Guruku Suamiku
Detik jam terdengar jelas diruangan itu. Seorang pria dewasa berwajah tampan, memiliki bentuk tubuh yang bagus dengan tinggi sekitar 185 cm, tengah duduk di kursinya sambil membolak-balik sebuah buku.
Sementara di hadapan pria itu terlihat seorang perempuan muda - dengan rambut terurai sebahu, berwarna coklat tua, bermata besar dan memiliki wajah yang begitu cantik - duduk dengan sangat tidak sopan. Kedua kakinya ia lipat duduk bersila diatas kursi, tangan menyilang dengan angkuhnya sambil menghisap permen lolipop.
"Bianca Sabian, bisa turunkan kakimu?" tanya pria itu dengan lembut. Kepalanya masih menunduk menatap buku yang berisi daftar pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Bianca seminggu terakhir di sekolah.
"Kalau aku nggak mau, Pak Guru Rava?" balas sang siswa a.k.a Bianca dengan nada remeh.
Rava menghela napas menghadapi murid paling bermasalah di SMA Harapan ini. Mulai dari datang sesuka hati ke sekolah, berlarian di koridor saat jam pelajaran, mengecat rambut, membuat keributan saat guru sedang mengajar dan masih banyak lagi.
Kalau bukan karena sejumlah prestasi yang diraihnya hingga membuat nama SMA Harapan harum serta sokongan dana dari orang tuanya, sudah pasti Bianca akan dikeluarkan dari sekolah. Sayangnya sekolah tidak bisa melakukan hal itu karena sejumlah hal yang author sebutkan diatas.
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan Bianca?" tanya Rava lagi.
"Yang aku inginkan? Nggak ada, aku nggak mau apa-apa, aku cuma bosan" jawab Bianca santai.
Rava menghela napas lagi. Dia adalah wali kelasnya Bianca dan itu artinya dia bertanggung jawab penuh atas kelakuan siswinya ini.
Bukan sekali dua kali pihak sekolah mengadukan kelakuan Bianca kepada orang tuanya, malah orang tua Bianca sudah benar-benar angkat tangan atas kelakuan putri tunggal mereka itu.
"Sudah selesai Pak Guru? Sekarang jam istirahat dan aku lapar, aku mau ke kantin"
"Benarkah? Sejak kapan kamu nurut jam istirahat kalau mau ke kantin? Biasanya kamu selalu pergi sesukamu."
Bianca menyeringai, "Ah, Pak Guru tahu aja, sih. Aku sudah bosan disini, jadi aku pergi dulu ya?" Dan tanpa menunggu persetujuan dari sang guru, Bianca seenaknya pergi meninggalkan ruangan itu. Membuat Rava memijit pelan kepalanya yang selalu berdenyut setiap berhadapan dengan Bianca.
***
CAST PEMERAN UTAMA (RAVA PRATAMA)
CAST PEMERAN UTAMA (BIANCA SABIAN)
Bianca berjalan sambil menghentakkan kakinya. Gadis berambut coklat tua itu tidak peduli walau siswa lain memandangnya kesal karena hentakan kakinya itu.
Gadis cantik itu berhenti di depan kelasnya dan memasukinya. Seketika saja sekumpulan murid wanita lain penggemar Rava yang menamai diri mereka 'Love Rava Club' mendatanginya.
"Bian, Pak Rava ada bilang sesuatu nggak tentang kami?" tanya seorang murid perempuan yang Bianca kenali bernama Tiara.
Bianca memutar bola matanya. Dia tidak mengerti kenapa hampir seluruh murid perempuan di SMA Harapan ini mengagumi seorang Rava Pratama. Apa sih bagusnya dia?
Bianca akui, Gurunya itu memang tampan dan ramah, selain usianya juga baru dua puluh sembilan tahun, tapi tetap saja dia tidak mengerti kenapa begitu banyak orang yang mengaguminya. Terutama empat teman sekelasnya yang kecentilan ini.
"Woe, Bi! Ngelamun aja sih!" desak Tania, ketua 'Love Rava Club'.
Bianca menyeringai, "Kalian tahu nggak? Pak Rava bilang, kalian itu jelek, dandanan kalian norak, kalian gemuk dan tua"
Hening sejenak. Bianca yang memang dasarnya jahil, tersenyum menang melihat wajah para Rava's fangirls itu memucat, lalu…
"NOOOOOOOOO~~~!" histeris empat gadis itu. Cepat-cepat mereka kembali ke bangku mereka dan mengeluarkan isi tas yang tidak lain adalah alat make-up dan segera saja murid - murid rempong itu berdandan ria, memastikan mereka tidak jelek ataupun norak.
Bianca memandang mereka bosan. Padahal dia 'kan berbohong, tapi siapa sangka mereka justru percaya.
Daripada memandangi teman - temannya yang sedang heboh itu, Bianca kemudian memilih melangkahkan kakinya ke bangkunya.
Namun raut heran memenuhi wajah cantiknya ketika melihat Jeni teman sebangkunya.
Bukan.
Bianca bukan heran melihat Jeni, lebih tepatnya heran melihat bocah kecil yang sedang makan dengan lahapnya di pangkuan Jeni.
Bocah itu menoleh dan tanpa sengaja bertemu pandang dengan Jeni. Senyum lima jari terpasang di wajah imutnya, "Mommy~~" serunya dengan suara cemprengnya.
"Apa? Dia bilang apaan?"
"Mommy itu artinya 'ibu', masa' gitu aja nggak tahu, sih?" sahut Jeni santai.
"Asem, kalau itu gue juga tau mah! Masalahnya ngapain bocah ini manggil gue 'mommy'?"
Jeni memiringkan kepalanya bingung, "Emangnya kamu bukan ibunya?" tanyanya dengan segala ke-innocent-an yang ada.
"Ya enggaklah, Jenong! Gue ini masih gadis tulen seribu persen dan lagi, sejak kapan coba gue punya anak?" geram Jeni.
"Apah? Ah! Telnyata cuma milip, kamu bukan mommy! Mommy aku tidak pelnah malah-malah, tauk." celetuk bocah tadi.
"Yaelah, gue ini emang bukan emak loe, tauk!"
"Udah, udah Bian.. nggak usah ngegas juga napa" tegur Jeni, seraya mengencangkan pelukannya pada bocah yang kembali makan itu.
Bianca tidak peduli. Dia menarik kursi di samping Jeni dan mendudukkan dirinya. Mata beningnya menatap bocah itu, rasa-rasanya dia mirip dengan seseorang.
Tiba-tiba saja bocah itu mengangkat kepalanya dan memandang ke arah pintu kelas dengan mata berbinar, "DADDYYY~~~~!" pekiknya yang sontak mendapat perhatian dari seluruh kelas.
Dan semua siswa di kelas itu pun menolehkan kepalanya secara bersamaan ke pintu kelas, ingin tahu siapa yang dipanggil 'daddy' oleh bocah kecil tadi.
Tidak perlu menunggu lama hingga terdengar pekik kecewa seluruh perempuan di kelas itu, terutama dari Tania dan kawan-kawan. Kenapa? Pasalnya yang berdiri di depan pintu itu adalah sang guru idola - alias Rava Pratama.
" Daddy itu artinya papa." celetuk Jeni seperti mengajari murid SD "Jadi Pak Guru Rava itu papanya bocah tadi? Aku nggak tahu kalau Pak Rava udah punya anak" tambahnya sambil memandangi si bocah yang kini berlari kecil ke arah Rava.
Bianca mengangguk sambil memegang dagunya, "Pak guru kan masih muda gitu, pasti itu anak haram!"
"Astaga, ngomong di filter dulu napa, Bi? Nggak mungkin lah Pak Rava punya anak haram!"
Bianca mengerucutkan bibirnya, dia paling kesal kalau ada yang tidak sependapat dengannya.
Jeni ini sahabat satu - satunya sekaligus teman sebangku Bianca. Anaknya memang polos dan terkadang kelewat lugu. Tetapi dibalik ke polosannya, Jeni selalu saja bisa mengontrol emosi Bianca yang labil dan meledak ledak. Itulah kenapa mereka sangat lengket. Bianca merasa tidak butuh teman lain selain Jeni.
"Gio, kamu ngapain disini? Daddy kan sudah bilang buat tunggu saja di ruang guru sama Bu Guru Ara?"
Bocah kecil itu menggelengkan kepalanya, "Gio bocan di luang gulu~"
"Disini kamu rupanya, sudah kucari kemana-mana"
Seorang perempuan yang juga guru di SMA Harapan baru saja datang dan berdiri di luar pintu kelas. Guru perempuan itu adalah Ara Daniati. Paras cantiknya terlihat khawatir.
"Maaf Bu Ara, sepertinya Gio merepotkanmu" ucap Rava dengan senyum manly-nya.
"Ah, nggak apa - apa, mas. Gio anak yang baik, hanya saja aku nggak begitu cermat memperhatikannya tadi"
Oh, ingin rasanya Tania serta belasan murid perempuan lainnya dikelas itu melempari raut malu-malu-menjijikkan milik Ara dengan sepatu mereka. Apa- apaan panggilan sok akrab Ara di depan banyak murid itu.
Yah, di SMA Harapan ini ada tiga guru yang usianya paling muda. Dua diantaranya adalah Rava dan Ara. Ara baru berusia dua puluh tujuh tahun.
Tidak heran kalau keduanya sangat akrab bahkan mereka sampai digosipkan berpacaran. Dan tentu saja gosip itu dibantah habis-habisan oleh ratusan murid perempuan di sekolah itu.
"Gio sayang, ayo ikut kakak" ajak Ara sambil membawa Gio keluar dari kelas.
Karena sekarang sudah masuk jam pelajaran Rava dan kebetulan Ara sedang tidak ada jam pelajaran, sehingga Rava bisa meminta tolong padanya untuk menjaga Gio.
Ada yang penasaran kenapa Rava membawa Gio ke tempatnya mengajar? Itu karena Bu Sumi yang biasanya menjaga Gio sedang keluar kota bersama suami dan anaknya.
"Oke, sekarang kita mulai pelajarannya" ujar Rava setelah memastikan Gio aman bersama Ara.
Para siswa di kelas yang didominasi oleh perempuan itu pun segera membuka buku mereka, padahal kalau dengan guru lain mereka tidak seperti itu. Dan semua itu karena pesona seorang Rava Pratama yang luar biasa.
"Nah, buka buku halaman-" perhatian Rava teralih pada seorang murid yang seenaknya berjalan hendak keluar kelas. Rava hanya menghela napas ketika melihat Bianca-lah murid yang hendak keluar itu.
"Bianca, kamu mau kemana?"
Bianca tidak menjawab, gadis cantik itu hanya mengacungkan jari tengahnya. Membuat Rava menghela nafas, mencoba sabar - lagi.
(ARA)
( GIO PRATAMA)
***
Bianca merebahkan tubuhnya di atap sekolah. Mata beningnya memandang pada sekumpulan awan yang bergerak bebas di langit biru.
Sebersit perasaan iri menyeruak di dadanya. Ingin rasanya Bianca menjadi seperti awan itu. Bebas. Tidak terikat.
'brakk!'
Tiba-tiba saja pintu atap sekolah terbuka keras. Membuat Bianca bangkit dari berbaringnya. Mata besarnya membulat terkejut ketika secara tiba-tiba seorang anak kecil berlari menerjang tubuhnya.
"K-kamu! Kamu anaknya pak guru Rava 'kan?"
Bocah kecil itu mengangguk semangat, "Yup, namaku Gio!"
"Aku nggak nanya namamu"
"Ish! Mommy ketus cekali?"
Bianca membelalakkan mata mendengar panggilan yang diberikan oleh bocah ini. Mommy lagi?
"Ehem, dengar ya bocah…"
"Gio!" seru Gio kesal. Bocah mungil itu tidak terima kalau dipanggil bocah rupanya.
"Ok, ok, Gio panggil aku kakak! Oke?"
"Apa? Sistel?" Gio memiringkan kepalanya bingung.
"Bukan sister, tapi kakak. Ka - kak. Bisa nggak sih kamu pakai bahasa Indonesia saja?" gerutu Bianca.
Walau 'sister' itu juga berarti kakak perempuan, tetap saja dia kesal karena bocah ini menggunakan beberapa kosakata bahasa Inggris dalam kalimatnya.
"No! Mommy Gio olang Ingglis! Jadi Gio pakai bahaca Ingglis!"
Bianca menghela napas. Bocah ini sama menyebalkannya dengan ayahnya, begitu pikir Bianca.
"Jadi, emm… Gio, kamu disini ngapain? Ibumu mana?"
"Mommy nggak tinggal di lumah"
Bianca mengerutkan alisnya. Ibunya Gio, alias istrinya Rava tidak tinggal di rumah? Apa Rava sudah cerai dengan istrinya?
'Huh, itu pasti karena Pak Rava selingkuh, dasar mata keranjang' batin Bianca.
"Kalau nggak tinggal di rumah, jadi ibunya Gio dimana?"
Gio tersenyum lima jari. Kepalanya menengadah ke langit dan tangannya menunjuk ke langit, "Kata daddy, mommy tinggal cama Tuhan"
Bianca tertegun. Mendadak perasaan tidak enak merasuk pikirannya, "Oh gitu ya" gumamnya canggung.
Sejenak suasana hening. Bianca memilih untuk menyandarkan punggungnya di dinding, sambil membuka bungkus rotinya. Gerakannya terhenti ketika melihat Gio memperhatikan kegiatannya dengan seksama.
"Ada apa?"
"Gio mau ituuu~" seruny sambil menunjuk roti yang dipegang Bianca.
"Enak aja, ini punya kakak!"
"Tapi Gio mauuu~"
"Aiiish, tadi kan kamu udah makan bareng Jeni?"
"Gio lapal lagiii~"
"Kamu rakus ya?"
"Gio nggak lakus, Gio lapal, sisteeel.."
"Pokoknya eng-"
"Gio?"
Sontak Bianca dan Gio memutar kepalanya dan mendapati sosok seorang guru wanita di pintu.
"Aduh, tolong jangan ngilang tiba-tiba gitu, Gio sayang" kata wanita yang ternyata Ara itu.
"Gio bocaaa~n"
"Dan kamu Bianca, apa yang kamu lakukan di tengah jam pelajaran begini?"
"Aku? Tadinya sih sedang tidur, tapi bocah ini datang aja ganggu" ujar Bianca santai.
"Kembali ke kelasmu!" perintah Ara.
Tapi bukannya mematuhi perintah Ara, Bianca justru memakan rotinya dengan santai, "Nggak mau, di kelas bikin ngantuk"
"Bianca!" suara Ara meninggi.
"Ais, berisik banget sih! Aku bilang 'kan nggak mau!"
"Siswi macam apa kamu yang tidak menaati peraturan sekolah!"
"Apa hakmu mengaturku, hah?"
Guru cantik itu menggeram emosi. Tanpa sadar tangannya terangkat ke udara, ketika akan melayangkan tangannya, mendadak ada yang menahan tangannya.
"Ada apa ini?" suara bass Rava terdengar tegas.
"R - Rava…"
"Cih, jadi ramai!" ketus Bianca.
Rava menghela napas. Pria tampan itu menundukkan kepalanya untuk sekedar melihat kondisi Gio yang memeluk kakinya. Anak tunggalnya itu terlihat ketakutan. Dengan perlahan diangkatnya tubuh Gio dan menggendongnya.
"Bu Guru Ara, lebih baik kamu ke ruang guru sekarang"
"T-tapi Rava…"
"Lebih baik kamu ke ruang guru sekarang, nanti kamu dikira membolos, loh?" perintah Rava lembut sambil memamerkan senyumnya.
Wanita bernama lengkap Ara Daniati itu hanya mengangguk pelan dan segera pergi dari sana.
"Dan kamu Bianca" Rava beralih menatap Bianca, "Kembali ke kelasmu sekarang"
Bianca menatap Rava tajam. Gadis cantik itu kemudian berjalan menuruni tangga bawah setelah sebelumnya sengaja menabrakkan bahunya dengan Rava. Meskipun hanya mengenai lengan Rava karena perbedaan tinggi mereka.
Pria bermata setajam elang yang turut menuruni tangga itu mulanya mengira Bianca akan kembali ke kelasnya, namun ketika sampai di anak tangga terakhir, Bianca malah belok ke arah kiri. Padahal kelasnya ada di sebelah kanan.
Rava menghela napas, "Lihat itu, kalau sudah besar Gio jangan jadi seperti itu ya? Nanti bisa punya banyak musuh."
"Oke daddy!"
Rava tersenyum tipis sambil mencium puncak kepala Gio gemas.
***
"Bian, sudah siap belum?"
"Sudah Ma!" jawab Bianca menyahut panggilan sang ibu yang berada di lantai satu.
Saat ini gadis cantik berusia 17 tahun itu tengah memperhatikan pantulan dirinya di cermin berukuran cukup besar.
Gaun elegan berwarna putih membalut tubuh rampingnya. Sepasang heels cantik berwarna cream membuat kakinya terlihat semakin jenjang. Rambut coklatnya yg indah dibuat sedikit bergelombang. Make up yang tipis namun segar menghiasi wajah yang cantik itu. Sekilas Bianca tampak seperti mempelai wanita yang akan menikah.
Wajahnya sudah putih dan bibirnya juga sudah berwarna merah tanpa perlu bedak maupun pewarna bibir yang tebal.
Jangan tanya kenapa dia berpenampilan seperti itu. Semua ini mamanya yang memerintahnya.
Ketika sampai di rumah sekitar pukul lima sore tadi terlihat rumah Bianca seperti sedang mempersiapkan sesuatu. Mamanya keliling hilir mudik memastikan bunga yang diletakkan di setiap sudut rumah masih segar.
Beberapa pelayan juga terlihat sibuk seperti membersihkan karpet, mengelap kaca dan perabotan dan masih banyak lagi. Seolah-olah akan ada suatu acara penting yang akan dilaksanakan di rumah ini. Dan pakaian bak seorang putri ini juga mamanya yang memerintahkan Bianca untuk memakainya.
Sekali lagi gadis cantik itu menghela napas. Padahal niatnya tadi sehabis dari game center, ia ingin langsung mandi, makan dan tidur. Tapi dengan segala persiapan entah-untuk-acara-apa di rumahnya ini, membuat Bianca mengurungkan rencananya, kecuali mandi tentu saja.
"Bian!" terdengar lagi suara mamanya dari bawah. Bianca menghela napas lagi. 'Merepotkan' pikirnya. Untuk yang terakhir Bianca merapikan rambut lembutnya dengan jemarinya.
'cklek'
Bianca membalik badannya ketika mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Dan mata besarnya membulat ketika melihat sosok bocah pendek dengan wajah yang cukup manis.
"Waoww..kakak manis cekali~" seru anak itu.
"G- Gio? Kamu Gio 'kan? Kenapa bisa ada disini?" tanya Bianca beruntun.
"E-eh, Gio dicini kalena-"
"Bianca! Lama banget, sih!" tegur ibu Bianca yang sudah berdiri di ambang pintu. Wanita yang mengenakan gaun hitam sederhana dengan beberapa perhiasan mahal itu, melembutkan pandangannya ketika melihat Gio yang berdiri tidak jauh dari Bianca.
"Gio sayang? Lagi ngapain disini, hm?"
"Gio bocan, tante!"
Ibu Bianca merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Gio, tangannya terjulur membelai rambut Gio lembut, "Gio, jangan panggil tante dengan sebutan 'tante', panggil 'nenek', oke?"
Bianca memiringkan kepalanya bingung. Kenapa ibunya meminta Gio untuk memanggilnya dengan sebutan 'nenek'?
"Bi, cepatan ke bawah. Yang lain sudah nungguin"
Kembali Bianca mengernyit heran. Siapa yang dimaksud mamanya dengan 'yang lain'? Namun gadis bermata bening itu memilih untuk diam saja dan mulai menuruni tangga bawah menuju meja makan. Diikuti sang mama sambil memegangi Gio.
Mata Bianca membulat sempurna ketika melihat ruang makan yang luas itu disulap hingga terlihat begitu mewah. Dengan bunga-bunga aneka warna di setiap sudut ruangan, lukisan mahal di pajang pada dindingnya, lalu meja panjang dengan taplak meja berwarna merah dan hidangan lezat disepanjang meja itu.
Mata Bianca memicing ketika melihat siapa yang duduk di meja itu. Ada sekitar empat orang. Satu dikenalinya sebagai ayahnya. Sedangkan tiga lagi –dua pria dan satu wanita - sama sekali tidak dikenali oleh Bianca.
Kecuali seorang pria dengan rambut berwarna hitam legam yang sepertinya familiar bagi Bianca, namun pria itu tengah berbicara dengan ayahnya hingga wajah pria itu tidak bisa dilihat dari sudut Bianca berdiri sekarang.
"Bi, ngapain berhenti, sayang?" tegur ibu Bianca ketika mendapati putri tunggalnya berdiri mematung. Bianca mengangguk gugup, gadis itu lalu berjalan menghampiri meja makan dengan kepala tertunduk diikuti oleh ibunya.
