Di setiap aku melangkah, di setiap aku bernafas, di setiap aku berkedip. Hanya ada Fatimah. Bagaimana mungkin aku bisa sehari
saja tanpanya? Sepertinya itu mustahil.
Sudah sejak awal aku telah menambatkan hatiku pada hatinya. Sejak 3 hari lalu aku selalu saling berkabar padanya, meskipun hanya saat aku sengaja mendatangi perbukitan di dekat rumah mencari signal, baru aku bisa mengabarinya.
Tapi tiada sehari pun tanpa aku mendengar suaranya. Siang kemarin selama aku di makam, aku sempatkan pula menelpon Mbak’e. Seperti yang kini aku lakukan. Kini aku berada di atas bukit yang 10 meter lebih tinggi dari rumah-rumah yang ada di Desa Bileon, Fautmolo. Dibawah pohon yang rindang, meski terik matahari menyemburatkan sinarnya, tak terasa panas bagi kulit kerbau ku.
Ya, aku menyebutnya kulit kerbau. Karena
meskipun aku diterpa angin kencang, badai, hujan, dinginnya malam di daratan Timor, dan panas matahari sekalipun, aku tetap tidak terpengaruh akan semua itu. Aku tetap hitam, dan mengkilat.
“Ali... kamu kemana saja? Aku kangen banget
sama kamu...” Suara lembut kembali terdengar olehku, menyejukkan pikiranku. Aku tidak perlu menunggu lama-lama untuk menjawab kerinduannya padaku.
“Iya maafkan aku Mbak’e... disini tidak ada
signal. Ini aku ada di atas bukit loh. Makanya aku
hanya bisa menghubungimu setiap aku mendatangi bukit ini saja.” Jawabku pada pertanyaannya.
Aku pun teringat sesuatu, “Oia, bagaimana kabar si setan.”
“Si setan? Siapa itu?” seketika satu pertanyaan dilontarkan untukku.
Aku pun tertawa, “Hahaha... ya siapa lagi kalo
bukan mas to. Dia kan sudah kayak setan aja, dia selalu menghantui mu, curiga-curiga sama kamu.
Padahal kamu tunangannya loh.”
Terdengar dari kejauhan suara bergumam,
“Hmmmm iya juga sih, itu tadi mas masih saja bahas yang kemarin-kemarin, padahal dia sudah berjanji padaku tidak akan mengatakan hal apapun tentang kejadian itu.
Padahal aku sudah sering meminta maaf akan hal yang sama. Tapi tetap saja dia masih mencurigai ku. Kemarin aku baikan loh sama dia, tapi hari ini aku kembali tidak saling sapa lagi dengan dia, aku blokir wa nya.”
“Wow. Yasudah kamu blokir saja si setan itu.
Pokoknya nanti kalo dia datang langsung matikan teleponan nya dan kamu hapus nomorku ya.” Ucapku padanya. Aku sudah satu minggu ini berempati pada apa yang Mbak’e alami.
“Yasudah coba kamu ceritakan tentang di sana,
desamu Bileon. Yang kata kamu tidak ada signal.”
Pinta Mbak’e padaku. Namun seperti terdengar mengejek padaku.
“Cerita apa...tidak ada cerita. Tapi aku ingin
jujur tentang sesuatu padamu.” ucapku kemudian.
“Ayo.. jujur tentang apa?”
“Baiklah dengarkan...” Mbak’e terdengar begitu antusias mendengarkan ku. Aku pun mulai bercerita.
...****************...
Hari Sabtu, 24 Agustus 2019.
“Ayo kita habis ini berangkat.” ucapku pada
kak Yani, Nayla, Hasan, Irul dan Mbak’e.
“Memangnya sudah izin ke Bapak Kepdes
ko?” tanya Mbak’e padaku. Hingga aku dengar
pertanyaan itu berkali-kali darinya.
Aku yang malas menjawab pertanyaannya
yang berulang itu pun, akhirnya kak Yani yang
menjawabnya, “Sudah sudah Mbak.. Mbak sudah siap ko? Kalo su siap na berangkat su. Mbak berangkat deng Ali...”
“Ayo Mbak’e.” ajak ku padanya. “Biar nanti
kak Yani, Irul dan Nayla menyusul. Habis ini Morgan datang pi jemput kak Yani, Hasan biar sama Nayla.
Dan Irul sama beta, nanti balik lagi to.” Aku
menjelaskan panjang lebar agar Mbak’e tidak lagi banyak bertanya. Karena saat itu teman-teman yang lain sedang merasa iri hati saat aku mengajak pergi hanya pada orang-orang tertentu saja.
Pagi itu kita bersiap untuk berangkat ke suatu
tempat yang sedang mengadakan pesta pernikahan.
Ke suatu tempat dimana terdapat rumah Hasan dan keluarga di sana, di sana jugalah tempat Kakek Ali Abil dimakamkan. Ke suatu tempat yang bernama NikiNiki. Di sana akan ada pesta pernikahan kakak Nona¹ sepupuku, sama-sama bermarga Abil.
Ada Bapak kecilku yang kini telah menunggu
kedatanganku dan teman-teman di depan kios kakak sepupuku, setelah aku sampai di desa Oeekam. Perlu diketahui bahwa letak desa Oeekam selalu dilewati anggota kkn desa lainnya untuk keluar dari Kecamatan Amanuban Timur.
Jadi seperti sekarang ini, bila hendak pergi ke Niki-Niki, pasti melewati desa Oeekam juga.
“Assalamu’alaikum kakak...”
Ku dengar Mbak’e menyapa kakak sepupuku
yang sedang duduk di depan kiosnya. Dan kakakku menjawab salam dari Mbak’e dengan tersenyum lebar. Mbak’e juga terlihat menyapa paman atau yang biasa aku panggil Bapak kecil.
Keduanya sudah pernah berbincang-bincang sebelumnya, sehingga tidak canggung lagi untuk mereka memulai percakapan.
Tak lama kemudian teman-teman yang lain
datang, aku segera meluncur menjemput Irul yang masih belum terlihat disini.
Saat matahari mulai meninggi dipertengahan
kepala, kita semua pun berangkat ke Niki-Niki
bersama. Ada empat motor yang menuju ke Niki-Niki.
Aku membonceng Mbak’e saat itu. Aku tidak
terbiasa banyak bicara saat berkendara, tapi Mbak’e menghujaniku dengan berbagai pertanyaannya.
Sehingga aku pun harus menjawab satu persatu pertanyaannya. Aku juga menceritakan sebuah jalanan yang kita lewati saat ini, dimana menjadi tempat persembunyiannya para preman.
“Namun pada orang pribumi mereka tidak
akan menggangu. Hanya seperti Mbak’e atau
pokoknya orang baru menginjakkan kaki disini, itu sudah pasti preman mengganggu. Disini juga sampai ada yang meninggal dunia loh. Baik itu di bunuh, kalo cewek diperkosa terlebih dulu. Itu sudah pasti.”
Jelas ku pada Mbak’e pada jalanan yang kini kita lewati, sunyi dan sepi tidak ada satu rumah pun, hanya ada pepohonan dan jalanan yang berkelokkelok.
“Ha? Beneran ta itu?” Mbak’e mulai ketakutan.
Sehingga dia tanpa sadar semakin mengeratkan pegangan tangannya pada baju bagian perutku.
Aku hanya dapat tersenyum menikmati itu semua, meski tidak dipeluk secara langsung, setidaknya yang sedang terjadi adalah ‘semi pelukan’.
Setibanya di Niki-Niki, aku dan semuanya pun
mendatangi tempat pesta malam pernikahan. Di sana aku berharap akan kedatangan Bapak kandungku dari Kampung Tua.
Namun Bapak tak kunjung datang, sampai keesokan harinya. Tetap saja Bapak tidak menunjukkan batang hidungnya.
Sedangkan bukannya malah bertemu Bapak
saat di pesta pernikahan, aku justru saat itu tiba-tiba berpapasan dengan seorang gadis, membuat kedua tatapan kita bertemu. Seketika aku tersentak kaget, dan,
Deg!
Seketika lamunanku melambung tinggi.
Mengingat kembali beberapa bulan lalu yang telah terjadi antara aku dan gadis yang kini tak sengaja ku tatap.
...****************...
Semua orang berlalu lalang di depanku,
kesana kemari, keluar masuk rumah. Sedangkan aku hanya diam sembari mengunyah siri pinang.
Memperhatikan semua orang yang sedang sibuk mempersiapkan sebuah jamuan.
“Seseorang akan datang,” itulah yang ku
dengar dari bibiku setelah aku bertanya “Akan ada acara apa kenapa semua orang begitu sibuk? Kalian sedang mempersiapkan apa?!”
Dan bibi juga menambahi jawabannya dari
pertanyaan ku saat itu, “Seseorang akan datang membawa putrinya untuk dinikahkan dengan dirimu.”
Deg! Dag! Dig! Dug!
Seketika aku terkejut mendengarnya, dan aku
baru menyadari kenapa semua orang begitu sibuk dalam minggu ini?
Tapi aku hanya mampu diam tak menanggapi
apa yang bibi ucapkan. Bagiku, gadis itu tidak akan mau denganku. Aku yakin akan hal tersebut. Karena aku tidak akan membiarkan gadis itu menyukaiku.
Setibanya keluarga gadis itu, mereka dari
marga Lilo, hanya saja aku tidak ingin mengenal nama gadis itu, meskipun diperkenalkan padaku, aku sungguh tidak akan membiarkan telingaku
mendengarnya.
Keluarga besar Lilo terdiri dari Bapak, Mama dan satu Pamannya juga ada gadis itu yang turut datang ke rumah Bapak saat aku kebetulan sedang pulang kampung, yang ternyata sengaja Bapak dan Bibi memanggilku pulang untuk urusan ini.
Keluarga Lilo duduk berhadapan dengan
Bapak dan Bibiku, Mama tiri ku menunggu dari balik tirai di ruang tengah, sedangkan aku duduk di dekat Bapakku. Tetap sembari menghisap rokok, dengan memasang tampang tidak peduli akan semua itu.
Mereka langsung to the poin saat itu setelah
sedikit pembukaan percakapan bertanya-tanya tentang usia dan apa kesibukanku. Mereka langsung mengatakan maksud kedatangan mereka, menggunakan bahasa Dawan.
Tapi disini aku tuliskan bahasa Indonesia saja, “Maksud kami datang kemari, mungkin Ali mau untuk kami nikahkan dengan putri kami ini” dan Bapak dari gadis itu mempersilahkan gadis itu untuk memperkenalkan diri.
Aku benarbenar tak peduli dan malah memainkan hp, karena aku sudah mengatakan dalam hati, tidak akan membiarkan telingaku mendengar sebutan nama gadis itu.
Sedangkan Bapak dan Bibiku mulai menyukai gadis itu. Gadis itu berjilbab cantik, cantiknya orang Timor.
Kulitnya tetap saja hitam bila dibandingkan kulit orang tangah Jawa. Dan hidungnya juga khas Timor, mancung. Bibirnya sedikit kecil tapi bagiku dia cukup lebar bibirnya. Dia cantik intinya. Namun kecantikannya masih belum bisa memikat diriku.
“Omne² Nyong Ali?” tiba-tiba satu
pertanyaan dari Bapak Lilo menyadarkan ku dari lamunanku.
Aku pun masih sejenak terdiam, setelah
beberapa detik kemudian aku menjawab, “Maaf Bapak, bukan maksud beta, tapi mohon maaf sekali beta masih pengen selesaikan kuliah dulu, masih pengen lanjut lai setelah lulus ni...” jawabku dengan lembut.
Sedangkan setelah mendengar jawabanku,
bubar lah mereka semua, dan Bibi langsung
mendatangiku. “Kalo memang benar apa yang tadi kamu katakan, bibi dukung kamu.” Ucapnya padaku.
Bapak tidak menanggapi apapun setelah itu,
karena dia tahu sifat ku, dia juga tidak banyak bicara bila denganku. Keputusanku disini sangat di hormati, karena aku lah satu-satunya anak lelaki dari Bapakku.
Aku berhak memutuskan sesuatu bila memang itu kehendakku. Selain kehendakku pun tetap bisa aku yang putuskan, namun bedanya harus mendapatkan persetujuan bersangkutan yang meminta bantuan untuk memutuskan sebuah perkara itu kepadaku.
Karena semua orang disini tahu juga, aku lah nantinya yang akan menggantikan posisi Bapakku seperti dia menggantikan posisi kakekku Ali Abil almarhum.
...****************...
Sejak saat itu seandainya aku menyetujui
perjodohannya, pasti kalung turun temurun dari nenek moyang yang kini sedang aku pakai sudah menjadi milik gadis itu.
Disini tradisinya seperti itu, bila lelaki menerima lamaran dari wanitanya, maupun wanita menerima lamaran dari lelakinya, meskipun belum ditentukan tanggal pernikahannya, dia sudah berhak memiliki kalung turun temurun dari nenek moyang marga si lelaki yang dimilikinya.
Saat berpapasan dengan gadis itu dan saling
tatap kedua mata kita, aku tidak ingin berlama-lama, dan langsung melengos begitu saja, malah aku juga bersembunyi di deket kamu.
Andai kamu tau, sejak setelah aku mengenalmu. Aku tidak pernah bisa berpaling menatap apalagi membiarkan wanita lain memenuhi hatiku.
Oia satu lagi, saat di pesta pernikahan, tepat
saat semua orang berdansa. Morgan menyuruhku untuk ikut berdansa juga saat itu,
“Kenapa kamu tidak berdansa saja, aku ingin
tau kamu berdansa.” Ucap Mbak’e. Memotong
pembicaraanku.
“Aiii tidak lah, dansa di NTT itu pasti harus
berpasangan dengan cewek loh. Sedangkan aku, sudah tidak bisa lagi dansa.”
“Kenapa?” kembali Mbak’e memotong
penjelasan ku.
Aku pun langsung melanjutkan, “Karena aku
tidak bisa berdekatan dengan wanita lain selain
dirimu. Dansa di NTT itu sangat dekat loh tubuh si lelaki dengan wanitanya. Sudah seperti dayung³
saja... dan aku tidak mau lagi dansa. Kalo dulu sering.”
“Kenapa tidak ajak aku saja waktu itu?” tanya
Mbak’e .
Seketika aku pun menjawab, “Memangnya
kamu mau aku ajak dansa seperti itu?!” dengan balik bertanya padanya.
“Tidak hehehe.” Jawab Mbak’e.
“Maka dari itu to. Aku tau kamu tidak akan
mau, seandainya saat itu dansanya bersamamu, pasti aku mau untuk berdansa. Jujur ya, setelah aku mengenalku, aku sudah tidak bisa lagi dengan wanita lain.”
Sejenak seketika sunyi.
“Kamu kok diam?” tanyaku padanya.
“Tidak... tidak diam, hanya mendengar katakata kamu hatiku langsung senang. Tumben kamu
bisa gombal.”
“Kok gombal sih.” Aku hanya tersenyum saat
itu, bagiku tidak ada hal lain selain Mbak’e. Sejak aku memutuskan untuk memilih A, ya tetap A. tidak akan berubah menjadi B apalagi C. Kecuali huruf A itu tiba-tiba hilang dan tak kembali.
“Hmmmm, boleh nggak aku sekarang yang
curhat?”
Satu pertanyaan yang tiba-tiba membuatku
berbinar, “Boleh banget. Ayo curhat sudah.” Jawabku.
“Dimulai dari mana ya?” terdengar Mbak’e
sedang berpikir sejenak.
Saat itu waktu seolah hanya milik kita, pulsa
seolah tidak penting, setiap saat setiap detik setiap hari telponan, dan bagiku pulsa tidak lagi menjadi beban dalam hidupku. Karena yang menjadi jembatan penghubung antara aku dan Mbak’e saat itu hanya hp.
Whatsapp, facebook, telponan, instagram, twitter, email, dan sms. Semua media sosial menjadi penting saat bersamanya, selagi itu dapat menjadi penghubung atas hubungan aku dan Mbak’e yang baru dimulai.
...****************...
footnot :
1 Sebutan untuk seorang wanita di daratan NTT.
2 Omne : Bagaimana. Diterjemahkan dari bahasa Dawan.
3 Sebutan bagi dua sejoli yang sedang melakukan hubungan seksual.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ftl03
like 9
2021-02-12
1