Dia

20.30 WITA. Langkah kaki segera, menuju ke dalam rumah dari dapur rumah satunya. Sebelum dingin menusuk ke kulit. Sembari menyalakan rokok yang tersimpan di saku celana, tanpa sadar seorang berkaos merah abu-abu berjilbab hitam mengikuti dari belakang.

Aku duduk di atas kursi plastik, dia duduk pula dan menduduki kursi yang berada tepat di samping kananku. Dia nyalakan hp, tanpa berkata-kata apapun.

“Sudah?” dan akhirnya aku yang membuka pembicaraan antara aku dan dia. Ku berikan dia pertanyaan, setelah melihatnya mengikuti ku menyelesaikan lebih dulu makanannya tadi di dapur rumah sebelah.

“Iya.” Hanya itu jawabannya.

“Kenapa tidak nambah?”

Kini dia sambil menatap ke arah ku dengan tatapan sayu, “Sudah Kenyang, tidak muat kalau terlalu banyak.” Jawabnya. Dengan logat Indonesianya yang kental.

Aku hanya mengangguk. Sedikit mencuri pandang padanya, yang tak henti hati berkata “Cantik.” Setiap kali memandang wajahnya. Bersih, kuning, kecoklatan, cerah, sulit menggambarkan warna kulitnya. Intinya sebagaimana kebanyakan warna kepunyaan kulit orang Jawa.

Hidung tidak mancung, namun tidak juga tenggelam kedalam, hanya saja aku menyebutnya pesek, karena aku sedikit lebih mancung darinya. Bibir sangat indah, tidak lebar dimana kebanyakan ciri-ciri orang Timor, meskipun aku bukan salah satu dari mereka, bagiku bibirku tidak lebar. Tapi bibir dia juga kecil, pas antara bibir atas dan bawah tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal, disini yang membedakannya dengan diriku, bibirku lebih tebal darinya, meskipun sedikit. Yang paling aku suka adalah matanya, kedua bola matanya lebar, tajam, dan bercelak, dia selalu memakainya, menambah keindahan dimatanya. Intinya dia cantik.

Langkah kaki sedikit bergesekan dengan lantai yang belum di keramik, masih semen kasar, terdengar olehku dan dia yang di sampingku.

Mendekati kami, dan tak lama kemudian duduk bersama kami tepat di depan kami, di kursi plastik yang memang berada di depan kami berjarak satu meter dari kami duduk. Dan dia membuka percakapan, bertanya pada dia yang di sampingku.

“Mbak nggak nambah sih tadi makannya?” ucapnya.

Dan langsung di jawabnya, “Nggak, kan aku makannya nggak banyak Nayla...” sambil ditatapnya sejenak Nayla.

Nayla, orang asli kota Alor, Nusa Tenggara Timur, bertubuh pendek, dan berkulit hitam. Sama seperti kulitku, kebanyakan orang NTT. Teman sekelas ku kuliah di Kupang, berjilbab, dia muslim sama seperti aku, dan wajahnya tidak jauh beda dengan kebanyakan postur wajah orang Alor, Nusa Tenggara Timur.

“Pinjam hp nya dulu dong Mbak’e...” pintaku pada dia yang di sampingku, dimana aku mencoba untuk mengganggunya.

Dia yang ku panggil Mbak’e, dimana semua yang ada dalam satu atap bersamanya kini turut memanggilnya dengan Mbak’e, sebelumnya dia pernah memperkenalkan namanya, dia memperkenalkan dirinya pada semua orang bahwa namanya Fatimah dan tidak memperkenalkan nama panjangnya. Baginya agar lebih mudah saja mengingat namanya, tapi dia tidak pernah sekalipun berkenalan denganku, karena aku sudah tau namanya, dan tetap saja aku tidak pernah memanggilnya dengan namanya, dia ku panggil Mbak’e.

Sejak saat itu pula semua orang memanggilnya Mbak’e dan tidak pernah ada orang NTT yang memanggilnya Fatimah. Masih sambil memainkan hp, membuka whatsapp dan membalas sebuah pesan dari kontak nama yang telah disematkan di wa nya, pesan dari kontak yang bernama Mas Zidni ditambah emoticon cium, itulah yang terpampang di chat paling atas.

Dia menjawab permintaanku, “Tunggu sebentar ya, aku masih ada balas wa mas,” dia menyebut “Mas Zidni” nya itu dengan sebutan mas, bukan karena lebih tua darinya, tapi karena dia memanggil sebutan sayang itu dengan kata mas, lebih tepatnya yang dia sebut mas itu adalah tunangannya.

Begitulah yang pernah aku dengar darinya, saat dia memperkenalkan kontak nama satu-satunya yang disematkan di wa nya. “Oh, yasudah kamu balas dulu sudah¹.” Jawabku, dimana bersamaan dengan itu perasaan bete memenuhi pikiranku.

Aku pun seketika mengajak ngobrol Nayla, yang masih saja duduk di depan kita.

Tidak lama kemudian dia turut tenggelam dalam obrolan, kita bertiga mengobrol asik dan saat itu juga tanpa dia sadari aku ambil hp nya dari

pangkuannya itu.

Dia entah sadar atau tidak aku tidak peduli, tapi dia tidak merampasnya kembali. Beberapa detik kemudian baru dia sadar dan berkata, “Tunggu dulu,” dia menengadahkan telapak tangannya,

“Ayo kita main dulu,” ucapnya.

Aku pun memberikan hp nya, “Coba, tapi aku tidak suka main sih.” Ucapku.

Nayla yang ada di depan kita hanya sibuk dengan bermain hp nya juga. Dia mulai membuka sebuah permainan, dan dia asik bermain, aku hanya melihatinya, sesekali aku dekatkan wajahku ke jilbabnya. Sedikit bosan aku melihat permainan yang dia mainkan, aku hanya diam saja.

Saat itu juga Nayla masuk ke dalam kamar dimana teman-teman wanita yang lain juga ada di dalam kamar. Kini hanya ada aku dan Fatimah di ruang tengah rumah itu. Teman-teman lelaki yang lain ada yang di dalam kamar dan ada juga yang di teras rumah.

Bosan semakin mengerubungi pikiranku, dia makin asik dengan permainannya. Meskipun sebenarnya dia berusaha mendekatkan hp nya berniat mengajakku turut larut dalam permainan, tapi sejak awal aku sama sekali tidak menikmatinya.

Aku pun mulai berniat mengganggunya. Tanganku berpindah tempat, yang mulanya di atas pangkuanku kini berpindah perlahan ke sandaran kursi plastik yang dia duduki. Membuat tanganku tampak seperti sedang memeluknya. Yang ku lakukan tetap tidak direspon olehnya, kini aku sedikit nakal, jemari ku bergerak perlahan mendekati jilbab hitamnya dan menggelitik lehernya dari sisi luar jilbabnya. Dia pun akhirnya terganggu, dan mengeluh. Hp nya pun aku ambil. Aku berhasil.

Dia langsung seketika memasang wajah manyun, namun tidak lama kemudian dia bersandar kelelahan. Ku lihati dia, tampak seperti sedikit rasa kantuk mulai memenuhi dirinya.

Tanpa dia sadari, aku pun kembali mengganggunya, dengan cara yang sama. Aku menggelitikinya. Dia pun langsung kegelian sampai suara kursi plastik beradu dengan lantai semen menimbulkan suara kegaduhan, dari dalam kamar pun berteriak suara teman wanita yang lain,

“Jangan beribut Ali!” menggertak ku agar aku diam dan tidak ribut.

Fatimah tertawa kecil, dan dia pun langsung berkata padaku, “Sssttt! Jangan berisik.” Kini dia dengan suara berbisik, “Nenek sihir marah” ucapnya.

Dia menyebut suara yang tadi menggertak kasar padaku dengan sebutan nenek sihir. Namun tawa kecilnya bukan malah membuatku terdiam, aku seperti terhipnotis oleh kecantikannya, malam yang gelap itu dia tidak ber-make up hanya ada celak saja yang menghiasi kedua mata indahnya. Aku tanpa sadar malah kembali menggelitiknya, dan dia kembali tertawa kecil sambil mencoba menghentikan ku.

Saat itu juga gerak jemariku semakin menjadi dan tanpa sadar mengenai perutnya, namun sedikit ke atas.

Dia terkejut akan hal itu.

Dia langsung membelalakkan kedua bola matanya menjadi terlihat sangat lebar. Dan tiba-tiba dia langsung melengos meninggalkan diriku di kursi plastik itu duduk sendirian, tanpa sedikitpun menoleh padaku.

Saat itu juga aku terdiam, dan tidak memahami apa yang telah membuatnya langsung diam membisu meninggalkanku duduk sendirian tanpa ucapan selamat malam.

...****************...

Malam yang panjang, angin di saat itu seolah turut menghiasi keadaan hatiku, kalut, tak beraturan. Aku hanya memainkan hp, menaik turunkan jemariku di atas layar hp.

Mengingatkan akan malam itu yang tiba-tiba membuatku menjadi merasa kesepian, benar-benar kesepian. Padahal bukan kali pertama aku diacuhkan seorang wanita, tapi seolah baru kemarin aku merasa menjadi lelaki yang kesepian. Dia tinggalkan aku bersama dengan tawa kecilnya yang sangat manis.

Kesana kemari, menyalakan rokok, habis dan

menyalakan lagi. Begitu seterusnya sampai waktu menunjukkan pukul 00:00 WITA. Bosan mulai menyelimuti diriku, langsung aku beranjak menyalakan mesin motor dan melaju menuju kampung halamanku.

Desa Oeekam, tempat aku dibesarkan, letaknya di desa yang bersebelahan dengan kini aku berada, desa Mnela’anen.

Ku dapati siri pinang sesampainya di Oeekam,

tepatnya di rumah bibi, yang letaknya bersebelahan dengan Pesantren tempat teman-teman yang lain menginap.

“Malam-malam ko² datang, tidur su³ ke dalam.” Bibi keluar dari dalam rumah hendak menuju kamar mandi. Beliau terbangun dan mendapati ku datang malam-malam ke rumah. Tidak seperti biasanya memang apa yang ku lakukan ini, dan setelah itu bibi kembali tidur.

Aku tidak masuk ke dalam rumah, dingin malam itu mulai menusuk menembus jaket tebal ke kulit hitam ku, tapi ku biarkan saja. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Bagiku malam itu tidak ada yang lebih dingin daripada dinginnya sikapnya padaku sejak kemarin malam. Hingga benar-benar tak menyisakan apapun padaku, hanya bayangan. Di desa Mnela’anen pun kini bagiku bagaikan kuburan, tak ku dengar lagi suara indahnya sejak tenggelamnya matahari sore tadi. Membuatku semakin tidak ingin berlama-lama berada di sana.

Kedua mataku yang mulai dihinggapi sedikit rasa kantuk pun tidak aku layani sedikitpun. Tetap duduk di depan rumah, di atas hamparan anyaman daun kering lontar.

Sembari menikmati siri pinang dan nyala rokok yang tinggal setengah batang di antara jari telunjuk dan jari tengahku.

Semua sudah terlelap. Aku masih saja terdiam menatap dedaunan yang tertutupi gelapnya malam.

Masih tak bosan menghisap rokok dan mengunyah siri pinang, kini sembari memutar lagu nostalgia Ambon kesukaanku. Melengkapi kekalutan yang ada. Saat itu juga hati tiba-tiba berkata.

Kenapa dia pergi tiba-tiba? Dan memutuskan menghabiskan waktu hari libur di Kupang? Seharusnya kan dia bisa tinggal lebih lama dan menghabiskan waktu bersamaku di pesantren mengisi hari raya tahun ini disini saja, kenapa juga harus jauh-jauh dia ke Kupang? Pake acara ikut Nayla ke Kupang. Seperti belum pernah tau Kupang saja. Kenapa dia membuat keputusan itu?

Lolongan suara anjing bersahutan, lengkap dengan sunyi nya malam, semakin malam dan semakin gelap, kedua mata terasa sedikit berat. Tapi keegoisan pada hati yang tak ingin begitu saja terlelap mengalahkan segala rasa kantuk yang ada.

Hingga tanpa sadar waktu bergerak mengusir kegelapan merubahnya menjadi sedikit keabu-abuan, tak lama setelah itu terdengar lantang suara khas seorang lelaki usia 50 an berkumandang. “Subuh sudah.” Gumamku dalam hati.

Namun tetap saja seperti biasa, tak ada gerakan sedikitpun beranjak dari tempat yang kini ku duduki. Tak tergerak sama sekali hati ini untuk melangkah ke Masjid yang bersebelahan dengan rumah, tepatnya di pesantren.

Kini kaki malah melangkah masuk ke dalam rumah, dingin fajar semakin mencekam di kulit. Kedua mata mulai berat, dan ku rebahkan tubuhku yang cukup lama berselimut dingin di luar rumah, dan aku hanya merasa kini diri ini melayang entah di bumi bagian mana.

...****************...

Foot note :

1 Maksudnya disini adalah menyuruh Fatimah membalas terlebih dahulu baru hp di pinjamkan. Dengan bahasa Kupang, dan bahasa Kupang salah satu bahasa di NTT yang di bolak balik dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Indonesia. Jadi tidak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

2 Ko : seperti kata tanya Apakah, terkadang juga digunakan hanya untuk tambahan kata tanya, seperti kata ‘Kah’partikel Kah.

3 Su : kepanjangan dari sudah. Bahasa Kupang.

Terpopuler

Comments

Hanna Devi

Hanna Devi

like this page

2021-07-18

0

anggita

anggita

slam untuk mbake~ 👋

2021-02-28

1

Ftl03

Ftl03

like 2

2021-02-12

1

lihat semua
Episodes
1 Kota Karang
2 Dia
3 Desa Mnela'anen
4 Fatimah Pingsan
5 Suka Pakai Tapi
6 Keputusan Bulat
7 Keputusan Bulat 2
8 Desa Bileon, Fautmolo
9 Perjodohan
10 Pengakuan Fatimah
11 Kekecewaan Fatimah
12 Hal Bersejarah
13 Pemeran dalam Cinta Beda Provinsi
14 Fahri dan Giga
15 Fahri dan Giga 2
16 Kenangan terbawa di Surabaya
17 Fatimah Az-Zahra
18 Kemarahan Zidni
19 Setan Berwujud Manusia
20 Setan Berwujud Manusia 2
21 Berjuta Aksi Setan
22 Setan Masih Beraksi
23 Saat Semuanya Tak ada yang percaya
24 Teror Setan
25 Allah Tidak Tidur
26 Cinta Tanpa Tapi
27 Cinta Tanpa Tapi 2
28 Nama Hubungan ini
29 Harap-harap Cemas
30 Semerbak Hawa Sejuk
31 Ali dan Fatimah
32 Hanya Waktu
33 Saling Memperbaiki Diri
34 Tak Ada Lagi Penghinaan
35 Penolakan
36 Perjodohan
37 Ali Pasti Tahu
38 Awal Mula Dijodohkan
39 Terungkapnya Kebenaran
40 Langit Pun Mengamini
41 Epilog & Tentang Penulis
42 Cinta Beda Provinsi 2
43 Ingin Bertemu
44 Perbandingan Sejak Disini
45 Kabar Buruk
46 Pencapaian Mas Zidni
47 Hati Fatimah
48 Perasaan Fatimah
49 Perasaan Ali
50 Blokir Sementara
51 Hanya Mbak'e
52 Kerinduan Ali
53 13 Hari lagi
54 Teringat Ali
55 Panik
56 Terjebak Emosi
57 Kelegaan Mbak'e
58 Hanya Allah Yang Tahu
59 Fitnah Zidni
60 Berhenti Mengkhawatirkan
61 Awal LDR
62 Pembagian Dospem
63 Ali Gegana
64 Curhat dong Mbak'e
65 Panggilan Tak Terjawab
66 Hanya Bayangan
67 Besok Banget
68 Tanggapan Fatimah
69 Hanya Mimpi
70 Curhatan Fatimah
71 Janji Palsu
72 Pertengkaran
73 Kehidupan Kiki
74 Pilih Aku Atau Istrimu
75 Ketidak Tegasan
76 Pemeran Cinta Beda Provinsi 2
77 Mbak Kiki
78 Penderitaan Mbak Kiki
79 Tebar Pesona
80 Suami Juga Tebar Pesona
81 3 Target
82 Hanya Karena Target ke 3
83 Kemarahan Fatimah
84 Merayu Fatimah
85 Bimbingan Skripsi
86 Nostalgia Dulu
87 Perbaikan Hari Pertama
88 Perbaikan Hari Kedua
89 Cukup Sudah
90 Ikuti Saja Alurnya
91 Hampir Saja
92 Kesabaran Fatimah dan Ali
93 Pernah Putus
94 Hanya Fatimah
95 Seasons 2 Tamat
Episodes

Updated 95 Episodes

1
Kota Karang
2
Dia
3
Desa Mnela'anen
4
Fatimah Pingsan
5
Suka Pakai Tapi
6
Keputusan Bulat
7
Keputusan Bulat 2
8
Desa Bileon, Fautmolo
9
Perjodohan
10
Pengakuan Fatimah
11
Kekecewaan Fatimah
12
Hal Bersejarah
13
Pemeran dalam Cinta Beda Provinsi
14
Fahri dan Giga
15
Fahri dan Giga 2
16
Kenangan terbawa di Surabaya
17
Fatimah Az-Zahra
18
Kemarahan Zidni
19
Setan Berwujud Manusia
20
Setan Berwujud Manusia 2
21
Berjuta Aksi Setan
22
Setan Masih Beraksi
23
Saat Semuanya Tak ada yang percaya
24
Teror Setan
25
Allah Tidak Tidur
26
Cinta Tanpa Tapi
27
Cinta Tanpa Tapi 2
28
Nama Hubungan ini
29
Harap-harap Cemas
30
Semerbak Hawa Sejuk
31
Ali dan Fatimah
32
Hanya Waktu
33
Saling Memperbaiki Diri
34
Tak Ada Lagi Penghinaan
35
Penolakan
36
Perjodohan
37
Ali Pasti Tahu
38
Awal Mula Dijodohkan
39
Terungkapnya Kebenaran
40
Langit Pun Mengamini
41
Epilog & Tentang Penulis
42
Cinta Beda Provinsi 2
43
Ingin Bertemu
44
Perbandingan Sejak Disini
45
Kabar Buruk
46
Pencapaian Mas Zidni
47
Hati Fatimah
48
Perasaan Fatimah
49
Perasaan Ali
50
Blokir Sementara
51
Hanya Mbak'e
52
Kerinduan Ali
53
13 Hari lagi
54
Teringat Ali
55
Panik
56
Terjebak Emosi
57
Kelegaan Mbak'e
58
Hanya Allah Yang Tahu
59
Fitnah Zidni
60
Berhenti Mengkhawatirkan
61
Awal LDR
62
Pembagian Dospem
63
Ali Gegana
64
Curhat dong Mbak'e
65
Panggilan Tak Terjawab
66
Hanya Bayangan
67
Besok Banget
68
Tanggapan Fatimah
69
Hanya Mimpi
70
Curhatan Fatimah
71
Janji Palsu
72
Pertengkaran
73
Kehidupan Kiki
74
Pilih Aku Atau Istrimu
75
Ketidak Tegasan
76
Pemeran Cinta Beda Provinsi 2
77
Mbak Kiki
78
Penderitaan Mbak Kiki
79
Tebar Pesona
80
Suami Juga Tebar Pesona
81
3 Target
82
Hanya Karena Target ke 3
83
Kemarahan Fatimah
84
Merayu Fatimah
85
Bimbingan Skripsi
86
Nostalgia Dulu
87
Perbaikan Hari Pertama
88
Perbaikan Hari Kedua
89
Cukup Sudah
90
Ikuti Saja Alurnya
91
Hampir Saja
92
Kesabaran Fatimah dan Ali
93
Pernah Putus
94
Hanya Fatimah
95
Seasons 2 Tamat

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!