Bianca menarik kursinya di samping kanan ibunya yang duduk di samping papanya. Ketika pria itu mengangkat kepalanya, ia terkejut bukan main ketika mendapati sosok Rava Pratama duduk di depannya. Di samping sosok gurunya terlihat Gio yang sedang mengunyah kuenya.
"Kamu pasti Bianca?" sebuah suara lembut dan anggun mengalihkan perhatian Bianca ke arah seorang wanita yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari ibunya.
"A-ah ya…" Bianca mengangguk gugup.
Wanita itu tersenyum lembut, "Ah, kamu pasti belum mengenalku 'kan?"
Bianca menggeleng.
"Bi," ibu Bianca bersuara, "Ini Bu Rahel Pratama dan Bapak Aldan Pratama." ujarnya mengenalkan pria dan wanita dewasa yang tersenyum ramah pada Bianca, "Mereka ini orang tua Rava Pratama, kamu udah kenal Rava kan?"
Bianca melirik canggung ke arah Rava.
"Kalau yang kecil itu namanya Gio Pratama" giliran ibu Rava mengenalkan bocah kecil di samping Rava yang masih sibuk mengunyah, "Anaknya Rava"
"Ya, nenek, Gio udah kenal cama kakak kok!" gumam Gio diantara kegiatan mengunyahnya.
"Oh gitu ya? Baguslah"
"Ah Bianca, kamu sudah besar ya sekarang. Tante nggak nyangka kamu jadi secantik ini loh." celetuk ibu Rava lagi.
"Waktu pertama kali melihatmu saat usiamu tujuh tahun kukira kamu anak laki - laki… hahahahaha. Soalnya kamu tomboy sekali waktu kecil." tambahnya diikuti oleh tawa dari orang yang berada disana kecuali Bianca, Rava dan Gio.
"Nah, mari dinikmati hidangannya" ujar ibu Bianca mempersilahkan tamunya.
Sejenak ruangan itu penuh dengan suara-suara para nyonya dan tuan yang membicarakan masalah perusahaan mereka.
Meninggalkan Bianca yang bingung sebenarnya acara apa ini. Apa ada hubungan dengan kenakalannya di sekolah? Gadis cantik itu melirik Rava yang menurutnya terlihat sangat tampan.
Rava saat itu mengenakan setelan jas berwarna hitam dan dalaman berupa kemeja putih disertai sebuah dasi berwarna hitam yang memperelok penampilannya.
Pria itu terlihat makan dengan tenang sambil sesekali mengusap serpihan makan di pinggiran bibir Gio.
"Jadi gimana Bian?" Ibu Rava melirik Bianca, "Kamu setuju 'kan kalau minggu depan?"
Bianca mengerutkan alisnya bingung, "Setuju tentang apa ya, tante?"
"Loh? Kamu belum ngasih tahu dia, Sin?" tanya ibu Rava bingung ke ibu Bianca.
"Ah, sorry aku lupa"
Bianca melirik bingung. Dia benar-benar tidak mengerti ada apa sekarang.
"Jadi gini nak Bianca," ibu Rava memandang Bianca lembut, "Kami kemari untuk menentukan tanggal pernikahanmu dengan Rava"
WHAT!
Cepat-cepat Bianca mengambil air minumnya dan menghabiskannya dengan sekali teguk, "Me-menikah?" serunya tidak percaya.
"Ya, dan kami semua setuju kalau akan dilaksanakan minggu depan. Gimana menurutmu?"
Bianca mematung tidak percaya. Dia menikah dengan Rava? Guru di sekolahnya? Wali kelasnya? Sejak kapan diputuskan begitu? Seingatnya orang tuanya tidak pernah membahas soal pernikahan dengannya. Tiba - tiba telinganya terasa berdenging.
"Apa minggu depan nggak terlalu lama?" celetuk ibu Bianca.
Ibu Rava manggut-manggut, "Gimana kalau lusa?"
Ibu bianca mengangguk setuju.
Sementara Bianca masih membatu tidak percaya dengan kabar yang baru didapatnya. Dengingan di telinganya semakin keras. Hingga rasanya dia bisa tuli seketika. Mungkin sebagian saraf otaknya yang terkejut dengan kenyataan ini membuatnya salah mengirim sinyal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Queen Tdewa
kecewa masal
2022-12-04
0
Queen Tdewa
wah anak ny Rava nih
2022-12-04
0
Christina Hartini
sepertinya menarik🤭
2022-05-02
0