Drrrt!!!! Drrrtt!!!! Drrtt!!!
Mode getar. Membuat kedua mataku
terbuka sayup-sayup, nyawa masih
separuh sadar.
Perlahan tangan meraih hp yang berada tak jauh dari tempat aku terlelap, ku lihat sejenak nama kontak yang kini sedang ada panggilan masuk itu. Fatimah Surabaya.
Seketika jantung berdegup, kedua mata seolah tak lagi serasa ada perekat sedikitpun, los banget terbuka, dan kantuk menghilang. Aku terperanjat duduk, sembari sedikit mengucek mata, dan mengangkat video call tersebut. Yang tak mungkin aku reject sedikitpun.
“Halo!!! Ali... rindu deh, apa kabarmu di sana?!”
terdengar sedikit berteriak riang di jauh sana, dia seperti bahagia mendapati wajahku.
Seketika aku menanggapi kata-katanya,
“Halah....”
“Maafin akuu dong Alii... kamu jangan marah,
aku tidak balas wa kamu tadi malam aku sudah tidur kecapean..” ucapnya, sembari dengan nada memohon yang ku dengar.
Dan aku masih memasang wajah acuh, “Apa
sih, aku kan tidak marah.” Jawabku.
Dan seketika entah apa yang merasuki diriku, perasaan yang aku sendiri tak bisa jabarkan aku rasakan, dan mungkinkah ini perasaan bahagia karena mendengar kata-kata manjanya? Aku juga tidak tau.
Dan dalam hati aku bergumam, aku lebih rindu andai kamu tau itu.
Aku pun berusaha menyembunyikan perasaanku ini, dan aku lah yang paling hebat dalam hal itu,
“Jam berapa memang kemarin kamu sampai?” tanyaku padanya, mencairkan kekakuan sikapku padanya.
Dia terlihat senang mendengar pertanyaan
bodoh dariku di layar hp dalam video call.
“Nyampek sore, dan malam nya aku tidak kuat lagi menahan kantukku.” Dia menjawab dengan penuh semangat dari setiap pertanyaan ku untuknya.
Sedikit heran dengan sikap cerianya,
semangatnya, antusiasnya, setiap dengan diriku. Hal yang sangat jelas membuat siapapun yang berada di posisiku menjadi berkepala besar.
Kami pun sedikit lama mengobrol dalam vc itu, dan tak ku duga, hal sekecil itu sedikit banyak membuatku cerah dan melakukan berbagai hal positif seharian itu.
Meskipun aku benar-benar tidak ada di desa Mnela’anen selama dia tidak ada di sana. Aku full time ada di desa Oeekam.
Hawa seketika terasa sangat bersahabat, mulai dari bisikan anginnya yang seolah membisikkan bahwa dia juga sangat merindukan aku. Lambaian dedaunan di pohon-pohon yang tumbuh berjajaran di depan dan belakang rumah, sampai pasir di halaman pun terasa sangat bersahabat di setiap ku rebahkan tubuh hitamku di atasnya.
...****************...
Berkumpul dengan keluarga, ada bibi, paman,
Morgan, dan adik-adik perempuan dan laki-laki, semua ada di ruang tamu rumah kecil yang dikelilingi bahan kayu itu. Pintu kayu juga masih terbuka lebar, meski gelap sudah mulai menyelimuti langit Oeekam.
Semerbak bau khas dedaunan, tersapu nya pasir oleh tiupan angin, dan berkebulnya asap rokok yang ada di antara jemariku, melengkapi kesyahduan di malam itu.
Meski tak lama aku duduk diantara mereka, karena segelintir pikiran tiba-tiba membuatku ingin beranjak dari tempat itu.
“Be pi¹ dulu ke Mnela.” Pamitku pada keluargaku itu.
“Su datang ko² Mbak?” bibi menggodaku.
Beliau sedikit mengerti dari sekian obrolanku selama ini yang tidak jarang menyebut nama
“Mbak” pada mereka, terlebih hampir setiap hari aku dan dia melakukan vc dikala ada di rumah.
“Son³ tau na⁴. Be cuma mau datang pi sana,
takutnya dong kawan ada cari be.” Jawabku.
Karena memang aku benar-benar belum tau apakah Mbak’e itu sudah datang atau belum. Seharian ini aku belum mendengar kabarnya.
Namun entah angin mana yang bertiup memanggil namaku untuk beranjak menuju Mnela’anen.
Ku susuri jalanan sepi nan sunyi, bertemankan
lolongan anjing, dan dingin malam yang menusuk ke pori-pori kulit. Dengan menggunakan motor setiaku, vega ZR tahun 2011.
Dengan sesekali menghisap rokok yang masih setia pula berada di antara jemariku, santai, damai, tak tergesa-gesa sedikitpun laju motorku menuju desa sebelah, Mnela’anen.
