VII. THE DEVIL

...'Tidak ada yang menyadarinya, setelah dia memakan jiwamu secara perlahan.'...

.......

.......

❝APA kalian membawa kotaknya?"

William mengeluarkan kotak warna hitam dari dalam tas ranselnya. Kemudian, dia memberikan kotak itu pada pria yang dijuluki ‘master’ di depan mereka bertiga. Pria itu membukanya secara perlahan. Sebuah gulungan kertas berukuran sedang yang ada di dalamnya. Ia membuka gulungan itu di atas meja. Kosong. Tidak ada apapun yang tertulis di sana.

"Apa maksudnya?"

Pria itu hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Tiara. Ia kemudian mengambil pisau lipat berukuran kecil dari saku jasnya. 

"Kenapa tidak kita cari tahu?"

'CRASS!'

Mata Tiara membulat melihat pria tampan itu melukai tangannya sendiri. Darah segar mengalir keluar dari luka di tangannya. Lalu, dia mengarahkan tetesan darahnya ke atas kertas tadi. Dalam hitungan detik, sebuah gambar terbentuk dari tetesan darahnya.

'Kertas rahasia? Harusnya aku menyadarinya sejak awal.'

“Sebuah peta?”

Mereka bertiga mengamati gambar dan tulisan kuno yang ada di dalam peta. Gadis itu sama sekali tidak mengerti maksud dari tulisan yang ada di kertas usang itu.

William mengamati tulisan yang ada di pinggir kertas. Mata cokelatnya menatap satu per-satu huruf latin kuno itu.

"Disini tertulis, ‘Your nightmare. Human bloods for immortal life." 

"Vampire kingdom?" tebak Tiara.

"Ya. Peta ini menunjukan akses rahasia menuju ke sana," jelas William.

"Well, tim ß aku punya tugas khusus untuk kalian. Lakukan seperti biasanya."

"Kami siap menerima perintah anda, Master."

...***...

"Dalam waktu dekat jiwa iblismu akan muncul. Kau harus mencari korban untuk itu."

Gemericik air terdengar dari kamar mandi milik Louis. Dia masih memikirkan maksud dari perkataan ayahnya siang tadi. Kepalanya menengadah ke atas menikmati guyuran air shower yang menghujani wajahnya.

'Jiwa iblis, kah.'

Selesai mandi, dia keluar dengan handuk melilit pinggangnya dan rambut hitamnya yang masih basah tampak berantakan. Lalu, Louis segera berganti pakaian. Beberapa menit kemudian, rasa sakit yang luar biasa menjalari kepalanya. Ia memegangi kepala dengan kedua tangannya.

'Apa yang terjadi?'

Beberapa kali tubuhnya menabrak lemari pakaian yang ada di depannya. Sakit. Ia sampai memejamkan mata onyx hitam miliknya untuk menahan sakit. Rasanya Louis ingin memecahkan kepalanya sendiri.

"Kau ingin tahu jawabannya?"

Sebuah suara menjawab pemikirannya tadi. Dia langsung membuka matanya. Iris hitam milik pria itu melihat seseorang bertubuh tinggi berdiri di depannya. Louis terkejut saat melihat senyuman khas dari sosok itu. Hanya seperkian detik, wajah miliknya kembali datar. Ia baru sadar kalau dirinya bukan berada di kamarnya lagi.

Melainkan sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi. Tempat ini sangat gelap, dingin, dan tak berujung. Matanya masih mengamati pria yang tengah berdiri di depannya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala, sosok itu benar-benar mirip dengannya. Hanya ada satu perbedaan diantara mereka berdua, iris mata milik pria di depannya itu berwarna merah scarlett bukan hitam.

"Selamat datang, Prince." ujar sosok itu sambil tersenyum.

Menurut pria itu senyuman tadi terlihat mengerikan. Bayangkan kau melihat cermin dan refleksi bayanganmu di dalam cermin itu tersenyum padamu sedangkan kau tidak tersenyum sama sekali.

"Siapa kau?"

"Aku? Kau masih bertanya. Lucu juga."

"Dasar bodoh. Jawab saja pertanyaanku."

"Aku ini dark side-mu. Sisi iblis dari dalam dirimu sendiri."

"Apa maumu?"

"Ya ampun. Kau memang orang yang kaku. Santai saja, jangan terburu-buru. Apa kau tidak mau mengobrol dulu denganku, hm?"

"Aku tidak tertarik."

"Ck. Kapan kau sadar? Tanpa adanya aku kau itu lemah."

Sosok itu berteleportasi ke belakang tubuh Louis. Ia mengeluarkan seringaian kecil dan berbisik pelan.

"Karena aku adalah sumber kekuatanmu. Kita adalah satu," bisiknya.

"Apa anda baik-baik saja, Pangeran? Hamba mendengar suara kegaduhan dari dalam," ujar salah satu maid sambil mengetuk pintu kamar milik Louis.

"Hm? Makanan sudah datang rupanya."

Sosok di belakangnya kini menghilang. Louis merasa pria tadi mengambil alih kendali tubuhnya. Ia berdiri sambil melipat tangannya di depan dada.

"Sisi iblis?"

Pria bertubuh tinggi itu tersenyum tipis dan kembali mengamati sekitar. Dia baru mengerti maksud dari ayahnya tentang korban itu.

"Ini akan merepotkan."

Pelayan wanita  itu terkejut saat pintu kamar milik Louis terbuka. Sebuah tangan kekar menariknya masuk ke dalam. Louis memenjarakan maid tadi dengan kedua lengannya. Salah satu tangannya menarik dagu sang maid ke atas. Tatapan keduanya bertemu.

Pipi wanita itu bersemu merah saat melihat wajah sempurna tanpa cacat sang pangeran. Louis yang biasanya bersikap dingin kini tersenyum ke arahnya membuat maid itu meleleh. Dia sudah terjerat pesona milik pria tampan itu. Maid wanita itu bahkan sudah tidak menyadari perubahan warna mata Louis sejak dia ditarik dalam kamar.

"Kau cantik," puji pria itu sambil membelai wajah sang maid dengan tangannya.

"T-terimakasih, Pangeran."

"Bagaimana kalau kita bermain?"

"B-bermain?"

"Jangan berteriak. Walaupun nanti terasa sakit. Kau mengerti?"

"Apapun untuk anda, My Prince."

"Bagus. Sekarang tutup matamu."

Tangan Louis berpindah menutupi mata pelayan tadi. Muka maid tadi sudah merah padam menunggu apa yang sebenarnya ingin pangeran itu lakukan. Secara perlahan pria itu menurunkan telapak tangannya ke bawah. Ia sekarang menutupi mulut gadis di depannya.

Wajahnya mendekat ke arah maid itu. Jarak muka mereka hanya terpaut beberapa centi. Seringai kecil keluar dari mulut pria itu.

"Buka matamu sekarang. Tatap aku."

Gadis itu membuka matanya. Ia menatap iris scarlet milik Louis yang berada tepat di depan wajahnya. Dia melihat sesuatu yang gelap dari sana.

"It's show time."

Maid tadi tiba-tiba meronta saat Louis menatapnya lebih dalam. Pria itu semakin mengeratkan kuncian pada pergelangan tangan wanita di depannya. Dalam waktu beberapa detik, tubuh maid tadi berubah menjadi debu dan menghilang tertiup angin. Louis nampak memegangi kepalanya lagi. Kepala pria itu kembali terasa sakit. Kesadarannya mulai menghilang. Tak lama kemudian, ia jatuh tidak sadarkan diri.

...***...

"Kau tidak pulang?" tanya Claire pada gadis yang tengah duduk di depannya. Ia menyeret koper besar warna cokelat tua di tangannya itu.

Tiara hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan kecil. Tangannya masih sibuk membersihkan sepasang bilah pedang kesayangannya itu. Claire tampak membenarkan mantel krem yang dia kenakan. Ia berjalan ke arah Tiara dan mengacak rambut hitam gadis itu pelan.

"Kalau begitu, aku pulang dulu. Kau tidak apa-apa sendiri?"

"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir."

Mereka berdua masih berada di basecamp tim ß. Master memberikan cuti sampai tiba hari penyerangan. Claire memutuskan untuk pulang ke rumahnya di daerah Busan lebih dulu. Dia memeluk Tiara erat. Gadis dengan netra biru shappire itu pun membalas pelukannya. Sialnya, Tiara jadi ingin menangis sekarang. Kemudian, Claire melepaskan pelukannya dan kembali tersenyum pada Tiara.

"Aku tidak apa-apa. Pergilah, Kak. Nanti kemalaman."

"Baiklah jika kau mengusirku. Aku pergi dulu."

"Hati-hati."

"Iya."

Claire berjalan keluar dari kamar Tiara sambil kembali menyeret kopernya. Netra biru itu beralih menatap bingkai foto di atas meja.

'Aku juga ingin pulang tapi pulang kemana?' batinku.

Rasanya miris jika dia memikirkan soal keluarga. Ia sudah tidak punya siapa-siapa. Semenjak bibinya bercerai dengan suaminya, tidak ada yang tahu dia ada dimana. Ada kabar yang mengatakan kalau bibinya itu masuk rumah sakit jiwa dan bunuh diri. Namun, Tiara tak tahu apakah itu berita bohong belaka atau memang kenyataannya. Ia kembali menyarungkan pedangnya tadi dan menggantungkannya di dinding kamar.

"Ara, boleh aku masuk?" tanya William dari luar kamar setelah mengetuk pintu kamar.

"Masuklah, Kak."

William melangkah masuk ke dalam. Tiba-tiba dia kemudian menarik tangan Tiara dan membawanya keluar kamar.

"Tunggu. Kau mau membawaku kemana? Kak William?"

"...."

 

Mereka berdua berhenti di ruang tengah, pria itu melepaskan pegangan tangannya. Ia menatap Tiara sebentar sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain. Tiara bisa menangkap raut muka sedih dari wajah pria di depannya itu.

"Apa kau sedang ada masalah?"

"...."

"Kau bisa cerita padaku jika kau mau, Kak."

"...."

"Apa ini masalah pribadi?"

"...."

"Kenapa kau diam saja?"

"...."

"Aku akan kembali ke kamar jika kau tidak bicara."

"Maaf."

"Apa—“

William menarik tubuh mungil itu mendekat ke arahnya. Dengan cepat ia memeluk Tiara. Iris biru sapphire milik gadis itu membesar. Ia merasa kakinya tiba-tiba lemas. Di saat yang bersamaan, jantung Tiara berdetak lebih cepat dari biasanya. Pipinya sedikit memerah. Ia takut, kalau William mendengar debaran jantungnya.

"Biarkan seperti ini ... Aku hanya ingin memelukmu sebentar. Hanya sebentar."

...🌷🌷🌷...

Terpopuler

Comments

sahanya😍

sahanya😍

sedih seorang ayah yg tidk bisa mengungkap jati dirinya pd sang putri 😢

2022-10-02

2

Nazwah Azahrah

Nazwah Azahrah

ada rasa apa yaa.

2021-02-04

1

fiona berlian

fiona berlian

lanjut kak

2020-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!