KEESOKAN HARINYA
Bianca melangkahkan kakinya di koridor sekolah dengan lemah pagi itu. Kejadian semalam benar-benar membuatnya syok. Semua terlalu cepat dan tiba-tiba.
Menikah?
Bianca baru akan memikirkan soal pernikahan begitu dia tamat sekolah. Atau paling tidak lulus kuliah dulu. Dia masih ingin bermain - main.
Sudah begitu dengan Rava lagi?
Bukannya Bianca membenci hubungan antara guru dan murid, Bianca menerima hubungan itu kok. Malah dimatanya hubungan semacam itu tidak berbeda dengan hubungan pria dan wanita dewasa lainnya. Selama mereka menjalaninya atas dasar cinta dan tidak melewati batas sebelum sah dengan pernikahan.
Tapi tidak adakah pria lain selain Rava? Wali kelas yang paling dibencinya namun kini akan dinikahinya. Kenapa harus Rava? Kalau bisa Bianca ingin bunuh diri sekarang.
Dan menikahnya besok lagi. Oh shit…
Tidak bisakah orang tuanya membiarkan dirinya lulus sekolah dulu?
Bianca membayangkan besok dirinya dan Rava akan berdiri di gereja dengan gaun pernikahan. Mengucapkan sumpah dan resmi sebagai suami-istri.
Lalu setelahnya akan ada pesta yang pasti mewah mengingat kedua orang tua mereka adalah pengusaha besar. Kemudian begitu pesta usai, dirinya dan Rava akan masuk ke kamar pengantin, lalu… lalu…
Bianca mematung di tempat.
"Hoi Bi! Morning!" sebuah suara cempreng terdengar dari arah belakang.
"Ah, morning Jeni" sahut Bianca dengan lemas.
"Loh? Tumben nggak semangat? Besok kamu mau nikah 'kan?"
"Makasih udah ngingetin" balas Bianca ketus.
Jangan heran kalau Jeni mengetahui mengenai rencana pernikahan Bianca. Ayah Jeni adalah rekanan kerja, sekaligus sahabat dekat ayah Bianca.
"Oh ya Bi… gimana ya kalau satu sekolahan tau kamu mau nikah sama Pak Rava?" tanya Jeni, yang sukses membekukan Bianca.
Di SMA Harapan ini, jumlah murid perempuan sekitar lebih dari lima ratus siswi yang kesemuanya memuja satu nama, yakni Rava Pratama.
Dan meski Bianca adalah murid bermasalah yang ditakuti dengan latar belakang keluarga berkelas, namun semua itu tidak ada apa-apanya dibanding lima ratus perempuan yang bagaikan banteng betina yang frustasi jika sedang marah. Terutama Tania and the gengs.
"Jangan sampai ada orang lain yang tau ya, Jen" ujar Bianca memperingatkan.
Belum sempat Jeni menjawab, tiba - tiba terdengar suara yang memekakan telinga.
"Kyaaaaaa~~ Pak Guru Rava~~~"
"Aku padamu…Pak Guru~~~"
"Kyaaa~~ hari ini pak guru cakep sekaliii~"
Bianca dan Jeni membalikkan badannya ke arah jeritan-jeritan histeris murid perempuan itu berasal.
Terlihat sosok Rava Pratama yang tengah dikerumuni puluhan, bahkan mungkin ratusan siswi di sana. Rata-rata siswi itu membawa sesuatu di tangannya, entah itu bekal untuk Rava, hadiah, kue-kue dan banyak lagi.
"Dasar, mereka itu niat bikin harem kali ya?" celetuk Bianca. "Nggak niat sekolah emang." Lanjutnya lagi, seakan lupa kalau dirinya juga sama - sama tidak perduli untuk sekolah dengan serius.
"Harusnya kamu bangga Bi, calon suamimu adalah idola semua orang"
"Oh yeah.. bisa nggak bahas yang lain?"
