Seketika aku pun tersenyum, “Tuh kan...” dan Irul pun mengangguk. Dia sepertinya malu menunggu seorang wanita. Karena saat aku tidak sengaja menyentuh pundaknya karena tadi terkejut mendengar kata babi diucapkannya pun dia sedikit terkejut akan sentuhan ku.
Bagiku sangat mengejutkan memang kejadian
di kamar mandi itu. Dan menjadi hal yang cukup bersejarah bagiku saat itu. Untuk pertama kalinya aku hidup diantara babi dan anjing yang lengkap disini.
Namun meski begitu, aku tetap tersenyum,
karena aku hidup di tengah-tengah keindahan,
kesejukan alam, dan penuh cinta dari seseorang.
Sehingga selama aku hidup di desa terpencil
Mnela’anen jauh dari kota, aku tetap tidak pernah bersedih hati di setiap harinya.
Hal ini aku rasakan setelah dua hari aku berada di desa ini, dimana selama dua hari itu aku hanya terdiam dan merenung sendirian merindukan rumahku di Surabaya, terlebih setelah aku tahu orang-orang yang aku sayang, orang-orang yang hanya pada mereka aku percaya dapat menjagaku disini, dimana hanya aku sendirian wanita satu-satunya yang berasal dari jauh, ternyata mereka menghianatiku.
Kejadian itu dimulai saat malam hari, dimana
dingin mulai menusuk ke dalam pori-pori kulit, setiap anggota kelompok desa Mnela’anen berkumpul, melawan dinginnya malam walaupun sebenarnya masih tergolong belum terlalu malam, pukul 19.30 WITA.
Fahri mengumpulkan semua anggota atas pemintaan Mily dan Dini, dua mahasiswi dari Kampus Institut Kristen Kupang dan juga atas permintaan satu orang yang telah bersekongkol dengan dua wanita itu, dimana tak pernah ku sangka sebelumnya, dia lah Yana gendut. Aku terkejut melihatnya, aku tidak peduli jika Mily dan
Dini yang mengatur rapat itu hingga diadakan, tapi ternyata Yana turut serta dalam
hal itu.
Padahal sebelumnya, hanya pada Yana lah aku
bertumpu, baik itu bertanya-tanya, baik itu bertukar pikiran, sampai setiap meminta pertolongan. Tapi pengkhianatan itu dimulai dari sini.
Mereka bertiga mengumpulkan ke-13 anggota
kkn di ruang tengah, tempat dimana kita semua berkumpul entah itu rapat, bercanda bersama,
bernyanyi bersama, dan lainnya. Dan mereka
mengumpulkan kita semua yang ternyata hanya untuk membagi jadwal piket masak.
Sebelum dibacakan hasil pembagian yang
telah mereka bagi, mereka menjelaskan panjang lebar alasan mereka membagi jadwal piket.
Memang aku akui, aku selama dua hari tidak pernah menyentuh alat-alat masak di dapur untuk sengaja membantu memasak, karena alasanku yang pertama sudah banyak yang membantu di dapur dan alasan kedua
aku memang tidak bisa memasak.
Dan aku setuju atas alasan mereka bertiga
setelah mereka menjelaskan bahwa agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi, dan agar semuanya bekerja.
Namun, setelah Mily membaca hasil pembagian kelompok jadwal memasaknya yang berasal dari hasil diskusi mereka bertiga saja itu, aku sangat terkejut.
Sejak awal dibacakan hingga namaku akhirnya
disebutkan, aku sangat menuggu namaku disebut, dan aku paling sangat mengira bahwa aku dijadwalkan satu kelompok dengan Yana, secara aku memang hanya akrab dengan Yana saat itu.
Tetapi aku salah, namaku disebut paling akhir,
semakin lemas aku setelah Yana disebut namanya sejak awal, dan aku dikelompokkan dengan orangorang yang aku sama sekali belum akrab dengannya.
Hanya mengenal nama saja. Saat itu namaku disebut, “Kelompok 2 : Fatimah, Ali, Fahri, Yani, Nayla dan Femi.” Aku langsung lemas, dan seketika kekecewaan mengerubungi pikiranku.
Sejak saat itu pun aku yang awalnya selalu
tidur di samping Yana, sampai dia peluk aku setiap tidur untuk menghangatkan ku dengan tubuh gendutnya, sudah tidak lagi aku mau tidur dengannya, aku memilih tidur di dekat kelompokku memasak, tidur di dekat Nayla, kak Yani dan Femi. Itu semua adalah wujud dari kekecewaan ku padanya.
Sedangkan setelah saat itu, aku tak pernah
menyadari bahwa aku akan menjadi ratu, bahwa aku akan menjadi orang yang paling di manja, bahwa aku akan menjadi orang yang paling dihujani cinta, bahwa aku akan sebahagia ini selama kkn. Hingga berujung pada rindu setelah tidak lagi bersama mereka, mereka adalah kak Yani, Ali dan Nayla.
Ketiga mahasiswa dari Kampus Institut Islam
Kupang itu, telah membuatku percaya bahwa jangan hanya melihat dari covernya saja, telah membuatku percaya tak kenal maka tak sayang, telah membuatku yakin bahwa tidak ada yang tidak menyayangi kita meski itu hanya satu orang di dunia ini, karena pasti akan ada. Dan dengan mereka juga aku percaya bahwa teman, mati satu tumbuh seribu.
