IX. DARK SIDE

...Semua orang punya rahasia...

... yang ingin mereka sembunyikan....

...Layaknya bom waktu....

...Dia bisa meledak kapan saja....

.......

.......

...☘☘☘...

ALUNAN  musik lembut terdengar dari headphone milik gadis yang tengah asik mengotak-atik laptopnya. Jari-jemarinya yang lentik menari dengan cepat di atas keyboard. Sesekali ia mengambil cangkir berisi cokelat panas yang ada di sampingnya. Ia meniupnya pelan, kemudian meminum sedikit isi dari cangkir.

Claire meletakkan cangkir tadi dan kembali fokus. Ia tengah sibuk melakukan hobinya, meng-hack salah satu website di internet. Ponsel disampingnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Pipinya sedikit merona melihat nama yang tertera di layar ponsel miliknya. Dengan cepat dia mengambil ponsel dan membuka pesan chat itu.

...💮💮💮...

Rab | 07:45 AM

Yeong-jun

Morning.

^^^Claire^^^

^^^Morning ....^^^

Yeong-jun

Apa kamu sudah sarapan?

^^^Claire^^^

^^^Belum sempat.^^^

^^^Hanya secangkir coklat hangat.^^^

Yeong-jun

Mau kubawa kan?

^^^Claire^^^

^^^Tidak usah.^^^

Yeong-jun

Bagaimana kalau kita bertemu hari ini?

Aku merindukanmu.

...💮💮💮...

Pipi Claire memerah saat membaca pesan terakhir yang muncul di draf pesannya. Senyumnya merekah tanpa ia sadari. Jarinya sedikit gemetar saat ingin membalas pesan tadi.

...💮💮💮...

Rab | 07:49 AM

Claire

Akan kutunggu di rumah.

Jemput, ya. Aku juga merindukanmu.

...💮💮💮...

Pria berambut pirang keemasan itu tengah tersenyum kecil saat melihat balasan dari Claire. Ia kembali menyesap gelas berisi cairan merah yang ada di tangannya.

“Gadis bodoh,” gumamnya pelan.

Kemudian, dia memakai jas hitamnya kembali dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia puas karena buruannya itu menarik umpan yang ia pasang.

“Sebastian.”

“Yes, Your Highness.” balas pelayan pribadinya sambil menundukkan kepala.

“Siapkan mobilku.”

“Baik, Tuan. Saya akan segera menyiapkan mobil untuk anda.”

...***...

Tiara masih sibuk mengelap meja. Selesai. Tangannya dengan lincah memindahkan cangkir dan piring-piring itu ke atas nampan. Dia segera membawa nampan tadi ke arah dapur.

“Warga dihebohkan atas penemuan mayat seorang gadis di salah satu gang di wilayah Myeongdong. Polisi memperkirakan gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu sudah tewas sejak dua hari lalu. Ia ditemukan meninggal dunia dengan keadaan yang sangat mengenaskan .…”

Langkah gadis itu terhenti ketika mendengar suara pembaca berita dari salah satu stasiun televise swasta. Salah seorang pegawai membesarkan volume televisi di depan mereka. Beberapa pelanggan dan pelayan café tampak serius mendengarkan berita pembunuhan itu.

“Tubuh gadis berinisial ‘KNN' ini ditemukan terbujur kaku. Mayatnya akan dibawa ke lab forensik kepolisian untuk segera diotopsi. Sedangkan polisi masih menyelidiki penyebab kasus kematian dan motif pelaku kepada korban.”

Layar televisi itu kemudian menampilkan wilayah TKP. Jasad korban sudah dimasukkan ke dalam kantung mayat. Beberapa petugas rumah sakit yang mengenakan masker dan sarung tangan mengangkut kantung mayat tadi ke dalam mobil ambulan. Wilayah TKP juga sudah dibatasi dengan garis polisi. Beberapa detektif tampak mengobservasi tempat tersebut.

Tangan Tiara mencengkeram pinggiran nampan dengan kuat.

‘Sial. Mereka berulah lagi.’

“Mengerikan. Siapa yang tega membunuh dengan cara kejam seperti itu?” komentar salah satu pelayan wanita.

“Menurutku, bukan pembunuh yang melakukannya. Tapi makhluk jadi-jadian,” balas pelayan pria disampingnya.

“APA? Makhluk jadi-jadian?!”

“Iya. Akhir-akhir ini banyak berita kematian yang tak masuk akal. Kau ingat berita pembunuhan di Gangnam street?”

“Tentu.”

“Gadis itu juga mati dengan keadaan yang sama dengan kasus tadi.”

“Oh. Benar juga. Sepertinya—“

“Apa yang kalian berdua lakukan? Cepat kembali bekerja. Kalian ingin bos memarahi kita, huh?!” tegur salah satu pelayan pria sambil memukul pelan kepala mereka berdua.

“Ughh— Senior! Kau tidak perlu memukul kami.”

“Kalian ini hanya membuang waktu. Apa kalian berdua tidak melihat para pelanggan sudah kelaparan?”

“Maaf. Kami akan kembali bekerja.”

“Bagus.”

Kedua pelayan tadi pergi melakukan tugasnya masing-masing. Tiara pun masuk ke dalam dapur dan menaruh nampan tadi ke dalam wastafel. Seorang pria dengan seragam chef menghampirinya. Ia menggelengkan kepalanya pelan sambil berkacak pinggang. Dia adalah kepala chef sekaligus pemilik café tempat Tiara bekerja, Park Hyung-seok.

“Aku menyuruhmu menunggu kasir. Kenapa kau di sini, Ara?” protesnya.

“Aku tidak bisa hanya diam di sana, Kak. Rasanya membosankan.”

“Tanganmu, kan, masih belum sembuh. Jangan melakukan pekerjaan berat dulu.”

“Aku sudah sembuh.”

“Tetap saja. Kau ini sudah kuanggap adik sendiri. Jadi, turuti perkataan ku. Apa kau ingin potong gaji, huh?” tanya Hyung-seok sambil menarik hidung gadis di depannya pelan.

“Aduh, ini semua tidak ada hubungannya dengan gaji.”

“Kau lupa? Aku bos disini.”

“Aku tahu. Kau tidak perlu memperjelasnya lagi.”

Hyung-seok tertawa sambil menarik gemas kedua pipi Tiara dengan tangannya. Dia adalah orang kedua tercerewet setelah William. Walaupun terkadang mereka berdua menjengkelkan, tetapi mereka sangat perhatian pada Tiara padahal gadis itu bukanlah adik ataupun saudara mereka.

“Kak Hyungseok. S-sakit!”

“Salah sendiri kau terlalu menggemaskan sampai aku ingin memakanmu.”

“Lepas!”

“Hyungseok-ssi, ada yang mencarimu.” teriak salah satu pelayan dari pintu masuk dapur.

“Mencariku?”

“Iya, Bos.”

“Lakukan perintahku tadi. Kau tidak ingin gajimu berkurang, kan? Kalau begitu, Aku pergi.” ucap Hyung-seok sambil tersenyum.

Tiara pun membalas senyuman manisnya dengan anggukkan kecil. Ia menepuk bahu gadis itu pelan dan berjalan ke luar dari dapur.

'Apa yang harus kukerjakan sekarang?'

“Ara, bisa kau bawa pesanan ini ke meja nomor lima?” tanya salah seorang chef sambil menyodorkan nampan berisi secangkir cappuccino panas padanya.

“Baik.”

...* * *...

Gadis dengan surai hitam itu keluar dari toilet setelah mengganti seragam kerjanya dengan kemeja motif kotak-kotak berwarna merah hitam dan celana jeans hitam yang sebelumnya ia pakai pagi tadi. Tak lupa dia segera memakai jaket tebal dan memasukkan baju kerja tadi ke dalam tas ransel.

Di depan café, William sudah menunggu di samping mobil sport silver miliknya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Tiara. Gadis itu berjalan menghampirinya. William masih tersenyum sambil mengacak rambut Tiara pelan.

“Maaf, Kak. Aku membuatmu menunggu lama.”

“Tidak apa-apa. Aku baru sampai. Apa kau lapar?”

“Aku masih kenyang, kok.”

“Baiklah. Kalau begitu kita langsung pulang.”

“Oke.”

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Mobil itu melaju meninggalkan cafè. Banyak pelanggan yang datang ke cafè di akhir pekan. Rasanya tangan gadis itu hampir patah untuk yang kedua kalinya.

“Apa kau kelelahan, Ara?”

“Sedikit.”

“Jangan terlalu memaksakan diri. Kau tahu tanganmu belum pulih benar.”

“Aku mengerti.”

“Kalau tanganmu belum sembuh, aku akan minta izin pada master agar kau digantikan pada misi kali ini.”

“Aku sudah sembuh. Kakak tidak perlu minta izin. Aku akan ikut dalam misi ini apapun yang terjadi.”

“Kau harus tau, Ara. Misi kali ini lebih beresiko dari misi-misi kita sebelumnya.”

“Aku tak peduli. Kamu sendiri tau, aku ingin menemukan istana makhluk sialan itu.”

“Terserah kau saja kalau begitu.”

Gadis itu menyandarkan kepalanya ke belakang. Netra birunya memandang ke luar mobil. Keadaan jalanan masih ramai dengan kendaraan dan para pejalan kaki yang hilir mudik di pinggir jalan. Butiran-butiran salju yang dingin turun perlahan dari langit. Jujur Tiara menyukainya. Tanpa sadar senyumnya mengembang ketika melihat salju itu jatuh dari balik kaca mobil.

‘Mom…. Aku harap kau bahagia di sana? Apa kau sudah bersama ayah? Aku merindukan kalian. Sangat.’

'CITT!'

Tiba-tiba William menghentikan mobilnya secara mendadak. Tiara menjerit pelan. Ia meringis kesakitan. kepalanya membentur dashboard mobil cukup keras. Sial, dia tadi lupa memakai sabuk pengaman.

“Kau tidak apa-apa?” tanya William sambil memegangi kedua bahu gadis di sampingnya.

“Iya.”

William tampak khawatir melihat luka di bagian pelipis gadis cantik itu. Namun, sedetik kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangan Tiara perlahan menyentuh lukanya. Dia merasakan sesuatu yang basah mengalir dari sana.

“Darah?” gumam Tiara sambil mengamati cairan merah kental yang membasahi jarinya sendiri.

Matanya beralih melihat ke arah William yang hanya diam mematung. Tangannya meremas setir mobil dengan kuat. Kepalanya tertunduk ke bawah.

“Kak.”

“….”

“Kak, apa kau terluka?”

“Harus berapa kali aku katakan padamu.”

“A-apa?”

William mengangkat kepalanya. Pandangan pria itu masih lurus ke depan tanpa menatap Tiara. Rahang bawahnya tampak mengeras. Genggaman tangannya di setir mobil semakin kuat sampai gadis itu bisa mendengar bunyi retakan disana. Tiara merasakan firasat buruk dari sikap William yang tak seperti biasanya.

“Kamu kenapa?”

Pria bersurai cokelat itu memejamkan matanya. Sebuah seringaian kecil muncul di bibir William. Entah kenapa Tiara merasa takut melihat perubahan sikap pria itu. Mata cokelat milik William berubah menjadi merah. Ia menoleh dan menatap tajam gadis di sampingnya. Tubuh gadis itu seolah membeku saat tangan dingin William menyentuh pipinya.

“K-kau vampir?”

“Aku sudah bilang padamu jangan sampai terluka. Kenapa kau tidak mendengarku?”

Pria dengan surai cokelat itu mendekat wajahnya. Aura William berubah gelap. Tiara bisa merasakan tekanan yang luar biasa kuat memenuhi mobil.

“Kak William?”

“Apa kau tidak tahu kalau aromamu sangat manis, huh?” bisiknya.

Iris biru sapphire milik gadis itu membesar saat William mengecup pelan leher jenjangnya. Dadanya terasa sesak. Matanya terasa panas sekarang. Air mata mulai membasahi pipi Tiara. Dia takut. Perasaan takut yang sama seperti malam itu. Tubuhnya gemetar. Ia tak bisa lagi menahan isak tangisnya.

“Kenapa … Kenapa kau seperti ini?”

Tiba-tiba tangan milik William menarik tubuh mungil itu, memeluknya erat. William hilang akal beberapa menit lalu. Ia merasa bersalah sudah membuat gadis di hadapannya ketakutan.

“Maaf. Berhentilah menangis, Ara.”

Tiara baru menyadari kalau jantung pria itu sama sekali tidak berdetak. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Ternyata seseorang yang selama ini berada di dekatnya, seseorang yang menyayanginya itu adalah seorang vampir. Makhluk yang dia benci.

Selama ini dia percaya. Selama ini dia selalu jujur pada pria itu. Ternyata— dia hanya dibohongi. Pria itu hanya pura-pura memperlakukan dirinya seperti keluarga.

“Maafkan aku.”

Malam itu ia mengetahui sisi William yang sebenarnya. Sisi gelap yang selama ini pria itu sembunyikan dari dirinya. Gadis itu melepaskan pelukan William. Mata biru sapphire miliknya berubah menatap tajam pria tampan itu.

“Bukankah kau aktor yang hebat? Haha. Kau memang naif, Tiara. Kau kira ada orang asing yang bisa menyayangimu layaknya keluarga.”

“Ara, kau salah paham. Aku memang—“

“Kamu … Seorang vampir yang pura-pura menjadi manusia. Cih, apa menyenangkan bermain rumah-rumahan dengan kami selama ini? Kau anggap itu lelucon? Sedangkan kamu tau aku sangat benci dengan makhluk penghisap darah tak tau diri. Ah, rasanya aku ingin membunuhmu.”

“Dengarkan penjelasanku dulu. Kau harus tahu alasan kenapa aku melakukan ini—“

“Aku tidak membutuhkannya.” Gadis itu menggigit bibir bawahnya, “seorang pembohong takkan bisa dipercaya lagi.”

Kemudian, gadis itu mengambil tas ransel miliknya dan melangkah cepat keluar dari mobil sport milik William. Pria bersurai cokelat itu ikut keluar dari mobil. Ia sedikit berlari agar bisa mengejar Tiara.

William meraih pergelangan tangan gadis di depannya, “kumohon dengarkan penjelasanku dulu.”

“Apapun alasanmu aku samasekali tak peduli,” jawab Tiara dingin sambil melepaskan tangan William yang sempat menariknya.

“Kenapa … kenapa kau berubah? Apa aku makhluk yang sehina itu?”

Tiara memilih diam, tak menjawab pertanyaan tadi. Ia kembali melanjutkan langkahnya menjauhi sosok yang tengah berdiri di belakangnya. Entah kenapa rasanya kakinya begitu berat. Dadanya terasa sesak. Kebohongan memang menyakitkan. Karena itu Tiara tak menyukainya. Sangat.

“Ara, kau tak mendengarku?”

“Jangan mengikutiku. Aku bisa saja membunuhmu … dengan tanganku sendiri.”

William langsung menghentikan langkahnya saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Dia memilih berdiri di sana. Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Ia merasa terluka. Tiara pun melangkah pergi meninggalkan William yang masih berdiri mematung di tengah turunnya salju.

‘Aku membencimu, William.’

...***...

Tiara berdiri di depan minimarket sambil meminum cappuccino panas yang ada di tangannya. Ia merutuki kebodohannya sendiri karena meninggalkan dompetnya di base camp. Ceroboh. Salah satu kebiasaan buruknya yang tak bisa hilang.

“Dasar bodoh. Kenapa kau bertindak sebelum berfikir? Aku tidak tahu harus pulang kemana sekarang.”

Rumah yang dulu ia tinggali bersama ibunya sudah dijual oleh bibinya sendiri. Ia juga merasa trauma jika harus tinggal di sana sendirian. Sekarang mereka sudah pindah entah kemana. Ia hanya punya satu tempat tinggal. Base camp.

'Tidak. Bukan waktunya untuk menyesal. Apa aku harus menelepon kak Claire.'

Baru saja ia hendak mengambil ponsel dari saku jaket, Tiara langsung berubah pikiran dengan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket. Ia menggeleng cepat.

“Tidak-tidak. Kalau aku menginap di tempat Claire, William akan menemukanku di sana. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi.”

Matanya menatap lurus ke arah jalanan yang sudah nampak sepi. Hanya satu dua kendaraan saja yang masih melintas dan hampir tidak ada orang lagi yang berlalu lalang di pinggir jalan. Salju yang jatuh di kepalanya mulai meleleh dan membuat rambutnya sedikit basah. Dia bisa mati kedinginan jika tidak menemukan tempat untuk menginap.

Sialnya, dompet gadis itu tertinggal di basecamp. Hanya ada beberapa lembar uang di dalam tas yang tadi sudah dia gunakan untuk membeli cappucino panas. Sisanya tentu tidak cukup untuk menyewa sebuah penginapan.

'Aku benar-benar tidak bisa berfikir lagi.'

“Ara?” panggil seseorang sambil menepuk bahunya pelan.

“Kak Alex?”

“Sedang apa kau sendirian disini?”

“Boleh aku minta tolong?”

“Minta tolong?”

...***...

Pintu mansion mewah itu terbuka saat Alex selesai memasukkan kata sandi. Basecamp tim Alpha sedikit berbeda dari base camp mereka bertiga. Bahkan mansion mewah ini berada dipusat kota tidak seperti base camp mereka yang berada di pinggiran hutan.

“Kau membawa tamu?” tanya seorang pria bertubuh tinggi yang tengah duduk sambil membaca buku di ruang tengah.

“Aku bersama Ara, Dave. Dia bilang ingin menginap disini,” jelas Alex sambil menaruh kantong plastik belanjaannya di dapur.

“Menginap?”

David meletakkan bukunya dan berjalan menghampiri gadis itu. Ia tersenyum melihat wajah polos Tiara. Ia mengacak rambut gadis di depannya itu pelan.

“Apa kau tidak takut menginap disini?”

Tiara memiringkan sedikit kepalanya, “takut?”

“Kau tahu kan kalau kami bertiga ini … Vampir.”

“Iya. Tentu saja.”

“Kami tidak tau apa yang akan kami lakukan padamu. Seandainya salah satu dari kami lepas kendali, Ara.”

“Aku tahu.”

“Sepertinya kau tidak paham apa yang kubicarakan. Kami ini berbeda denganmu. Kami minum darah manusia, kau tahu itu, kan?”

“Iya. Lalu? Aku bisa menjaga diriku sendiri, Senior.”

David tertawa pelan kemudian berjalan kembali ke arah sofa. Ia duduk dan membaca bukunya tadi.

“Hei, Dude. Bisa kau bersihkan luka di dahi Tiara?" perintah pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

Mendengar hal itu, Tiara menyentuh dahinya sendiri. Ia mengernyit. Perih. Dirinya sendiri bisa sampai lupa kalau tadi dia terluka. Kemarahannya pada William mengalahkan segalanya. Telinganya mendengar bunyi pintu terbuka. Seseorang baru saja masuk ke dalam mansion itu.

“Lucas! Tumben sekali kau pulang cepat,” tanya Alex pada pria bersurai hitam yang kini tengah menatap Tiara sinis.

“Sedang apa dia disini?”

“Tidak bisakah kau sopan sedikit pada tamu kita?” sahut David.

“Untuk apa? Lagipula aku tidak menyukainya,” jawab Lucas dingin.

'Orang ini menyebalkan.'

Ia berjalan melewati Tiara sambil menutup hidung. Gadis itu merasa bingung melihat tingkah Lucas. Pria itu dengan cepat menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

'Apa aku sebau itu? Padahal seingatku aku sudah mandi sore tadi.'

“Tiara, kemarilah. Aku akan mengobati lukamu,” perintah Alex sambil membuka kotak P3K di atas meja.

“Ya, Senior.”

Tiara pun duduk disampingnya. Alex menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia mulai membersihkan luka di dahinya. Tiba-tiba dia teringat William. Biasanya pria itu yang selalu mengobatinya saat dia terluka.

'Kenapa aku mengingat orang itu lagi? Menyebalkan.'

“Apa ada masalah?” tanya pria di depannya itu.

“Tidak ada, Kak.”

“Perkataan Lucas tadi jangan dipikirkan. Dia hanya belum terbiasa dengan orang yang baru dia kenal. Sebenarnya dia orang yang cukup perhatian.”

“Aku mengerti. Kak Alex, boleh aku bertanya?”

“Hm? Kau ingin tanya apa?” ujarnya sambil memasang plaster pada luka Tiara hati-hati.

David yang duduk di samping mereka berdua merasa tertarik. Ia menoleh, ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

“Apa bauku tidak enak?”

Tiba-tiba kedua orang itu diam membeku. Alex mengalihkan pandangan dan segera membereskan kotak P3K tadi. David berdeham cukup keras sebelum menutup bukunya dan beranjak dari sofa.

“Ini sudah lewat tengah malam. Sebaiknya kau tidur. Kamarmu ada di lantai dua. Ayo, akan kuantar.” tawar leader tim alpha itu sambil tersenyum.

“Iya. Terimakasih sudah mengobatiku, Kak Alex.”

“Haha. Nevermind. Aku senang bisa membantu.”

“Ayo,” ajak David.

Tiara segera beranjak dari tempatnya dan menghampiri pria bertubuh tinggi itu. Sampai di depan kamar, David memberikan kunci kamar kepada Tiara.

“Ini kamarmu. Jika kau butuh apa-apa kau bisa minta tolong padaku atau pada anggota yang lain.”

“Terimakasih banyak, Kak Dave. Aku mengerti.”

“Ah— Jangan lupa kunci kamarmu sebelum tidur. Good night.”

Pria bertubuh tinggi itu berjalan menuruni tangga. Tiara menengok ke samping. Pandangannya fokus ke arah pintu kayu yang hanya berjarak sekitar lima meter darinya. Kamar milik Lucas.

‘Kenapa dia membenciku? Padahal aku tidak pernah berbuat salah padanya. Dasar senior aneh.’

Ia segera masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu kamar dan melepas jaket yang sejak tadi dia kenakan. Rasanya Tiara sangat lelah. Ia naik ke atas ranjang dan menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh mungilnya.

“Enghhh— Hangat dan nyaman.”

...* * *...

Lucas mencoba memejamkan matanya sedari tadi. Akan tetapi, dia tetap saja terjaga. Nafasnya memburu sejak ia berpapasan dengan gadis itu di ruang tamu. Mati-matian pria bersurai hitam itu menahan keinginannya untuk memburu junior-nya.

“Damn it! Aku benar-benar benci bau ini.”

Ia beranjak dari tempat tidur. Lucas melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Tangannya memutar kran air di wastafel. Ia segera mencuci wajahnya. Air dingin itu bahkan tak bisa menenangkannya. Lucas menatap bayangannya sendiri di dalam cermin. Mata hijau terangnya sudah berubah menjadi merah darah.

'BUGH! PRANGG!'

Ia memukul cermin itu dengan tangan kanannya hingga hancur berantakan. Darah segar mengalir membasahi tangannya yang terkena pecahan kaca. Ia mengutuk dirinya sendiri.

“Sial. Kenapa aroma darahnya sangat manis?! Arghh— Aku benar-benar bisa gila!”

Lucas mengacak kasar surai hitamnya. Rasa haus menjalari kerongkongannya sejak tadi. Tangannya mengepal kuat, menahan dirinya sendiri agar tak menyerang gadis di kamar sebelah.

“SIAL! BENAR-BENAR SIAL!”

Di lain ruangan, gadis itu tertidur pulas dengan nyamannya tanpa menyadari keberadaan dirinya telah menyiksa ketiga vampir yang ada di mansion mewah itu.

...***...

Terpopuler

Comments

Lilis Ferdinan

Lilis Ferdinan

vampir, berburu vampir,, 😊

2022-10-15

0

Allen

Allen

ceritanya menarik. Lanjut, kak.

2020-12-31

6

Allen

Allen

Lanjut, Kak.

2020-12-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!