Mereka sampai di tempat kelompok mereka berada dengan bersimbah keringat dan nafas terengah-engah. Adly menjelaskan apa yang dilihatnya secepat yang dia bisa, dengan kalimat terpatah-patah dan terkadang sulit dimengerti.
"Freddie is dead. Terpotong. Tak jauh dari sini. Wajahnya hancur. Kaki dan tangannya hilang sebelah. Mereka memotongnya. Mereka mengambilnya. Makhluk itu pasti kembali lagi mengambil sisa tubuh Freddie. Kita tak bisa di sini lebih lama. Aku dan Firza setuju kita harus sesering mungkin berpindah tempat." Adly tersungkur sambil meletakkan Mike di tempatnya.
Mike masih histeris dan masih menangis sambil mencakar-cakar kepalanya.
Setelah mendudukkan Mike di tempat kedua pria asing itu berada sebelumnya, Adly dan Firza mengatur nafas. Mereka kemudian memasukkan semua bawaan pria itu ke dalam tasnya secara asal dan terburu-buru.
Lalu Adly berdiri dan menuju ke teman-temannya, Hilmi dan Chris juga bergegas membereskan perlengkapan yang sudah sempat mereka keluarkan tadi.
Saida hanya diam tak tahu harus berbuat apa karena ia tidak memiliki sesuatu yang dibawanya sejak ia turun dari pesawat.
Firza berbicara pada Mike dengan suara rendah dan pelan, sepertinya pria itu berusaha meyakinkan Mike kalau semuanya akan baik-baik saja. Yang harus mereka lakukan sekarang hanyalah pergi dari tempat itu sejauh mungkin.
Mereka harus mencari sumber air karena persediaan air dalam botol minum mereka sudah menipis. Tampaknya perkataan Firza sedikit masuk ke dalam pikiran Mike karena pria asing itu tampak sedikit lebih tenang.
Kemudian Firza pergi beranjak menuju ke arah Shena yang juga sedang membereskan perlengkapan yang mereka bawa.
Firza berbicara setengah berbisik kepada Shena sambil membantu perempuan itu melipat salah satu selimut yang tadinya sudah disampirkan di atas tanah.
"Potongan kaki yang kita liat sewaktu berpapasan dengan makhluk itu bisa dipastikan sebagai kaki Freddie. Freddie dibunuh sesaat sebelum kita ketemu mereka. Sebelumnya kita mengira kalo makhluk itu takut api. Tapi kayanya engga. Kita ga tau entah apa yang mereka takuti. Makhluk-makhluk itu berbuat secara random dan setiap ada kesempatan. Kita ga bisa ada di sini. Mereka tau lokasi kita sekarang." Firza memasukkan selimut itu ke dalam tas parasut yang dibawanya.
"Lalu kita sekarang ke mana? Makhluk itu kayanya menguasai tiap sudut hutan ini. Dan kita ga tau jumlah mereka." Shena berkata dengan nada putus asa.
"Kita harus cari jalan yang menurun dan terus ke bawah sampe ketemu sungai atau sejenisnya. Kita ga boleh jauh dari sumber air. Para samurai pada jaman dulu juga membuat tepi sungai untuk bertarung karna sungai dianggap suatu jalan untuk melarikan diri kalo mereka kalah." Firza menatap Shena yang sekarang sedang memainkan tali tasnya.
"Tapi kita kan bukan samurai." Shena menjawab polos.
"Emang bukan. Yang bilang kita samurai siapa?." Firza terkekeh.
Shena masih memainkan tali tasnya, sepertinya tas itu bisa selalu menjadi alasan untuk orang yang sedang tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya mereka selesai berkemas, Firza membantu Shena berdiri.
Kali ini Shena sudah bisa hanya bertumpu dengan memeluk lengan kiri Firza sebagai tongkatnya berjalan.
Pasangan suami istri, Chen dan Mei juga sudah berdiri. Mei masih bertumpu dengan suaminya, posisinya persis seperti posisi Shena dan Firza sebelum kaki Shena mulai membaik.
Ketiga pemuda sudah memanggul bawaan mereka, Saida tampak berdiri di antara ketiganya. Adly pergi ke arah Mike untuk membantu pria asing yang sekarang tampak sangat rapuh itu.
Firza dan Shena mulai berjalan mendahului mereka agar yang lain bisa segera menyusul mengikuti. Akar-akar pohon yang mencuat ke atas tanah membuat Firza harus lebih berhati-hati melangkahkan kakinya karena Shena juga mengikuti di sebelahnya.
Mereka terus berjalan menuruni hutan. Pasangan suami istri tepat di belakang mereka, Mike dan Adly di belakangnya dan kemudian diikuti Hilmi, Chris dan Saida di posisi paling akhir. Matahari sudah bergerak turun seperti hendak menghilang.
Tak ada yang bersuara sepanjang perjalanan, dan belum ada di antara mereka yang berkata ingin beristirahat. Firza merasa mereka masih harus terus menjauhi lokasi yang mereka tinggalkan.
Setelah berjalan selama hampir dua jam, lama-kelamaan langkah mereka melambat, tenaga mereka terkuras karena kelelahan serta kekurangan asupan zat makanan. Hari mulai gelap, dan mereka belum menemukan sungai yang mereka cari.
Selang beberapa menit kemudian terdengar langkah tergesa-gesa di kejauhan, mereka saling berpandangan terbelalak. Tidak ada orang selain mereka di situ, dan dalam sekejab mereka menyadari situasi saat itu. Tanpa diberi aba-aba semua berlari. Firza menyeret Shena secepat mungkin, begitu pula Chen yang seperti setengah menggendong istrinya.
"Hurry up guys, and dont split up. (Ayo cepat, jangan terpisah)" Firza meneriaki orang-orang di belakangnya.
Mike dan Adly lari mendahului mereka semuanya terus turun ke bawah, jalanan yang mulai terjal membuat langkah mereka terseret ke bawah dengan cepat.
Chen dan Mei masih berada di belakang Firza dan Shena saat terdengar teriakan dari arah yang jauh di belakang mereka.
Hilmi, Chris dan Saida belum muncul di dekat mereka. Firza mengenali teriakan itu berasal dari suara Saida, terdengar juga geraman-geraman makhluk asing yang sepertinya berhasil menggapai teman mereka.
Firza dan Shena berhenti, Chen dan Mei melanjutkan terus berlari. Shena mencengkeram lengan Firza sekuat tenaganya, dia sangat ketakutan. Seperti menimbang sesuatu Firza akhirnya memegang lengan Shena dan beranjak pergi dari sana, secepat mungkin yang dia bisa.
Dalam situasi yang tak pasti seperti itu Firza harus lebih memikirkan dirinya sendiri. Memikirkan seorang wanita yang kini bergantung padanya.
"Sekali dalam hidup tak apa jika kau harus terpaksa untuk egois Fir...." Sisi otak realistisnya sedang berbicara.
Tanpa disadarinya, di sekitarnya tidak ada lagi siapa-siapa. Suasana kembali hening mencekam dalam kegelapan. Firza menghentikan langkahnya menoleh ke sekeliling, menyesuaikan pandangannya dalam gelap. Dia tak berani menyalakan senter dari ponselnya. Bahkan untuk berbisik pada Shena saja dia belum berani.
Nafas mereka masih terengah-engah. Ketika dia sedang mencari-cari tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat beristirahat, telinganya menangkap suara air yang mengalir.
Kemudian Firza mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Shena dan berbisik pelan. "Ada suara air di depan sana, sedikit lagi kita sampai di dekat sumber air. Mungkin itu sungai kecil karena suaranya ga deras."
Pelan-pelan mereka berjalan nyaris tanpa suara, dan anak sungai itu sudah semakin tampak di kejauhan. Airnya tampak berkilau diterpa cahaya dari langit.
Beberapa meter sebelum mencapai sungai itu, Firza terperanjat karena ada yang mencengkeram tangan kanannya. Nyaris saja dia melayangkan tinju kalau saja sosok yang mencengkeramnya itu tidak cepat-cepat berkata "I am Chen. I am Chen. Sorry. (Aku Chen. Aku Chen. Maaf)"
Chen meletakkan telunjuknya di bibir dan kemudian dia menunjukkan tempatnya dan Mei yang tersembunyi. Bagian lereng bawah sungai yang sedikit melengkung ke dalam, ada batu besar di depannya.
"Have you made sure that's safe? (Apakah kau bisa memastikan bahwa tempat ini aman?" Firza khawatir di tempat dimana istri Chen berlindung itu ada hewan seperti semut atau bahkan ular.
"I made sure, it was safe. Adly and Mike on the other side. They arrived before us. (Aku telah memastikannya, ini aman. Adly dan Mike di sebelah sana. Mereka tiba sebelum kita)" Chen menunjuk sebuah tempat di sisi lain dan mengatakan bahwa Adly dan Mike sudah tiba lebih dulu dibanding dia dan istrinya.
"Adly so shocked. He just kept quiet. I think he is thinking about his friends. (Adly begitu syok. Dia hanya diam. Kurasa dia masih memikirkan soal sahabatnya)" Wajah Chen tampak sangat prihatin. Firza mengangguk dan menepuk pundak Chen.
Entah kenapa semua orang di kelompok mereka jadi harus melaporkan semua hal kepadanya. Seperti para mahasiswa koas yang melapor kepada konsulennya.
Baru tiga hari berada di balik benua lain, tapi rasanya sudah berabad-abad lamanya Firza tak memasuki ruang OK. Padahal sehari sebelum dia melakukan perjalanan, dia baru melakukan operasi besar selama 5 jam dari tengah malam hingga subuh.
"I will talk to Adly, you and your wife can rest now. Don't make fire or make a sound. Umm..Chen.. Can Shena stay in your place for a while? (Aku akan berbicara pada Adly, kau dan istrimu bisa beristirahat sekarang. Jangan membuat suara atau api. Umm.. Chen, bisakah Shena beristirahat di tempatmu sebentar?)" Firza melirik Shena yang duduk di sebuah batu sambil memijit-mijit kakinya tanpa suara.
Firza merasa harus berbicara dengan Adly, tapi dia juga harus memastikan Shena aman.
"Of course, why not. God brings us together to help each other. Shena, came in here. (Tentu saja, kenapa tidak. Tuhan mempertemukan kita untuk saling tolong menolong. Shena, kemarilah)" Chen menuntun Shena memasuki tempat persembunyian dia dan istrinya yang terlindung. Chen sudah meletakkan dahan pohon dan pelepah-pelepah daun yang besar diatas batu dan cekungan itu.
Firza melirik Shena dan mengangguk. Shena mematuhi tatapan mata Firza tanpa protes karena dirinya juga sudah sangat lelah. Di dalam cekungan itu Shena melihat Mei yang sudah duduk bersandar memegang botol minuman yang sudah kembali terisi penuh oleh air sungai.
Mei hanya tersenyum padanya dan kemudian memejamkan mata. Shena sangat setuju akan sikapnya itu. Dalam keadaan itu, Shena juga tak ingin berbasa-basi berbicara kepada orang lain.
Chen memasuki cekungan itu dan menyerahkan botol minuman yang juga sudah terisi penuh sambil berbicara.
"This is from your fiance, that brave doctor. Looks like he really loves you. (Ini dari tunanganku, dokter yang pemberani. Sepertinya dia sangat mencintaimu)"
Shena tersenyum pada Chen pria yang ramah itu dan berkata terimakasih. Shena meneguk air di botol sebanyak-banyaknya, di luar dia mendengar langkah kaki Firza baru menjauhi cekungan tempatnya beristirahat. Firza juga pasti mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Chen barusan.
Firza menemui Adly yang hanya duduk termenung di sebelah Mike yang tertidur. Semua bungkusan yang mereka bawa tergeletak begitu saja di dekat mereka. Adly melihat Firza datang dan mendongak.
"Jangan ajak saya mencari mereka Bro.. Saya tak ada daya lagi. Jiwa dan raga saya begitu lelah." Adly menutup wajahnya.
"So you can sleep now. (Jadi kau bisa tidur sekarang)" Firza menepuk-nepuk lengan Adly. Firza mengerti betapa berat yang sedang dipikirkan oleh Adly saat itu. Kehilangan dua sahabatnya sekaligus dan menjadi benar-benar sendirian sekarang. Firza mengerti Adly tak mau membicarakannya saat itu.
Sayup-sayup terdengar langkah kaki berlari menuju arah tempat mereka. Firza dan Adly terkesiap, mereka menajamkan telinga mencoba mengenali langkah kaki siapakah sedang berada dekat mereka. Langkah kaki itu terhenti tepat di atas mereka.
Kemudian terdengar suara berbisik,
"Firza tells us to find the river or something like that. Our position now seems not far from the earlier. (Firza mengatakan pada kita untuk menemukan sungai atau sesuatu seperti itu. Posisi kita sekarang tak jauh dari tempat awal tadi)"
Terdengar suara Hilmi berbicara pada seseorang. Tak perlu mengeceknya dua kali, Adly langsung melompat keluar dari balik cekungan tanah tepi sungai dan menghambur ke arah teman-temannya.
"Hilmi, Chris, I am so happy to see you guys. I think we lost you. (Hilmi, Chris, Aku sangat senang bertemu lagi dengan kalian. Kukira aku kehilangan kalian)" Adly memeluk kedua sahabatnya dengan mencengkeram leher mereka.
Hilmi dan Chris yang juga sangat senang bertemu dengan Adly bersama-sama menutup mulut Adly yang mereka khawatirkan akan berteriak lagi.
"Yeah.. we are okay. But we lost Saida. We are so sorry. (Yah, kami baik-baik saja. Tapi kami kehilangan Saida. Kami minta maaf) Ketika dikejar makhluk tu, kami terpencar. Makhluk itu begitu dekat hingga hampir mencengkeram pakaian saya. Kami berlarian ke berbagai penjuru, sampai kami tak melihat ke kiri dan ke kanan lagi. Saya bahkan tak menyadari di mana saya terakhir kali melihat Saida. Saya bertemu Hilmi hanya sesaat sebelum kami bertemu kalian. Malam yang gila. Hari yang benar-benar gila Bro...." Chris menunduk.
Firza dan Adly mematung. Mereka kembali kehilangan salah seorang rekan seperjalanan.
Hilmi mendekati Firza dan berkata,
"tapi dalam perjalanan ke sini tadi, kami melihat sesuatu yang sangat menarik sekaligus mengerikan. Kami melihat sebuah pondok yang terbuat dari kayu yang disusun bertumpuk-tumpuk. Pondok yang cukup besar. Menurut kami, itu adalah tempat tinggal makhluk itu. Apa engkau tidak penasaran ingin melihatnya Bro?"
Firza terperanjat dengan kata-kata Hilmi.
"Saya tak mau kesana, Hilmi sudah mengajak saya tadi. Hilmi bilang nak cari Saida. Tapi saya tak kuat, saya mau cari korang sahaja. I want to sleep tonight, if I die, I hope I die in my sleep. (Aku mau tidur malam ini, kuharap aku mati saat tidur) Teruk sangat la," rengek Chris sambil merangkul bahu Adly seperti anak kecil yang bertemu ayahnya. Adly kemudian mengajak Chris ke bawah cekungan untuk beristirahat di dekat Mike.
Ide Hilmi memang gila, tapi Firza merasa perlu melihat rumah itu. Jika rumah itu kosong, setidaknya mereka bisa menyelinap dan mengambil beberapa senjata untuk bertahan hidup di hutan.
Firza juga memahami perasaan bersalahnya kehilangan seorang perempuan yang sedang berada di dekatnya untuk memperoleh perlindungan. Firza berniat mengikuti ajakan Hilmi.
Kalau Firza mengatakan rencananya pada Shena, pastilah perempuan itu tidak akan mengizinkannya pergi. Lagi pula sekarang Shena mungkin saja sudah tertidur karena kelelahan.
"Kamu masih tau jalan menuju kesana?" Firza bertanya pada Hilmi, pemuda yang sepertinya memahami jalan pikiran Firza itu mengangguk mantap.
"Bro... I feel guilty for losing Saida. I still hope we find her alive. (Bro, Aku merasa bersalah kehilangan Saida. Aku masih berharap bisa menemukannya dalam keadaaan hidup)" Hilmi berbisik lirih sembari jalan mendahului Firza.
Kedua pria itu berjalan dalam diam dengan suara kaki seminimal mungkin. Terpisah dengan teman-temannya sesaat tampaknya membuat Hilmi menjadi hafal daerah yang di laluinya.
Sekitar 30 menit berjalan mendaki, Hilmi berhenti menahan Firza. Tangannya menunjuk ke arah depan. Ke arah sebuah rumah yang mengeluarkan cahaya api berwarna kuning remang-remang.
Rumah itu hampir berbentuk persegi panjang, karena batang pohon yang bulat panjang disusun begitu saja menjadi dinding rumah. Atapnya terbuat dari pelepah-pelepah kering yang juga disusun di atas batang pohon utuh.
Hilmi mengajak Firza mendekati rumah itu dari sisi belakang rumah, karena bentuk dindingnya yang seperti itu, mereka bisa melihat dari sela-sela batang pohon apakah sang penghuni berada di dalam rumah atau tidak. Pintu rumah itu terbuat dari batang-batang pohon yang lebih kecil yang diikat menggunakan akar-akar pohon.
Firza membayangkan peralatan masak jaman pra-sejarah di dalam rumah itu, mengingat bentuk rumah itu yang benar-benar seperti tempat tinggal makhluk purbakala.
Mereka memutari rumah kayu dari jarak yang cukup jauh, setelah memastikan mereka berada di sisi belakang rumah, mereka memberanikan diri untuk lebih mendekat. Firza merasa jantungnya berdetak hebat, antara rasa takut dan penasaran yang bercampur aduk menjadi satu.
Akhirnya Hilmi buka suara dengan berbisik, "sepertinya semua penghuninya sedang keluar."
Dengan langkah cepat kedua pria itu memutar ke bagian depan rumah dan membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci. Ya, lagi pula untuk apa mengunci rumah ketika kau tahu hanya kau yang tinggal disitu.
Rumah itu cukup luas, bagian depannya terpisah dari asal cahaya yang bisa mereka lihat dari luar. Ruangan depan dan belakang hanya dipisahkan oleh lembaran-lembaran kulit yang digantung. Bagian depan rumah itu kosong tanpa kursi atau pun meja.
Pada dinding-dinding rumah bergelantungan bermacam-macam kepala hewan yang sudah kering. Di sudut kiri ada tumpukan lembaran kulit hewan dan mungkin juga termasuk kulit manusia jika mengingat perbuatan makhluk-makhluk itu.
Kemudian mereka berjalan lebih jauh ke dalam rumah itu. Dalam cahaya api yang menjilat-jilat sebuah panci besar yang isinya sudah mendidih di atas tungku, mereka menemukan pemandangan paling mengerikan yang pernah mereka lihat di dalam hidup mereka.
Kepala manusia tersusun rapi diatas sebuah meja panjang, sebagian sudah tidak memiliki bola mata. Di sinilah para mayat penumpang pesawat itu berakhir. Di antara kepala-kepala manusia itu mereka melihat kepala yang mereka kenali, kepala Hana dan Freddie masih lengkap dengan bola matanya yang membelalak.
Bagian tubuh Freddie yang lain masih tergeletak meneteskan cairan ke sela-sela meja yang juga terbuat dari susunan kayu-kayu kecil seperti pintu rumah itu. Aroma di rumah itu terasa sangat menjijikkan. Berbau busuk dan anyir menjadi satu.
Lantai tanahnya dipenuhi oleh cairan menjijikkan yang mereka duga adalah darah para korban yang keluar saat mereka mencincang tubuh mereka. Rumah itu adalah tempat tinggal sekaligus rumah jagal mereka.
Firza melihat sebuah parang yang sangat tajam tergeletak di bawah meja jagal itu, ia kemudian mengambilnya. Di sebelah parang tadi terletak sebuah cawan kayu besar berisi rambut yang sangat banyak.
Hilmi menutup mulutnya dan memberi kode mengajak Firza keluar. Sepertinya Hilmi tidak tahan berlama-lama di ruangan itu.
Sedangkan Firza merasa tak asing dengan darah dengan segala macam aromanya. Firza masih mencari apakah ada senjata lain yang bisa mereka ambil, tetapi ternyata nihil.
Rupanya makhluk-makhluk itu selalu membawa senjatanya jika pergi keluar rumah. Kedua pria itu bergegas meninggalkan rumah itu dengan keadaan seperti sebelumnya. Mereka kembali memutar ke arah bagian belakang rumah. Sesaat setelah mereka berada di belakang rumah itu, dari kejauhan mereka mendengar langkah kaki dan orang yang berbicara dengan bahasa yang sama sekali asing.
Firza dan Hilmi mengintip dari balik pohon, bahkan hampir menahan nafas mereka karena rasa takut yang luar biasa.
Dari balik pohon mereka mengamati makhluk-makhluk yang sedang berjalan mendekati rumah. Seorang wanita yang mengenakan pakaian Hana, menyusul dua orang lelaki di belakangnya.
Dan ketika Firza mengira jumlah mereka hanya tiga orang, tak berapa lama kemudian muncul dua orang makhluk laki-laki lainnya yang sedang membawa sesuatu.
Firza dan Hilmi tercekat karena melihat dua orang makhluk yang berjalan paling belakang ternyata sedang memanggul Saida yang sepertinya masih bernyawa tapi tak berdaya.
Mereka mendengar suara rintihan Saida.
...***...
...To Be Continued...
...Terimakasih karena sudah mengapreasiasi karya ini dengan like dan komentar...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Evi Sirajuddin
rasanya kayak ikutan dikejar juga sama mahluk kanibal itu
serem amat sihhh 😵💫 Mana bacanya malam lagi
2025-02-06
1
dnr
aku bacanya ngos ngossan sambil deg degan Thor..seperti ikut merasakan langsung
2024-12-02
0
🦆 Wega kwek kwek 🦆
berasa nonton film kanibal tahun era 80 an
2025-03-04
0