Saat malam datang, dimana sudah hilang sinar
matahari, tidak ada panas menghadirkan
serpihan hawa dingin yang mulai melengkapi
malam.
Dan sudah hilang pula kesedihan sekaligus kemarahan seorang Fatimah, yang kini dia telah menghias wajahnya dengan bedak yang diambilnya tadi sore di Mnela’anen diantar oleh kak Yani.
Membuat wajah pucat nya pun telah menghilang, menyisakan kecatikannya saja. Bermalam di rumah kakak sepupu Hasan yang sekaligus adalah kakak sepupuku, karena aku dan Hasan memang sepupuan.
Seusai makan malam di sana kita pun kembali ke Mnela’anen, dan malam itu menjadi kesempatanku untuk kembali bersua lagi dengan Mbak’e, karena sesuai perintahku, Hasan dan Nayla secara bergantian dibonceng Morgan, kak Yani dan Mbak’e aku yang bonceng dengan secara bergantian pula.
Karena memang hanya ada 2 motor milikku dan milik Hasan. Dan Mbak’e kembali ke Mnela lebih dulu, kak Yani kloter kedua. Mbak’e pun langsung menaiki motorku. Sunyi seketika.
Namun seperti biasa, aku akan memulai pembicaraan antara aku dan Mbak’e untuk menghangatkan kekakuan itu.
“Tadi sok sok kuat. Kemarin juga, giliran pingsan baru sadar kalo memang harus ikut aku.”
Mendengar ucapanku, kini suaranya terdengar lembut, entah dia malas atau memang masih lemah keadaannya,
“Kamu yang tidak mengerti. Aku susah payah mengharap kedatanganmu kemarin itu, perut sakit mau pulang, tapi kamu tidak kunjung datang, setidaknya kamu cepat datang mungkin aku tidak akan bersikap dingin padamu.”
Aku pun seketika tidak menjawab. Dia kembali
diam. Dan hanya sunyi yang menemani kita malam itu, di atas motor menyusuri kegelapan malam, dilengkapi dengan gonggongan anjing di kanan kiri berasal dari rumah-rumah warga yang berjajaran cukup berjauhan. Pohon-pohon terlihat hitam, tertutupi kegelapan. Tanpa lampu penerangan jalan, hanya di terangi oleh sorot lampu dari motor Vega ZR ku.
...****************...
Gesekan kaki beradu di lantai, banyak kaki berlalu lalang, ke kamar, ke ruang tamu, dan ke arah kamar mandi, ke 13 anggota kkn desa Mnela’anen sibuk bersiap untuk berangkat ke kantor desa.
Seperti biasa, mengisi kegiatan kkn dan berjaga di kantor desa, dan hari itu tepat kedua minggu lamanya kkn.
Sesosok gadis Jawa berjilbab coklat susu,
berjaket yang dibelakangnya bertuliskan lambang KKN Nusntara NTT, bersarung motif khas Jawa apik dipandang mata menjadikannya terlihat seperti memakai rok.
Duduk di depan rumah Kepdes yang menjadi tempat pengungsian kkn, dia tampaknya memang paling siap untuk berangkat ke kantor desa.
Dia menoleh ke samping kirinya, dimana dia dapati aku berdiri merokok tepat di dekatnya.
“Bareng ke kantor desa yuk.” Ucapnya
padaku.
Dengan santai sembari menghempas perlahan
asap rokok ke udara, “Tapi aku tidak lama di sana, sebentar terus lanjut ke atas.”jawabku.
“Iya tidak masalah.” ucapnya lagi.
Bersamaan dengan aku menjawab ucapannya
lagi, “Oke.” tiba-tiba satu suara memanggilnya dari dalam rumah. “Mbak’e....”
“Iyaa....” sahut Mbak’e sembari langsung
melengos pergi dari hadapanku.
Sedangkan aku seketika sedikit berteriak padanya, “Be tunggu di kantor desa!”
“I..iya...” dia menjawab ku sedangkan saat itu
dia sudah berjalan sekitar 3 meter dariku berdiri. Dan aku pun berangkat.
Sedikit lama aku menunggu. Tiba-tiba Morgan
datang dengan membawa motorku, dia datang
bersama adik sepupuku yang satu lagi, tidak perlu aku tulis namanya disini, terlalu banyak membuat kisah ini semakin membingungkan nantinya, lagian dia tidak termasuk dalam kisah ini.
Langsung setelah itu aku melaju pergi, dalam
hati aku berkata, “Sebentar be kembali Mbak’e.”
seolah mengatakannya pada Mbak’e. Karena aku hanya ingin singgah di rumah bibi sepupuku.
Berbeda lagi dengan bibi yang memiliki anak terakhir bernama Farhan, dia berada di dekat pesantren, sedangkan yang akan aku singgahi letaknya dekat dengan tempat aku kkn, dekat dengan kantor desa.
Karena memang masih desa Mnela’anen, tepatnya di Kampung Muslim, karena yang akan aku singgahi ini mayoritas dalam satu RT penduduknya beragama Islam, hingga dijulukilah Kampung Muslim.
Dan salah satu keistimewaan kampung ini, tidak ada lambang salip satu pun, seperti di sepanjang jalanan desa Mnela’anen hampir ada 5 titik yang tiap titiknya terdapat 3 salip besar sekaligus, mulai dari perbatasan desa Oeekam dengan Mnela’anen sampai rumah Bapak Kepdes.
Seseruput demi seruput kopi yang ku nikmati,
hingga kini hampir habis, tepat setengah gelas yang telah aku minum kopi hitam di pagi itu.
Drrrtt!!! Tibatiba hp ku bergetar.
“Halo assalamu’alaikum,....” sapaku, satu
panggilan masuk dari nomor tak bernama dikontakku.
“Wa’alaikumsalam...”
Suara yang sangat ku kenal, terdengar dia
langsung bicara tanpa jeda dengan suara khas
manjanya, “Kamu dimana, aku udah nungguin kamu dari tadi loh,”
Aku pun langsung menjawab pertanyaan dari
panggilan masuk yang ternyata dari Mbak’e itu,
“Iya aku ada singgah minum kopi di rumah bibi yang di atas waktu sama Irul kemarin.” Aku menjelaskan.
Yang memang kemarin aku sempat keluar pagi harinya sebelum hari ini, bersama Irul pagi-pagi sekali singgah di rumah bibi hanya untuk minum kopi.
“Oh ya sudah ayo jemput...” pintanya tetap dengan nada manja.
“Iya, kamu dimana sekarang?” tanyaku. Yang
seketika sudah beranjak dari dudukku tanpa sadar.
“Di belokan dekat sekolah SMA nih, di depanku ada paralon gitu.” Ucap Mbak’e. Logat Indonesia kentalnya masih saja terdengar.
“Oke.” aku tahu tempat yang dia maksud saat
dia berikan deskripsi tempatnya dengan sebutan paralon.
Karena di desa Mnela’anen hanya satu belokan yang terdapat paralon muncul di permukaan pinggir jalan, meski tidak menggangu perjalanan. Tapi cukup untuk dijadikan sebagai patokan.
Setelah sampai, ku dapati dua sosok wanita
di sana, Mbak’e dan Femi. Femi disini adalah salah satu dari ke 13 teman kkn satu desa denganku, dia salah satu dari 3 wanita yang berasal dari Kampus Kristiani di Kupang.
“Eh homsat homok¹?” Pekikku, yang terdengar oleh orang yang ku maksudkan pertanyaan
itu memang padanya.
“Eh he’aa²...”dia langsung menyahut kasar padaku.
“Naik su..” ucapku kemudian, saat itu juga aku
hendak memerintahkan pada Mbak’e untuk naik ke atas motor lebih dulu agar tepat di belakangku adalah dia bukan Femi, dan tanpa aku perintahkan tiba-tiba Mbak’e langsung naik terlebih dulu, aku pun lega.
Seperti normalnya lelaki, pikiran nakal ku mulai
memenuhi otakku, bosan dengan cewek sini-sini saja, ingin sekali mendapat pelukan dari cewek Jawa. Gumamku dalam hati.
Namun zonk, Mbak’e melipat kedua lengan tepat di punggungku, bukannya mendapat pelukan
tetapi mendapat kesempitan di atas motor. Tapi itu lebih baik, setidaknya Mbak’e tepat di dekatku.
Sesampainya di rumah bibi, pembukaan
perbincangan pagi itu dihangatkan oleh secangkir teh yang aku tuangkan dari mug kecil, suguhan yang telah bibi buatkan khusus karena dia mendapat tamu dari Jawa.
Ditemani juga dengan sepiring kue bersejarah,
roti kering susun ditengahnya terlapisi maizena. Lama berbincang tanpa disadari, dan
tampaknya tanpa ada keinginan untuk
menceritakannya.
Namun Femi keceplosan untuk mengatakannya, “Tadi Mbak’e ada menangis tuh.” Ucapnya.
Seketika kedua alisku langsung mengerut.
“Ha? Kok bisa?! Siapa yang buat?!” sedikit dengan nada kuat aku bertanya.
Suasana seketika itu pula menjadi hening, aku
masih penasaran menunggu jawaban dari Femi.
Ku lirik sejenak Mbak’e sedikit menundukkan
pandangannya.
Tak lama kemudian Femi pun menjawab pertanyaanku.
“Fahri.”
Mendengarnya semakin tinggilah rasa
penasaranku, kenapa sampai Mbak’e menangis? Itulah yang kini berputar di otakku. Tak lama setelah Femi menjawab pertanyaanku, Mbak’e akhirnya buka suara.
“Oke aku aja yang ceritakan.” ucapnya sembari memberikan isyarat pada Femi agar dia saja yang menceritakan.
“Aku tadi itu kan masih masuk sebentar soalnya Femi memanggilku minta handbodyku, nah dia juga mau berangkat bareng sama aku, yaudah aku tunggu dia.
Aku ke belakang sebentar, lihat di dapur teman-teman ada masak apa, ternyata di sana sedang masak ketela goreng.
Nah udah banyak tuh yang sudah matang dipisah ke wadah lain, apa sih namanya...” sambil mendeskripsikan dengan kedua tangannya.
“Kayak mangkuk tapi besar dan terbuat plastik.”
“Iya itu lah...” Femi menyahuti.
Mbak’e pun melanjutkan, “Itulah pokoknya,
di sana udah banyak gorengan yang matang.... aku lihat ada Irul, Giga, Hasan, Nayla dan kak Yani di sana.
Tapi kak Yani agak jauh sih. Yang melingkar di sana ya Irul, Giga, Hasan, Nayla dan Fahri yang masak.
Eh aku merasa lapar banget lagian pikirku aku yang sekarang jadwalnya jaga kantor desa, pastinya ke kantor duluan dan tidak makan to.
Aku akhirnya ambil satu itu gorengan. Dan tiba-tiba...
‘Ambil sembarangan! Gak pernah bantu masak! Makan doang! Simpan dulu!!! Kita semua juga lagi nunggu!! Biar di makan bareng-bareng!!!!’
Fahri ngomong gitu, sebenarnya aku tidak
masalah, tapi yang bikin aku langsung sakit hati dia ngomong gitu dengan nada bentak aku dan di depan semua orang.
Aku sangat malu, walaupun saat dia mengatakan itu aku sambil terkekeh kecil menghilangkan segala rasa maluku. Tapi aku benarbenar sakit hati saat itu juga.
Aku tidak merasa kata-katanya benar, padahal semuanya tau kalo aku dan Femi hari ini jadwal jaga kantor desa.
Dan padahal, Femi setelah itu juga mengikuti apa yang aku lakukan, tapi dia tidak sama sekali marahi Femi seperti yang dia lakukan padaku, apalagi bentak Femi, tidak sama sekali.”
Mbak’e menghela nafas panjang, menyudahi
curhatannya.
Sedangkan aku seketika merasakan panas keluar dari kedua telingaku. Dengan kata-kata yang terus saja berputar di otakku saat itu juga,
kenapa hanya gorengan saja dia bentak Mbak’e?!
kenapa hanya gorengan saja dia bentak Mbak’e?!
kenapa hanya gorengan saja dia bentak Mbak’e?!
kenapa hanya gorengan saja dia bentak Mbak’e?!
Terus saja hanya pertanyaan itu yang ada.
Terlebih saat setelah Mbak’e menceritakan
semuanya, Femi mengiyakan apa yang dia katakan, dalam hatiku kembali bertanya-tanya, padahal Femi juga ambil gorengannya, tapi dia tidak di bentak juga seperti yang dia lakukan pada Mbak’e. Aneh banget. Mulai bergumam sendiri.
“Ali...” bibi tiba-tiba memanggilku dari dalam
rumah yang masih terbuat dari atap dedaunan, seperti sebuah gubuk. Aku pun langsung beranjak dari dudukku.
Meski pembicaraan kita saat itu selesai sampai di sana tentang kejadian di dapur dan gorengan
itu, namun otakku tidak akan berhenti memikirkan apa yang telah terjadi.
Aku memang bukan orang yang baik, dan malah tidak sebaik yang orang-orang pikirkan tentangku, namun aku juga bukan orang yang
suka membentak wanita hanya karena persoalan sepotong gorengan.
...****************...
Senja mulai datang, lengkap bersama
bersebarannya awan di langit yang sejak pagi sampai siang bergumpal indah menghiasi langit.
Menjadikannya berubah warna kemerah-merahan.
Tak lama kemudian berubah menjadi keabu-abuan, sampai berubah lagi menjadi kehitam-hitaman, namun cerah.
Malam itu bintang membanjiri langit hitam lengkap dengan induknya yang berbentuk melingkar, sepertinya malam itu bulan purnama. Indah dipandang mata.
Sama seperti yang kini ada di depanku, tepat di padangan kedua mataku, indah, tak bermake-up, cantik alami tanah Jawa.
Tapi ada satu kejanggalan dalam pandanganku
kini, dia tampak tidak nyaman dalam duduknya, tidak nyaman dalam diamnya dan kedua tangannya memegangi perutnya.
“Kamu kenapa?” tanyaku seketika itu, rasa
khawatir semakin menggebu saat dia mengatakannya.
“Perutku sakit. Sepertinya aku kedinginan
terkena angin malam. Kapan kita pulang?” ucapnya dengan begitu lemah dan kesakitan, saat aku mendekati wajahnya ternyata tampaklah kepucatan di wajahnya.
Namun aku bingung sekali harus bagaimana,
malam itu kebetulan di rumah bibi sedang ada doa bersama sehingga bibi belum keluar dari dalam rumah untuk membiarkan kita berpamitan pulang.
“Tapi sebentar dulu Mbak’e bibi masih di dalam tidak mungkin kita pulang tanpa berpamitan to...” jawabku atas pertanyaannya dengan lembut pula, aku sangat iba padanya saat itu.
Tidak lama setelah itu Hasan datang membawa motor, menjadi lengkaplah motornya kini ada dua, milikku dan milik Hasan, tak membutuhkan waktu lama aku meminta Hasan untuk membelikan Mbak’e obat di kios, sekalian dengan menunggu bibi selesai acara doa bersamanya.
“Lama banget Hasan?” ucap Mbak’e setelah
beberapa saat.
“Kenapa Hasan tidak datang-datang? Jangan-jangan tutup kiosnya?” kini Mbak’e sembari sedikit merengek. Wajahnya mulai memanyunkan bibirnya, dan menundukkan pandangannya, juga kedua tangan semakin meremas perutnya yang dia rasakan semakin sakit.
Aku pun langsung beranjak, saat seketika
setelah dia merengek seperti itu, bibi keluar dari dalam rumah menemui kita yang telah menunggu dihalaman belakang rumahnya, yang begitu gelap karena memang tidak ada listrik sama sekali di Kampung Muslim ini.
“Mari su pulang Mbak’e...”ucapku padanya.
Mbak’e pun langsung berdiri dengan perlahan,
dan dia berjalan tetap sambil memegangi perutnya.
“Bolehkah aku sambil menyandar sedikit ke
punggungmu?” ucapnya kemudian, setelah berada di atas motor tepatnya di belakangku membonceng padaku.
“Iya, bersandar su... biar tidak terlalu sakit.”
ucapku. Sungguh saat itu juga aku tidak tega padanya.
Sesampainya di rumah Kepdes tempat
pengungsian kami selama kkn, Mbak’e langsung
merebahkan tubuhnya di kamar depan, sedangkan aku langsung beranjak mencari obat untuknya, dan aku mendapatkannya.
Aku langsung mendatangi Mbak’e dikamar
depan tempatnya kini merebahkan tubuhnya, dia tampak menghadap ke kiri membelakangi pintu masuk ke kamar, aku pun langsung mendekatinya, “Minum obat dulu.” Ucapku padanya, sembari menggerakkan tubuhnya melalui lengannya yang kini ku pegang.
Dia pun perlahan membuka kelopak matanya,
dan mencoba untuk bangun dari rebahannya, kini Mbak’e duduk tepat di depanku yang duduk pula. Aku menungguinya yang sedang minum obat, seolah memastikan obat itu diminum olehnya.
“Tidur sudah.” Ucapku kemudian padanya.
Dan aku beranjak meninggalkan kamar itu
agar dia kembali tidur, sedangkan aku yang hingga malam ini masih saja diselimuti rasa penasaran akan kejadian pagi tadi di dapur, aku tidak ingin menunda lagi, aku langsung menuju ke kamarku yang biasa aku tempati tidur bersama teman-teman lelaki lainnya.
Dan sudah pasti di sana ada seorang yang kini aku tuju. Karena saat aku melewati ruangan tengah hanya ada kak Yani, Irul dan Nayla yang sedang mendendangkan lagu melow dengan permainan gitarnya Irul yang masih belum terlalu fasih itu.
Sedangkan Giga dan Samir tampak duduk-duduk di teras rumah Kepdes ini. Mungkin Fahri dikamar, itulah pikirku saat itu.
Dan ternyata benar, saat aku memasuki kamar, di sana ada Hasan sedang duduk membaca buku milik Fahri, dan Fahri duduk membaca buku pula.
Aku pun langsung duduk mendekat. Kebetulan juga saat itu Fahri membuka kotak mika putih besar yang berisikan tembakau dari Banyuwangi yang dibelinya melalui salah satu anggota kkn yang bertempatan di desa Meuleum³, lengkap dengan kertas kreteknya.
Sembari mengisi tembakau dalam kertas
kretek itu, aku tanpa pamit langsung saja mengambil satu milik Fahri itu karena memang sudah biasa seperti itu, dia pun sejenak saat itu pula menawarkan tanpa membubarkan kegiatannya sendiri yang kini sedang membaca.
Sedangkan dia tak tahu akulah yang diamdiam akan membuyarkan acara membacanya itu,
“Buku apa itu mas...” sapa ku padanya, membuka percakapan kita malam itu.
Disini aku memang memanggil setiap anggota lelaki yang dari Jawa ratarata aku memanggilnya dengan sebutan seperti panggilan di Jawa, ‘Mas’. Kecuali si Giga sepertinya aku tidak memanggilnya dengan sebutan mas.
“Sonde buku apa-apa, cuma buku seperti
biasa tentang pemikiran-pemikiran kuno,” seperti kesenangan dia mendapatkan pertanyaan dariku.
Dia tetap berkata-kata seperti memberikan sedikit bocoran isi buku itu.
Sedangkan setelah ada celah dia berhenti
menceritakan bocoran isi bukunya, aku langsung mengalihkan obrolan kita, “Tadi pagi, ada apa mas?”
“Yang mana?” dia langsung menanggapi,
padahal kata-kataku belum selesai. Aku pun langsung melanjutkan.
“Kenapa mas cuma perkara gorengan saja,
mas marahi Mbak’e?!” tanyaku, dengan nada sedikit ditekan pada bagian gorengan.
Sedangkan Fahri mendengar pertanyaan
dariku langsung terlihat sedikit gemetar dengan sejenak menatapku dan kembali memalingkan
pandangannya ke bukunya dan mencoba tentang terlihat olehku dengan gaya caranya kini menghisap rokok di jemarinya. Seolah tak ingin menanggapiku.
Dia tau yang aku maksudkan disini adalah Fatimah, karena hanya satu yang dipanggil Mbak’e di rumah ini.
Dan Hasan yang setelah mendengar
pertanyaanku untuk Fahri pula, dia langsung
menatapku sayu dan seolah memohon padaku dengan mengisyaratkan untuk menyudahi tidak usah melanjutkan, menggunakan bahasa Dawan.
Karena saat Fahri tidak menjawab pertanyaanku, aku langsung memasang wajah geram dan tidak terima akan apa yang Fahri lakukan pada Mbak’e.
Aku memang berbadan kecil tidak setinggi dan sebesar tubuh Irul, dimana diantara ke 6 lelaki yang kkn disini hanya Irul yang memiliki tubuh paling besar dan tinggi.
Namun meski begitu, sekali aku berkata, orang akan dibuat bulu kuduknya berdiri hanya karena mendengar suaraku.
“No bah naii⁴, Ali...” ucap Hasan padaku.
Aku pun diam setelah diingatkan oleh Hasan.
Dan tak lama kemudian aku keluar dari kamar itu. Karena seketika emosi memenuhi hatiku, dan ini tidak baik bagiku dan bagi Fahri, aku takut pukulanku melayang pada wajahnya seandainya tadi dia melawanku.
Aku berjalan perlahan menuju kamar yang
masih hanya ada Mbak’e saja, karena Nayla dan kak Yani yang biasanya tidur dengan Mbak’e masih diruang tengah bernyanyi tidak jelas dengan Irul. Saat aku ke kamar depan lagi, ternyata kini Mbak’e sedang duduk sambil memegang hpnya.
Aku pun langsung duduk tepat di depannya,
dan memberitahunya, “Aku sudah tegur Fahri.”
“Apa?!” langsung sedikit membelalaklah kedua
mata Mbak’e padaku, “Kapan? Dimana?”
“Barusan, dikamar.”
“Ha?” Mbak’e terus saja memekik tak
percaya. “Terus-terus... dia bilang apa dan kamu ngomong gimana?” meski begitu, dia antusias untuk mendengarkan aku, terlihat dia semakin
membenarkan duduknya dan semakin lurus
menatapku dengan kedua mata yang sumringah.
“Aku ya ngomong saja ‘Kenapa mas cuma
perkara gorengan saja, mas marahi Mbak’e?!’ ya kamu tahu sendiri kalo aku sekali ngomong pasti dia takut.” jelasku pada Mbak’e dengan sedikit membusungkan dada, aku sedikit berbangga diri.
“Terus-terus... apa jawabannya?” tampaknya
Mbak’e masih penasaran. Padahal tidak ada
lanjutannya. Itu saja tidak lebih saat di kamar tadi.
Namun aku tetap melanjutkan saja, untuk memberikan kepuasan pada pertanyaan Mbak’e.
“Ya dia diam to.”
“Oooh..” kini Mbak’e tampak layu, mungkin dia
kira Fahri akan menjawab apa yang aku katakan. Aku pun kembali berbangga seketika itu, bangga dengan kepribadianku sendiri. “Loh, kamu tau? Kalo dia menjawab dan melawan kata-kataku, bisa habis dia dan mukanya mungkin bonyok!” jelasku pada Mbak’e.
Aku lihat Mbak’e tetap layu. Aku pun merasa
heran, “Kenapa?” tanyaku kemudian padanya.
Tak lama kemudian dia pun menjawab,
“Tidak... aku Cuma merasa terharu saja, campur senang,” saat mengucapkannya tiba-tiba kedua
matanya berkaca-kaca. Aku pun sedikit khawatir akan hal itu.
Dia melanjutkan, “Baru kali ini aku dibela oleh
seseorang.” tiba-tiba meneteslah air matanya.
“Kok nangis sih.” Ucapku seketika.
Dia langsung menghapusnya. “Terimakasih
ya...” ucapnya kemudian padaku.
Sedangkan aku seketika sedikit tersentak
mendengar segala kata-katanya padaku.
Saat itu juga aku seperti tiba-tiba tidak ada di tempatku, tapi tanah seolah jauh dariku, aku serasa seperti melayang.
Namun meski begitu, aku tetaplah nomor satu dalam menyembunyikan perasaanku, sama sekali tidak aku tampakkan hal itu di raut wajahku.
Aku pun langsung menyuruhnya beristirahat.
Setelah aku juga bertanya tentang keadaan perutnya yang tadi sakit, dan Mbak’e menjawab sudah membaik.
Aku pun duduk di kursi plastik yang terletak di pojok kamar itu sambil menyalakan rokok juga sambil memastikan apakah Mbak’e benar-benar beristirahat atau tidak.
Sejak setelah kejadian yang menimpanya aku memutuskan untuk memastikan keamanannya. Tidurpun aku menjaganya di atas kursi, sedangkan dia tidur di atas hamparan tikar plastik.
Malam pun seolah menyelimutiku dengan
berbagai perasaan aneh, namun aku mencoba
menghapusnya dengan setiap tarikan nafasku
menghisap rokok yang ada di jemari kananku. Dalam hati aku mulai menggerutu sendiri. Hal yang tak tahu apa itu, dan kenapa aku.
...****************...
Kabut telah menghilang, berubah menjadi
hawa sejuk pagi, mentari mulai naik setinggi satu tongkat bila di ukur membelakangi matahari. Tubuh masih berada di atas karpet plastik lebar berwarna biru dari hasil pinjaman Mama Kepdes.
Dan kebetulan hari itu bukan waktunya jadwal memasak, namun bukan hanya karena itu saja, hari ini hari Minggu dimana tidak akan ada kegiatan yang menyibukkan seperti hari-hari biasanya untuk anggota kkn.
“Ali... Ali...” terdengar satu suara yang tidak
asing lagi di pendengaran memanggil-manggilku.
“Ish! Ada apa sih Mbak’e pagi-pagi ju”
gerutuku sendiri.
Dan aku pun semakin memejamkan kedua
mataku saat aku dengar suara kakinya mulai
melangkah memasuki kamar tempatku tidur. Dia mendekat, dan memegang lengan kiri ku. Dimana dalam hal ini aku memang sedang menghadap ke kanan tepatnya menghadap ke tembok untuk membelakanginya.
“Ali sakit Mbak...” tiba-tiba terdengar Hasan
menanggapi panggilan Mbak’e padaku.
“Waduh. Benarkah?” seketika terdengar suara
khawatir dari Mbak’e.
Dan tiba-tiba terasa telapak tangan lembut itu menyentuh pipi kiri ku. Dalam hati, aku tersenyum kegirangan.
“Kamu panas loh. Bangun yuk minum obat.
Aku kebetulan juga belum makan, kamu aku ambilkan makan ya...” ucapnya panjang lebar.
“Tidak usah.” jawabku lirih.
“Tidak tidak, aku akan ambilkan untukmu.”
Ucapnya. Aku tau dia pasti keras kepala.
Tidak lama kemudian Mbak’e kembali lagi
di hadapanku setelah aku bangun dari tidur bermalas-malasanku dan dia mencari-cariku di kamar. Dia temukan aku di ruang tengah.
“Ayo makan dulu.” Ucapnya padaku.
“Simpan sa di meja.”ucapku.
Beberapa saat kemudian setelah dia antarkan
makanan untukku, dia kembali lagi padaku, untuk memastikan makanan itu sudah aku makan atau belum. Saat dia datang, tanpa menunggu dia bertanya padaku, aku pun langsung saja mengatakan padanya,
“Be son suka bubur.” Ucapku. Karena memang yang dia bawakan untukku adalah bubur, dan saat itu aku benar-benar sedang tidak ingin makan bubur, bukan karena benar-benar tidak suka bubur.
Tiba-tiba dia berkata “Yasudah aku suapin.”
“Ayo.” jawabku seketika.
Dan tanpa aku sangka padahal semua yang
kini ada diruang tengah, dimana terdapat kak Yani, Nayla, Irul dan Giga, tau aku hanya bercanda. Mbak’e malah benar-benar hendak menyuapiku.
Sedangkan saat itu juga yang lain menyoraki senang, “Ayo terus Mbak’e suapi Ali..."
Aku berlari kesana kemari, sampai ke pojok
tembok ruangan tengah rumah, Mbak’e tetap saja mengejarku, entah dia sengaja menggodaku agar aku mau makan atau apapun yang jelas aku sangat tersipu saat itu, terlebih saat dia berhasil membuatku membuka mulut dan bubur di atas sendok itu masuk ke mulutku.
“Sudah-sudah... satu sa Mbak’e” ucapku
padanya, memohon.
Sedangkan seperti sebuah sihir darinya, dia
yang masih saja melanjutkan suapannya, kedua kalinya, aku masih saja membuka mulut menerima suapan itu, meski sembari sesekali memejamkan mata karena ketidaknyamanan rasa lidahku pada bubur itu.
Sampai ketiga kalinya suapan itu masuk ke mulut, tanpa sadar sudah tiga suapan saja yang aku rasakan, baru aku menutup mulutku dengan menghalangkan telapak tangan kananku ke mulut.
“Sudah sudah be son mau lai...”
Sedangkan Mbak’e hanya berkata, “Yasudah,
alhamdulillah setidaknya sudah tiga suap sendok bubur yang masuk ke dalam perutmu,” dengan santai dia mengucapkannya, dan tiba-tiba terjadi sesuatu yang membuatku terpana oleh apa yang dilakukannya
Setelah dia mengatakan hal itu, menanggapi
permintaanku untuk menghentikan suapan bubur itu padaku, seketika itu dia melengos dari hadapanku dengan perlahan sembari memakan bubur yang ada di mangkuk yang dari tadi dia suapkan kepadaku. Lebih tepatnya sisa buburku!
Aku benar-benar memekik dalam hati seketika itu.
Meskipun terkesan berlebihan tanggapan dari hatiku menyaksikan pemandangan itu, meski mungkin itu bisa saja sudah biasa terjadi di kota kebanyakan dua sejoli teman ataupun kekasih, tetapi bagiku itu adalah hal yang besar, apalagi bagi orang Timor seperti diriku.
Aku benar-benar tak menyangka, Mbak’e mau
menghabiskan sisa makanan dariku, sejak saat
kejadian ini aku terus saja memperhatikan, terus saja mencoba memastikan lagi dan lagi, dengan cara aku sengaja makan satu bungkus nasi berdua dengannya.
Dimana dia tidak ada rasa keberatan sama sekali dengan sikapku, dan dia juga beralasan tidak mampu menghabiskan satu nasi bungkus seorang diri, hal itu menjadikan kesempatan bagiku untuk benar-benar memastikan kejadian saat aku mendapatkan suapan saat sakit dari seorang wanita.
Dan lebih utamanya memastikan kenapa dia mau memakan sisa makananku.
Dan aku berhasil, di setiap aku dan dia yang
hampir sering makan satu bungkus nasi berdua setiap beli makanan dari luar bila teman-teman anggota kkn tidak masak meskipun sudah dijadwalkan memasak.
Hingga terpaksalah kita membeli makanan dari luar, saat itu juga aku seolah kembali tersihir oleh setiap apa yang dia lakukan padaku.
Dengan sengaja aku lebih cepat darinya setiap makan, dan pasti dia tetap bertahan makan sampai titik penghabisan makanan di bungkus nasi itu, dan dia mau menghabiskan, itu pun selalu, tidak pernah dia membuang sisa makanan yang aku dan dia makan bersama.
Aku benar-benar terkejut. Kembali lagi aku
berpikir panjang. Entah aku yang berlebihan dalam hal ini dengannya, atau mungkinkah dia yang sudah terbiasa berbuat hal yang menyenangkan setiap orang, atau memang hanya aku yang merasa bahwa sikapnya seperti itu hanya padaku? Aku tidak tahu dan tidak peduli saat itu. Yang jelas saat itu juga aku meyakini hatiku, meyakini apa yang telah terjadi.
Semuanya. Bahwa aku suka padanya. Aku suka pada Mbak’e, aku benar-benar suka pada Fatimah.
Tapi...
Tiba-tiba aku tersadar sejenak, aku baru ingat
kalau dia telah memiliki tunangan. Seketika itu aku hanya mampu terdiam sendiri, tetap seperti biasanya di setiap aku melamun sendirian hanya di temani rokokku.
Sembari menghisap rokok yang ada di jemariku, perlahan asapnya ku hempas lembut menikmati, saat itu pula dalam hati aku berkata, ‘Aku suka dia, tapi percuma saja. Dia sudah ada yang punya.’ tetap dengan menghisap dan menghempaskan asap rokok ke udara secara perlahan.
...****************...
footnote :
1 Eh homsat homok : Kamu juga ikut. Dalam bahasa Dawan. Bahasa yang digunakan di daerah Timor. (Kupang-Atambua) bisa dilihat di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Timor\_Barat dan bisa juga dibaca lengkap di (Edwin Aresto Umbu Malahina, dkk, Media Alternatif Kamus Digital Bahasa Timor (Dawan) Nusa Tenggara
Timur Berbasis Mobile, (Sebuah Prosiding Semmau 2019)) yang menjelaskan bahwa bahasa Dawan (Timor) dituturkan di Kab. Kupang, Kab. Ambenu, Kab. Timor Tengah Utara dan Kab. Timor Tengah Selatan.
2 Eh he’aa : Iya lah.
3 Salah satu desa tempat teman-teman anggota kkn lainnya di Kecamatan Amanuban Timur.
4 No bah naii : Sudah jangan dilanjutkan Ali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
anggita
like lgi.👍
2021-02-28
2
Ftl03
like 5
2021-02-12
2