Ali... Ali... Ali sayang... suara memanggilmanggil sembari menggerak-gerakkan tubuhku yang masih diam terlelap, namun panggilan itu berhasil merasuk mericuhkan mimpiku dan aku pun membuka mata perlahan, masih dengan rasa malas untuk membukanya.
Seperti suara bayi merengek yang ku lakukan,
dan dia terus membangunkan ku, kini suaranya
terdengar jelas, “Ayo bangun sudah siang ini jam 6 pagi sudah...” ucapnya.
Dan perlahan aku ulurkan tanganku memintanya agar dia menarik tanganku, dia pun menariknya dan aku duduk.
Sembari mengucek kedua mataku, “Jam berapa?” tanyaku padanya, mengulangi ucapannya yang sebenarnya tadi sudah dia beri tahu sekarang jam berapa.
“Enam pagi Ali sayang..” terdengar merayuku.
Dan tanpa memberikan waktu lagi untukku tiba-tiba dia berkata, “Ayo hari ini waktunya kita piket masak!!
Dan kamu timba air!” kini ucapannya terdengar menggertakku, aku pun mengeluh seketika,
“Aiiiiish!!!!”
Namun dia berhasil, aku pun berdiri dan beranjak menuju tempat menimba air di sumur sedalam lima meter dekat dapur di belakang rumah Bapak kepala desa.
Meski masih dengan sempoyongan langkah berjalanku, tapi aku tidak merasa kesal sama sekali dengan cara dia membangunkanku, bagiku itu sangat romantis.
Hanya saja seperti biasa tetap aku pasang wajah malas di depannya.
Dia kini kudapati sedang mencuci piringpiring yang hendak digunakan teman-teman sarapan
pagi. Saat melihatku datang membawakan air
untuknya, dia memintaku untuk duduk di dekatnya.
“Duduk sini,” pintanya, “Minta tolong temani disini, yang lain biar memasak di dalam.” Ucapnya lagi, aku hanya menuruti apa yang dia ucapkan.
Aku mengambil tempat duduk kecil terbuat dari kayu, dan duduk di depannya. Sembari membantunya mencuci piring juga, ku lihat dia akhirnya tersenyum melihatku duduk
bersamanya.
Tak lama setelah kita mencuci piring, dari
dalam dapur Nayla berseru memanggil semua temanteman untuk datang ke ruang makan di dalam rumah Bapak kepala desa. Kak Yani dan lainnya membantu menyiapkan makanan di meja. Aku dan Fatimah langsung masuk ke dalam ruang makan.
Setelah mengambil bagian makan masingmasing, aku duduk tepat disebelah Fatimah, sebelumnya aku tidak berani duduk di dekatnya karena malu dan merasa canggung.
Namun sejak saat pertama kali makan bersama di ruang makan itu, Fatimah pernah mengingatkan diriku untuk makan menggunakan tangan kanan, dimana aku yang kidal dan terbiasa melakukan apapun dengan tangan kiri pun langsung menanggapi permintaannya.
Sejak saat itu aku bukan malah langsung menuruti perkataannya, tapi aku malah menggodanya.
Saat itu aku mengatakan mau melakukan apa yang dia perintahkan padaku saat itu dengan syarat dia suapin aku makan, dan seorang Fatimah yang aku kira sangat cuek dan tidak peduli terhadap orang lain itu, ternyata menanggapi positif pada godaanku padanya.
Dia menyetujuinya, aku pun langsung duduk tepat di sebelahnya, dan ku dapati dia langsung sangat tersipu malu, namun dia tetap menantang ku. Hanya saja aku sendiri yang tidak berani untuk terus menggodanya saat itu juga.
“Jangan lupa makan pake tangan kanan Ali...”
Kembali dia bubarkan lamunanku, aku pun segera kembali menggodanya.
“Tapi suapin.”
“Ayo...” tantangnya. Sambil dia sodorkan sendok dari piringnya ke arah mulutku, aku pun yang
dibuatnya kembali tersipu, dan aku langsung saja menuruti perkataannya.
Yang lain memperhatikan aku dan Fatimah pun langsung tertawa kecil. Hanya satu orang yang menyahut tanpa tertawa, “Ali manjaaa” ucapnya.
Tampaknya dia selalu merasa begitu terhadap
sikapku pada Fatimah, dialah Giga teman Fatimah yang sama-sama dari Jawa.
