Pagi mulai memperlihatkan keelokannya, desa
Mnela’anen memang indah. Dedaunan yang tumbuh di pohonnya sangat segar nan hijau, pagi itu embun masih memenuhi dedaunan, membuat siapapun yang berada di pagi hari Mnela’anen membuat kedua mata masih mengantuk sisa tidur malam yang belum
dilegakan.
Di atas kursi plastik hijau yang aku bawa dari
dalam ruangan tengah ke halaman rumah Bapak Kepdes, tempat pengungsian. Aku duduk sendirian, sembari menunggu teman-teman lainnya yang sedang bersiap untuk ke kantor desa.
“Mbak’e...” satu sapaan yang dilontarkan oleh
suara yang sangat aku kenal. Dari seorang yang membuat aku dipanggil dengan sapaan Mbak’e disini, bukan hanya di desa Mnela’anen, tapi juga di desa Oeekam semua memanggilku dengan nama Mbak’e. Mengikuti panggilan yang diciptakannya. Dialah Ali.
Aku menoleh, “Hemmmm” jawabku saat itu,
dia hanya menyapaku, dia hendak berangkat ke kantor desa, aku pun ingin berangkat bersamanya.
Dia mengiyakan, karena dia juga hendak pergi ke rumah bibi di Kampung Muslim. Aku pun dengan senang menerima ajakannya. Namun tiba-tiba ada satu suara dari dalam rumah memanggilku. Aku pun langsung masuk dan Ali berkata, “Be tunggu di kantor desa ya.”
“I...iya” aku menjawabnya sembari
meninggalkannya yang masih berdiri di depan
halaman rumah sembari merokok itu.
Saat masuk ke dalam, Femi ternyata
memanggilku hanya untuk memintaku menunggunya untuk berangkat bersama, karena memang di hari itu dia jadwalnya berjaga di kantor desa bersamaku, dan
dia juga ingin minta handbodyku. Aku pun
menunjukkan keberadaanya. Sembari menunggunya selesai bersiap, aku datangi dapur dimana ada Hasan, Fahri, Giga, Irul, kak Yani dan Nayla di sana. Yang lainnya bersiap di kamar.
Mereka sedang memasak ketela goreng,
terlihat enak, aku pun yang merasa sangat lapar dan berpikir lagian aku yang hari ini bertugas pasti mereka memaklumi kalau aku ambil lebih dulu, aku pun langsung melayangkan tangan kananku ke wadah yang berisi gorengan ketela yang sudah matang itu.
Dan tiba-tiba.
Deg!
“Ambil sembarangan! Gak pernah bantu
masak! Makan doang! Simpan dulu!!! Kita semua juga lagi nunggu!! Biar di makan bareng-bareng!!!” Fahri membentak ku saat itu juga, padahal gorengan ketela itu baru saja berada di bibirku belum memasuki mulutku.
Serasa seketika ingin aku lempar gorengan
itu. Tapi aku hanya langsung berdiri dan melengos pergi dari hadapan mereka semua. Yang lain tidak ada yang berkata-kata hanya terdiam seperti patung.
Entah mereka membela Fahri juga atau mereka hanya takut berkata-kata karena Fahri disini sebagai Koordinator desanya.
Kata-kata itu terus terngiang di telingaku
seketika, dan bukan hanya kata-kata itu yang
membuat hatiku tiba-tiba tersentak kaget.
Namun yang membuatku sangat malu bukan karena bentakannya saja, tetapi karena hal itu kembali terjadi di depan banyak orang. Aku sangat malu dan dalam hati aku berkata, “Aku tidak akan makan lagi!”
Dan benar, aku sejak saat itu tidak pernah lagi
makan di rumah, bersama dengan kelompokku. Tidak pernah lagi.
Saat malam harinya, aku sedang duduk di
dalam kamar bersama dengan Ali seperti biasa dia berbincang banyak denganku, hanya saja kebetulan pagi tadi dia telah diberitahu Femi kalau aku nangis tadi dan dibuat nangis oleh Fahri, malam itu pun obrolan kita hanya tentang kejadian gorengan itu.
Ali mendatangiku, dan berkata padaku bahwa
dia telah menegur Fahri dengan apa yang
dilakukannya padaku hingga membuatku menangis.
“Seharusnya dia itu lebih bangga, lebih
senang, karena dengan kamu dekat dengan aku, kak Yani dan Nayla dan semua orang yang asli NTT, mereka tidak perlu repot-repot menjaga kamu, karena kami membantu mereka untuk menjagamu, secara kamu adalah satu-satunya wanita yang dari Jawa. Tapi apa yang mereka lakukan?! Mereka malah membuat kamu nangis, memusuhi kamu. Mungkin mereka iri. Sudah pokoknya mulai sekarang ada apaapa kamu katakan saja padaku. Kalau sampai mereka berani, lihat saja nanti!”
Aku tidak tahu lagi orang lain saat itu selain
Ali, aku sangat merasa melayang dibuatnya, aku seperti ratu disini, aku sangat dilindungi olehnya. Saat itu juga, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak memanggilnya dengan sebutan sayang, meskipun terdengar seperti hanya sebuah panggilan biasa bagi orang lain, tapi aku benar-benar menaruh hati padanya. Bagiku tidak ada yang pernah mati-matian
membelaku seperti yang Ali lakukan, hanya dia satusatunya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
S Anonymous
15 Like mendarat 👍
Salam kenal dari "CALON ISTRI VS MANTAN ISTRI"
Semangat terus ya Kak💪
2021-02-11
1