NovelToon NovelToon

Guruku Suamiku

Episode satu

Detik jam terdengar jelas diruangan itu. Seorang pria dewasa berwajah tampan, memiliki bentuk tubuh yang bagus dengan tinggi sekitar 185 cm, tengah duduk di kursinya sambil membolak-balik sebuah buku. 

Sementara di hadapan pria itu terlihat seorang perempuan muda - dengan rambut terurai sebahu, berwarna coklat tua, bermata besar dan memiliki wajah yang begitu cantik - duduk dengan sangat tidak sopan. Kedua kakinya ia lipat duduk bersila diatas kursi, tangan menyilang dengan angkuhnya sambil menghisap permen lolipop.

"Bianca Sabian, bisa turunkan kakimu?" tanya pria itu dengan lembut. Kepalanya masih menunduk menatap buku yang berisi daftar pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Bianca seminggu terakhir di sekolah.

"Kalau aku nggak mau, Pak Guru Rava?" balas sang siswa a.k.a Bianca dengan nada remeh.

Rava menghela napas menghadapi murid paling bermasalah di SMA Harapan ini. Mulai dari datang sesuka hati ke sekolah, berlarian di koridor saat jam pelajaran, mengecat rambut, membuat keributan saat guru sedang mengajar dan masih banyak lagi.

Kalau bukan karena sejumlah prestasi yang diraihnya hingga membuat nama SMA Harapan harum serta sokongan dana dari orang tuanya, sudah pasti Bianca akan dikeluarkan dari sekolah. Sayangnya sekolah tidak bisa melakukan hal itu karena sejumlah hal yang author sebutkan diatas.

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan Bianca?" tanya Rava lagi.

"Yang aku inginkan? Nggak ada, aku nggak mau apa-apa, aku cuma bosan" jawab Bianca santai.

Rava menghela napas lagi. Dia adalah wali kelasnya Bianca dan itu artinya dia bertanggung jawab penuh atas kelakuan siswinya ini. 

Bukan sekali dua kali pihak sekolah mengadukan kelakuan Bianca kepada orang tuanya, malah orang tua Bianca sudah benar-benar angkat tangan atas kelakuan putri tunggal mereka itu.

"Sudah selesai Pak Guru? Sekarang jam istirahat dan aku lapar, aku mau ke kantin"

"Benarkah? Sejak kapan kamu nurut jam istirahat kalau mau ke kantin? Biasanya kamu selalu pergi sesukamu."

Bianca menyeringai, "Ah, Pak Guru tahu aja, sih. Aku sudah bosan disini, jadi aku pergi dulu ya?" Dan tanpa menunggu persetujuan dari sang guru, Bianca seenaknya pergi meninggalkan ruangan itu. Membuat Rava memijit pelan kepalanya yang selalu berdenyut setiap berhadapan dengan Bianca.

***

CAST PEMERAN UTAMA (RAVA PRATAMA)

CAST PEMERAN UTAMA (BIANCA SABIAN)

Bianca berjalan sambil menghentakkan kakinya. Gadis berambut coklat tua itu tidak peduli walau siswa lain memandangnya kesal karena hentakan kakinya itu.

Gadis cantik itu berhenti di depan kelasnya dan memasukinya. Seketika saja sekumpulan murid wanita lain penggemar Rava yang menamai diri mereka 'Love Rava Club' mendatanginya.

"Bian, Pak Rava ada bilang sesuatu nggak tentang kami?" tanya seorang murid perempuan yang Bianca kenali bernama Tiara.

Bianca memutar bola matanya. Dia tidak mengerti kenapa hampir seluruh murid perempuan di SMA Harapan ini mengagumi seorang Rava Pratama. Apa sih bagusnya dia?

Bianca akui, Gurunya itu memang tampan dan ramah, selain usianya juga baru dua puluh sembilan tahun, tapi tetap saja dia tidak mengerti kenapa begitu banyak orang yang mengaguminya. Terutama empat teman sekelasnya yang kecentilan ini.

"Woe, Bi! Ngelamun aja sih!" desak Tania, ketua 'Love Rava Club'.

Bianca menyeringai, "Kalian tahu nggak? Pak Rava bilang, kalian itu jelek, dandanan kalian norak, kalian gemuk dan tua"

Hening sejenak. Bianca yang memang dasarnya jahil, tersenyum menang melihat wajah para Rava's fangirls itu memucat, lalu…

"NOOOOOOOOO~~~!" histeris empat gadis itu. Cepat-cepat mereka kembali ke bangku mereka dan mengeluarkan isi tas yang tidak lain adalah alat make-up dan segera saja murid - murid rempong itu berdandan ria, memastikan mereka tidak jelek ataupun norak. 

Bianca memandang mereka bosan. Padahal dia 'kan berbohong, tapi siapa sangka mereka justru percaya.

Daripada memandangi teman - temannya yang sedang heboh itu, Bianca kemudian memilih melangkahkan kakinya ke bangkunya. 

Namun raut heran memenuhi wajah cantiknya ketika melihat Jeni teman sebangkunya.

Bukan.

Bianca bukan heran melihat Jeni, lebih tepatnya heran melihat bocah kecil yang sedang makan dengan lahapnya di pangkuan Jeni.

Bocah itu menoleh dan tanpa sengaja bertemu pandang dengan Jeni. Senyum lima jari terpasang di wajah imutnya, "Mommy~~" serunya dengan suara cemprengnya.

"Apa? Dia bilang apaan?"

"Mommy itu artinya 'ibu', masa' gitu aja nggak tahu, sih?" sahut Jeni santai.

"Asem, kalau itu gue juga tau mah! Masalahnya ngapain bocah ini manggil gue 'mommy'?"

Jeni memiringkan kepalanya bingung, "Emangnya kamu bukan ibunya?" tanyanya dengan segala ke-innocent-an yang ada.

"Ya enggaklah, Jenong! Gue ini masih gadis tulen seribu persen dan lagi, sejak kapan coba gue punya anak?" geram Jeni.

"Apah? Ah! Telnyata cuma milip, kamu bukan mommy! Mommy aku tidak pelnah malah-malah, tauk." celetuk bocah tadi.

"Yaelah, gue ini emang bukan emak loe, tauk!"

"Udah, udah Bian.. nggak usah ngegas juga napa" tegur Jeni, seraya mengencangkan pelukannya pada bocah yang kembali makan itu.

Bianca tidak peduli. Dia menarik kursi di samping Jeni dan mendudukkan dirinya. Mata beningnya menatap bocah itu, rasa-rasanya dia mirip dengan seseorang.

Tiba-tiba saja bocah itu mengangkat kepalanya dan memandang ke arah pintu kelas dengan mata berbinar, "DADDYYY~~~~!" pekiknya yang sontak mendapat perhatian dari seluruh kelas.

Dan semua siswa di kelas itu pun menolehkan kepalanya secara bersamaan ke pintu kelas, ingin tahu siapa yang dipanggil 'daddy' oleh bocah kecil tadi. 

Tidak perlu menunggu lama hingga terdengar pekik kecewa seluruh perempuan di kelas itu, terutama dari Tania dan kawan-kawan. Kenapa? Pasalnya yang berdiri di depan pintu itu adalah sang guru idola - alias Rava Pratama.

" Daddy itu artinya papa." celetuk Jeni seperti mengajari murid SD "Jadi Pak Guru Rava itu papanya bocah tadi? Aku nggak tahu kalau Pak Rava udah punya anak" tambahnya sambil memandangi si bocah yang kini berlari kecil ke arah Rava.

Bianca mengangguk sambil memegang dagunya, "Pak guru kan masih muda gitu, pasti itu anak haram!"

"Astaga, ngomong di filter dulu napa, Bi? Nggak mungkin lah Pak Rava punya anak haram!"

Bianca mengerucutkan bibirnya, dia paling kesal kalau ada yang tidak sependapat dengannya. 

Jeni ini sahabat satu - satunya sekaligus teman sebangku Bianca. Anaknya memang polos dan terkadang kelewat lugu. Tetapi dibalik ke polosannya, Jeni selalu saja bisa mengontrol emosi Bianca yang labil dan meledak ledak. Itulah kenapa mereka sangat lengket. Bianca merasa tidak butuh teman lain selain Jeni.

"Gio, kamu ngapain disini? Daddy kan sudah bilang buat tunggu saja di ruang guru sama Bu Guru Ara?"

Bocah kecil itu menggelengkan kepalanya, "Gio bocan di luang gulu~"

"Disini kamu rupanya, sudah kucari kemana-mana"

Seorang perempuan yang juga guru di SMA Harapan baru saja datang dan berdiri di luar pintu kelas. Guru perempuan itu adalah Ara Daniati. Paras cantiknya terlihat khawatir.

"Maaf Bu Ara, sepertinya Gio merepotkanmu" ucap Rava dengan senyum manly-nya.

"Ah, nggak apa - apa, mas. Gio anak yang baik, hanya saja aku nggak begitu cermat memperhatikannya tadi"

Oh, ingin rasanya Tania serta belasan murid perempuan lainnya dikelas itu melempari raut malu-malu-menjijikkan milik Ara dengan sepatu mereka. Apa- apaan panggilan sok akrab Ara di depan banyak murid itu. 

Yah, di SMA Harapan ini ada tiga guru yang usianya paling muda. Dua diantaranya adalah Rava dan Ara. Ara baru berusia dua puluh tujuh tahun.

Tidak heran kalau keduanya sangat akrab bahkan mereka sampai digosipkan berpacaran. Dan tentu saja gosip itu dibantah habis-habisan oleh ratusan murid perempuan di sekolah itu.

"Gio sayang, ayo ikut kakak" ajak Ara sambil membawa Gio keluar dari kelas.

Karena sekarang sudah masuk jam pelajaran Rava dan kebetulan Ara sedang tidak ada jam pelajaran, sehingga Rava bisa meminta tolong padanya untuk menjaga Gio.

Ada yang penasaran kenapa Rava membawa Gio ke tempatnya mengajar? Itu karena Bu Sumi yang biasanya menjaga Gio sedang keluar kota bersama suami dan anaknya.

"Oke, sekarang kita mulai pelajarannya" ujar Rava setelah memastikan Gio aman bersama Ara. 

Para siswa di kelas yang didominasi oleh perempuan itu pun segera membuka buku mereka, padahal kalau dengan guru lain mereka tidak seperti itu. Dan semua itu karena pesona seorang Rava Pratama yang luar biasa.

"Nah, buka buku halaman-" perhatian Rava teralih pada seorang murid yang seenaknya berjalan hendak keluar kelas. Rava hanya menghela napas ketika melihat Bianca-lah murid yang hendak keluar itu.

"Bianca, kamu mau kemana?"

Bianca tidak menjawab, gadis cantik itu hanya mengacungkan jari tengahnya. Membuat Rava menghela nafas, mencoba sabar - lagi.

(ARA)

( GIO PRATAMA)

***

Bianca merebahkan tubuhnya di atap sekolah. Mata beningnya memandang pada sekumpulan awan yang bergerak bebas di langit biru. 

Sebersit perasaan iri menyeruak di dadanya. Ingin rasanya Bianca menjadi seperti awan itu. Bebas. Tidak terikat.

'brakk!'

Tiba-tiba saja pintu atap sekolah terbuka keras. Membuat Bianca bangkit dari berbaringnya. Mata besarnya membulat terkejut ketika secara tiba-tiba seorang anak kecil berlari menerjang tubuhnya.

"K-kamu! Kamu anaknya pak guru Rava 'kan?"

Bocah kecil itu mengangguk semangat, "Yup, namaku Gio!"

"Aku nggak nanya namamu"

"Ish! Mommy ketus cekali?"

Bianca membelalakkan mata mendengar panggilan yang diberikan oleh bocah ini. Mommy lagi? 

"Ehem, dengar ya bocah…"

"Gio!" seru Gio kesal. Bocah mungil itu tidak terima kalau dipanggil bocah rupanya.

"Ok, ok, Gio panggil aku kakak! Oke?"

"Apa? Sistel?" Gio memiringkan kepalanya bingung.

"Bukan sister, tapi kakak. Ka - kak. Bisa nggak sih kamu pakai bahasa Indonesia saja?" gerutu Bianca. 

Walau 'sister' itu juga berarti kakak perempuan, tetap saja dia kesal karena bocah ini menggunakan beberapa kosakata bahasa Inggris dalam kalimatnya.

"No! Mommy Gio olang Ingglis! Jadi Gio pakai bahaca Ingglis!"

Bianca menghela napas. Bocah ini sama menyebalkannya dengan ayahnya, begitu pikir Bianca.

"Jadi, emm… Gio, kamu disini ngapain? Ibumu mana?"

"Mommy nggak tinggal di lumah"

Bianca mengerutkan alisnya. Ibunya Gio, alias istrinya Rava tidak tinggal di rumah? Apa Rava sudah cerai dengan istrinya?

'Huh, itu pasti karena Pak Rava selingkuh, dasar mata keranjang' batin Bianca.

"Kalau nggak tinggal di rumah, jadi ibunya Gio dimana?"

Gio tersenyum lima jari. Kepalanya menengadah ke langit dan tangannya menunjuk ke langit, "Kata daddy, mommy tinggal cama Tuhan"

Bianca tertegun. Mendadak perasaan tidak enak merasuk pikirannya, "Oh gitu ya" gumamnya canggung.

Sejenak suasana hening. Bianca memilih untuk menyandarkan punggungnya di dinding, sambil membuka bungkus rotinya. Gerakannya terhenti ketika melihat Gio memperhatikan kegiatannya dengan seksama.

"Ada apa?"

"Gio mau ituuu~" seruny sambil menunjuk roti yang dipegang Bianca.

"Enak aja, ini punya kakak!"

"Tapi Gio mauuu~"

"Aiiish, tadi kan kamu udah makan bareng Jeni?"

"Gio lapal lagiii~"

"Kamu rakus ya?"

"Gio nggak lakus, Gio lapal, sisteeel.."

"Pokoknya eng-"

"Gio?"

Sontak Bianca dan Gio memutar kepalanya dan mendapati sosok seorang guru wanita di pintu.

"Aduh, tolong jangan ngilang tiba-tiba gitu, Gio sayang" kata wanita yang ternyata Ara itu.

"Gio bocaaa~n"

"Dan kamu Bianca, apa yang kamu lakukan di tengah jam pelajaran begini?"

"Aku? Tadinya sih sedang tidur, tapi bocah ini datang aja ganggu" ujar Bianca santai.

"Kembali ke kelasmu!" perintah Ara.

Tapi bukannya mematuhi perintah Ara, Bianca justru memakan rotinya dengan santai, "Nggak mau, di kelas bikin ngantuk"

"Bianca!" suara Ara meninggi.

"Ais, berisik banget sih! Aku bilang 'kan nggak mau!"

"Siswi macam apa kamu yang tidak menaati peraturan sekolah!"

"Apa hakmu mengaturku, hah?"

Guru cantik itu menggeram emosi. Tanpa sadar tangannya terangkat ke udara, ketika akan melayangkan tangannya, mendadak ada yang menahan tangannya.

"Ada apa ini?" suara bass Rava terdengar tegas.

"R - Rava…"

"Cih, jadi ramai!" ketus Bianca.

Rava menghela napas. Pria tampan itu menundukkan kepalanya untuk sekedar melihat kondisi Gio yang memeluk kakinya. Anak tunggalnya itu terlihat ketakutan. Dengan perlahan diangkatnya tubuh Gio dan menggendongnya.

"Bu Guru Ara, lebih baik kamu ke ruang guru sekarang"

"T-tapi Rava…"

"Lebih baik kamu ke ruang guru sekarang, nanti kamu dikira membolos, loh?" perintah Rava lembut sambil memamerkan senyumnya.

Wanita bernama lengkap Ara Daniati itu hanya mengangguk pelan dan segera pergi dari sana.

"Dan kamu Bianca" Rava beralih menatap Bianca, "Kembali ke kelasmu sekarang"

Bianca menatap Rava tajam. Gadis cantik itu kemudian berjalan menuruni tangga bawah setelah sebelumnya sengaja menabrakkan bahunya dengan Rava. Meskipun hanya mengenai lengan Rava karena perbedaan tinggi mereka.

Pria bermata setajam elang yang turut menuruni tangga itu mulanya mengira Bianca akan kembali ke kelasnya, namun ketika sampai di anak tangga terakhir, Bianca malah belok ke arah kiri. Padahal kelasnya ada di sebelah kanan.

Rava menghela napas, "Lihat itu, kalau sudah besar Gio jangan jadi seperti itu ya? Nanti bisa punya banyak musuh."

"Oke daddy!"

Rava tersenyum tipis sambil mencium puncak kepala Gio gemas.

***

"Bian, sudah siap belum?"

"Sudah Ma!" jawab Bianca menyahut panggilan sang ibu yang berada di lantai satu.

Saat ini gadis cantik berusia 17 tahun itu tengah memperhatikan pantulan dirinya di cermin berukuran cukup besar. 

Gaun elegan berwarna putih membalut tubuh rampingnya. Sepasang heels cantik berwarna cream membuat kakinya terlihat semakin jenjang. Rambut coklatnya yg indah dibuat sedikit bergelombang. Make up yang tipis namun segar menghiasi wajah yang cantik itu. Sekilas Bianca tampak seperti mempelai wanita yang akan menikah.

Wajahnya sudah putih dan bibirnya juga sudah berwarna merah tanpa perlu bedak maupun pewarna bibir yang tebal.

Jangan tanya kenapa dia berpenampilan seperti itu. Semua ini mamanya yang memerintahnya. 

Ketika sampai di rumah sekitar pukul lima sore tadi terlihat rumah Bianca seperti sedang mempersiapkan sesuatu. Mamanya keliling hilir mudik memastikan bunga yang diletakkan di setiap sudut rumah masih segar. 

Beberapa pelayan juga terlihat sibuk seperti membersihkan karpet, mengelap kaca dan perabotan dan masih banyak lagi. Seolah-olah akan ada suatu acara penting yang akan dilaksanakan di rumah ini. Dan pakaian bak seorang putri ini juga mamanya yang memerintahkan Bianca untuk memakainya.

Sekali lagi gadis cantik itu menghela napas. Padahal niatnya tadi sehabis dari game center, ia ingin langsung mandi, makan dan tidur. Tapi dengan segala persiapan entah-untuk-acara-apa di rumahnya ini, membuat Bianca mengurungkan rencananya, kecuali mandi tentu saja.

"Bian!" terdengar lagi suara mamanya dari bawah. Bianca menghela napas lagi. 'Merepotkan' pikirnya. Untuk yang terakhir Bianca merapikan rambut lembutnya dengan jemarinya.

'cklek'

Bianca membalik badannya ketika mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Dan mata besarnya membulat ketika melihat sosok bocah pendek dengan wajah yang cukup manis.

"Waoww..kakak manis cekali~" seru anak itu.

"G- Gio? Kamu Gio 'kan? Kenapa bisa ada disini?" tanya Bianca beruntun.

"E-eh, Gio dicini kalena-"

"Bianca! Lama banget, sih!" tegur ibu Bianca yang sudah berdiri di ambang pintu. Wanita yang mengenakan gaun hitam sederhana dengan beberapa perhiasan mahal itu, melembutkan pandangannya ketika melihat Gio yang berdiri tidak jauh dari Bianca.

"Gio sayang? Lagi ngapain disini, hm?"

"Gio bocan, tante!"

Ibu Bianca merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Gio, tangannya terjulur membelai rambut Gio lembut, "Gio, jangan panggil tante dengan sebutan 'tante', panggil 'nenek', oke?"

Bianca memiringkan kepalanya bingung. Kenapa ibunya meminta Gio untuk memanggilnya dengan sebutan 'nenek'?

"Bi, cepatan ke bawah. Yang lain sudah nungguin"

Kembali Bianca mengernyit heran. Siapa yang dimaksud mamanya dengan 'yang lain'? Namun gadis bermata bening itu memilih untuk diam saja dan mulai menuruni tangga bawah menuju meja makan. Diikuti sang mama sambil memegangi Gio.

Mata Bianca membulat sempurna ketika melihat ruang makan yang luas itu disulap hingga terlihat begitu mewah. Dengan bunga-bunga aneka warna di setiap sudut ruangan, lukisan mahal di pajang pada dindingnya, lalu meja panjang dengan taplak meja berwarna merah dan hidangan lezat disepanjang meja itu.

Mata Bianca memicing ketika melihat siapa yang duduk di meja itu. Ada sekitar empat orang. Satu dikenalinya sebagai ayahnya. Sedangkan tiga lagi –dua pria dan satu wanita - sama sekali tidak dikenali oleh Bianca. 

Kecuali seorang pria dengan rambut berwarna hitam legam yang sepertinya familiar bagi Bianca, namun pria itu tengah berbicara dengan ayahnya hingga wajah pria itu tidak bisa dilihat dari sudut Bianca berdiri sekarang.

"Bi, ngapain berhenti, sayang?" tegur ibu Bianca ketika mendapati putri tunggalnya berdiri mematung. Bianca mengangguk gugup, gadis itu lalu berjalan menghampiri meja makan dengan kepala tertunduk diikuti oleh ibunya.

Bianca menarik kursinya di samping kanan ibunya yang duduk di samping papanya. Ketika pria itu mengangkat kepalanya, ia terkejut bukan main ketika mendapati sosok Rava Pratama duduk di depannya. Di samping sosok gurunya terlihat Gio yang sedang mengunyah kuenya.

"Kamu pasti Bianca?" sebuah suara lembut dan anggun mengalihkan perhatian Bianca ke arah seorang wanita yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari ibunya.

"A-ah ya…" Bianca mengangguk gugup.

Wanita itu tersenyum lembut, "Ah, kamu pasti belum mengenalku 'kan?"

Bianca menggeleng.

"Bi," ibu Bianca bersuara, "Ini Bu Rahel Pratama dan Bapak Aldan Pratama." ujarnya mengenalkan pria dan wanita dewasa yang tersenyum ramah pada Bianca, "Mereka ini orang tua Rava Pratama, kamu udah kenal Rava kan?"

Bianca melirik canggung ke arah Rava.

"Kalau yang kecil itu namanya Gio Pratama" giliran ibu Rava mengenalkan bocah kecil di samping Rava yang masih sibuk mengunyah, "Anaknya Rava"

"Ya, nenek, Gio udah kenal cama kakak kok!" gumam Gio diantara kegiatan mengunyahnya.

"Oh gitu ya? Baguslah"

"Ah Bianca, kamu sudah besar ya sekarang. Tante nggak nyangka kamu jadi secantik ini loh." celetuk ibu Rava lagi. 

"Waktu pertama kali melihatmu saat usiamu tujuh tahun kukira kamu anak laki - laki… hahahahaha. Soalnya kamu tomboy sekali waktu kecil." tambahnya diikuti oleh tawa dari orang yang berada disana kecuali Bianca, Rava dan Gio.

"Nah, mari dinikmati hidangannya" ujar ibu Bianca mempersilahkan tamunya.

Sejenak ruangan itu penuh dengan suara-suara para nyonya dan tuan yang membicarakan masalah perusahaan mereka. 

Meninggalkan Bianca yang bingung sebenarnya acara apa ini. Apa ada hubungan dengan kenakalannya di sekolah? Gadis cantik itu melirik Rava yang menurutnya terlihat sangat tampan. 

Rava saat itu mengenakan setelan jas berwarna hitam dan dalaman berupa kemeja putih disertai sebuah dasi berwarna hitam yang memperelok penampilannya. 

Pria itu terlihat makan dengan tenang sambil sesekali mengusap serpihan makan di pinggiran bibir Gio.

"Jadi gimana Bian?" Ibu Rava melirik Bianca, "Kamu setuju 'kan kalau minggu depan?"

Bianca mengerutkan alisnya bingung, "Setuju tentang apa ya, tante?"

"Loh? Kamu belum ngasih tahu dia, Sin?" tanya ibu Rava bingung ke ibu Bianca.

"Ah, sorry aku lupa"

Bianca melirik bingung. Dia benar-benar tidak mengerti ada apa sekarang.

"Jadi gini nak Bianca," ibu Rava memandang Bianca lembut, "Kami kemari untuk menentukan tanggal pernikahanmu dengan Rava"

WHAT!

Cepat-cepat Bianca mengambil air minumnya dan menghabiskannya dengan sekali teguk, "Me-menikah?" serunya tidak percaya.

"Ya, dan kami semua setuju kalau akan dilaksanakan minggu depan. Gimana menurutmu?"

Bianca mematung tidak percaya. Dia menikah dengan Rava? Guru di sekolahnya? Wali kelasnya? Sejak kapan diputuskan begitu? Seingatnya orang tuanya tidak pernah membahas soal pernikahan dengannya. Tiba - tiba telinganya terasa berdenging.

"Apa minggu depan nggak terlalu lama?" celetuk ibu Bianca.

Ibu Rava manggut-manggut, "Gimana kalau lusa?"

Ibu bianca mengangguk setuju.

Sementara Bianca masih membatu tidak percaya dengan kabar yang baru didapatnya. Dengingan di telinganya semakin keras. Hingga rasanya dia bisa tuli seketika. Mungkin sebagian saraf otaknya yang terkejut dengan kenyataan ini membuatnya salah mengirim sinyal.

Episode dua

KEESOKAN HARINYA

Bianca melangkahkan kakinya di koridor sekolah dengan lemah pagi itu. Kejadian semalam benar-benar membuatnya syok. Semua terlalu cepat dan tiba-tiba.

Menikah?

Bianca baru akan memikirkan soal pernikahan begitu dia tamat sekolah. Atau paling tidak lulus kuliah dulu. Dia masih ingin bermain - main.

Sudah begitu dengan Rava lagi?

Bukannya Bianca membenci hubungan antara guru dan murid, Bianca menerima hubungan itu kok. Malah dimatanya hubungan semacam itu tidak berbeda dengan hubungan pria dan wanita dewasa lainnya. Selama mereka menjalaninya atas dasar cinta dan tidak melewati batas sebelum sah dengan pernikahan.

Tapi tidak adakah pria lain selain Rava? Wali kelas yang paling dibencinya namun kini akan dinikahinya. Kenapa harus Rava? Kalau bisa Bianca ingin bunuh diri sekarang.

Dan menikahnya besok lagi. Oh shit…

Tidak bisakah orang tuanya membiarkan dirinya lulus sekolah dulu?

Bianca membayangkan besok dirinya dan Rava akan berdiri di gereja dengan gaun pernikahan. Mengucapkan sumpah dan resmi sebagai suami-istri.

Lalu setelahnya akan ada pesta yang pasti mewah mengingat kedua orang tua mereka adalah pengusaha besar. Kemudian begitu pesta usai, dirinya dan Rava akan masuk ke kamar pengantin, lalu… lalu…

Bianca mematung di tempat.

"Hoi Bi! Morning!" sebuah suara cempreng terdengar dari arah belakang.

"Ah, morning Jeni" sahut Bianca dengan lemas.

"Loh? Tumben nggak semangat? Besok kamu mau nikah 'kan?"

"Makasih udah ngingetin" balas Bianca ketus.

Jangan heran kalau Jeni mengetahui mengenai rencana pernikahan Bianca. Ayah Jeni adalah rekanan kerja, sekaligus sahabat dekat ayah Bianca.

"Oh ya Bi… gimana ya kalau satu sekolahan tau kamu mau nikah sama Pak Rava?" tanya Jeni, yang sukses membekukan Bianca.

Di SMA Harapan ini, jumlah murid perempuan sekitar lebih dari lima ratus siswi yang kesemuanya memuja satu nama, yakni Rava Pratama.

Dan meski Bianca adalah murid bermasalah yang ditakuti dengan latar belakang keluarga berkelas, namun semua itu tidak ada apa-apanya dibanding lima ratus perempuan yang bagaikan banteng betina yang frustasi jika sedang marah. Terutama Tania and the gengs.

"Jangan sampai ada orang lain yang tau ya, Jen" ujar Bianca memperingatkan.

Belum sempat Jeni menjawab, tiba - tiba terdengar suara yang memekakan telinga.

"Kyaaaaaa~~ Pak Guru Rava~~~"

"Aku padamu…Pak Guru~~~"

"Kyaaa~~ hari ini pak guru cakep sekaliii~"

Bianca dan Jeni membalikkan badannya ke arah jeritan-jeritan histeris murid perempuan itu berasal.

Terlihat sosok Rava Pratama yang tengah dikerumuni puluhan, bahkan mungkin ratusan siswi di sana. Rata-rata siswi itu membawa sesuatu di tangannya, entah itu bekal untuk Rava, hadiah, kue-kue dan banyak lagi.

"Dasar, mereka itu niat bikin harem kali ya?" celetuk Bianca. "Nggak niat sekolah emang." Lanjutnya lagi, seakan lupa kalau dirinya juga sama - sama tidak perduli untuk sekolah dengan serius.

"Harusnya kamu bangga Bi, calon suamimu adalah idola semua orang"

"Oh yeah.. bisa nggak bahas yang lain?"

***

"Yo Rava! Hari ini pun kamu laris ya?" ujar Yoga, salah satu guru disana ketika melihat Rava memasuki ruang guru dengan tumpukan hadiah dan kotak bekal.

"Ya gitu deh Ga, kamu punya hal menarik lain nggak buat diomongin?"

Yoga terkekeh pelan, "Aku heran sama kamu, harusnya kamu senang dikerumuni perempuan seperti itu. Apalagi mereka semua manis-manis"

"Jangan samakan aku denganmu, Tuan Playboy"

"Makasih pujiannya"

"Aku nggak lagi muji, tau"

Rava menghela napas melihat mejanya penuh dengan bungkusan-bungkusan aneka warna berisi kue yang menumpuk. Sambil menghela napas, Rava membereskan semua bungkusan-bungkusan itu dan memasukkannya ke dalam laci untuk kemudian dibawanya pulang.

Jangan mengira kalau sampai di rumah maka Rava akan memakan semua itu. Mungkin dia juga makan, tapi tidak sampai dua bungkus. Dan puluhan bungkus kue lainnya tentu saja diserahkan ke Gio, si bocah kecil yang doyan makan.

"Mas.."

Rava mengangkat wajahnya ketika ada yang memanggil, "Ah, selamat pagi juga, Ara"

"P-pagi mas… emm… kalau nggak keberatan, nanti mau nggak mas makan siang sama aku?" pinta wanita bernama Ara itu malu-malu.

"Baiklah"

"Ah makasih mas!"

"Kamu yakin, Ara?" tanya Yoga, "Kamu tahu 'kan, ratusan murid perempuan di sekolah ini bisa membunuhmu kalau kamu dekat-dekat sama Rava"

"Jangan bicara yang aneh-aneh Ga, itu nggak mungkin" sahut Rava "Lagian, kalau memang terjadi sesuatu, aku akan melindungi Ara"

***

Ada yang berbeda kali ini dengan kantin. Bukan karena makanannya atau pelayanan para petugas kantin. Namun lebih karena siapa dengan siapa yang kini berada di kantin.

Rava dan Ara duduk dalam satu bangku.

Oh, sungguh kini kantin diliputi suasana dingin dan mematikan.

"Suram sekali kantin hari ini" ujar Rava santai sambil menikmati jus jeruknya.

"Iya ya" sahut Ara.

"Bu Guru Ara! Gawat!" tiba-tiba saja seorang siswi menghampiri Ara.

"Ada apa Sinta?"

"Gawat! Ada siswi yang berantem di toilet cewek!" ujar Sinta sambil menarik-narik tangan Ara.

Mau tidak mau Ara terpaksa bangkit dari kursinya. Dengan berat hati dan sangat terpaksa perempuan itu berjalan mengikuti Sinta menuju toilet.

"Mana yang berantem?" tanya Ara begitu sampai di toilet.

"Itu, yang paling ujung"

Dengan gusar Ara berjalan menuju bilik toilet yang paling ujung. Satu-satunya yang diinginkannya adalah menyelesaikan hal ini dan kembali ke Rava.

Ara lalu membuka pintu toilet paling ujung. Namun wanita itu mengernyit heran, ketika mendapati toilet itu dalam keadaan kosong.

"Loh? Mana-" belum selesai ucapannya, tiba-tiba saja ada yang mendorong punggungnya dan membuatnya memasuki toilet itu lebih dalam.

'blam!' 'cklek'

Ara memelototkan matanya ketika pintu toilet itu tertutup dan terkunci.

"Hei! Buka pintunya! Hei!" jerit wanita itu panik.

"Bu guru baik-baik disini, ya? Ntar kalau jam istirahat udah selesai, kami keluarin kok" terdengar suara manis Tiara.

"Kalian menjebakku?"

"Yep! Itulah akibatnya kalau dekat-dekat sama Pak guru kami! Paham? Bu Gu- ru- A -ra?"

"Apa? Kubilang buka! Hey! Akan kuadukan kalian ke kepala sekolah!"

"…"

"Hei!"

"…"

Satu yang tidak Ara sadari adalah, bahwa dia sendirian di toilet itu sekarang. Ckckck poor Ara…

***

"Mana Ara" tanya Yoga heran ketika mendapati Rava makan sendirian.

"Entahlah, tadi dia pergi sama Sinta. Katanya ada siswi yang berantem".

Yoga terkekeh pelan, tentu saja dia tahu kalau Ara tidak akan kembali. Pria tampan berambut ala militer itu kemudian memesan jus jeruk.

Sekejap saja kantin yang tadinya suram bagai kuburan kini menjadi indah bak surga. Penyebabnya tak lain karena dua guru tampan ini.

Sekali dua kali Yoga membalas senyum siswi yang tersenyum padanya. Berbeda dengan Rava yang lebih sibuk dengan ponselnya.

"Hei, jangan terlalu dingin. Sekali-kali senyum dong sama murid - muridmu yang manis - manis itu"

"Jangan samakan aku denganmu"

Yoga menghela napas, "Aku tahu kamu masih mencintai mendiang istrimu, tapi cobalah untuk jatuh cinta lagi"

"Yeah, mungkin akan kulakukan" sahut Rava ketus, "Oh ya ini…"

Yoga memandang bingung pada selembar undangan yang baru saja diserahkan oleh Rava, "Apa ini? Seperti undangan pernikahan."

"Memang." jawab Rava singkat.

"Siapa yang nikah?" tanya Yoga lagi sambil membolak balikkan undangan itu.

"Aku"

"Oh… eh? APAAH?!"

"Jangan teriak-teriak bisa nggak?!"

"Oh my man. Akhirnya kamu nikah juga sobat! Selamat ya!" ujar Yoga sambil menepuk-nepuk bahu Rava, "Betewe, mempelai wanitanya siapa?"

Rava menghentikan kegiatan minum jusnya. Mata kecilnya memandang Yoga dalam-dalam. Hatinya menimbang apakah lebih baik dia memberi tahu sahabatnya ini atau tidak.

"Tapi janji jangan teriak ya?" ujar Rava memperingatkan.

Yoga mengangguk semangat. Pria tampan bersuara bass itu sedang memikirkan nama-nama yang kemungkinan menjadi mempelai wanitanya Rava, "Jadi siapa?" desaknya tidak sabar.

Rava menghela napas, mungkin dia akan menyesal karena memberitahukan ini ke Yoga.

"Siapa? Siapa? Ayolah, jangan buat sahabatmu ini penasaran"

Sekali lagi pria tampan berambut hitam legam itu menghela napas, "Bianca Sabian"

Hening sejenak.

Yoga menatap Rava dengan tatapan tidak percaya. Matanya membulat dan mulutnya ikut membulat. Untuk sejenak dia tidak terlihat tampan.

"WHAAATT? BIANCA??!"

Rava mendelik, dan dengan cepat Yoga menutup mulut dengan tangannya dan mulai duduk perlahan. Saking kagetnya ia sampai lepas kontrol. Benar - benar diluar dugaannya.

Sementara banyak siswa di kantin menjadi penasaran karena dua orang guru tampan di sekolah mereka menyebut nama seorang Bianca Sabian.

Melihat begitu banyaknya tatapan kepo dan bisik - bisik, Rava mencoba bersikap biasa - biasa saja.

" Bro, kau berhutang banyak penjelasan padaku." Rava hanya bisa menghela napas. Dia tahu dia akan menyesalinya.

Episode tiga

Bianca mematut dirinya di depan sebuah cermin besar. Di sebuah ruangan yang terlihat begitu indah, penuh dengan hiasan berbagai jenis bunga dan pernak pernik aneka warna.

Entah sudah berapa kali gadis cantik itu menghela napas sambil meremas kedua tangannya. Hari ini adalah saatnya. Hari ini adalah hari pernikahannya.

"Nggak mungkin!" Ucap Bianca lemah. Menunduk sambil menggelengkan kepalanya berulang kali . Seakan berharap semua ini tidak nyata. Kalau bisa, ingin sekali dia langsung menghilang saat itu juga.

Rasanya Tuhan benar-benar tidak adil padanya. Apa ini hukuman dari-Nya karena Bianca selalu melanggar peraturan sekolah? Karena kenakalannya selama ini?

Kalau ya, menurutnya Tuhan terlalu berlebihan dalam memberikan hukuman.

"Bianca sayang.." kembali terdengar suara melengking sang mama. Dengan ogah-ogahan Bianca bangkit dari tempat duduknya dan mematut bayangannya di cermin.

Gadis bermata bening nan cantik itu memakai gaun putih seperti yang dipakainya kemarin lusa. Bedanya, kali ini gaunnya lebih mewah dan lebih indah. Lengkap dengan sarung tangan putih dan wedding veil atau tudung kepala putih untuk pengantin, beserta sebuah tiara kecil, menambah keindahan rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa. Rambut coklat tuanya juga kembali di cat hitam.

Sekali lagi Bianca menghela napas. Mata beningnya menatap bayangannya di cermin. Tak sengaja pandangannya jatuh pada leher jenjangnya dan sedikit memperlihatkan dada bagian atasnya yang masih putih mulus.

Yah, masih, karena setelah ini Bianca tidak yakin kalau lehernya masih putih seperti ini atau tidak.

Belum apa - apa tapi pikiran Bianca sudah kemana - mana.

"Bi sayang~~" kembali Ibu Bianca memanggil putri tunggalnya itu, sambil masuk ke dalam ruangan.

"Fighting…" gumam Bianca lemah pada dirinya. Entah kenapa rasanya seperti narapidana yang menunggu hukuman mati.

***

Dan disinilah Bianca berada. Di gereja, tepatnya di depan sang pendeta, dan tepatnya lagi di samping Rava. Gadis cantik itu menghela napas lagi untuk menetralisir rasa gugup. Jemarinya terasa pias karena terlalu sering meremas tangkai buket bunga yang ia bawa.

Berkali-kali matanya melirik ke calon suaminya yang beberapa menit lagi akan sah menjadi suaminya. Pria yang menjabat sebagai wali kelasnya itu terlihat begitu berbeda kali ini. Mengenakan tuxedo warna hitam yang sungguh sangat serasi dengannya. Dia terlihat begitu tampan dan tenang. Mencerminkan kedewasaannya.

Setelah mengucapkan beberapa pembuka, sang pendeta menatap Rava, "Apakah kau, Rava Pratama, bersedia menerima Bianca Sabian sebagai istrimu dan terus bersamanya dikala suka maupun duka?"

"Saya bersedia"

Bianca membelalakkan matanya. Rava menjawab sumpah itu dengan begitu tenang seolah itu bukan apa-apa.

Berikutnya sang pendeta menatap Bianca dan kembali menanyai hal yang sama, "Apakah kau, Bianca Sabian, bersedia menerima Rava Pratama sebagai suamimu dan terus bersamanya dikala suka maupun duka?"

Bianca menggigit bibir bawahnya. Ingin sekali dia meneriakkan kata 'tidak' keras-keras, melempar buket bunga itu ke arah sang calon suami kemudian lari sekencangnya kemana saja, asal keluarganya tidak menemukannya.

Namun mana bisa dia melakukan hal itu. Hingga akhirnya dengan berat hati Bianca mengangguk lemas dan dengan suara ragu ia menjawab…

"Saya bersedia"

Pendeta itu tersenyum dan melanjutkan ucapannya, "Puji Tuhan. Sekarang kalian sah sebagai pasangan suami istri. Silahkan mencium pasangan masing - masing"

"Apa? Cium? " bisik Biànca mendongak sambil memelototkan matanya. Ia tahu setelah pengucapan sumpah akan ada sesi ciuman, tapi tetap saja Bianca belum bisa menerima kenyataan kalau kini dia akan dan harus berciuman dengan Rava, sang wali kelas sekaligus sudah sah menjadi suaminya. Apalagi ini adalah ciuman pertamanya.

Gadis cantik itu ingin memprotes, namun sebelum ia sempat membuka mulutnya tiba-tiba saja ia merasakan bahunya di sentuh oleh seseorang dan membalikkan tubuhnya ke arah samping. Membuat posisinya yang tadi menghadap sang pendeta menjadi berhadapan dengan Rava.

Bianca menelan ludah ketika merasakan tangan Rava melingkar di pinggang kecilnya dan menariknya berdekatan, hingga perut mereka saling menempel. Sedangkan tangan yang satunya menyentuh dagunya dan mendongakkannya sedikit. Bianca bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika Rava menatapnya dalam.

Hingga akhirnya dengan sangat perlahan Rava mendekatkan wajahnya ke wajah Bianca. Mengerti sinyal-sinyal bahaya itu, Bianca langsung memejamkan matanya erat. Keringat dinginnya mulai mengalir dan membuat poninya agak basah. Sementara tangannya yang bebas, mencengkeram erat jas Rava pada bagian dada.

Mendadak Bianca merasakan kepalanya pusing luar biasa. Seperti godam besar yang menghantam kepalanya kuat. Kakinya terasa lemas bagai jelly dan tubuhnya terasa melayang.

Satu yang diingatnya sebelum ia kehilangan kesadarannya adalah, sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirnya.

***

Bianca membuka matanya perlahan dan mengerjap-ngerjapkannya guna membiasakan mata indah itu dengan cahaya lampu yang tiba-tiba menusuk matanya. Gadis itu berusaha menggerakkan kepalanya untuk mengenali dimana dia berada sekarang.

Data yang berhasil Bianca kumpulkan adalah dia berada di atas sebuah ranjang karena dia bisa merasakan sesuatu yang empuk menempel nyaman di punggungnya.

Karena ada ranjang maka otomatis kini Bianca berada di dalam sebuah kamar. Tepatnya kamar yang tidak ia kenali. Mata bening gadis itu menangkap jarum pendek jam pada dinding menunjuk angka sembilan.

Dan ketika Bianca melirik ke jendela yang ia lihat adalah jendela itu menampilkan pemandangan malam hari.

Bianca menghela napas, tangannya terulur memijit keningnya yang terasa pening. Gadis cantik itu mulai mengingat-ingat.

Hemm, terakhir dia berada di upacara pernikahannya dengan Rava, dan kini dia terbaring di kamar-entah-siapa pada pukul sembilan malam.

Mendadak mata gadis itu membulat.

Menikah dengan Rava.

Terbaring di ranjang.

Pada malam hari.

'Oh God!' batin Bianca. Segera ia berdiri dan mulai melompat di atas ranjang, kemudian pindah melompat di lantai.

Well, dia tidak merasa sakit apapun pada bagian bawah tubuhnya. Tak sengaja mata Bianca melirik sebuah kaca besar di kamar itu. Ia pun menghampiri kaca itu dan manarik leher baju kaosnya hingga memperlihatkan sebagian dada atasnya.

Helaan nafas lega keluar dari bibirnya, ketika mendapati tubuhnya masih putih mulus, bebas dari bercak-bercak merah mencurigakan.

Tunggu…

Bianca melirik apa yang tadi ia tarik ke bawah. Kaos? Bukankah tadi dia pakai gaun pengantin dan segala pelengkapnya?

Lalu semua yang tadi dipakainya kini berubah menjadi sebuah kaos putih polos kebesaran hingga hampir mencapai lututnya. Untung bra tanpa tali dan celana ketat pendek yang ia pakai tadi masih menempel rapi di badan.

Bianca meremas rambutnya frustasi. Siapa yang mengganti pakaiannya?

'cklek'

Bianca membalikkan badannya dan mendapati sosok Rava dengan kaus hitam lengan panjang dan celana selutut berwarna krem. Pria tampan itu tampak membawa nampan berisi makanan di tangannya.

"Kamu! Apa yang udah kamu lakuin?" ujar Bianca frustasi sambil menunjuk-nunjuk Rava dengan satu tangan, sedang tangan satunya bersilang di depan dadanya. Melindungi dirinya sendiri entah dari apa.

"Aku? Aku bawain kamu makan malam" sahut Rava santai, seraya sedikit mengangkat nampannya.

"B-bukan itu maksudku! Maksudku kenapa aku bisa ada disini dan kenapa bajuku berganti?"

Rava menghela napas dan meletakkan nampan berisi makanan itu di meja.

"Tadi kamu tiba - tiba pingsan, jadi aku membawamu kemari. Ini rumahku. Dan soal bajumu, aku yang menggantinya, karena kupikir pasti nggak nyaman kalau tidur pakai gaun yang berat itu"

"A-apa? Kamu yang ganti pakaianku? Kenapa harus kamu? Berarti kamu udah menelanjangi aku?"

"Lalu kenapa? Kamu ingin mertuamu yang mengganti pakaianmu, begitu? Kita bukan anak kecil lagi? Dan lagi aku suamimu, jadi masalahnya dimana?"

"Apa kamu bilang?" Bianca meremas rambutnya yang kusut awut - awutan itu dengan frustasi, begitu mendengar kata 'suami".

Ia masih tidak mempercayai kalau pria di depannya ini adalah suaminya. Kemarin Bianca masih memanggil Rava dengan sebutan Pak Guru, dan kini dia akan memanggil pria tampan itu dengan sebutan 'suamiku' atau 'mas Rava'. Rasanya Bianca tak sanggup.

Rava tersenyum ketika menyadari raut panik pada wajah cantik siswanya itu. Selama ini dia mengenal Bianca sebagai sosok yang angkuh dan tidak pernah takut pada siapapun.

Namun kini semua itu seolah menghilang, yang Rava lihat kini adalah Bianca hanya seorang gadis kecil yang dengan raut cemasnya entah kenapa terlihat manis sekali di matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!