Saat itu tepat pertama kali kita dijadwalkan
dalam satu kelompok, dan bertepatan dengan jadwal kita hari itu, hari Jumat tanggal 2 Agustus 2019.
Pagi-pagi sekali pukul 06.00 WITA. Dimana hawa masih sangat sejuk, meski kabut sudah berlalu. Aku diajak oleh kak Yani dan Nayla ke dapur.
“Ayo Mbak ke dapur.” Ajak kak Yani padaku.
Aku hanya menoleh padanya dan tersenyum
singkat, lalu aku pun mengiyakan ajakannya. Aku masih belum bisa membuka hati pada teman baru saat itu.
Bukan hanya dalam hal ini saja, tetapi setiap
aku mendapati teman baru baik itu di lingkungan rumah, lingkungan kampus, atau di manapun, aku pasti tidak mudah membuka hati. Meskipun aku terlihat orang paling pandai menyembunyikan kebenarannya.
Kecuekan ku terbawa hingga hari ini.
Terlebih di hari ini terdapat satu program
kerja yang harus kita semua anggota kkn lakukan, karena di Kecamatan akan kedatangan Bupati Timor Tengah Selatan, dimana Bapak Kepdes
memerintahkan agar kita semua bersiap menyambut kedatangan Bupati, dan yang pertama dilakukan adalah pembersihan lingkungan kantor desa Mnela’anen.
Kedua kaki berjalan perlahan menginjakkan
kaki untuk pertama kalinya di tempat perapian yang ada di dalam dapur. Dimana biasanya aku hanya sebatas mampir ke dapur sampai di tempat meja makannya saja, tidak pernah sampai masuk ke tempat perapian selama dua hari berada di desa ini. hening seketika yang kurasakan.
Berasap, beterbangan memenuhi ruangan perapian yang seluas 2,5x2 meter saja itu.
Ruangan hampir menyerupai bentuk persegi, sisa kanan, kiri, depan maupun belakang, temboknya terbuat dari anyaman kayu bambu, berdebu bekas tempelan asap-asap yang beterbangan.
Perapian tepat di tengah-tengah ruangan, ada 2 lubang menyerupai kompor-kompor pada umumnya, yang biasanya aku menyebutnya tungku api, terbuat dari tanah liat yang dibuat sendiri, tapi tampak sudah tua namun terlihat tungku nya semakin kuat saja.
Tepat di atas tungku api tersebut menggantung berpuluhpuluh ikat jagung. Jagung yang telah mengering, berwarna coklat seperti gosong. Efek setiap hari dipanaskan oleh asap dari tungku nya. Selain itu, langit-langit dipenuhi dengan sarang laba-laba.
Seketika semua pemandangan itu bukan
membuatku merinding, tetapi aku tersenyum melihat semua suasana itu. Karena seketika itu, aku teringat pada tanah asal ku, Madura. dimana seluruh keturunan, Mama, Bapak, Kakek, Nenek dan lainnya, seluruh anggota keluargaku adalah berdarah Madura.
Dan semua pemandangan yang kini aku lihat, bagiku tidak jauh berbeda dengan di Madura.
Di Madura memasak juga memakai kompor
tungku atau tomang¹ karena memang selain tidak terlalu banyaknya peredaran kompor di Madura apalagi daerah yang masih pelosok, selain itu juga memasak melalui kompor tungku dapat menambah rasa kenikmatan dalam makanan, lebih sedap.
Namun di tahun sekarang ini penggunaan kompor tungku sudah mulai bergeser, tetapi setiap perayaan tetap tidak bisa lepas masak menggunakan tomang, karena hasilnya lebih nikmat. Apalagi memasak nasi, dan makanan pesta lainnya.
Pagi itu aku masih memasak hanya sekedar
membantu saja di dapur, karena yang mengambil alih urusan dapur adalah Femi, jadi aku tidak secara langsung yang menentukan menu memasaknya.
Setelah makan di pagi itu, aku dan teman yang
lain bersiap untuk bergegas ke kantor desa memenuhi tugas hari itu dari Bapak Kepdes. Aku sedang dudukduduk di depan seperti biasa aku lebih dulu siap dari pada mahasiswi lainnya, apalagi yang mahasiswa belum ada satupun yang siap.
Aku diam menatap ke sekitarku, “Ayo foto.”
Tiba-tiba satu sapaan pagi menyapaku. Aku pun menoleh, ku dapati seorang laki-laki mahasiswa berjas hijau muda, rambut keriting menjulang ke atas hasil pomade hingga membentuk seperti kebanyakan favorit orang Timor, kulit coklat matang seperti warna kulit buah salak, namun tidak segelap itu juga.
Dan kedua mata berbulu mata yang lentik itu, kini sedang menunggu jawaban atas ajakannya.
“Dimana?” aku bingung menjawab apa.
Canggung seketika, ini kali kedua aku bercakapcakap dengannya. Setelah apa yang terjadi di ruang makan kemarin.
“Iya di depan saja ayo.” Ucapnya, kemudian
kita pun berfoto-foto.
Seketika aku teringat dengan apa yang telah
terjadi kemarin, untuk pertama kalinya aku saling tegur sapa dengannya sejak setelah kejadian di ruang makan, dia bernama Ali.
...****************...
Footnot :
1 Kompor Tunggu "Tomang" orang Madura menyebutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments