Pesawat telah mendarat, menginjakkan roda
besarnya di tanah Surabaya. Kenangan selama
42 hari di NTT kini hanya tinggal bayangan
saja. Meskipun seluruh nama teman-teman
kkn ada di kontak hp.
Kedua kaki berjalan keluar dari dalam
bandara, menuju halaman bandara. Dimana ada satu orang yang telah lama dirindukan menunggu di dekat pagar perbatasan antara halaman dan ruangan dalam bandara.
Satu senyuman tercipta seketika, begitu
merekah, hati sangat gembira, saat kedua mataku melihat satu sosok yang telah 42 hari lamanya tidak aku jumpai, satu sosok yang telah melingkarkan cincin di jari manis ku, satu sosok yang telah mengantarkan ku di bandara yang sama 42 hari yang lalu untuk melepas ku pergi kkn, dan kini telah ada di depan mataku untuk menjemput ku, dialah mas Zidni.
Di kedua tangannya memegang kantung
plastik satu berisi burger dan satu berisi float, yang tampak dibalik plastik bening putih itu. Dia menunjukkannya padaku dengan senyuman
merekahnya.
“Assalamua’alaikum sayang! Selamat datang
kembali di Surabaya..” ucapnya menyambut ku.
“Wa’alaikumsalam... ya Allah mas aku kangen
banget sama kamu mas.” Ucapku saat itu dengan sangat bahagia dan menerima apa yang dia bawa untukku, langsung aku makan seketika itu.
“Aku sebenarnya ingin sekali memelukmu saat
aku melihatmu keluar tadi, tapi aku takut kamu malu di lihat semua teman-teman kamu.”
Aku pun tertawa mendengar ucapannya, dia
sangat tahu kalau aku sangat tidak suka memamerkan kemesraan di depan umum dengannya. “Ya untung aja tidak kamu lakukan mas.”
Dia pun izin untuk mengambil motor dan aku
menunggunya. Dan bersamaan dengan itu hp ku menyala, telpon masuk dari Ali.
“Halo assalamu’alaikum.” Terdengar suaranya
dari seberang sana, aku pun tersenyum seketika.
“Wa'alaikumsalam Ali... aku baru saja sampai.”
Jawabku dengan antusias.
“Siapa yang jemput? Mas ko?” tanyanya
padaku. Aku pun mengiyakannya.
Setibanya mas Zidni, aku langsung menaiki
motor membonceng di belakangnya, aku juga
langsung mematikan telpon begitu saja tanpa
mengatakannya pada Ali terlebih dahulu, aku takut mas Zidni tidak menyukainya. Bila aku telponan dengan lelaki lain.
“Siapa?” tanyanya, seketika jantungku
berdetak kencang.
“Hanya teman kkn, teman-teman wa ke aku.”
Ucapku sedikit hati-hati.
Sejak saat menginjakkan kaki kembali ke
Surabaya aku berusaha mengubur dalam-dalam perasaanku, mengubur dalam-dalam kenangan ku, dan mengubur dalam-dalam semua tentang Ali. Namun
aku tetap tidak bisa, sejak saat itu pula aku hanya mampu menangisi semua itu di malam harinya. Saat tidak ada seorang pun yang dapat menggangguku di kamar, saat semua orang di rumah mengira aku telah tidur. Saat itu pula aku menelpon seorang yang selalu mendengarkan curhatan dan keluh kesah ku. Orang kedua setelah Ali. Kak Yani.
“Kak...” sembari menangis aku memanggilnya
di telepon, seolah dia ada di dekatku.
“Apa adikku sayang.” Terdengar dia sangat
memahami aku yang hendak curhat lagi malam itu.
“aku tidak bisa melupakan semuanya kak. Aku
kangen kakak... aku tidak bisa hidup rasanya, aku ingin kembali lagi ke NTT kak. Aku sudah tidak sanggup lagi. Aku memang benar raganya ada disini. Tapi jiwaku tidak ada disini kakak.” Aku benar-benar membanjiri bantal ku malam itu.
“Kok nangis sih adik. Katanya waktu adik
ada disini adik yakin pasti bisa lupain semuanya, cepat lupainnya. Tapi sekarang kok malah nangis. Seandainya waktu adik sedikit lebih lama disini, mungkin kita bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama.”
Kak Yani adalah orang kedua yang sangat
mengerti aku setelah Ali. Dia mau mendengarkan segala isi hatiku, baik tentang pertengkaran ku dengan Fahri dan Giga selama kkn, ataupun tentang aku dan Ali. Kak Yani lah yang mengetahui isi hatiku sebenarnya tentang Ali, meski pada Ali saat itu telah aku ungkapkan bahwa aku menyayanginya, dan Ali tak percaya. Tapi sebenarnya aku memang mulai
jatuh hati pada Ali sejak saat dia menjadi perisaiku di setiap aku ada masalah.
“Bagaimana caranya agar aku bisa melupakan
semua kenangan ku selama di NTT kak. Bisakah kakak membantuku melupakan semuanya?”
Dan sunyi sejenak. Kemudian kak Yani pun
mulai menjawab, “Ada satu cara dek,”
“Apa kakak,” aku sedikit senang mendengar
ada caranya.
Dengan seksama aku mendengarnya, “Jangan
sering-sering hubungi kami yang ada disini to adek, hahaha” ucap kak Yani, yang seketika membuatku menjerit manja padanya. Dia hanya menyisakan tawa.
Dia lah orang yang meladeni manjaku selama
aku di NTT, dia juga tidak pernah membebani aku di setiap dia membutuhkan sesuatu dan hal itu terkadang membuatku geram padanya, dia juga selalu menasehati ku di setiap aku salah, aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang kakak di tempat lain setiap aku keluar dari rumah, kecuali saat di NTT. Dialah mbak keduaku setelah mbak kandungku,
malah sejak setelah kkn aku lebih merindukan kak Yani daripada kerinduanku pada mbakku saat aku ada di NTT.
Oia, disini aku belum menceritakan siapa aku,
dan siapa saja anggota keluargaku, dan apa kesibukan keluargaku. baiklah akan aku ceritakan cuplikan yang bersangkutan dengan kisah ku ini, kisah aku dan dia, kisah Fatimah dan Ali.
Seusai aku telponan dengan kak Yani, aku
selalu merasakan sedikit kelegaan, namun hanya sedikit, tidak sepenuhnya luka rindu ini sembuh. Sama seperti saat orang sakit demam, dia akan sembuh setelah minum paracetamol namun nantinya akan demam lagi sampai benar-benar dia temukan sumber
penyakitnya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments