"Anak ini! Kenapa lagi dia?!" Julian dan Nathalia terbelalak, melihat sang ayah yang datang marah-marah, "Kau itu lemah sekali! Baru begini sudah masuk rumah sakit! Memang anak sialan!"
"Ma-maaf ayah..." Lirih Nathalia ketakutan. Gadis itu bahkan sudah tidak berani mengangkat kepala lagi, ia sangat takut pada ayahnya.
Sedangkan Julian mendengus tak suka, "Kalau kau datang hanya untuk memaki adikku, lebih baik pergi saja. Pengganggu!"
Ayah mengeraskan rahang, pria itu mendekat dan memukul wajah anak lelakinya secara tiba-tiba. Julian yang tidak sempat menghindar, berakhir jatuh sambil meringis memegangi rahangnya sendiri.
Sebenarnya ia bisa melawan, memukul balik sang ayah sampai babak belur. Tapi bagaimanapun, ia tahu yang ada di hadapannya adalah orang tuanya sendiri. Orang yang mengadakan dirinya, jadi Julian dan Nathalia hanya bisa diam dan terus menghindar kalau ayah kembali melakukan kekerasan.
Julian kesal orang tua satu-satunya yang harusnya dapat ia harapkan, malah terus bersikap egois. Ayah hanya mementingkan dirinya, bukan berarti ayah tak memedulikan mereka. Peduli iya, tapi tetap untuk kepentingannya. Tak ada bedanya dengan keegoisan.
Kalau saja ibu masih ada, semuanya tidak akan seperti ini. Namun kalau menyalahkan kematian ibu, sama saja menyalahkan kehidupan Nathalia.
Saat ini Julian hanya punya Nathalia, adik kecil yang sangat mirip ibu, sosok yang harus terus dilindungi selama ia hidup.
"Anak buta tidak tahu di untung begini masih kau bela? Gara-gara dia juga kan, kau pulang ke Spanyol, padahal sebentar lagi kau lulus. Harusnya aku membuangnya setelah lahir, anak sialan ini memang buruk, sudah buta, bodoh pula!" Mengingat sang ibu yang meninggal karena melahirkan Nathalia, membuat ayah selalu benci jika melihat anak gadisnya.
Terlebih, gadis itu punya penyakit bawaan, yaitu buta sebelah. Warna iris sebelah kanan itu abu-abu pucat sedangkan satunya coklat gelap normal seperti orang pada umunya.
Karena kekurangan itu juga, Nathalia jadi sering dibuli di sekolah. Julian sudah sering menyuruhnya menggunakan lensa, tapi ia menolak dengan alasan pusing jika memakainya.
"Jangan menghina adikku, bodoh!"
"Julian! Sudah beruntung aku memberimu uang setiap hari ya.., kalau tidak--"
"Hentikan semuanya! Kalau memang kau berniat mengasuh dan menganggap kami anak, jangan selalu mengungkit-ungkit uang! Kami tidak butuh uang! Kami benci dilahirkan! Apalagi oleh orang tua sepertimu!"
Ayah diam dan kemudian pergi begitu saja setelah melempar kartu atm.
Juan menginjaknya, "Kita tidak lagi butuh uang orang gila itu, Nath."
...---...
Richard baru berani masuk kamar inap Nathalia seusai ayahnya pergi. Pria itu jelas mendengar keributan keluarga kecil tersebut.
Ia juga mendengar suara pukulan, tapi benar-benar takut untuk menghampiri. Karena bukan siapa-siapa dan tidak ingin dikata ikut campur urusan orang, "Maaf, Nathalia, Julian. Paman hanyalah bawahan, dan bukan siapa-siapa. Kalau tiba-tiba tadi masuk, bisa-bisa aku ikut disangkut pautkan. Maaf sekali ya, tidak bisa membantu," Sesalnya.
"Tidak apa-apa, bukan salah paman," Balas Nathalia.
"Untuk apa kau datang lagi?" Berbeda dengan respon sang adik, Julian malah tampak acuh. Sebenarnya, ia benci dikasihani, makanya dengan kedatangan Prof. Richard kemarahannya langsung memuncak lagi.
Sudah sejak kecil sikap Julian seperti itu, tempramental dan mudah emosi. Hanya ibu yang bisa membuatnya tenang, jadi semenjak ibu pergi, Julian jadi semakin pemarah yang tidak terkontrol.
"Aku menjenguk Nathalia, sekalian bawa buah dari rekan-rekan di tempat penelitian," kata Richard.
"Wah terima kasih, harusnya tidak perlu repot-repot."
Richard memandang wajah tertekan kedua kakak beradik ini, meski hidup serba kecukupan tapi mereka seperti anak yang tak ingin dilahirkan, ia pun menghela napas, "Kalian anak-anak yang baik, semoga tuhan selalu berpihak pada kalian. Paman hanya bisa memberi semangat, tidak lebih. Nathalia, tetaplah tegar untuk hidupmu, dan Julian, kau kakak yang baik, suatu saat semua orang akan balik bersikap baik padamu. Semangat anak-anak!"
Kedua beraudara itu hanya diam, tatapan anehnya mengarah ke Dr. Richard.
"Paman pulang dulu. Oh ya Julian, kalau sudah ada waktu senggang hubungi aku ya, laboratorium sedang membutuhkanmu," pesannya sebelum pergi.
Richard sudah berdiri dan hampir melangkah keluar, tapi panggilan Julian menghentikannya untuk kembali berbalik, "Bisakah aku minta tolong?"
"Ya?"
"Aku akan suka rela ikut tim penelitian kalian, aku akan bersikap baik, tapi balasannya bantu aku mengubah takdir hidup kami supaya lebih baik...
...dengan teknologi Artificial intelligence yang memungkinkan."
"Maksudmu?"
"Seperti menghidupkan ibu kami kembali."
...---...
Arabel dan Luz dikejutkan teriakan seseorang dari luar rumah.
Teriakannya sangat rusuh dan mengganggu, terlebih sepertinya pelaku yang membuat keributan itu berada tepat di depan rumah Einne, yang mereka tempati sekarang.
"Seorang Puteri mahkota! Ada Puteri mahkota di sana!" Luz yang mencoba mengintip dari lubang kecil di pintu, terbelalak kaget, "Arabel! Dia menunjuk-nunjuk kemari, katanya ada Puteri mahkota."
Arabel pun ikut mengintip, "Dia kakek Fiji, punya penyakit kejiwaan, sebaiknya kau sembunyi Luz, orang-orang bisa kapan saja datang, kakek Fiji terus menunjuk ke rumah ini."
Luz mendesah sebal, "Astaga... sembunyi terus."
Tempat sembunyi yang menurutnya tidak nyaman sama sekali, membuat Luz sangat enggan menuju ke sana.
"Ini juga demi kebaikanmu, salah sendiri kau datang tidak meminta ijin. Kata Hareen, kau orang asing yang tersesat di hutan, makanya dibawa ke sini, benarkah?"
Luz mengendilkan bahu, "Terserah!"
"Dasar aneh!" maki Arabel, "Luz, cepat sembunyi!" bentaknya lagi saat menyadari pria tua bernama Fiji itu sudah dikerumuni orang-orang sekitar.
Mau tak mau Luz pergi ke gudang bawah, lokasi yang sering menjadi persembunyiannya. Tempatnya berda di bawah lemari besar, pintu masuknya saja mirip dengan pintu laci, Jadi ia harus merangkak untuk sampai ke dalam.
"Kenapa kakek Fiji terus menunjuk rumah Einne?"
"Halah, biarkan saja. Dia kan orang gila."
"Tapi kakek Fiji jarang sekali keluar rumah, ini tiba-tiba teriak-teriak di jalan."
Tak lama kemudian Einne dan wanita paruh baya lainnya pulang dari pasar, "Ya ampun, kenapa ayahku keluar rumah!" wanita itu merupakan anak dari kakek Fiji, yang memang teman sepekerjaan Einne di pasar.
Keduanya segera menghampiri pria tua yang kini sudah dikerumuni warga.
"Nolian, di sana! Di sana ada Puteri mahkota!" Teriak kakek Fiji pada wanita yang datang bersama Einne.
"Dia terus menunjuk rumahmu, Einne. Katanya ada Puteri mahkota. Ah sungguh, disuruh pulang tidak mau," jawab salah satu warga.
Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang, 'Apa yang di maksud tuan Fiji adalah Ereluz ya? Aku takut sekali astaga...'
"Ayah pasti salah lihat, sebaiknya masuk rumah ya? Aku akan membuatkan makanan yang banyak," bujuk Nolian, anaknya.
"Tidak.. tidak.. pokoknya ada Puteri mahkota di sana! Coba kalian lihat!" sentaknya lagi.
"Mungkin anda salah lihat, tidak ada perempuan selain aku di rumahku kan? Hareen juga tidak di rumah, Hefaisen pergi bermain. Rumahku kosong kakek Fiji," Einne berusahja menyangkal.
"Kau bohong! Ada perempuan cantik, pakai baju biru di sana! Pergilah... lihat sendiri."
Salah seorang warga menyahut, "Tidak ada salahnya meyakinkan kakek Fiji, Nyonya Einne bisakah kita pergi mngecek rumahmu? Supaya dia lega."
"Y-ya tidak masalah."
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments