Bianca mematut dirinya di depan sebuah cermin besar. Di sebuah ruangan yang terlihat begitu indah, penuh dengan hiasan berbagai jenis bunga dan pernak pernik aneka warna.
Entah sudah berapa kali gadis cantik itu menghela napas sambil meremas kedua tangannya. Hari ini adalah saatnya. Hari ini adalah hari pernikahannya.
"Nggak mungkin!" Ucap Bianca lemah. Menunduk sambil menggelengkan kepalanya berulang kali . Seakan berharap semua ini tidak nyata. Kalau bisa, ingin sekali dia langsung menghilang saat itu juga.
Rasanya Tuhan benar-benar tidak adil padanya. Apa ini hukuman dari-Nya karena Bianca selalu melanggar peraturan sekolah? Karena kenakalannya selama ini?
Kalau ya, menurutnya Tuhan terlalu berlebihan dalam memberikan hukuman.
"Bianca sayang.." kembali terdengar suara melengking sang mama. Dengan ogah-ogahan Bianca bangkit dari tempat duduknya dan mematut bayangannya di cermin.
Gadis bermata bening nan cantik itu memakai gaun putih seperti yang dipakainya kemarin lusa. Bedanya, kali ini gaunnya lebih mewah dan lebih indah. Lengkap dengan sarung tangan putih dan wedding veil atau tudung kepala putih untuk pengantin, beserta sebuah tiara kecil, menambah keindahan rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa. Rambut coklat tuanya juga kembali di cat hitam.
Sekali lagi Bianca menghela napas. Mata beningnya menatap bayangannya di cermin. Tak sengaja pandangannya jatuh pada leher jenjangnya dan sedikit memperlihatkan dada bagian atasnya yang masih putih mulus.
Yah, masih, karena setelah ini Bianca tidak yakin kalau lehernya masih putih seperti ini atau tidak.
Belum apa - apa tapi pikiran Bianca sudah kemana - mana.
"Bi sayang~~" kembali Ibu Bianca memanggil putri tunggalnya itu, sambil masuk ke dalam ruangan.
"Fighting…" gumam Bianca lemah pada dirinya. Entah kenapa rasanya seperti narapidana yang menunggu hukuman mati.
***
Dan disinilah Bianca berada. Di gereja, tepatnya di depan sang pendeta, dan tepatnya lagi di samping Rava. Gadis cantik itu menghela napas lagi untuk menetralisir rasa gugup. Jemarinya terasa pias karena terlalu sering meremas tangkai buket bunga yang ia bawa.
Berkali-kali matanya melirik ke calon suaminya yang beberapa menit lagi akan sah menjadi suaminya. Pria yang menjabat sebagai wali kelasnya itu terlihat begitu berbeda kali ini. Mengenakan tuxedo warna hitam yang sungguh sangat serasi dengannya. Dia terlihat begitu tampan dan tenang. Mencerminkan kedewasaannya.
Setelah mengucapkan beberapa pembuka, sang pendeta menatap Rava, "Apakah kau, Rava Pratama, bersedia menerima Bianca Sabian sebagai istrimu dan terus bersamanya dikala suka maupun duka?"
"Saya bersedia"
Bianca membelalakkan matanya. Rava menjawab sumpah itu dengan begitu tenang seolah itu bukan apa-apa.
Berikutnya sang pendeta menatap Bianca dan kembali menanyai hal yang sama, "Apakah kau, Bianca Sabian, bersedia menerima Rava Pratama sebagai suamimu dan terus bersamanya dikala suka maupun duka?"
Bianca menggigit bibir bawahnya. Ingin sekali dia meneriakkan kata 'tidak' keras-keras, melempar buket bunga itu ke arah sang calon suami kemudian lari sekencangnya kemana saja, asal keluarganya tidak menemukannya.
Namun mana bisa dia melakukan hal itu. Hingga akhirnya dengan berat hati Bianca mengangguk lemas dan dengan suara ragu ia menjawab…
"Saya bersedia"
Pendeta itu tersenyum dan melanjutkan ucapannya, "Puji Tuhan. Sekarang kalian sah sebagai pasangan suami istri. Silahkan mencium pasangan masing - masing"
"Apa? Cium? " bisik Biànca mendongak sambil memelototkan matanya. Ia tahu setelah pengucapan sumpah akan ada sesi ciuman, tapi tetap saja Bianca belum bisa menerima kenyataan kalau kini dia akan dan harus berciuman dengan Rava, sang wali kelas sekaligus sudah sah menjadi suaminya. Apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
Gadis cantik itu ingin memprotes, namun sebelum ia sempat membuka mulutnya tiba-tiba saja ia merasakan bahunya di sentuh oleh seseorang dan membalikkan tubuhnya ke arah samping. Membuat posisinya yang tadi menghadap sang pendeta menjadi berhadapan dengan Rava.
Bianca menelan ludah ketika merasakan tangan Rava melingkar di pinggang kecilnya dan menariknya berdekatan, hingga perut mereka saling menempel. Sedangkan tangan yang satunya menyentuh dagunya dan mendongakkannya sedikit. Bianca bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika Rava menatapnya dalam.
Hingga akhirnya dengan sangat perlahan Rava mendekatkan wajahnya ke wajah Bianca. Mengerti sinyal-sinyal bahaya itu, Bianca langsung memejamkan matanya erat. Keringat dinginnya mulai mengalir dan membuat poninya agak basah. Sementara tangannya yang bebas, mencengkeram erat jas Rava pada bagian dada.
Mendadak Bianca merasakan kepalanya pusing luar biasa. Seperti godam besar yang menghantam kepalanya kuat. Kakinya terasa lemas bagai jelly dan tubuhnya terasa melayang.
Satu yang diingatnya sebelum ia kehilangan kesadarannya adalah, sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirnya.
***
Bianca membuka matanya perlahan dan mengerjap-ngerjapkannya guna membiasakan mata indah itu dengan cahaya lampu yang tiba-tiba menusuk matanya. Gadis itu berusaha menggerakkan kepalanya untuk mengenali dimana dia berada sekarang.
Data yang berhasil Bianca kumpulkan adalah dia berada di atas sebuah ranjang karena dia bisa merasakan sesuatu yang empuk menempel nyaman di punggungnya.
Karena ada ranjang maka otomatis kini Bianca berada di dalam sebuah kamar. Tepatnya kamar yang tidak ia kenali. Mata bening gadis itu menangkap jarum pendek jam pada dinding menunjuk angka sembilan.
Dan ketika Bianca melirik ke jendela yang ia lihat adalah jendela itu menampilkan pemandangan malam hari.
Bianca menghela napas, tangannya terulur memijit keningnya yang terasa pening. Gadis cantik itu mulai mengingat-ingat.
Hemm, terakhir dia berada di upacara pernikahannya dengan Rava, dan kini dia terbaring di kamar-entah-siapa pada pukul sembilan malam.
Mendadak mata gadis itu membulat.
Menikah dengan Rava.
Terbaring di ranjang.
Pada malam hari.
'Oh God!' batin Bianca. Segera ia berdiri dan mulai melompat di atas ranjang, kemudian pindah melompat di lantai.
Well, dia tidak merasa sakit apapun pada bagian bawah tubuhnya. Tak sengaja mata Bianca melirik sebuah kaca besar di kamar itu. Ia pun menghampiri kaca itu dan manarik leher baju kaosnya hingga memperlihatkan sebagian dada atasnya.
Helaan nafas lega keluar dari bibirnya, ketika mendapati tubuhnya masih putih mulus, bebas dari bercak-bercak merah mencurigakan.
Tunggu…
Bianca melirik apa yang tadi ia tarik ke bawah. Kaos? Bukankah tadi dia pakai gaun pengantin dan segala pelengkapnya?
Lalu semua yang tadi dipakainya kini berubah menjadi sebuah kaos putih polos kebesaran hingga hampir mencapai lututnya. Untung bra tanpa tali dan celana ketat pendek yang ia pakai tadi masih menempel rapi di badan.
Bianca meremas rambutnya frustasi. Siapa yang mengganti pakaiannya?
'cklek'
Bianca membalikkan badannya dan mendapati sosok Rava dengan kaus hitam lengan panjang dan celana selutut berwarna krem. Pria tampan itu tampak membawa nampan berisi makanan di tangannya.
"Kamu! Apa yang udah kamu lakuin?" ujar Bianca frustasi sambil menunjuk-nunjuk Rava dengan satu tangan, sedang tangan satunya bersilang di depan dadanya. Melindungi dirinya sendiri entah dari apa.
"Aku? Aku bawain kamu makan malam" sahut Rava santai, seraya sedikit mengangkat nampannya.
"B-bukan itu maksudku! Maksudku kenapa aku bisa ada disini dan kenapa bajuku berganti?"
Rava menghela napas dan meletakkan nampan berisi makanan itu di meja.
"Tadi kamu tiba - tiba pingsan, jadi aku membawamu kemari. Ini rumahku. Dan soal bajumu, aku yang menggantinya, karena kupikir pasti nggak nyaman kalau tidur pakai gaun yang berat itu"
"A-apa? Kamu yang ganti pakaianku? Kenapa harus kamu? Berarti kamu udah menelanjangi aku?"
"Lalu kenapa? Kamu ingin mertuamu yang mengganti pakaianmu, begitu? Kita bukan anak kecil lagi? Dan lagi aku suamimu, jadi masalahnya dimana?"
"Apa kamu bilang?" Bianca meremas rambutnya yang kusut awut - awutan itu dengan frustasi, begitu mendengar kata 'suami".
Ia masih tidak mempercayai kalau pria di depannya ini adalah suaminya. Kemarin Bianca masih memanggil Rava dengan sebutan Pak Guru, dan kini dia akan memanggil pria tampan itu dengan sebutan 'suamiku' atau 'mas Rava'. Rasanya Bianca tak sanggup.
Rava tersenyum ketika menyadari raut panik pada wajah cantik siswanya itu. Selama ini dia mengenal Bianca sebagai sosok yang angkuh dan tidak pernah takut pada siapapun.
Namun kini semua itu seolah menghilang, yang Rava lihat kini adalah Bianca hanya seorang gadis kecil yang dengan raut cemasnya entah kenapa terlihat manis sekali di matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Hendra Yenni
Blanca.. Baru 17 Th .. Pak guru. Masih imut atuh😀
2022-03-27
0
Umi Jasmine
lucu juga kamu bianca
2021-09-21
0
Yeni Putri Nora
suami
2021-05-07
0