Rava masih menggenggam kedua tangan Bianca yang kini terasa berkeringat. Pria itu makin mendekatkan wajahnya, sedekat yang dia mampu.
"Bi…" bisiknya lirih.
Bianca menelan ludah gugup. Wajahnya dengan wajah Rava kini nyaris tanpa jarak. Jika Bianca mengangkat wajahnya maka pasti akan langsung berbenturan dengan wajah Rava.
"Kamu…" kembali Rava bersuara, "Apa kamu nggak mau ngasi aku seorang anak?"
Bianca tercekat. Jangankan untuk mengangkat wajahnya, melirik Rava saja dia tidak mampu. Gadis cantik itu ingin segera keluar dari situasi semacam ini.
Sebenarnya ia bisa saja mendorong bahu Rava dan segera berlari keluar kamar, toh Rava tidak mencengkeram tangannya begitu erat. Namun sayang dia tidak bisa.
Suara Rava, terpaan nafasnya, dan genggaman tangannya pada tangan Bianca entah kenapa membuat Bianca nyaris tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun rasanya sulit.
"Bi… apa jawabanmu?" lanjut Rava. Mata kecilnya kini tertuju pada leher jenjang Bianca yang putih mulus. Ah, pasti sangat menyenangkan kalau bisa memberikan satu dua kissmark pada leher indah itu.
Rava agak menundukkan kepalanya, berusaha untuk melihat wajah Bianca yang disembunyikan oleh poninya.
Entah apa yang dipikirkan Rava hingga ia kini makin mendekatkan wajahnya dengan wajah Bianca. Perlahan namun pasti Rava membuka bibirnya sedikit dan mengecup bibir mungil sewarna delima itu.
Bianca tersentak. Namun dia tidak menolak. Gadis cantik itu mengikuti nalurinya, memejamkan matanya dan menerima setiap kecupan yang Rava berikan pada bibirnya.
Seketika tubuhnya melemas saat merasakan satu jilatan lembut membasahi bibir bawahnya. Dengan sedikit ragu Bianca membuka bibirnya dan segera saja sesuatu yang terasa lembut dan basah menyusup ke dalam.
Rava mendekatkan tubuhnya guna memperdalam ciumannya dengan istrinya. Tangannya yang semula menggenggam tangan Bianca kini merambat ke punggung istrinya itu. Menariknya dan membuat tubuh keduanya benar-benar menempel erat.
Sebuah ide usil terlintas di benak Rava. Perlahan Rava menarik wajahnya dan betapa terkejutnya dia ketika wajah Bianca justru mengejar wajahnya. Seolah tidak ingin melepaskan ciuman ini. Bahkan tangan Bianca kini mencengkeram kerah bajunya.
Bianca sendiri sama sekali tidak membalas ciuman Rava. Namun meski demikian dia tidak ingin kehilangan sentuhan yang lembut itu.
Rava ingin lebih. Kini tangannya tidak hanya menyentuh punggung Bianca, tetapi juga merayap ke balik kaus yang dikenakan oleh Bianca. Kulit Bianca terasa lembut di tangannya.
Hasratnya meningkat tajam ketika mendengar desahan halus meluncur dari bibir Bianca saat merasakan tangan yang besar dan hangat itu menyentuh kulitnya.
"Daddy!" mendadak terdengar suara Gio. Namun untuk pertama kalinya Rava memilih untuk mengacuhkan Gio.
"Daddy! Mommy!" suara Gio terdengar makin dekat.
Rava masih akan melanjutkan aksinya namun terhenti ketika merasakan Bianca mendorong bahunya.
Dengan berat hati Rava menjauhkan wajahnya. Senyum manis bertengger ketika mendapati wajah Bianca yang merah padam. Dan ah, bibir mungil itu kelihatan begitu basah dan menggoda.
'cklek'
"Daddy dan mommy sedang apa? Gio panggil dalitadi kok gak dengal cihh~?" gerutu Gio sambil memanyunkan bibirnya.
"Ah, maaf, tadi daddy dan mommy lagi sibuk" jawab Rava sekenanya.
Pria itu berdiri dari tempatnya dan menghampiri Gio. Sedangkan Bianca cepat-cepat berdiri dari duduknya dan berpura-pura merapikan kasur.
Begitu mendengar suara pintu yang tertutup dan memastikan bahwa di kamar hanya tinggal dirinya seorang, Bianca langsung melompat ke kasur dan membenamkan wajahnya.
'UWAAAA~ APA YANG KULAKUKAAAANN?' panik Bianca sambil menarik rambutnya.
Wajahnya memerah sempurna ketika mengingat bagaimana tadi mereka berciuman. Oh, sungguh saat itu Bianca seperti kehilangan kendali tubuhnya.
