Seperti yang dikatakan orang-orang, Julian memang lebih parah dari Luz, sangat pemalas, suka tidur saat jam pelajaran berlangsung, kata-katanya yang selalu jelek, dan masih banyak lagi. Uniknya Julian ini selalu mengerjakan tugas tepat waktu dan setelah beberapa kali diadakan ujian dadakan, nilainya selalu tertinggi.
Lagi-lagi lelaki itu terlelap saat Bu Helen tengah mengajar, sang guru berkali-kali menegur, tapi diabaikan, "Julian, coba maju dan kerjakan soal nomor lima di papan tulis," Kata Bu Helen, jengah melihat kelakuan anak itu.
Julian tampak mengangkat kepala sejenak, lalu mengusap mata. Sesuai perintah sang guru, ia melangkahkan kaki menuju papan tulis, menjawab semua soal yang masih kosong. Padahal Bu Helen hanya menyuruhnya mengerjakan soal nomor lima.
Parahnya lagi, hanya dalam satu menit, sepuluh soal matematika langsung ludes dijawabnya.
Murid-murid tampak takjub, meski sudah sering melihat Julian melakukan hal tersebut. Tapi Bu Helen malah menampilkan ekspresi marah, "Sudah ku bilang, nomor lima saja."
Lelaki itu mengacuhkan sang guru dan kembali duduk di tempatnya, lebih tepatnya tidur lagi.
Bu Helen meneliti hasil pekerjaan Julian, Semuanya benar, jawaban benar dan lengkap. Bahkan ada beberapa yang diikuti penjelasan kecil, "Karena Julian menghabiskan semua soal, setelah ini kerjakan tugas digital, nanti setelah jam istirahat, semua harus membuka web sekolah."
Anak-anak sontak mendengus tidak suka, tugas digital bahkan punya lebih banyak soal mengerikan. Yang kalau ada kesalahan kecil saja bisa sangat mempengaruhi nilai akhir semester.
"Anak baru itu menyebalkan, karena dia kita jadi sering dapat tugas tambahan!"
"Tapi dia pintar."
"Hanya dia yang pintar, kita malah semakin bodoh kalau begini."
"Yang penting kan dia tampan, jadi pencuci mata para gadis," celetuk Jessica yang mendengar obrolan kedua teman lelakinya membicarakan Julian.
"Dasar perempuan rendahan! Begitu saja kagum!"
"Iri tanda tak mampu!"
... ---...
Sepulang sekolah, Julian langsung menuju tempat penelitian. Atas permintaan Dr. Alenio.
Dirinya sebenarnya sangat malas kalau berkumpul dengan orang-orang pemikir seperti mereka, tapi ia juga sulit punya teman karena terlalu angkuh. Untung saja tidak ada yang berani menbencinya secara terang-terangan, tentunya karena dirinya kaya dan punya kekuasaan.
Saat baru sampai di depan gerbang, mobil putih yang dikendarai Dr. Richard sudah siap menyambutnya, "Aku tidak perlu dijemput, Dr. Richard," ujarnya setelah memasuki mobil tersebut.
"Tapi ini perintah Tn. Girasol."
"Ayahku bahkan tidak pernah tahu aku sedang di rumah atau tidak, nanti kalau akhir semester baru datang dan memukuliku karena tidak dapat nilai bagus," jelas Julian datar, tapi bagi Richard terdengar sendu.
"Jangan begitu, asal kau tahu, ayahmu peduli dengan masa depanmu. Makanya dia terus membuatmu rajin belajar, supaya pergaulan juga tidak melenceng," dari penjelasan Dr. Alenio waktu itu, yang Richard tahu, Julian sebenarnya memang tertekan karena perintah sang ayah, tapi kali ini ia berusaha memberikan hal positif tentang si ayah anak itu agar tidak terlalu membenci.
"Ayahku itu bukan peduli pada masa depanku, tapi peduli pada perusahaanya. Dia menyekolahkanku sampai jadi anak yang cerdas supaya aku dan adikku bisa meneruskan perusahaanya dengan taktik lebih baik supaya semakin berkembang."
Richard hanya diam, tak berani mengulik lebih dari kehidupan anak lelaki itu, ia pun memutuskan mengganti topik, "Setelah ini kita jemput Nathalia dulu, tidak masalah kan?"
"Harusnya aku yang bertanya, apa tidak masalah membawa adikku ke laboratorium kalian? Dia sedikit aktif."
"Ya, setidaknya dia bukan pengacau."
Julian menyeringai, "Lihat saja nanti."
Richard menepikan kendaraannya ketika nelihat Nathalia yang masih memakai seragam sekolah duduk berjongkok di dekat halte.
Menyadari keadaan buruk sang adik, Julian sontak turun dari mobil dan berlari, "Nath, bajumu kotor lagi? Ck! Siapa yang melakukannya?! Katakan padaku?! Biar ku pukul."
Richard segera menghampiri kakak beradik itu saat Julian mulai berteriak marah, murid-murid di sekitarnya berlari menjauh ketika Julian berubah ganas seperti singa kelaparan yang bersedia mengoyak tubuh mangsanya, "Nathalia dibuli lagi?"
Yang ditanya hanya diam dan menunduk dalam. Tak berani menatap siapapun.
"Nath, jawab! Siapa orangnya, jangan diam saja begini!" Sentak Julian emosi, Nathalia memang tidak pernah mau bicara siapa anak yang membulinya. Padahal baru pindah beberapa hari, tapi sudah dapat perlakuan tidak mengenakkan, dulu di Kanada, Nathalian juga sering jadi bahan olokan, tapi tidak sampai main fisik.
"Kak, aku mau pulang," ujarnya saat sudah lelah menangis. Kepalanya ternagkat menatap sang kakak dengan senyum tipis.
Julian dan Richard segera membawa Nathalia ke rumah sakit, melihat banyak memar di sekujur tubuhnya.
... ---...
Nathalia sudah sadar dari pengaruh obat bius. Tadi dokter perlu mengeluarkan pecahan kaca di kaki dan lengannya, untuk itu mereka memilih membuat Nathalia tidak sadar, supaya tidak kesakitan.
Gadis itu beranjak duduk, matanya menangkap sang kakak yang terlelap di sofa dekat jendela besar, ternyata hari sudah malam ketika tak sengaja melirik jam yang tergantung di dinding.
Perutnya bergemuruh kencang, ia sangat lapar sekarang. Jatah makan siangnya tadi terlewati karena salah satu teman sekolah barunya sengaja membuat makanan yang sudah Nathalia pesan, tumpah. Jadi sampai sekarang perutnya belum terisi apapun kecuali roti tawar menu sarapannya.
Nathalia ingin membangunkan Julian, tali melihat wajah kakanya yang terlelap damai, ia mengurungkan. Alis Julian bahkan ikut mengkerut, sepertinya lelalki itu sedang mimpi buruk.
Semakin lama Julian tampak aneh, keringat bermunculan di dahi, wajah sampai lehernya juga memerah seperti sedang kesakitan.
Nathalia segera bangkit dari brankar dengan susah payah, ia lalntas menepuk pelan pipi sang kakak, "Kak, bangun kak!"
Julian mengerang kecil, ekspresinya terlihat kebingungan saat baru menbuka mata.
"Kakak mimpi buruk ya?"
Julian menganggukan kepala seraya mengusap wajah, "Ya ampun, aku tadi merasa sedang kehilangan sesuatu, seperti sangat ketakutan."
"Ngomong-ngomong, karena kakak sudah bangun bolehkan aku minta tolong?"
"Tentu saja, kau mau apa? Aku akan selalu ada untukmu."
"Aku lapar, tapi tidak mau masakan rumah sakit."
Julian sontak tertawa, "Ternyata lapar, sebentar kalau begitu, aku akan pesan di kantin runah sakit saja ya?"
... ---...
Julian menatap sang adik yang makan sangat lahap, seperti sudah tidak makan berhari-hari, "Pelan-pelan kalau makan."
"Aku pelan," jawab Nathalia dengan mulut penuh.
"Nath, kau seperti tidak makan seminggu saja," celetuk Julian yang masih takjub melihat cara dan porsi makan Nathalia.
"Aku memang lapar," balasnya kembali tidak peduli.
"Kalau begitu boleh aku bertanya?" Nathalia mengangguk mendengar pertanyaan yang dilontarkan kakaknya.
"Siapa yang memukulimu dan kenapa seragam sekolahmu kotor sekali?"
Nathali menghentikan suapannya, terdiam tak berani melihat Julian.
"Katakan siapa? Aku tidak akan menghajar pelakunya, tapi aku akan melaporkan pada gurumu."
"Tidak usah, kalau kakak bersikap seperti itu, aku jadi tidak punya teman."
"Iya, uangmu habis hanya untuk membelanjakan mereka kan? Orang yang kau anggap teman tapi tak balas menganggapmu teman."
"Sudahlah kak, biar aku yabg mengatasi kehidupan sekolahku sendiri."
"Nath--"
"Kak, aku mau makan," Julian menutup mulut seketika. Memandang sekujur tubuh adiknya yang penuh luka.
"Jangan jadi lemah, kau bisa terus diinjak-injak."
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments