Shena memejamkan matanya sambil menajamkan telinga. Chen dan Mei sudah jatuh tertidur sedari tadi. Beberapa saat yang lalu Shena mendengar kemunculan Chris dan Hilmi, hatinya kecut mendengar hal yang dikatakan oleh Chris. Bahwa mereka kembali kehilangan salah seorang dalam kelompok mereka.
Shena juga mendengar bisik-bisik percakapan antara Hilmi dan Firza yang akan mendatangi rumah yang dimaksud oleh Hilmi, ingin rasanya ia keluar dari tempatnya dan menahan Firza untuk tidak pergi.
Tapi sedetik kemudian Shena menyadari, bahwa itu adalah hak Firza. Shena tak berhak untuk melarang apa yang akan dilakukan pria itu. Bisa saja Firza juga menganggapnya adalah sebuah beban. Dan Shena tak mau menjadi beban bagi Firza. Tetap diam sambil berpura-pura tidak tahu merupakan hal yang tepat dalam pikirannya.
Rasanya waktu bergerak lambat sekali, Shena belum mendengar tanda-tanda kedua pria itu kembali. Ingatannya sudah buntu hingga dia tak lagi bisa mengingat sudah berapa malam mereka berada di hutan itu.
Mereka menunggu ditemukan oleh tim pencari dan juga menunggu makhluk-makhluk itu bisa menemukan mereka. Entah mana yang tiba lebih dulu. Pikiran Shena langsung membuat skenario terburuk dan menyusun rencana jika memang skenario dalam pikirannya itu terjadi.
Mungkin itu yang terlihat bagi orang-orang di sekelilingnya selama ini. Shena adalah seorang perempuan yang tampak selalu tenang dalam kondisi apapun. Dia jarang membicarakan apa yang dirasakannya. Dia selalu memiliki rencana-rencana sendiri yang tidak bisa diungkapkannya kepada orang lain.
Begitu pula selama dia menjalani hubungan yang hampir tiga tahun dihabiskannya bersama Ramon.
Shena tak biasa berbicara panjang lebar tentang hal yang ada di pikirannya. Ramon tak pernah bertanya, dan Shena merasa tidak perlu membicarakannya. Dalam hubungan mereka Shena terbiasa mengambil keputusan sendiri dan Ramon selalu membiarkannya.
Entah karena Ramon yang selalu percaya padanya, entah juga karena Ramon tahu kalau setiap keputusan yang diambil Shena merupakan keyakinan yang tidak bisa diubah. Pun termasuk keputusannya ingin berangkat ke Afrika Selatan. Ramon tak pernah bertanya padanya soal alasannya ingin pergi ke benua ini.
Sepanjang hubungan mereka selama ini, Shena baru menyadari sekarang bahwa mereka jarang berbicara dari hati ke hati, dan tak pernah membicarakan apa impian mereka masing-masing. Mereka hanya menjalani hari mereka dari hari ke hari, seperti suatu hal yang ada karena terbiasa.
Shena mendengar bunyi tanah yang diinjak perlahan di atas cekungan tempatnya beristirahat sekarang.
Shena semakin menajamkan pendengarannya, dan ia menghela nafas lega ketika mendengar suara Firza berbisik. "Saya beristirahat di sebelah sini saja."
Tak ada jawaban dari lawan bicara pria itu. Sepertinya Hilmi menjawab hanya dalam bentuk anggukan. Keduanya kembali dengan selamat. Tak sabar rasanya ingin bertanya pada Firza apa yang mereka lihat di rumah itu.
Firza memasuki cekungan tempat Shena berada dengan setenang mungkin. Ia merasa tak enak jika pasangan suami-istri itu terbangun karena kehadirannya.
Shena sudah tertidur. Tapi ketika dia menghempaskan dirinya di samping Shena, perempuan itu bereaksi dengan membuka matanya.
"Kamu ada capeknya juga ternyata.." Shena menatap Firza dengan mata mengantuk.
"Ada. Ini saat paling capek yang aku alami dalam hidupku. Maaf kamu jadi kebangun karna aku masuk. Aku baru nyampe dari ngeliat tempat tinggal para makhluk itu. Tadinya sih ga mau, karena aku udah bisa ngebayangin apa yang bakal kami liat. Tapi aku coba ngertiin perasaan Hilmi yang ngerasa bersalah karena kehilangan Saida di perjalanan tadi. Aku juga berharap bisa nemuin sesuatu di rumah itu semacam senjata atau apalah untuk kita bertahan hidup. Dan coba kamu liat apa yang aku ambil dari sana." Firza menunjukkan sebuah parang besar yang dibawanya dari kediaman makhluk buas itu.
Parang itu tampak mengkilap dalam kegelapan. Firza sedikit menyunggingkan senyum. Bagi Firza, parang tajam yang dipegangnya ibarat sebuah scalpel (pisau bedah) berukuran raksasa. Ada rasa puas yang terbersit dalam hatinya saat berhasil mendapatkan parang itu.
Firza dan Shena berbicara sangat pelan dan lirih. Meski begitu, suara mereka masih terdengar begitu jelas di keheningan malam.
Shena melirik Firza yang tampak mengagumi parang besar itu, dan berharap pria itu melanjutkan ceritanya. "Trus, apa aja yang kalian liat di dalam rumah itu?" tanya Shena kemudian.
Firza masih menatap parang besar tajam yang diambilnya tadi. Pandangannya belum teralih saat ia berbicara.
"Pemandangan paling menyeramkan dan menjijikkan yang pernah kuliat di sepanjang hidup. Mereka mengangkut semua mayat dari pesawat satu persatu untuk dikumpulin di sana lalu dipreteli setiap bagian tubuhnya. Kami ngeliat kepala Freddie dan Hana dengan mata terbelalak seolah ga percaya dengan apa yang terjadi ama diri mereka. Kami juga ngeliat sepanci besar sesuatu yang direbus dan sedang mendidih, bahkan aku ngeliat seember besar rambut manusia yang udah dikuliti dari kepala. Kalo mereka cuma memakan jasad atau bangkai mungkin perasaanku ga akan setakut ini Shen... tapi mereka juga ngebunuh. Dan kamu tau apa yang kami liat paling akhir?" Firza menoleh ke arah Shena, mereka saling bertatapan. Shena menggelengkan kepalanya menanti jawaban Firza.
"Sesaat setelah kami keluar dari sana, kami ngeliat makhluk-makhluk itu datang sambil menggotong Saida. Saida masih hidup. Kami denger rintihan kesakitannya. Menurut kamu, apa yang harus kami buat? Makhluk itu jumlahnya 4 orang laki-laki dan seorang perempuan. Apa yang harus aku lakuin Shen? Ngebiarin aja, atau kembali ke sana lagi?"
Firza masih menatap Shena. Shena menyadari jika saat ini Firza dilema dengan sumpahnya sebagai seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Mereka melihat jelas dan langsung di depan mata mereka sendiri bahwa nyawa seseorang sedang terancam dan ada kemungkinan bisa mereka selamatkan. Pun Firza tak bisa mengabaikan rasa empati dalam dirinya.
Shena memegang wajah Firza dengan kedua tangannya. Seperti berbicara dengan anak kecil, Shena berkata lembut.
"Malem ini kamu istirahat, kamu udah terlalu capek. Kamu udah terlalu lelah buat ngambil keputusan sekarang. Besok pagi-pagi banget, tanya dan ajak Hilmi atau siapa aja yang bersedia untuk ngeliat keadaan Saida di rumah itu. Kamu jangan sendirian. Siapa tau makhluk-makhluk itu lagi pergi ninggalin kediaman mereka untuk berburu atau ngelakuin sesuatu yang lain. Siapa tau Saida masih sehat walafiat dan kalian bisa ngebawa dia keluar dari sana hidup-hidup. Sekarang tidurlah...."
Shena menegakkan duduknya dan menarik lengan Firza agar pria itu bisa bersandar padanya. Firza menurunkan tubuhnya agar kepalanya bisa bersandar pada bahu Shena dan ia mulai memejamkan mata.
Seperti berbicara pada dirinya sendiri. Dalam keadaan mata yang juga terpejam Shena berbicara.
"Ada sebuah puisi pendek yang selalu aku inget, almarhum ayahku sering ngebacainnya sebelum aku tidur waktu aku kecil dulu. Sampe sekarang tiap aku sedih dan kesepian puisi itu selalu aku ulang-ulang dalam pikiranku."
tidak setiap derita
jadi luka
tidak setiap sepi
jadi duri
tidak setiap tanda
jadi makna
tidak setiap makna
jadi ragu
tidak setiap jawab
jadi sebab
tidak setiap jangan
jadi pegang
tidak setiap kabar
jadi tahu
tidak setiap luka
jadi kaca
memandang Kau
pada wajahku
(Jadi - Sutardji Calzoum Bachri)
Pelan dan lirih sekali Shena mengalunkan puisi dengan tempo yang sangat lambat di bibirnya. Puisi itu adalah sebuah sajak Ke-Tuhan-an, puisi yang mengajak siapapun yang membacanya untuk selalu berpikiran positif terhadap maksud-maksud Tuhan akan diri makhluk-Nya yang sedang melewati ujian. Sebuah puisi yang mengajak pembacanya untuk selalu mengingat Tuhan dalam keadaan apapun.
Firza hanya mendengar bagian awal puisi itu, karena setelahnya dia telah memasuki alam mimpinya yang sangat menyeramkan.
Dalam mimpi itu, dia melihat bagian tubuhnya sendiri yang terpotong-potong. Shena yang melihat tubuhnya terpotong-potong berlari ketakutan meninggalkannya dan berteriak-teriak. Kemudian Firza melihat makhluk-makhluk itu mendekatinya, ternyata sekarang dia berada di atas meja jagal rumah kayu. Semua makhluk itu menertawakannya, mereka mengangkat potongan-potongan tubuhnya beramai-ramai dan sambil bernyanyi mereka membawanya ke tepi sungai. Makhluk-makhluk itu membuang tubuhnya ke sungai yang deras. Firza berteriak sekeras-kerasnya hingga tenggorokannya terasa sakit. Dari kejauhan didengarnya suara perempuan memanggil. Bahunya terasa seperti diguncang dan kemudian Firza membuka matanya. Tampak di hadapannya wajah Shena yang sangat khawatir.
"Tidur dan mimpimu dalem banget, lama juga aku manggil-manggil kamu. Emangnya kamu mimpi apa? Kamu ga demam tapi bajumu basah kuyup keringetan." Shena berbicara sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Firza. Pria itu menyeka keringat di dahi dan lehernya.
"Mimpi yang nyeremin banget, yang sebenarnya ga jauh beda dengan kenyataan yang lagi kita hadapi sekarang. Udah pagi rupanya." Firza melirik ke arah luar cekungan tempat mereka yang tertutup oleh pelepah-pelepah daun dan ranting-ranting pohon.
Langit sudah memerah pertanda matahari sebentar lagi akan keluar. Pasangan Chen dan Mei masih tertidur lelap sambil berdekapan karena hawa pagi hutan itu memang masih sangat dingin.
"Gimana? Kamu udah mutusin apa pagi ini jadi ngeliat keadaan Saida ke rumah itu?" Shena bertanya dengan pelan sekali sambil melihat reaksi Firza.
Pria itu sedang membersihkan wajah dan lehernya dengan tisu basah yang diambilnya dari dalam tas Shena. Shena sudah bangun sejak tadi, sejak Firza bergumam dalam tidurnya. Ia merasa kasihan dan iba melihat laki-laki itu. Dan juga... sepertinya Shena sudah mulai merasa sayang pada pria asing di sebelahnya.
Meski baru beberapa hari mengenal Firza, situasi yang mereka hadapi sekarang mampu mengeluarkan seluruh sifat asli manusia. Dan pria di sebelahnya ini adalah orang dengan rasa empati tinggi, tenang, realitis sekaligus hangat. Ganteng dan tinggi adalah bonus yang diberikan Tuhan padanya.
Shena hanya bisa menahan apa yang dirasakannya, karena sedari awal Firza tetaplah too good to be true bagi Shena. Sekarang Shena hanya cukup menikmati saat-saat bersamanya dan tak lupa juga, sambil bertahan hidup di belantara asing itu.
Saat mengambil lembaran tisu yang kedua, Firza menjawab Shena. "Sebentar lagi aku akan nemuin ketiga pemuda di sebelah."
Hati Shena mencelos mendengar jawaban Firza. Pria itu sama sekali tak memahami pikiran dan apa yang dirasakannya. Mau ngambek dan egois tapi dia bukan siapa-siapa.
Tak lama setelah percakapan mereka berakhir, Firza mengendap-endap keluar cekungan untuk menemui para pemuda yang beristirahat tepat di balik batu yang menutupi cekungan mereka. Hari sudah terang, sehingga mereka harus lebih berhati-hati berusaha untuk tidak terlihat. Berbicara menggunakan banyak isyarat dan kode untuk meminimalisir suara yang keluar.
Dari tempatnya berada, Shena menajamkan telinganya untuk menyimak percakapan yang sedang terjadi di balik batu. Tapi suara Firza dan ketiga pemuda itu sangatlah pelan hingga Shena hanya mampu menangkap beberapa kata.
...--oOo--...
"I will go back to that house. (Aku akan kembali ke rumah itu)" Pandangan Firza berkeliling dan berganti-ganti antara Hilmi, Chris dan Adly yang baru saja bangun.
Mike tampak seperti orang linglung dan melamun dengan tatapan kosong, pria asing itu tampak menyedihkan tapi Firza saat itu tak sempat membahas keadaan psikis Mike pada ketiga pemuda di hadapannya. Ia hanya perlu mencari seseorang yang berpikiran sama dengannya.
Chris menggeleng, "Bro.. I can not take it anymore. (Bro, aku tak bisa lagi)"
Adly tak bersuara tapi ekspresi menggelengnya yang sangat tegas tak perlu dipertanyakan lagi maksudnya.
Kemudian pandangan Firza beralih pada Hilmi yang menundukkan wajah seperti sedang menimbang sesuatu.
Ketika akhirnya Hilmi mengangkat wajahnya untuk memandang Firza, pemuda itu bertanya.
"You still have the big machete that you bring from there yesterday? (Apa kau masih punya parang besar yang kau bawa kemarin?)"
Firza mengangguk.
Hilmi kemudian berkata dengan mantap. "Okay I'm in. Don't forget to bring that machete. (Oke, aku ikut. Jangan lupa membawa parang itu)"
Di sisi lain Shena menyadari kalau Firza akan kembali pergi bersama Hilmi.
Setelah meneguk air yang cukup banyak dari dalam botol, Hilmi mengajak Firza untuk segera pergi.
Masih Hilmi yang membawa jalan. Langkahnya begitu mantap seperti hendak pulang ke rumahnya sendiri. Pikiran Firza melayang-layang, mereka hanya pergi tanpa rencana.
Tujuan mereka hanya melihat keadaan Saida dan akan berusaha mengeluarkan perempuan itu dari sana jika dia masih hidup. Tapi dirinya tak memiliki gambaran apa yang akan mereka lihat dan hadapi sebentar lagi.
Sesaat kemudian mereka telah sampai di bagian belakang rumah kayu. Keadaannya sangat senyap. Firza dan Hilmi tak mendengar suara apapun dari dalam, jadi mereka memutuskan untuk memutar ke bagian depan rumah.
Dengan langkah kaki nyaris tanpa suara mereka mendekati pintu dan membukanya. Ketika melangkahkan kaki masuk, mereka melihat Saida dalam kondisi kaki dan tangan terikat, serta mulut yang tersumpal.
Saida tersandar pada tumpukan kulit yang berada di sudut kiri rumah. Keadaannya masih sama persis seperti saat mereka melihatnya semalam. Artinya Saida masih bernyawa.
Hilmi dan Firza mendekati gadis itu. Firza memotong ikatan kaki dan tangan Saida. Perempuan itu terkejut melihat kedatangan kedua pria yang dikenalinya. Mata Saida terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya terarah ke bagian dalam rumah yang berupa dapur.
Dengan cepat Hilmi meletakkan telapak tangannya menutup mulut Saida agar tak bersuara. Sesaat sebelum kedua pria itu menyadari apa yang dimaksudkan oleh Saida, terdengar suara geraman-geraman pelan dan terengah-engah dari balik dinding pembatas yang terbuat dari kulit-kulit tebal yang terjulur hingga lantai.
Firza dan Hilmi serentak dan mengangkat salah satu kulit pembatas hingga membentuk celah agar mereka bisa melihat apa yang sedang terjadi.
Terlihat oleh mereka, makhluk-makhluk buas itu sedang bercinta beramai-ramai. Keempat makhluk pria dengan hanya seorang makhluk perempuan.
Makhluk perempuan terlihat begitu superior. Bergantian berpindah dari satu makhluk pria ke yang lain. Makhluk perempuan yang telanjang bulat, dengan sepasang dada yang sangat besar tumpah ruah ke mana-mana. Seorang makhluk laki-laki sedang berada di belakangnya. Makhluk perempuan itu menggeram pelan dan entah karena alasan apa, makhluk perempuan itu seperti mendengus dan berpindah ke makhluk laki-laki yang lain.
Kemudian seperti memerintah, makhluk perempuan itu menunjuk kepada satu makhluk laki-laki yang sedang menganggur menunggu. Makhluk perempuan itu meremas *********** sendiri sambil mendengus. Sontak makhluk laki-laki yang sedang menganggur itu melakukan apa yang diminta makhluk perempuan yang terlihat sangat menjijikkan.
Dia adalah pemimpin di antara mereka. Keempat makhluk laki-laki yang berada di rumah itu berada di bawah kendalinya.
Entah seperti apa hubungan mereka di hutan, dan entah dari mana mereka berasal. Hilmi menutup mulutnya seperti hendak menahan muntah. Firza menyadari keadaan mereka seperti sedang terperangkap di dalam kandang besar bersama hewan-hewan buas.
Satu isyarat darinya kepada Hilmi membuat pemuda itu langsung mengangkat lengan kiri Saida ke pundaknya. Mereka harus segera pergi dari situ secepatnya. Berjingkat-jingkat mereka berdiri menuju pintu masuk sekaligus pintu keluar. Mereka sudah mencapai pintu, Firza sudah membuka pintu dan berada di luar sambil memegang daunnya agar tetap terbuka untuk memberi jalan kepada Hilmi.
Sialnya blus Saida tersangkut pada dahan ranting pendek yang mencuat dari salah satu batang pohon yang menjadi dinding rumah. Sesaat sebelum dia melangkahkan kakinya keluar, Saida memekik tertahan.
Langkah kaki Hilmi yang sudah berhasil berada di luar rumah menjadi ikut tertahan. Secepat kilat Hilmi mengibaskan pakaian Saida agar terlepas, dan wanita itu menarik-narik pakaiannya dengan panik.
Di antara pekik tertahan Saida, Firza mendekat hendak membantu. Di saat bersamaan, seorang makhluk laki-laki yang setengah telanjang keluar dari balik tirai kulit. Pekikan Saida sempat terdengar makhluk itu.
Dan sejurus kemudian, sebuah teriakan panjang menyerupai lolongan, menggelegar di udara.
Entah berapa detik lamanya pikiran Firza berpindah-pindah antara pakaian Saida yang tersangkut dan makhluk-makhluk yang kini telah menyadari keberadaan mereka di sana.
Seperti seabad lamanya Firza merasa waktu yang mereka habiskan di mulut pintu hingga akhirnya pakaian Saida terbebas. Setengah terseret Saida dipapah oleh Hilmi, Firza ikut mengangkat tangan perempuan itu ke atas bahunya agar mereka bisa segera berlari dari sana.
Saida berada di antara mereka, di antara jepitan lengan Hilmi dan Firza yg tergopoh-gopoh. Tak sampai sedetik rasanya waktu berlalu ketika terdengar suara hantaman dari arah belakang mereka.
Makhluk yang setengah telanjang itu melemparkan sesuatu. Firza merasa mereka dihantam sesuatu karena di detik yang sama tubuh mereka terdorong ke depan.
Firza dan Hilmi serentak gelagapan melihat ke bagian bawah tubuh mereka. Firza tak merasakan apa-apa sembari mengecek tubuhnya. Namun pandangan panik Firza dan Hilmi terhenti pada bagian perut Saida. Ada benda asing yang mencuat dari perut perempuan itu, diikuti oleh tetesan darah dan teriakan Saida yang menyayat pagi.
Tubuh Saida kemudian tertarik dan terhempas ke belakang. Perempuan itu terseret dalam keadaan setengah meringkuk hingga ke ambang pintu.
Saida tertombak.
Sebuah tombak panjang yang pangkalnya memiliki tali telah menusuk Saida dari belakang. Makhluk yang setengah telanjang itu menombak Saida dari kejauhan dan menarik tali di tombak itu hingga perempuan itu terseret kembali hingga ke depan pintu.
Terdengar suara makhluk perempuan yang melolong-lolong bagai hewan buas yang kehilangan mangsanya. Mereka berbicara cepat dalam bahasa mereka. Di antara kegaduhan dan suara teriakan Saida, makhluk-makhluk yang lain keluar hingga ke ambang pintu, tempat Saida meringkuk dengan tombak yang tertancap. Beberapa di antara mereka keluar sambil memegang senjata.
Suara jeritan dan tangis Saida memecah suasana pagi hutan. Burung-burung yang sebelumnya tampak tenang bertengger di tiap dahan pohon kini terbang berhamburan.
"Run...." Saida mendesis dengan susah payah seperti telah mengumpulkan seluruh kekuatannya yang tersisa untuk memerintahkan kedua pria itu pergi.
Tak perlu berpikir dua kali dan tanpa aba-aba, Firza dan Hilmi tampaknya sama-sama mendengar satu kata yang diucapkan Saida sebelum perempuan itu mulai kehilangan kesadaran.
Mata Saida masih menatap dua orang yang menganggapnya teman. Datang untuk menolongnya. Kemudian perlahan-lahan mata Saida menutup saat melihat kedua rekannya sudah menjauh.
Makhluk-makhluk menjijikkan itu pun kembali menyeret Saida ke dalam rumah. Mungkin masih ada budaya malu dalam kehidupan makhluk hutan sampai mereka tidak mengejar Firza dan Hilmi dalam keadaan telanjang.
Dua orang pria berlari menerobos hutan membabi buta. Dalam pelarian mereka, Hilmi berbicara putus asa.
"Bro... we kill her. We kill Saida. (Kita membunuhnya. Kita yang membunuh Saida)" Nafas Hilmi terengah-engah tapi langkahnya melambat hingga Firza mendahuluinya.
"Kita harus memutar. Ambil jalan memutar. Jangan langsung ke tempat kita berada. Bisa saja makhluk-makhluk itu mengikuti kita." Firza memimpin di depan. Hilmi berada di belakangnya.
"You see that? Oh My God. That is so crazy. They spear her. (Kau lihat itu? Oh Tuhan. Sangat gila. Mereka menombaknya)" Hilmi masih saja terus berbicara.
"Tetap lari. Kalau kita juga tertangkap, kita akan membuat kematian Saida sia-sia. Saida mau kita tetap hidup!" teriak Firza seraya menarik lengan Hilmi agar terus berlari sejauh mungkin dari sana.
Dan tidak akan aman jika mereka langsung kembali ke tempat persembunyian mereka. Makhluk-makhluk itu memahami isi hutan ini lebih baik dari mereka. Firza berpikir bahwa mereka harus berpindah tempat lagi.
...--oOo--...
Sementara itu tiga tim pencari sudah menemukan lokasi bangkai pesawat jatuh. Mereka dengan santainya beristirahat setelah melihat-lihat ke bagian dalam pesawat itu sekilas.
Walkie-Talkie salah seorang Kapten Tim berbunyi.
(percakapan dalam bahasa asing)
Pria dengan suara di seberang :
"Kalian sudah menemukan lokasinya?"
Kapten Tim yang menjawab :
"Sudah. Dan coba kau tebak apa yang kami temukan."
Pria dengan suara di seberang :
"Sesuai dugaan kita seperti biasanya?"
Kapten Tim yang menjawab :
"Kau benar. Tak ada jasad. Makhluk-makhluk itu tampaknya sudah lama tidak makan. Dan mereka sepertinya sedang berpesta sekarang."
Pria dengan suara di seberang :
"Dan kemungkinan semua penumpang telah habis. Kita hanya tinggal menulis laporan. Hati-hatilah, bisa saja kalian menjadi santapan mereka yang berikutnya."
(Diikuti dengan suara tawa para pria yang sedang berbicara itu).
Kapten Tim yang menjawab :
"Mereka tidak akan memangsa kami sesuai perjanjian. Keberadaan mereka akan ditutupi selama mereka tidak memangsa manusia yang hidup."
Salah satu anggota tim pencari yang baru saja selesai berkeliling di sekitar pesawat mendatangi kaptennya.
"Sir...tampaknya ada beberapa penumpang yang selamat dan keluar dari pesawat dalam kondisi hidup."
Anggota tim tadi memberikan benda yang diperolehnya dari lokasi tak jauh dari pesawat.
Kapten Tim menerima benda yang diberikan anggotanya itu.
Beberapa kapas dengan noda darah, botol minuman air mineral dan plastik-plastik bungkus roti yang berasal dari pesawat.
Kapten Tim mengernyit dan berkata, "Jika ada yang masih hidup, kita harus mencari mereka secepatnya. Jika mereka berhasil keluar hutan ini dengan membawa berita soal makhluk kanibal di negara kita, habis lah kita semua."
...***...
...To Be Continued...
...Terimakasih karena telah menekan tombol like...
...Salam sayang dari dr. Firza Sp.B...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Al Fatih
Ternyata keberadaan para kanibal itu d ketahui orang2 d situ,, hanya sj mereka " di pelihara".
2025-02-08
2
PHSNR👾
gak di dunia nyata, gak di novel ternyata aparat sama saja, busuk semua
2025-02-19
0
PHSNR👾
gak pernah baca novel sampe setegang ini 😲😲
2025-02-19
0