Dengan tangan gemetar Bianca menyentuh bibirnya. Aish, bahkan bibirnya masih terasa basah.
***
Karena kejadian tadi seharian ini Bianca entah kenapa merasa canggung jika berdekatan dengan Rava.
Ketika pria itu berdiri atau duduk tidak jauh dari tempatnya maka Bianca pasti menggerakkan matanya gelisah dan menggigiti bibirnya. Dan jika Rava memanggilnya atau menyuruhnya melakukan sesuatu segera saja wajah Bianca blushing parah.
Sedangkan Rava terlihat biasa-biasa saja. Dan itu membuat Bianca merasa kesal. Mengapa hanya dirinya yang merasa canggung.
Jam menunjukkan pukul dua dinihari. Namun Bianca masih betah duduk di depan televisi. Gadis cantik itu sudah bolak-balik menguap. Bahkan terlihat setitik air mata di pelupuk matanya saking mengantuknya dia.
Ingin ia segera menuju kamarnya. Tapi di kamarnya pasti ada Rava dan fakta itulah yang membuat Bianca mengurungkan niatnya. Sempat ada pikiran untuk tidur di kamar Gio saja, tapi tempat tidur Gio hanyalah kasur berbentuk mobil dengan besar kasur hanya seukuran anak- anak, dan pastinya tidak muat menampung mereka berdua.
Bianca melirikkan matanya ke jam dinding. 02:44. Bianca menghela napas. Ia sudah tidak kuat lagi menahan kantuk. Gadis itu mematikan televisi, bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Semoga Rava sudah tidur, begitu harapannya.
Namun harapan tinggal harapan. Begitu Bianca berdiri di depan pintunya, sang suami ternyata masih asik membaca buku di atas tempat tidur.
Berusaha untuk tidak memperdulikan Rava, Bianca lalu menuju lemari baju, masuk ke dalam kamar mandi, melepas pakaiannya dan menggantinya dengan piyama. Masih sama sekali tanpa menoleh ataupun menyapa Rava.
Bianca kemudian naik ke sisi tempat tidur. Merebahkan tubuhnya di samping Rava dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Bianca baru akan memejamkan matanya ketika mendengar suara Rava.
"Bi…"
"Hm?" sahut Bianca cuek masih sambil memejamkan matanya.
Rava menghela napas, "Kamu menghindariku seharian ini, apa karena kejadian tadi siang?"
Bianca perlahan membuka matanya, kantuknya seketika hilang saat sang suami membahas hal itu. Saat ini ia tidur dengan posisi membelakangi Rava. Dengan agak ragu ia menjawab, "Aku gak menghindarimu, kenapa mikir kayak gitu?" Bianca berkilah.
"Tentang yang tadi siang itu aku benar-benar minta maaf" lirih Rava, "Ketika melihatmu entah kenapa aku teringat Mirai, karena itu kumohon maafkan aku"
Bianca membulatkan matanya. Gadis cantik itu bangun dan membalikkan badannya sambil menatap Yunho nyalang, "Jadi ciuman itu kamu tujukan buat perempuan itu? Bukan padaku?" tanyanya dengan nada serius.
Namun bukannya menjawab Rava yang tidak tau situasi malah tersenyum jahil, "Memangnya kamu berharap kucium, hm?" tanyanya dengan nada jahil.
"Aku serius brengsek!" bentak Bianca.
"Bianca! Jaga mulutmu!" balas Rava tegas, mensejajarkan duduknya dengan Bianca.
Tetapi Bianca tidak membalas. Dadanya terlihat bergemuruh menahan amarah. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dengan gusar dan memeluk gulingnya erat.
Entah kenapa hatinya terasa sakit. Sakit sekali. Ia kecewa, marah, dan sedih. Sentuhan Rava yang bagi Bianca sarat akan makna itu ternyata bukan ditujukan padanya, tapi pada ibu kandung Gio.
Bianca mengeratkan pelukannya pada guling, membenamkan wajahnya dalam, sementara giginya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia merasa dipermainkan. Dia merasa dibohongi. Meski mati-matian menahannya, akhirnya Bianca membiarkan bulir-bulir hangat dan bening mengalir dari matanya.
Sementara Rava yang tidak peka akan keadaan, hanya menatap Bianca bingung. Namun pria itu tidak mengatakan apa-apa. Mungkin Bianca memang sangat mengantuk, begitu pikirnya. Dia pun mengakhiri membaca bukunya dan memutuskan untuk tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Ferial Aziz
bikin rafa cemburu
2022-03-25
0
M Naufal Azis
Rava knp gitu thor kasian bianca nya , klo bgtuvterus gmn dia mau jd isyri yg baik
2021-10-21
0
sherina
Rava kok gitu😭
2021-01-28
2