.

“Sudah kubilang tidak butuh—"

“Apa kau bisa diam? Aku sedang mengurus seseorang disini.”

Setelah berhasil melepaskan kemeja miliknya, segera Tiara memakai kemeja tadi untuk menutup luka di perut Louis. Pria tampan itu mengerang kesakitan saat Tiara menekan luka di perutnya. Dalam hitungan detik, kemeja tadi dan tangan gadis itu berlumuran darah. Tiara segera melepaskan kemeja polosnya untuk membalut luka milik pria itu.

'Aku tidak tahu jenis obat-obatan, tapi ini pertolongan pertama yang bisa kuberikan.'

Mata biru sapphire itu menatap wajah pucat pria di depannya. Rambut hitam gelap pria itu tampak berantakan. Keringat membasahi dahinya. Tubuh pria itu bahkan terasa sedingin es. Ia merasa sedikit cemas.

“Apa kau tidak apa-apa?" tanya Tiara sambil menepuk pelan pipi pria di depannya.

Kedua obsidian gelap yang tadi terpejam kini menatapnya. Tatapan pria itu membuat pipi Tiara sedikit memanas. Memalukan.

“Aku butuh darah.”

“A-apa?”

“Carikan aku darah.”

“Kau gila?! D-dimana aku bisa mendapatkannya?”

“Cepat!”

Dia mengutuk dirinya sendiri karena menuruti perintah pria tadi. Tiara segera berlari mencari hewan di sekitar hutan. Sialnya, hutan ini seperti hutan mati tanpa adanya tanda-tanda kehidupan. Tak ada satupun makhluk hidup yang terlihat. Sudah hampir sepuluh menit gadis itu berkeliling, tetap saja. Tidak ada apapun.

“Damn it! Aku harus bagaimana?”

Tiara melonjak kaget melihat Louis yang sudah berdiri tepat di depan matanya. Mata onxy milik pria itu menatapnya tajam. Kedua tangan pria itu tiba-tiba mencengkeram kuat bahu Tiara.

“Aromamu sangat manis,” bisik pria itu.

Jantungnya berdebar lebih kencang saat ia merasakan deru nafas berat pria itu di lehernya.

'Sial, tubuhku tidak bisa bergerak disaat seperti ini.'

“Kau milikku.”

Iris biru sapphirenya membulat ketika pria itu menancapkan taring miliknya ke leher Tiara. Ia meringis menahan sakit yang luar biasa. Lehernya seperti terkena ribuan jarum yang ditusukkan secara paksa. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri saat pria itu meminum darah yang keluar dari sana. Tangannya meremas kuat bahu pria di hadapannya.

“Sakit.”

Tubuh mungil gadis itu tiba-tiba lemas. Bahkan lututnya sudah tak mampu menopang berat badannya sendiri. Pandangannya juga berubah menjadi buram sekarang. Dan semuanya gelap.

...***...

Terpopuler

Comments

Mahdaleni Leni

Mahdaleni Leni

mimpi lg kah?????

2021-02-14

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!