Angin malam bertiup lembut, tanpa sadar bulu
kuduk dibuatnya berdiri dengan tiupannya,
yang awalnya bersila di atas hamparan
anyaman daun kering lontar di tanah, dimana hanya hp yang menemani, seketika itu pula bersamaan dengan bertiupnya angin malam, tertiup pula semua kenangan yang telah terjadi.
Dengan masih menghisap sisa-sisa rokok yang tinggal sedikit, kemudian melempar ke kejauhan.
Ditemani kegelapan, aku baru sadar duduk seorang diri di halaman belakang rumah, di depanku hanya hamparan pemandangan dedaunan yang kini ditutupi gelapnya malam, lolongan anjing juga sudah bersahutan, aku matikan api unggun yang tadinya aku buat itu.
Waktu telah menunjukkan pukul 01.00 WITA
dini hari.
Aku masuk ke dalam rumah, ku dapati Morgan tidur di ruang tamu beralaskan tikar yang telah dipersiapkan oleh Mama tiri ku. Semua seisi rumah telah terlelap, Bapak, Mama, ketiga adik tiri ku, dan Morgan, si adik sepupuku.
Ku rebahkan tubuh tepat di samping kanan
Morgan, membelakangi Morgan. Ku letakkan hp di sampingku. Ku lepas kalung turun temurun dari Kakekku yang setiap hari aku pakai itu, cincin dan gelang keramat ku, semua ku lepas setiap aku akan tidur dan mandi, aku pun menutup kedua mataku, ku biarkan tubuh ini beristirahat sejenak dari kejamnya dunia.
Dimana sejak kemarin sore, aku terus saja
hanya memikirkan keadaan Mbak’e. Sehingga dalam perjalanan menuju Desa Bileon, Fautmolo saat masih di Kupang di pandanganku hanya berisikan Mbak’e saja.
Kedatanganku di tanah kelahiran ku, selain
memang aku mendapatkan telepon dari Bapakku untuk membantunya memperbaiki aliran listrik, aku juga ingin menghabiskan waktu sejenak disini untuk bermunajat pada Allah dan juga aku kembalikan pada alam ciptaanNya, tentang semua penderitaan yang di alami Mbak’e. Itu pun atas permintaan Mbak’e.
Tanpa permintaannya aku tidak akan membuatnya semakin gelisah dengan aku membuatnya menjadi milikku.
Keesokan harinya, setelah aku bangun dari
tidurku. Pagi mulai menghiasi langit Desa Bileon, Fautmolo, menyejukkan bagi siapapun yang menghirup udara pagi disini, namun bagiku tidak di pagi ini. Aku masih mencium hawa panas sisa kemarin.
Langkah kaki keluar rumah, hendak melangkah menjauhi rumah.
“Mau pi mana kaka nyong¹ ?” satu sapaan di
pagi itu, langkah kakiku pun terhenti.
Aku menoleh pada satu suara yang tak asing
di telingaku itu, “Beta pi makam mama, terus pi rumah almarhumah mama.”
“Oh baik su.” ucap Morgan kemudian.
“Oia lu sonde masalah pi duluan ke Niki-Niki²
nanti kalo beta su selesai deng³ urusan disini beta telpon lu!” ucapku pada Morgan. Dia mengangguk.
Aku pun langsung beranjak menuju makam
Mamaku, yang telah meninggalkan aku sejak aku masih berusia sekitar kurang lebih 14 tahun, aku tidak begitu ingat aku umur berapa saat itu, yang jelas saat itu aku masih duduk di bangku MTs⁴ kelas dua. Dan beliau meninggalkanku saat aku juga sedang sakit parah hingga berada di ujung nyawa.
Aku masih sangat mengingat hal itu, dimana
beliau berkata pada pamanku, atau yang biasa aku sebut Bapak kecil. “Kalau Ali sembuh aku tidak masalah meskipun harus mati karena kesembuhannya.
Dia masih muda, lebih baik dia yang hidup bila
memang aku disuruh untuk memilih.” Dan sejak saat itu, aku benar-benar sembuh. Namun tanpa aku ketahui kabar apapun atas penderitaan
Mamaku selama aku koma, tidak lama setelah kesembuhan ku aku mendapat kabar bahwa Mamaku sudah meninggal dunia, dan harinya sama tepat saat aku tersembuhkan dari koma.
Sejak saat itu, kematian Mamaku. Tidak ada
air mata setetes pun dari kedua mataku. Karena saat itu aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang aku tahu saat itu, aku hanyalah seorang Piatu.
Sejak saat itu pula keluargaku terombang-ambing, di tambah dengan Bapakku yang memilih untuk menikah lagi, aku dan ke 5 saudaraku pun hidup dipisah-pisah. Ada yang di ikutkan ke bibi dari kakak Bapakku. Ada yang ikut bibi dari adik Bapakku juga, dan aku ikut pada bibi dari Kakak Bapakku, yang sekarang menjadi pimpinan di Pesantren Miftahul Huda yang ada di Oeekam.
“Lek at ho om¹¹ ?” tiba-tiba seorang perempuan paruh baya menyapaku, dia adalah
tetangga rumah almarhumah mama.
Aku pun menoleh setelah lamunanku buyar
mendengar pertanyaan itu, “Dari tadi malam
Mama¹²...”
“Oh. Mau ke makam ko?”
“Iya Mama...leko Mama.”
Perempuan paruh baya yang ku panggil Mama itu pun mengangguk sembari melempar senyuman padaku.
Disini hampir seluruh warga mengenal diriku.
Desa Bileon, Fautmolo adalah desaku, tempat
kelahiran ku, dan disini pulalah tempat kekuasaan Bapakku atas warisan Kakekku. Kakekku dulunya adalah Vetor¹³ dan diturunkan jabatan tersebut kepada Bapakku, nantinya juga akan langsung diturunkan ilmu kerajaannya kepadaku, karena aku adalah anak lakilaki satu-satunya dari Margaku, Marga Abil.
Desa Bileon, Fautmolo salah satu desa yang
masih memegang teguh kepercayaan adat dan apapun dikembalikan kepada alam dan Sang Pencipta. Kami disini pantang terhadap kepercayaan modern apalagi suatu kepercayaan yang meniadakan Tuhan.
Disini tidak ada satu pun masyarakat yang tidak beragama, meski masih saja mayoritas agama disini di pegang oleh Kristen Protestan. Namun di desa Desa Bileon, Fautmolo lah mayoritas Muslim tersebar, daripada di desa-desa yang ada di Timor Tengah Selatan.
Tetapi persoalan penyebaran Muslim di desa
Oeekam juga tak kalah dengan di Desa Bileon,
Fautmolo. Karena di Oeekam pun menjadi satusatunya desa yang terdapat bangunan Pesantrennya.
Sesampainya aku di pemakaman, dimana
hanya ada beberapa makam saja, ku pijak kan kaki dengan melepaskan alas kaki, ku sentuh kan telapak tanganku ke nisan makam Mama. Seperti biasa aku ambil siri pinang yang sudah tersedia di atas makam Mama.
Dimana hal ini juga sudah menjadi tradisi, bagi setiap anggota keluarga yang mendatangi pemakaman, dia diharuskan memakan siri pinang yang ada di pemakaman sebagai wujud penghormatan kepada orang yang telah meninggal.
Bersamaan dengan itu pula aku duduk bersila
di samping makam Mama. Di atas tanah tanpa alas, aku duduk bersila begitu saja tanpa takut terkena kotor, karena tanah disini sama sekali tidak menempel lekat pada kain yang kita gunakan.
Pernah seseorang bertanya padaku, “Apakah
tidak bosan menghampiri pemakaman Mama setiap mendatangi desa?"
Aku pun hanya mampu menjawabnya dengan
santai, “Tidak ada rasa bosan sama sekali. Karena selain pahala yang aku dapatkan setiap datangi makam Mamaku itu sama dengan aku mendatangi Baitullah di Makkah, tapi aku juga mendapatkan ketenangan, seolah Mama seketika ada di dekatku, menemaniku, menenangkan ku, menghilangkan setiap duka ku.”
Aku menghabiskan waktu di makam Mama,
hingga matahari mulai terbenam. Duduk bersila mendoakan Mama. Seusai dari makam Mama, aku langsung pulang ke rumah Mama. Yang tidak jauh dari rumah Bapakku bersama istrinya.
Disini lah aku bermunajat, membantu Mbak’e
dalam doa. Melalui bantuan rohani ini, aku meyakini bahwa setiap masalah yang di deritanya perlahan akan sirna.
Kembali lagi pada kemurnian alam Desa
Bileon, Fautmolo. Aku adalah seorang yang sudah mewarisi keyakinan akan kekuatan alam disini. Setiap aku meminta apapun, selagi aku menyerahkan diri pada Allah dengan berada disini, pasti semua permasalah itu sirna.
Hingga keesokan harinya aku tetap bertahan
di Desa Bileon, Fautmolo. Sekitar 3 hari aku berada disini. Namun meski begitu aku tidak ketinggalan untuk selalu menghubungi satu sosok wanita yang menjadi sebutan dalam doa-doaku itu, Fatimah.
...****************...
Footnot:
1 Sebutan untuk seorang lelaki di NTT.
2 Nama desa dimana terdapat rumah Hasan, sepupuku. Sekaligus di sanalah tempat Kakekku dimakamkan, Kakek Ali Abil.
3 Deng : dengan.
4 (Madrasah Tsanawiyah) sejajar dengan SMP.
11 Kapan kamu datang. Diterjemahkan dari bahasa Dawan.
12 Disini Mama juga biasa dipakai sebagai sebuah sapaan kepada perempuan paruh baya hanya sekedar untuk menghormatinya.
13 Sebutan untuk seorang Raja di daerah Timor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ftl03
like 8
2021-02-12
1