III. IN THE MIDNIGHT

Tiara masih berdiri di sana. William langsung menghampiri gadis itu. Ia memegangi kedua pundak Tiara dengan tangannya, memeriksa luka di leher gadis itu.

“Kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja, Kak.”

“Tanganmu?”

“Tak apa. Nanti juga sembuh.”

Bohong. Tiara bahkan tidak bisa menggerakkan tangan kanannya sendiri. Pergelangan tangannya serasa remuk. Walaupun begitu, ia tidak ingin terlihat lemah di depan William. Jujur saja dia benci tatapan kasihan dari orang lain.

“Kenapa tadi kau menyerah? Biasanya kakak tidak pernah mundur saat melawan musuh.”

“Aku tidak bisa membiarkanmu mati.  Apa kau tidak mengerti situasinya?”

“Nyawaku tidak penting. Misi kita yang harusnya tetap diutamakan.”

William hanya diam, tak menanggapi perkataan gadis itu. Ia berjalan mengambil pistolnya yang sempat ia lemparkan tadi. Dia kembali berjalan mendekat. Tangan besar itu mengusap wajah gadis di depannya lembut.

“Dengar, aku adalah kapten tim ini. Kau adalah bagian dari tanggungjawab ku, begitu juga dengan Claire. Apa kamu pikir… Aku bisa membiarkanmu mati di depan mata kepalaku sendiri?”

“Prajurit tak takut mati.”

“Kau—“

Pria bertubuh tinggi itu berbalik, “Aku sudah dapatkan kotaknya. Kita kembali. Tugas kita sudah selesai—“

“Tidak. Kita masih punya satu misi lagi kan?” tanya gadis bersurai hitam itu sambil berusaha membenarkan kembali pergelangan tangannya.

‘Sial. Ini sakit juga.’

Manik cokelat itu melebar, tak percaya. “Kau tak lihat keadaan tanganmu? Ayo pulang!”

“Tanganku yang satunya masih bergerak. Jangan khawatir.”

“Ara, berhenti membantahku. Kita pulang. Sekarang,” tegas pria itu.

“Kalau kau tak mau, biar aku sendiri yang membantai mereka semua.”

“Dasar keras kepala. Tunggu!” seru William sambil melepas setelan pelayannya.

Lalu, dia merobek bagian bawah kaos hitam yang dia kenakan. Kemudian dia membalut luka di leher Tiara dengan robekan kain tadi. Percuma saja dia coba membujuk gadis itu. Tiara benar-benar keras kepala.

“Kau harus janji padaku, kau tidak akan terluka lagi.”

“Aku janji, Kapten. Kali ini aku akan hati-hati.”

“Baiklah. H-06, kau dengar aku?”

“Iya, Kapten. H-06 di sini,” jawab Claire.

“Tutup semua akses keluar.”

“Siap. Laksanakan,” sahut gadis itu dari ruang kendali.

Tangannya sibuk menari di atas keyboard, “Roger, semua akses sudah terkunci, Kapten.”

“Kerja bagus.”

Tiara memegang satu bilah pedang dengan tangan kirinya. Mereka berdua berhenti di depan jalan masuk menuju gudang tadi. Tiba-tiba semua pasang mata tertuju ke arah mereka atau lebih tepatnya ke arah leher Tiara. Mata para vampir itu langsung berubah merah. Taring muncul dari sudut bibir mereka. Desisan yang mereka keluarkan membuat gadis itu tersenyum kecil.

‘Bagus. Ayo, tunjukan wujud asli kalian.’

Para manusia yang takut berlarian menuju pintu keluar. Mereka semua panik karena seluruh pintu keluar tidak bisa terbuka. Tiara tidak membunuh manusia hanya vampir yang dia urus disini. Ia ingin memberitahu mereka tapi tak ada waktu untuk melakukannya.

“Kau mau bertanding, Kapten? Ayo kita lihat siapa yang bisa membunuh lebih banyak,” ucap gadis itu sambil memutar-mutar pedang di tangannya.

“Kau menantang ku? Is it a joke?”

“Häagen Dazs?”

“Deal.”

William sudah siap dengan pistol peraknya. Mereka memakai formasi depan belakang. Saling mempercayakan punggung masing-masing. Para vampir itu mulai menyerang mereka berdua secara serentak. Tiara mengarahkan tebasan dan tusukan pedangnya pada mereka. Dalam sekali tebas, tiga vampir terbelah dan berubah menjadi abu hitam. Dentuman musik yang nyaring menemani perburuan mereka malam itu.

Salah satu vampir melempar botol bir berukuran sedang ke arahnya. Dengan cepat Tiara memutar tubuhnya dan menendang botol tadi hingga pecah. Serpihan pecahan botol tadi menancap pada tubuh para vampir yang berada tepat di depannya. Mereka mengerang kesakitan.

“Itu pasti sakit,” gumam Tiara pelan.

'DOR! DOR! DOR!'

William menembaki mereka tepat di bagian kepala. Mereka langsung berubah menjadi abu bersamaan dengan kepala mereka yang hancur. Dampak dari senjata khusus milik mereka sama. Walaupun senjata yang dipakai sama tetap saja hasilnya akan berbeda. Tergantung skill dan kekuatan fisik penggunanya.

“30…  34….” ucap gadis itu sambil menghitung setiap vampir yang berhasil dirinya bunuh.

“H-06, kau tidak ingin bergabung dengan kami?”

“Aku juga sedang sibuk disini, Kapten.” jawab Claire.

Tubuh gadis itu otomatis menghindari serangan vampir yang mendekat. Wajah kelaparan mereka membuatnya semakin panas. Lima belas menit berlalu. Hanya tersisa beberapa vampir yang ingin melarikan diri. Lantai satu dipenuhi abu warna hitam yang menutupi seluruh ruangan.

“Kalian mau lari kemana?”

Tiara mengambil pistol dari sabuk kanannya dan berusaha membidik kepala vampir yang tengah mencakari pintu baja yang berada tak jauh dari mereka berdua.

“Ucapkan selamat tinggal pada dunia abadi kalian.”

'DOR!'

Belum sempat ia menarik pelatuk, William mendahuluinya. Tiara menoleh. Pria itu terkekeh pelan lalu menjulurkan sedikit lidahnya, mengejeknya. Ia berdecak kesal sambil memasukkan pistolnya kembali. Benar-benar

seorang ketua yang pengertian.

‘Bolehkah aku membunuh pria ini?’ batin gadis itu.

“Kau terlalu lama,” komentarnya.

“Dia bagianku dan kau malah membunuhnya. Ini tidak adil.”

“Di lantai dua, kan, masih banyak—“

“Aku akan ke sana lebih dulu.”

“Oi—“

Tiara melompat ke atas menuju lantai dua tanpa menggunakan tangga. Kedua kakinya melayang beberapa detik di udara. Lalu, dengan cepat tangannya mencengkram erat pagar besi itu dan menarik tubuhnya melewati batas pagar. Keahlian bela diri ini memang berguna, pikirnya.

William menyusul gadis itu lewat tangga. Tiara berusaha menahan tawanya melihat ketua tim mereka itu tampak mengatur nafas. Stamina mereka berdua terlihat jelas berbeda.

“Kita dobrak pintu-pintu ini.”

“Siap, Kapten.”

“Aku ambil bagian kanan.”

“Oke.”

Kemudian, mereka berdiri di depan masing-masing pintu kamar yang akan mereka berdua masuki. William memberikan kode dengan hitungan jari. Tiara mengangguk pelan setelah hitungan ketiga. Dia bisa merasakan aura vampir yang keluar dari ruangan di depannya.

Di saat yang hampir bersamaan mereka berdua menendang kedua pintu itu hingga roboh. Lalu, mereka melangkah masuk ke dalam kamar. Netra biru shappire itu menangkap seorang vampir tengah bersama dengan seorang wanita di dalamnya. Dia segera mengangkat pistolnya dan menembak kepala vampir tadi. Dalam sekejap, pria itu berubah menjadi abu. Wanita di depannya terkejut bukan main.

“Cepat turun ke lantai bawah. Setelah kami selesai, pintu keluar akan kami buka.”

Ia hanya mengangguk pelan. Dari raut wajahnya, wanita tadi masih mencerna kejadian beberapa detik lalu. Tiara segera keluar dan mendobrak kamar selanjutnya. Kosong. Lalu dia kembali keluar dari kamar tadi dan berjalan menemui William yang juga baru saja keluar dari ruangan didepannya.

“Bagaimana?” tanya pria itu.

“Lapor. Kamar kedua kosong, Kapten.”

“Banyak kamar kosong hari ini. Ayo, kita lanjutkan!”

“Baik.”

Gadis itu berdiri di depan kamar selanjutnya. Aura gelap menyelimuti kamar dengan nomor ‘04’ yang ada dihadapannya. Tiara segera mengganti pistol tadi dengan pedangnya. Aura gelap dari ruangan itu hampir sama dengan vampir yang sudah mematahkan tangan kanannya tadi. Ia harus lebih waspada. Ia yakin lawannya tak bisa ia tangani seorang diri.

Ia menendang pintu itu hingga roboh dan melangkah hati-hati ke dalam kamar. Mayat wanita dengan kondisi telanjang terbujur kaku di atas ranjang putih berukuran king size itu. Tiara berjalan mendekat.

Mata wanita itu membelalak hampir keluar dari tempatnya. Ia seperti baru saja melihat sesuatu yang mengerikan. Kulit tubuhnya mengkerut. Wajah cantiknya berubah menjadi seperti nenek-nenek. Ia lebih tampak seperti tengkorak manusia yang hanya dibalut kulit.

“Kamu—“

Tiara menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat seorang pria dengan kemeja putih polos tengah duduk di sofa merah marun. Sebuah seringaian muncul di bibir pria itu ketika beradu pandang dengan netra biru shappire milik Tiara.

“Apa kau 'The Legend of Sword' yang sering dibicarakan itu?” lanjutnya.

“The Legend— Apa maksudmu?”

“Pftt— ternyata hanya seekor kelinci kecil yang sudah membuat repot kami.” Dia menggeleng pelan, “Hmm, sulit dipercaya.”

“....”

“Dengar, kalian manusia takkan pernah bisa mengalahkan kami.”

“Memang kalian Tuhan? Makhluk sombong seperti kalian memang harus dimusnahkan.”

“Dalam mimpimu. Hahaha.”

Tangan gadis itu mengepal kuat melihat pria tampan dengan surai pirang kecokelatan itu tertawa cukup keras. Sifat sombong mereka yang diluar batas membuatnya muak. Benar-benar menyebalkan.

“Eh, apa ini? Rupanya kau sudah bertemu dengan kakakku. Aku heran. Kenapa dia tidak membunuhmu, Bunny?”

Pria bertubuh tinggi itu dalam sekejap mata menghilang dari tempatnya. Ia sekarang berdiri tepat di depan Tiara. Seringaian kecil di bibirnya membuat bulu kuduk gadis itu merinding. Pria itu berbahaya.

“Kau cukup manis. Maaf, tapi aku lebih tertarik dengan wanita seksi. Sayang sekali dadamu rata, Nona.”

Tiara langsung melemparkan pedangnya ke arah pria itu. Dengan cepat Evan menghindar dengan mencondongkan tubuh atletisnya ke belakang. Pedang miliknya berakhir dengan menancap sempurna di dinding dan menimbulkan beberapa retakan di sana.

“Kita baru mulai dan kau sudah seganas ini? Wah, hebat.” puji pria itu sambil bertepuk tangan.

“Berisik. Comeback!”

Pedang itu mulai bergetar dan secara otomatis kembali ke arah gadis cantik itu. Evan menghindar untuk kedua kalinya. Tiara segera menangkap pedangnya dan mengarahkan pedangnya tadi ke arah jantung pria di depannya. Evan mengedikkan bahunya, tak peduli. Seringaian kecil kembali muncul di bibirnya.

“Sekarang aku tahu kenapa kakakku itu melepaskan buruannya.”

“Kakakmu? Maksudmu pria brengsek itu?”

“Benar. Dia kakakku, Louis Kingsley. Kau bilang dia apa tadi? Brengsek? Pfftt—“

Evan terlihat menahan tawanya. Seseorang yang ditakuti dan dihormati oleh seluruh bangsa vampir disebut ‘brengsek’ oleh seorang gadis. Ia tak percaya. Gadis itu benar-benar membuatnya takjub. Sayang sekali dia tak bisa merekam ucapan gadis di depannya.

“Pangeran Louis?” gumam Tiara pelan.

'Jadi . . . Pria tadi pewaris tahta kerajaan vampir? Pangeran mahkota yang terkenal kejam dan berdarah dingin. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan para bangsawan itu di tempat seperti ini.’

Iris biru shappire gadis itu masih menatap tajam pria di depannya. Evan hanya terkekeh pelan melihat gadis itu menghunuskan pedang itu ke arah lehernya.

“Tenang, aku tidak akan melukaimu.”

Dahinya berkerut mendengar ucapan Evan. Tiara tidak mengerti apa yang pria itu bicarakan.

“Apa maksudmu?”

“Kau sudah ditandai oleh kakakku. Maaf, ya. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama. Aku harus pergi sekarang, Bunnie. Good Luck~”

‘Ditandai? Apa maksudnya?’

Dalam sekejap pria tampan itu menghilang dari pandangan Tiara. Kepalanya mendadak pusing. Lututnya serasa lemas. Gadis itu memaksakan diri untuk keluar dari kamar tadi walaupun lantai di depannya berputar tak karuan. Tangannya mencengkeram erat gagang pintu, berusaha agar tidak jatuh.

“Ara!”

Samar-samar gadis itu melihat William berlari mendekat. Pria bersurai cokelat gelap itu menahan tubuhnya yang hendak jatuh. Tangan besar miliknya menepuk pipi Tiara pelan.

“Apa kau baik-baik saja? Hei, Ara. Jawab aku. Jangan membuatku takut.”

“Aku hanya merasa mengantuk.”

'Aku bisa merasakannya. Sesuatu di dalam tubuhku mencoba keluar. Akan tetapi . . . Apa itu?'

...🌷🌷🌷...

Terpopuler

Comments

Lilis Ferdinan

Lilis Ferdinan

ternyataa semenarik ini ceritanya,,,, lanjuttttt,,, 😘

2022-10-15

0

sahanya😍

sahanya😍

baca lgi ntah untuk yg k berapa kali baca😍

2021-05-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!