Gadis itu tersenyum lirih. Wajahnya begitu pucat dan pandangan matanya sayu. Tubuhnya menggigil kedinginan dan Rava nyaris membelalakkan matanya ketika mendapati bagian bawah gaun gadis itu penuh dengan noda darah yang sangat banyak.
"Oh My God, apa yang terjadi denganmu? Ayo masuk!" seru Rava sambil menarik tubuh gadis itu. Namun Mirai menahan tubuhnya, ia menggeleng pelan menandakan bahwa ia tidak ingin masuk. Gadis itu menatap lirih pada buntalan yang berada dalam pelukannya. Dengan tangan gemetar Mirai menyerahkan buntalan itu kepada Rava.
Dan tidak ada yang bisa Rava lakukan selain menerima buntalan itu. Betapa terkejutnya Rava ketika melihat isi buntalan itu.
Seorang bayi.
Tubuh ringkihnya memucat karena suhu dingin dan sangat lemah.
"Itu anakku Rav…" gumam Mirai lirih, "Dia mirip denganmu 'kan?" Gadis itu tersenyum lemah.
Rava tidak menjawab. Matanya tertuju pada bayi lemah yang kini kesulitan bernapas. Prediksinya adalah Mirai baru saja melahirkan bayi ini. Dan ditengah hujan lebat begini ia membawa bayinya kemari.
"Aku memang mengatakan kalau aku tidak akan merepotkanmu, tapi ayah akan membunuh anak ini jika tahu bahwa selama ini aku mempertahankannya"
Rava menatap Mirai tidak mengerti, "Apa maksudmu? Kemana saja kamu selama ini?"
"Rava… kamu masih mencintaiku 'kan? Apa kamu mau merawat anak ini untukku? Aku mohon."
Rava mengerjapkan matanya bingung. Ia memang masih sangat mencintai gadis di depannya ini, tapi semua yang terjadi sekarang sungguh diluar dugaannya.
Sejenak Rava memandang lagi tubuh menggigil gadis di depannya itu. Mata yang biasanya bersinar bening itu kini terlihat redup dan membengkak. Air mata kesedihan dan keputus asaan melebur menjadi satu bersama air hujan yang membasahi sekujur tubuhnya.
"Tentu aku akan merawatnya, tapi bagaimana denganmu?" Rava tidak perduli lagi apakah ia akan menyesali keputusan yang ia ambil ini. Yang ia inginkan hanyalah melindungi gadis yang ia cintai ini beserta bayinya.
"Sudah kubilang kan Rav, ayah akan membunuh anak ini kalau beliau tahu aku telah melahirkannya. Selama ini aku pindah ke kota kecil di Bristol untuk mempertahankan bayi ini sampai dia lahir. Beliau mengira aku sudah menggugurkan bayi ini. Aku juga berbohong pada beliau dengan bilang bahwa aku sedang menjalani masa praktik akhir. Aku sungguh tidak bisa kalau harus membunuh darah dagingku sendiri. Dia tidak bersalah" jelas Mirai penuh dengan tangisan yang membuatnya terlihat semakin menyedihkan.
"Mirai, menikahlah denganku! Kita rawat anak ini bersama!" Rava menggenggam tangan dingin gadis itu dengan satu tangannya yg bebas.
Mirai menggeleng lemah, "Ayah sudah menjodohkanku dengan lelaki lain Rava… Aku sudah melakukan kesalahan besar. Kali ini aku tidak mungkin menolak keinginan ayah. I'm so sorry Rava…"
Rava terdiam di tempat. Sungguh dia ingin memaksa gadis ini untuk menikah dengannya. Kalau perlu mereka akan kawin lari saja. Dengan begitu Mirai tetap bisa bersama buah hatinya ini 'kan? Tapi jika melihat kondisi Mirai yang seperti ini, Rava tidak sampai hati untuk memaksanya.
"Suatu saat, kalau anak ini bertanya, katakan ibunya sudah mati… ya?"
"T-tapi Mirai…"
Mirai menyentuh bayinya untuk yang terakhir.
"Jangan pernah maafkan mamamu yang hina ini ya, sayang." Kembali air matanya menetes. Tak kuasa rasanya bila harus berpisah. Tapi apalah daya.
"Rava… tolong bawa dia kedalam, dia terlihat kedinginan"
Rava terlihat ragu namun kemudian dia membawa bayi mungil itu ke dalam rumahnya.
Di dalam kamarnya Rava mulai mengganti kain bedong yang lembab itu dengan kain kering seadanya yang ia punya.
Rava mendesah lega ketika mendapati bayi itu tidak terlalu pucat seperti tadi. Bayi itu masih berwarna merah dan terlihat begitu rapuh. Rava tidak pernah menangani bayi sebelumnya. Tapi dia mencoba sebaik mungkin demi sang bayi.
Mendadak Rava teringat sesuatu, bukankah Mirai masih diluar?
Setelah memastikan bayi itu aman, bergegas Rava berlari menuju pintu rumahnya. Namun dia tidak mendapati siapapun berada di sana.
Lelaki itu cemas luar biasa. Bayangkan saja, seorang wanita yang baru melahirkan berada di luar seorang diri dengan cuaca seperti ini.
Saking cemasnya hingga ia tidak sadar kalau air mata perlahan menetes di pipinya. Rasa cemas dan putus asa bercampur menjadi satu saat menyadari jika dia telah kehilangan gadis itu lagi. Rava merasa kalau dirinya benar-benar tidak berguna.
Rava kemudian menarik payung yang terletak disamping pintu rumahnya. Ia berniat mencari Mirai. Dengan kondisi seperti itu Mirai pasti belum terlalu jauh 'kan?
Tetapi baru selangkah dia keluar, dari arah kamarnya terdengar suara tangisan yang begitu kuat.
Lelaki itu terdiam di tempat. Kini dia berada dalam dua pilihan. Mirai atau bayi yang kini menangis histeris itu.
Kondisi bayi itu sangat lemah, jika Rava meninggalkannya sekarang, ia tidak yakin kalau bayi itu masih hidup begitu dia kembali nanti. Lalu bagaimana dengan Mirai?
Rava mengepalkan tangannya erat, sejenak ia bimbang. Hingga akhirnya,
"Maafkan aku" bisiknya lirih lalu membalikkan badannya.
Pria itu berlari cepat menuju kamarnya dan dengan segera dia memeluk bayi yang masih saja terus menangis itu.
"Ssst… jangan nangis…" bisik Rava lirih sambil menepuk punggung bayi itu pelan, "Jangan nangis… ayah sudah disini… ayah mohon jangan menangis…"
FLASHBACK END*
"Setelah itu aku membawa Gio ke Indonesia. Ayah dan ibuku awalnya menolak Gio masuk ke keluarga kami. Tapi aku tetap mempertahankannya demi janjiku pada Mirai. Aku udah menganggapnya seperti anak kandungku sendiri." ujar Rava menyelesaikan ceritanya.
"Lalu… Mirai gimana?" tanya Bianca.
Rava menghela napas, "Entalah… aku nggak tahu… terakhir yang kudengar dia nikah dan pindah ke Jerman sama suaminya"
Bianca memainkan bibirnya, "Dia egois banget sih, ngasi anaknya sama orang lain, harusnya kan dia mempertahankan bayinya?"
"Dia nggak punya pilihan, Bi. Kalau Mirai membawa Gio ke rumahnya, maka ayahnya pasti akan membunuh Gio".
"Tapi kalau aku nggak akan seperti itu. Aku akan pindah ke kota lain dan ngerawat anakku walau seorang diri." gumam Bianca.
Rava terkekeh pelan, "Tenang aja, kamu nggak perlu ngerawat anakmu seorang diri, kok" Rava memajukan tubuhnya, menatap Bianca yang terheran dengan kalimatnya, "Karena, kalau suatu saat kamu punya anak, kita berdua yang akan merawatnya, hm?"
Bianca membulatkan matanya, "Ng-ngomong apa sih !" gerutunya sambil memukul-mukulkan album itu ke tubuh Rava. Tiba-tiba saja Rava menahan tangan Bianca. Mendadak suasan menjadi hening.
Rava menatap Bianca tajam. Sementara Bianca balik menatap Rava dengan tatapan ragu-ragu.
Tangan Bianca yang semula melayang di udara perlahan diturunkan Rava dan meletakkannya di sisi samping tubuh Rava.
Pria bersuara bass itu mendekati tubuh Bianca perlahan, sementara Bianca yang tertunduk hanya bisa mundur sedikit demi sedikit. Namun aktivitas mundurnya terhenti ketika punggungnya menabrak meja side-bed di belakangnya.
"K-kamu mau apa?" tanya Bianca gugup. Suaranya terdengar parau. Sesekali gadis itu mengintip wajah Rava dari sela-sela poninya.
Bisa dilihatnya wajah Rava begitu dekat dengan wajahnya. Wajah tampan gurunya itu terlihat begitu serius. Membuat jantung Bianca memompakan darah berpuluh-puluh kali lebih cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Asih Setiawan
semangatnya..💪
2021-01-10
0
dewi vs eta Wulan
smgt thor
2021-01-08
0
Najwatirta
kasian baby Gio...
tapi gpp berarti Rava masii perjaka juga
2020-12-26
9