Sesampainya diperbatasan, semakin sunyi dan
terlewati pula sebuah pasar dimana hanya terdapat dua kios yang masih melayani pembeli hingga 24 jam, meski tidak ku lihat ada pembeli di sana, hanya segelintir orang yang berbincang-bincang di dekat kios¹¹ tersebut.
“Leko-pa¹²...” sapaku pada segelintir orang
itu.
Meski sebenarnya tidak jarang ku kunjungi
desa ini maupun desa lain, tapi gara-gara
perkuliahan, aku harus selalu datang disini. Setiap hari seharusnya, hanya saja sudah sekitar 3 hari aku tidak datang, dan hal itu sangat berguna bagiku.
Hari libur, tanggal merah Hari Raya Idul Adha. Aku sangat memanfaatkan hari-hari liburku, meski aku merasa tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kesepian dan tepatnya karena bersamaan dengan hari ulang tahunku.
Yang membuat berbeda adalah aku harus
menyibukkan diri dengan tugasku. Sebagai seorang mahasiswa tingkat menuju akhir, belum bisa ku katakan sebagai mahasiswa akhir, karena ini masih awal, awal kehidupan baruku, dengan adanya tugas yang biasa orang menyebutnya “Kkn” Kuliah Kerja Nyata. Bertepatan dengan itu aku di tempatkan di tempat aku dibesarkan.
Meski tidak secara langsung, hanya bertetangga, sengaja dibuat seperti itu agar tidak ada kecemburuan sosial dengan mahasiswa lain.
Disinilah aku memulai segalanya, desa Mnela’anen. Memulai kisah ku, memulai jerih payahku, memulai kisah kasih nyata itu yang ramai disebut-sebut di media sosial kalimat itu.
“Bro, datang juga lu!” Sapa seorang kawanku, sama-sama asli daerah Timor, Samir.
Menyapaku dengan sapaan yang ku anggap itu adalah sapaan hangat darinya.
Sembari menyimpan motor di samping rumah yang ku tempati selama kkn, aku menjawab sapaan Samir, “Mau lu be son datang begitu?!” tak luput tawa ku lontarkan juga, dan membuat Samir tertawa juga.
“Dari mana aja lu Ali, su lama son keliatan lai
di Mnela ko.”
Dia berucap seolah-olah sangat merindukan
sosok kehadiran diriku di desa Mnela’anen.
Namun saat aku belum selesai tuntaskan senyumanku menanggapi ucapannya, dia melanjutkan katakatanya.
“Atau lu son datang tunggu mbak datang baru
mau datang?” Langsung seketika aku menyahut, “Aiiii, sonde lah. Ini buktinya be datang to dan mbak ju belum datang.” Kami pun tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa ada yang mengetahui, tanpa ada yang memahami satu hal pun saat itu, malam yang semakin larut dan entah apa yang membuat seisi rumah di Mnela’anen belum ada yang beranjak tidur hingga hampir jam 1 dini hari. Meski para kaum hawa sudah terlelap dikamar mereka.
Namun para lelaki belum ada yang mengantuk.
Dan tak lama setelah kedatanganku yang telah sekian hari tak datang ke Mnela’anen, mobil Avanza putih tiba-tiba berhenti di depan rumah Kepala Desa Mnela’anen, rumah yang sekarang ini kami tempati selama kkn, tepat di depan rumah mobil tersebut berhenti, dan seketika itu pula dag dig dug jantungku, entah apa yang aku pikirkan. Yang ternyata tak jauh dari apa yang terbesit dalam hati.
“Assalamu’alaikum...” sedikit berteriak namun
tidak begitu keras, mungkin karena dia tahu ini sudah larut malam. Suara itu mendekati ruang tengah rumah, dimana dia temukan aku, Samir dan Irul di sana. Yang secara bersamaan kita menoleh pada sesosok wanita dari Jawa itu, mbak’e.
Irul langsung berdiri dari kursi plastik yang didudukinya, keluar rumah mengikuti Fatimah yang sedari awal berseru agar kami membantunya. Aku hanya ikut keluar rumah dan berdiri melihati apa yang dilakukan Irul, Samir, dan Nayla yang juga datang bersamaan dengan Fatimah.
Sembari menghisap sisa-sisa rokok di jemariku yang sudah hampir habis, aku masuk kembali ke dalam rumah saat mereka selesai mengangkut semua barang bawaan mereka berdua.
Fatimah dan Nayla datang dari Kupang, jauh-jauh kesana hanya untuk merayakan hari raya idul adha tahun ini di sana.
Dan bersamaan dengan mengingat akan semua hal itu, aku tak bergairah untuk turut membantu menyambut kedatangan dan memindahkan barang bawaannya dari mobil Avanza putih itu ke dalam rumah.
Setelah beberapa menit yang ku kira sudah
turut tidur mengikuti teman-teman wanita yang lain, orang yang ku panggil Mbak’e itu keluar dari balik tabir biru yang menutupi kamarnya bersama temanteman lain, dia keluar dengan langkah kaki perlahan, dan tanpa ku sadari di tangannya membawa sebuah,
“Kue kah itu?” gumam ku dalam hati, sembari
menghabiskan rokok itu.
Bersamaan dengan itu dia tiba-tiba sembari
menyanyikan sebuah lagu, “Happy Birthday to you....” untukku? Kembali hati bergumam, dan bersamaan dengan itu pula rokok yang telah habis itu ku buang, tawa kecilku pun terdengar.
Tak mampu menahan tawa, aku dan Irul yang
juga sedang berulang tahun dimana tanggal, bulan dan tahun kelahirannya sama denganku pun ikut tersipu malu mendapatkan kejutan kecil dari seorang wanita dari Jawa.
Dia keluar dari kamar bersama dengan Nayla, dan keduanya membawa kue yang sama hanya
berbeda rasa saja tampak terlihat dari kedua kue yang berbeda warnanya.
Kue kecil, mungil, hanya sebesar genggaman
jari telunjuk dan ibu jari saja. Fatimah berdiri tepat di depanku. Sedangkan Nayla berdiri di belakang Fatimah, dan Irul duduk bersebelahan denganku tepatnya disebelah kanan ku. Sehingga membuat Fatimah yang berada tepat di depan sebelah kiri ku pun secara tidak langsung tidak bisa mendapati Irul sebelum melalui aku terlebih dahulu.
Spontan tak lama setelah dia berada di depanku, dia sodorkan kue itu memenuhi mulutku, tetap sambil berucap selamat ulang tahun, namun kini ditambahi kata-kata lain, “Maaf ya kuenya kecil, kamu sekarang harus mau menerima suapan ku,” cara dia berucap seolah dia mengutukku, geram telah lama tak jumpa denganku pastinya.
Aku hanya terdiam tersumpal kue dan ku
kunyah perlahan kue itu, “Ada-ada sa Mbak’e ini...” gerutu ku, sembari mengunyah kue yang disuap kan ke mulutku.
Tiba giliran Irul, dia kebingungan, dimana seharusnya dia yang ternyata memang sengaja mengajak Nayla keluar memberikan kue itu
bersamaan dengan dia memberikannya untukku,
Nayla seharusnya menyuapkan untuk Irul, namun kue itu dengan malu-malu disodorkan ke arah mulut Irul, Irul langsung menangkap kue itu dan memasukkan kue itu dengan tangannya sendiri.
Kami pun tertawa, terlebih diriku. Yang saat
itu juga dalam hati aku terus saja berkata-kata
sendiri, senang sekali yang aku rasakan malam itu, tak terduga, begitu mengejutkan, dan aku merasa menjadi orang paling disayangi saat itu. Terharu.
Tak lama setelah itu, keduanya berlalu dari
hadapan aku dan Irul. Di ruang tengah itu, dimana kejadian mengejutkan terjadi, selain ada aku dan Irul di sana juga ada teman ku yang satunya lagi, dia juga dari Jawa sama seperti Fatimah, hanya saja Fatimah lah satu-satunya wanita di desa Mnela’anen yang kkn dari Jawa.
Dia bernama Fahri, dia dari awal kejadian mengejutkan itu sudah ada bersama aku dan
Irul. Dimana selama itu juga dia hanya memalingkan wajah tidak menanggapi apapun atas apa yang dilakukan oleh Fatimah dan Nayla padaku dan Irul.
Ada satu lagi teman Fahri yang dari jawa satu
kelompok dengan kita di desa Mnela’anen, dia
bernama Giga. Giga saat ini sudah tidur lebih dulu dikamar belakang bersama yang lain. Aku disini kkn berjumlah 13 orang seluruhnya, dimana terbagi 3 orang dari kampusku, terdiri dari aku, Nayla dan kak Yani. 3 orang dari kampus Kristiani, yang ketiganya adalah wanita semua. 4 orang dari kampus lain di kota Kupang, terdiri dari Samir, Irul, Hasan, dan si gendut Yana. Dan 3 orang dari kampus Surabaya, terdiri dari Fatimah, Fahri dan Giga. Dimana kkn ini merupakan kkn pertama kalinya perpaduan antara kampus Islam dan Kristiani. Diketuai oleh pihak kampus dari Surabaya. Dengan menggunakan tema “Peace Building”.
Sampai jam 02:00 WITA dini hari, aku akhirnya memejamkan mata dari semua kejadian malam itu.
...****************...
foot note :
1 Pi kepanjangan dari pergi.
2 Ko : apakah.
3 Son kepanjangan dari Sonde. Sonde : tidak.
4 Na : hanya kata pelengkap. Seperti lah, juga, dan lain-lain.
11 Kios : toko.
12 Lekopa : permisi. Bahasa Dawan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
anggita
desa oeekam👌
2021-02-28
1
Ftl03
like 3
2021-02-12
1