Namun semuanya menanggapi biasa terhadap
apa yang Giga ucapkan terhadapku. Aku tidak
menanggapi perkataannya.
Namun aku memperhatikan semua yang dia katakan.
Hari itu tepat tanggl 17 Agustus 2019, setelah
sarapan kami semua bergegas dengan segera menuju lapangan tempat semua orang berkumpul untuk Upacara Bendera Merah Putih, dan kami berjalan kaki bersama-sama pagi itu.
Dan seperti biasa yang lain masih bergurau di depan rumah Bapak Kepala Desa, sedangkan Mama dan Bapak Kepala Desa sudah hendak berangkat. Aku, Fatimah, Kak Yani, Nayla, Irul dan Yana, memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu, sisanya menyusul dan mereka juga masih bersantai ria.
Pagi itu tidak sesepi seperti biasanya, pagi itu
berbeda, sangat ramai, para peserta lomba gerak jalan antar sekolah juga sudah mulai berdatangan memenuhi jalanan.
Untuk pertama kalinya Kecamatan Amanuban Timur ini di ramaikan juga oleh para mahasiswa dari Jawa. Sangat syahdu yang kulihat suasana hari itu.
Aku menyalakan motor milik sepupuku yang juga satu desa KKN disini, dia lah Hasan.
Saat ku nyalakan motor, bersamaan dengan itu
Fatimah menatapi ku, aku tau apa arti dari tatapannya itu. Aku langsung menghampirinya tanpa membuat dia menunggu terlalu lama karena aku masih panaskan mesinnya.
“Nay ikut su..” ucap kak Yani tiba-tiba.
Aku pun menoleh pada kak Yani dan Nayla,
Fatimah yang masih belum menaiki motor pun terlihat gembira, dia selalu saja merasa tidak enak bila hanya naik motor berdua denganku.
Namun dia tetap yang duduk tepat di belakangku, Nayla duduk setelahnya. Kami pun berangkat.
Aku sangat senang, itu baru pertama kalinya
dia aku bonceng begitu dekat denganku.
Meski dengan alasan karena bonceng dua orang. Dan aku tak pernah rela bila dia bonceng dua dengan disetir kan oleh orang lain. Ya, sejak saat malam dimana dia suap kan sepotong kue untukku, aku tak rela ada satupun yang menandingi posisiku di hatinya, aku juga tak rela ada satupun yang menyakitinya. Aku juga tak ingin dia lelah tanpa aku antar kemanapun dia pergi.
...****************...
Motor melaju kencang, dari lapangan tempat
perlombaan bola voli berlangsung, sesegera mungkin kulajukan motorku, menoleh ke kanan dan ke kiri menelusuri hiruk pikuk orang yang berlalu lalang ada yang kembali ke rumah masing-masing dan ada yang baru akan menuju lapangan tempat perlombaan berlangsung, tentunya dengan berjalan kaki.
Terus saja aku mencari, 3 panggilan tak terjawab dan 2 panggilan masuk dari nomor tak dikenal namun dengan suaranya yang tak asing di telingaku, memanggil memintaku untuk mengantarnya kembali ke Mnela’anen.
Sesampainya aku tepat di depan dia yang kini
sedang berjalan kaki, aku menyuruhnya untuk segera menaiki motorku, “Naik su Mbak’e....” ucapku.
Namun nihil. Dia terus berjalan melalui ku, dan
aku tercengang karena itu. Aku pun langsung
bertanya kepada kak Yani, yang kini sedang berjalan bersamanya. “Kenapa dia kak?”
“Coba lu tanya sendiri sa” jawab kak Yani.
Ku kejar dengan menggunakan motor,
ku panggil-panggil, namun tetap nihil.
“Naik su Mbak’e... jangan sok kuat, jauh na...”
Mendengar ucapan ku, bukannya menghentikan langkahnya, dia makin mempercepat langkah dan melalui ku. Tiba-tiba pula perasaanku berkecamuk dan marah, aku pun berbalik arah dan kembali lagi ke lapangan, saat itu juga aku menyangkal ucapan hatiku pagi tadi, aku merasa tak peduli lagi apapun yang akan dia lakukan, sia-sia aku tinggalkan lapangan hanya demi dia yang ternyata acuh pada kepedulian ku untuk mengantarnya.
Dan saat itu juga aku memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Masih terngiang di telingaku ucapan kak Yani sebelum aku balik arah kembali ke lapangan.
“Lu lama na Ali... dia ada batunggu¹ lu buat antar dia pengen buang air, tapi lu son peka, setelah lama baru lu datang, telat lah. Mungkin Mbak’e kesal sama lu.”
“Mungkin Mbak’e kesal sama lu.”
“Mungkin Mbak’e kesal sama lu.”
Terus saja terngiang kata-kata itu, malam itu
pun aku tak bisa tidur dengan benar. Apapun yang dikatakan kak Yani masih menghantui pikiranku, dan entah aku kini harus ikut kesal karena dia acuhkan aku atau aku kesal karena tak segera datang padanya.
...****************...
Gelap telah menyelimuti langit desa Oeekam,
dingin seperti biasa masih saja menusuk ke pori-pori kulit. Rokok di jemariku pun juga masih seperti biasa melekat, menemani bibir memberikan rasa manis yang dihasilkan dari ujung rokok. Namun keadaan di malam itu yang tidak seperti biasanya.
Aku memutuskan untuk tetap disini, di desa
Oeekam. Setelah mendengar kabar tak sedap dari sekelompok kawanku yang bertempatkan kkn di tempat aku dibesarkan itu.
Seorang teman satu kelas denganku, Neina namanya. Penyakitnya tiba-tiba kambuh, sesak mendadak yang biasa orang kebanyakan menyebutnya asma.
Dan seperti biasa, aku tidak akan setega itu dengan temanku sendiri, terlebih kelompok kkn yang ada di desa Oeekam berasal dari luar daerah kota ini, tidak ada yang membawa kendaraan pribadi.
Dengan sepenuh hati aku memutuskan bermalam di Pesantren, yang menjadi posko penginapan teman-teman kelompok kkn desa Oeekam lebih tepatnya, yang memang ditempatkan di Pesantren.
Pesantren ini tepat berada di desa Oeekam,
yang menjadi jantung desa, sangat strategis karena lokasinya berdekatan dengan kantor Kecamatan dan juga Puskesmas yang hanya ada di desa Oeekam di antara seluruh desa di Kecamatan Amanuban Timur.
Pesantren ini adalah satu-satunya bangunan
pendidikan Islam yang berdiri diantara bangunan pendidikan umat Kristiani lainnya.
Meski tak seperti kebanyakan pesantren pada umumnya, dimana para santri menginap di dalam pesantren, disini hanya sebatas fasilitas untuk mengadakan Hari Besar Islam (HBI) dan apabila ada tamu pasti ditujukan ke pesantren ini.
Dilengkapi pula dengan bangunan sekolah dan masjid, disitulah para santri atau murid
mendapatkan ilmu.
Lebih jauh dari itu semua, seluruh orang di
desa Oeekam maupun seluruh anggota kelompok kkn yang bertempatan di desa Oeekam mengetahui pesantren ini adalah milikku, tepatnya milik keluarga besar ku dari jalur kakekku, Ghibran Abil.
Seorang penyebar agama Islam pertama di desa Oeekam ini. dan bukan hanya itu, marga keluargaku memang dikenal karena keislamannya yang terbesar daripada marga lain. Aku bermarga sama dengan kakekku, Abil.
Bahkan aku mewarisi nama kakek kandungku, Ali Abil. Sedangkan Ghibran Abil adalah kakak dari Ali Abil.
“Kenapa lu son balik Mnela?” Allan bertanya
padaku. Seorang yang tergolong masih baru aku kenal setelah dia kkn di desa Oeekam, berasal dari Kampus Universitas Kupang yang beragama Kristen Katolik, namun dia sangat baik padaku.
“Besok sa beta balik, kasihan Neina.” Jawabku
singkat, pada lelaki yang menemani malam ku saat ini, tetap sembari menghisap rokok.
Padahal dalam hati aku melanjutkan jawaban
dari pertanyaan Allan padaku, “Karena be ju lagi pemalas balik.” Mengingat apa yang telah terjadi tadi sore setelah dari lapangan voli di pinggir jalanan menuju ke desa Mnela’anen.
Karena sesungguhnya hingga malam itu aku masih memikirkan satu sosok nama di pikiranku, meski di raut wajahku memperlihatkan empati ku pada Neina temanku.
Keesokan harinya, disaat sangat pagi dan
kabut masih memenuhi desa-desa di Kecamatan Amanuban Timur, baik desa Mnela’anen maupun desa Oeekam, ada tiga sosok gadis berjalan keluar dari pengungsian.
Ketiganya berpakaian santai siap untuk menghirup udara segar pagi itu, menyusuri jalanan berkabut sejuk, dengan suara gemerutu yang berasal dari dalam perut masing-masing. Dalam hati mereka memang berniat untuk mencari sesuap pengganjal perut.
Mereka berjalan berjajaran kadang dengan
laju langkah yang cepat, kadang pula dengan pelan, menyesuaikan jalanan yang terhampar naik turun itu, sehingga membuat keberagaman pula dalam langkah mereka.
Ketiga gadis itu tidak lain adalah Mbak’e, Nayla dan kak Yani. Aku menatap Mbak’e dengan seksama, saat ku dapati mereka berjalan mendekati sebuah rumah bercat warna biru tua bertuliskan ‘Warung Nasi’.
Dalam hati aku hanya tersenyum melihatnya. Seketika ada rasa senang sejenak dalam hati melihat pemandangan di pagi itu. Aku dengan motor Vega ZR ku berhenti di depan kios yang tepat bersebelahan dengan warung nasi itu.
Tidak lama kemudian,
“Sudah Ali... mari su!” Neina membuyarkan
tatapanku pada ketiga gadis itu.
“Naik su.” Ucapku pada Neina, menyuruhnya
untuk segera menaiki motorku. Seketika itu pula Neina mendapati ketiga gadis itu.
“Kak Yani! Nayla! Mbak! Mau pi mana?!”
sapa nya.
Kak Yani pun langsung menjawab, “Pi cari
nasi! Lu su sembuh ko?!”
Kak Yani dan Nayla mengetahui keadaan Neina yang sedang sakit karena informasi di grup whatsapp kelas cepat menyebar kompak setiap
kelompok-kelompok KKN Nusantara dari kampus kami ada apa-apa.
“Su mendingan. Tapi be pu kepala masih
sakit.” Jawab Neina, dengan suara sedikit lantang, karena jarak antara Neina dan ketiga gadis itu sedikit jauh.
“Istirahat su!” ucap kak Yani kemudian.
Setelah ketiga gadis itu mendekati motorku
yang kini ada aku dan Neina, kak Yani masih
berbincang sejenak denganku dan Neina.
Namun saat itu pula pandanganku hanya tertuju pada satu arah. Dan Neina yang menyadari akan hal itu pun langsung bertanya.
“Mbak kenapa, Ali? Kalian ada batengkar²
ko?”tanyanya padaku.
“Sonde.” Jawabku singkat. Kemudian aku pun
melajukan motorku. Yang bersamaan dengan itu tatapan melengos dari Mbak’e itu tertangkap oleh pandanganku.
Aku benar-benar tidak menanggapi saat itu,
hatiku sedikit berkecamuk penasaran dengan sikap dinginnya yang sedingin di pagi itu. Namun kembali lagi, aku benar-benar tidak begitu pedulikan hal itu.
Karena aku yakin Mbak’e pasti akan memanggilku saat hatinya sudah membaik.
...****************...
“Halo Ali!!! Lu dimana? Ini Mbak’e ada pingsan! Lu datang su.”
“Ah lu jang bacanda siang-siang begini...”
“Aiii lu siapa yang lagi bacanda! Ini serius ni, coba lu pi datang dulu!”
“Sekarang dong dimana?”
“Di rumah bibi lu ni...”
𝘋𝘦𝘨!
Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba satu telpon masuk dari kak Yani begitu mengejutkan diriku seketika itu. Aku pun langsung beranjak berdiri dari dudukku di atas kursi plastik yang berhadapan dengan kaca selebar badanku itu.
“Ada apa lu buru-buru begitu?”
“Mbak ada pingsan. Ayo ke rumah bibi sekarang.”
“Aiii untung itu rambut su selesai.”
Aku yang sedang potong rambut pun dengan
tergesa-gesa membersihkan potongan-potongan rambut yang masih menempel di leher. Sepupuku yang sedang memotongkan rambutku juga dengan cepat membantuku membersihkan.
Aku datang ke tempat sepupuku dengan Hasan untuk potong rambut. Hasan juga saat itu ingin memotong rambutnya yang sudah panjang. Kami memang sudah berencana hari itu datang ke rumah sepupu.
Tanpa membuang waktu lagi, rasa khawatir
dan penasaran seketika memenuhi hatiku, aku benarbenar takut terjadi sesuatu pada Mbak’e. Dan sesampainya aku di rumah bibi,
𝘋𝘦𝘨!
Ini liat su Mbak masih belum bangun.”sapaan
dari kak Yani saat aku datang, yang seketika semakin membuatku khawatir.
“Ambil minyak di dalam!” perintahku pada
adik sepupuku, anak bibiku.
Baru kali ini aku melihat seorang Fatimah
lemah dan tak berdaya di atas pangkuan kak Yani, dia terpejam dengan lengan kirinya menutupi kedua matanya. Terlihat olehku pula bibirnya mengering dan pucat.
“Gimana Mbak bisa pingsan?” tanyaku kemudian.
“Dia su dari tadi na mengeluh bilang capek
jalan kaki, katong³ jalan dari Mnela na...” ucap kak Yani.
“Waduh.” Pekikku.
Seketika bibi terus saja menggerutu, “Haduh...
Mbak Jawa pingsan, jalan kaki 2 kilo bagi Mbak su pasti capek. Mbak pasti tidak biasa jalan jauh...”
“Iya bibi...” kini Nayla turut bersuara.
Aku sangat khawatir seketika itu. Pikiranku kalut, dan berasa tak dapat berpikir. Bersamaan dengan menggerutu nya bibi, perasaan bersalah seketika menyelimuti hatiku.
Tiba-tiba Mbak’e meneteskan air mata tanpa
membuka kedua kelopak matanya, sedangkan kak Yani seketika langsung menghapuskan air mata itu.
Hatiku teriris menyaksikan pemandangan itu, kenapa sampai menangis begitu, pekik ku dalam hati.
“Lagian Mbak tadi sok sok kuat. Dari kemarin
ju dia sok sok kuat.” namun meski begitu aku tetap pandai menyembunyikan rasa bersalahku, aku tetap sok menyalahkan Mbak’e dalam hal ini, meskipun dalam hatiku saat itu juga aku sadar akan keacuhaku pada Mbak’e.
“Eh lu masih ngomong!” kak Yani membentak ku.
Aku pun terdiam. Aku tahu salah. Seketika itu
pula aku pun mencoba menghibur diri. Mencari cara akan hal itu, aku melihat ke sekelilingku. Dan tibatiba aku menemukan ide.
“Aiii Farhan⁴ ada menangis tuh. Mbak’e
menangis Farhan ju ikut menangis. Hahaha” aku benar-benar mencoba mencairkan suasana.
Tapi tiba-tiba Farhan benar-benar meneteskan air mata pula.
Aku sedikit tertegun akan hal itu, namun aku semakin menjadi menggoda Farhan. Dan tidak lama kemudian secercah sorotan mata Mbak’e tertangkap olehku. Dia melirik penasaran ke arah Farhan.
Aku tidak tahu bahwa Farhan benar-benar
ikutan menangis. Saat itu pula pun tawa kami pecah, Hasan, Nayla, bibi dan aku. Hanya kak Yani yang tidak tertawa, dia sangat mengkhawatirkan Mbak’e.
Setelah matahari mulai naik dan sinarnya
berada tepat lurus di atas kepala, dari dalam rumah suara bibi memanggil kita semua untuk masuk.
Dimana awalnya kita berada di halaman samping rumah bibi, duduk santai di atas hamparan tikar yang terbuat dari anyaman daun nyiruk¹¹ kering di tanah.
Kita pun masuk ke dalam ruang tamu rumah
bibi, dimana di sana sudah dipersiapkan makanan di atas meja yang berdampingan dengan tembok yang terbuat dari daun lontar kering juga. Duduk berjajaran di atas kursi yang sudah tertata rapi pula.
Mbak’e sudah membuka matanya, dan juga
sudah tidak menangis lagi, namun wajahnya masih pucat. Aku pun duduk tepat di samping kirinya. Dia masih belum merespon keberadaan ku. Dan hal itu tidak menjadi masalah bagiku. Karena yang aku pikirkan saat itu hanyalah kesehatannya bukan hatinya.
...****************...
foot note :
1 Batunggu : menunggu.
2 Batengkar : bertengkar.
3 Katong : Kita
4 Putra paling kecil dari bibiku.
11 Daun yang berasal dari pohon lontar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
anggita
nayla-fatimah.
2021-02-28
1
Ftl03
like 4
2021-02-12
1