***
"Yo Rava! Hari ini pun kamu laris ya?" ujar Yoga, salah satu guru disana ketika melihat Rava memasuki ruang guru dengan tumpukan hadiah dan kotak bekal.
"Ya gitu deh Ga, kamu punya hal menarik lain nggak buat diomongin?"
Yoga terkekeh pelan, "Aku heran sama kamu, harusnya kamu senang dikerumuni perempuan seperti itu. Apalagi mereka semua manis-manis"
"Jangan samakan aku denganmu, Tuan Playboy"
"Makasih pujiannya"
"Aku nggak lagi muji, tau"
Rava menghela napas melihat mejanya penuh dengan bungkusan-bungkusan aneka warna berisi kue yang menumpuk. Sambil menghela napas, Rava membereskan semua bungkusan-bungkusan itu dan memasukkannya ke dalam laci untuk kemudian dibawanya pulang.
Jangan mengira kalau sampai di rumah maka Rava akan memakan semua itu. Mungkin dia juga makan, tapi tidak sampai dua bungkus. Dan puluhan bungkus kue lainnya tentu saja diserahkan ke Gio, si bocah kecil yang doyan makan.
"Mas.."
Rava mengangkat wajahnya ketika ada yang memanggil, "Ah, selamat pagi juga, Ara"
"P-pagi mas… emm… kalau nggak keberatan, nanti mau nggak mas makan siang sama aku?" pinta wanita bernama Ara itu malu-malu.
"Baiklah"
"Ah makasih mas!"
"Kamu yakin, Ara?" tanya Yoga, "Kamu tahu 'kan, ratusan murid perempuan di sekolah ini bisa membunuhmu kalau kamu dekat-dekat sama Rava"
"Jangan bicara yang aneh-aneh Ga, itu nggak mungkin" sahut Rava "Lagian, kalau memang terjadi sesuatu, aku akan melindungi Ara"
***
Ada yang berbeda kali ini dengan kantin. Bukan karena makanannya atau pelayanan para petugas kantin. Namun lebih karena siapa dengan siapa yang kini berada di kantin.
Rava dan Ara duduk dalam satu bangku.
Oh, sungguh kini kantin diliputi suasana dingin dan mematikan.
"Suram sekali kantin hari ini" ujar Rava santai sambil menikmati jus jeruknya.
"Iya ya" sahut Ara.
"Bu Guru Ara! Gawat!" tiba-tiba saja seorang siswi menghampiri Ara.
"Ada apa Sinta?"
"Gawat! Ada siswi yang berantem di toilet cewek!" ujar Sinta sambil menarik-narik tangan Ara.
Mau tidak mau Ara terpaksa bangkit dari kursinya. Dengan berat hati dan sangat terpaksa perempuan itu berjalan mengikuti Sinta menuju toilet.
"Mana yang berantem?" tanya Ara begitu sampai di toilet.
"Itu, yang paling ujung"
Dengan gusar Ara berjalan menuju bilik toilet yang paling ujung. Satu-satunya yang diinginkannya adalah menyelesaikan hal ini dan kembali ke Rava.
Ara lalu membuka pintu toilet paling ujung. Namun wanita itu mengernyit heran, ketika mendapati toilet itu dalam keadaan kosong.
"Loh? Mana-" belum selesai ucapannya, tiba-tiba saja ada yang mendorong punggungnya dan membuatnya memasuki toilet itu lebih dalam.
'blam!' 'cklek'
Ara memelototkan matanya ketika pintu toilet itu tertutup dan terkunci.
"Hei! Buka pintunya! Hei!" jerit wanita itu panik.
"Bu guru baik-baik disini, ya? Ntar kalau jam istirahat udah selesai, kami keluarin kok" terdengar suara manis Tiara.
"Kalian menjebakku?"
"Yep! Itulah akibatnya kalau dekat-dekat sama Pak guru kami! Paham? Bu Gu- ru- A -ra?"
"Apa? Kubilang buka! Hey! Akan kuadukan kalian ke kepala sekolah!"
"…"
"Hei!"
"…"
Satu yang tidak Ara sadari adalah, bahwa dia sendirian di toilet itu sekarang. Ckckck poor Ara…
***
"Mana Ara" tanya Yoga heran ketika mendapati Rava makan sendirian.
"Entahlah, tadi dia pergi sama Sinta. Katanya ada siswi yang berantem".
Yoga terkekeh pelan, tentu saja dia tahu kalau Ara tidak akan kembali. Pria tampan berambut ala militer itu kemudian memesan jus jeruk.
Sekejap saja kantin yang tadinya suram bagai kuburan kini menjadi indah bak surga. Penyebabnya tak lain karena dua guru tampan ini.
Sekali dua kali Yoga membalas senyum siswi yang tersenyum padanya. Berbeda dengan Rava yang lebih sibuk dengan ponselnya.
"Hei, jangan terlalu dingin. Sekali-kali senyum dong sama murid - muridmu yang manis - manis itu"
"Jangan samakan aku denganmu"
Yoga menghela napas, "Aku tahu kamu masih mencintai mendiang istrimu, tapi cobalah untuk jatuh cinta lagi"
"Yeah, mungkin akan kulakukan" sahut Rava ketus, "Oh ya ini…"
Yoga memandang bingung pada selembar undangan yang baru saja diserahkan oleh Rava, "Apa ini? Seperti undangan pernikahan."
"Memang." jawab Rava singkat.
"Siapa yang nikah?" tanya Yoga lagi sambil membolak balikkan undangan itu.
"Aku"
"Oh… eh? APAAH?!"
"Jangan teriak-teriak bisa nggak?!"
"Oh my man. Akhirnya kamu nikah juga sobat! Selamat ya!" ujar Yoga sambil menepuk-nepuk bahu Rava, "Betewe, mempelai wanitanya siapa?"
Rava menghentikan kegiatan minum jusnya. Mata kecilnya memandang Yoga dalam-dalam. Hatinya menimbang apakah lebih baik dia memberi tahu sahabatnya ini atau tidak.
"Tapi janji jangan teriak ya?" ujar Rava memperingatkan.
Yoga mengangguk semangat. Pria tampan bersuara bass itu sedang memikirkan nama-nama yang kemungkinan menjadi mempelai wanitanya Rava, "Jadi siapa?" desaknya tidak sabar.
Rava menghela napas, mungkin dia akan menyesal karena memberitahukan ini ke Yoga.
"Siapa? Siapa? Ayolah, jangan buat sahabatmu ini penasaran"
Sekali lagi pria tampan berambut hitam legam itu menghela napas, "Bianca Sabian"
Hening sejenak.
Yoga menatap Rava dengan tatapan tidak percaya. Matanya membulat dan mulutnya ikut membulat. Untuk sejenak dia tidak terlihat tampan.
"WHAAATT? BIANCA??!"
Rava mendelik, dan dengan cepat Yoga menutup mulut dengan tangannya dan mulai duduk perlahan. Saking kagetnya ia sampai lepas kontrol. Benar - benar diluar dugaannya.
Sementara banyak siswa di kantin menjadi penasaran karena dua orang guru tampan di sekolah mereka menyebut nama seorang Bianca Sabian.
Melihat begitu banyaknya tatapan kepo dan bisik - bisik, Rava mencoba bersikap biasa - biasa saja.
" Bro, kau berhutang banyak penjelasan padaku." Rava hanya bisa menghela napas. Dia tahu dia akan menyesalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
rista_su
wkwkwk good job tiara
2024-05-23
0
Queen Tdewa
sdh d kasih undangan brrti kan tau ..bisa di lihat gtu
2022-12-04
0
Queen Tdewa
hal yg di takuti calon istri pak guru walaupun bandel ny kebangetan ... siswa 500 wanita bsa mengamuk jka pak guru menikah dgn Rival ny ..
secara Guru wanita mrka aja d kurung ny ...
gmna nanti ya
2022-12-04
0