Shena merasakan bahunya diguncang pelan. Ia menoleh sambil menyipitkan mata. Seraya menyesuaikan pandangan ia melihat wajah Firza yang mengernyit cemas. Ia sempat melirik tangan Firza yang masih bertengger di bahunya.
Aku baru tidur sebentar tapi lumayan lama. Wajah laki-laki ini masih segar banget. Apa dia nggak tidur? Dan aku … aku tidur pulas. Bibirku? Apa aku ngiler? Syukur tangannya udah lepas dari bahuku.
Sedikit canggung Shena menegakkan sandaran kursi dan berpura-pura mengecek sabuk pengaman yang baik-baik saja. Ia meraba-raba sudut bibir. Ia tahu kalau Firza pasti sedang sedikit bingung menunggunya.
"Ada apa?" Shena akhirnya bersuara. Ia masih melihat raut kekhawatiran di wajah Firza.
"Pesawatnya berguncang. Beberapa kali. Lumayan keras. Kamu nggak berasa?” Firza memerhatikan wajah Shena beberapa detik lalu wanita itu menggeleng. Firza kembali melanjutkan, “Ini nggak seperti biasa. Pramugari sejak tadi juga bisik-bisik. Wajah mereka memang santai. Mereka sudah dilatih untuk itu. Jadi … aku rasa aku harus membangunkan kamu. Maaf kalau kamu terganggu.” Firza kemudian mundur dan kembali menyandarkan punggungnya di kursi.
Shena melihat selimut Firza masih terlipat rapi. Artinya Firza memang tidak tidur sejak tadi. Shena lalu mencondongkan tubuh untuk melihat Sofia. Wanita itu masih tidur nyenyak.
“Bu Sofia masih tidur,” ucap Shena, kemudian memandang Firza.
“Ibu di sebelah kita ini baru tertidur. Mungkin sekarang masuk ke deep sleep makanya nggak kebangun.”
“Bukannya udah dari tadi tidur?” Shena membulatkan mata. Ia lalu kembali menghempaskan punggungnya saat Firza menggeleng. “Tidurku juga nyenyak. Sampai harus kamu bangunin.”
“Enggak ada yang salah dengan tidur nyenyak. Ini memang waktunya jam tidur.” Firza bicara sambil melihat sekeliling.
“Memangnya kamu enggak ngantuk?” Shena memandang Firza yang masih melihat ke tempat lain. “ Jangan-jangan kamu belum ngantuk tapi lagi cari teman makanya bangunin aku.” Shena mencibir.
"Aku udah biasa,” ucap Firza. Kali ini ia sedang menoleh ke belakang. Belum ada lagi yang aneh selain pramugari yang tadi masih berkeliling sekarang sudah kembali ke belakang.
“Emang kamu kerjanya apa? Satpam?” Pertanyaan Shena sangat serius.
Firza menatap Shena dengan pandangan geli. "Iya. Satpam," jawabnya.
Firza merasa tidak perlu menjelaskan kepada Shena kalau pekerjaannya adalah dokter spesialis bedah yang terbiasa kerja tanpa kenal waktu. Operasi-operasi besar yang biasa berlangsung berjam-jam dan sering dimulai tengah malam hingga subuh.
“Aku nggak bermaksud ganggu tidur kamu, tapi ….” Firza lagi-lagi menoleh ke belakang. “Perasaanku nggak enak. Dan coba kamu lihat ke sekeliling kita. Semua orang asing. Bisa dibilang cuma kamu yang aku kenal di pesawat ini. Guncangan tadi terlalu sering dan aku pikir sebaiknya kamu nggak tidur.” Suara Firza lirih seperti bisikan.
Shena tekun menyimak omongan Firza dan mengangguk pelan tanda dia juga menyetujuinya.
Kayaknya ni cowo emang perlu teman ngomong aja kali ya. Sebenarnya pesawat udah biasa goyang, kan. Tapi … bisa aja dia emang paham situasi. Tapi juga … aku baru kenal. Tetap harus waspada. Bisa jadi juga kalau Firza ini punya trauma tertentu. Atau bisa jadi juga dia phobia ketinggian, atau phobia naik pesawat? Aku harus bisa menenangkan dia. Kasihan juga. Badannya besar, tinggi, tegap, tapi dia tetap manusia yang punya rasa takut. Mana parfum ni cowo juga bikin kehilangan konsentrasi. Aromanya hangat menembus jiwa.
Shena membereskan perlengkapan tidur dan memasukkan headset juga syalnya ke tas. Ia lalu menghabiskan sisa air mineralnya di botol. Firza juga kemudian terlihat lebih santai. Yaitu merapikan Kerah kemeja nya dan bersandar.
Dan untuk menghilangkan rasa gugupnya Shena kembali bercerita. Kali ini soal Afrika Selatan yang sering diceritakan ayahnya. Saat bercerita Firza mendengarkannya dengan tekun. Tak sekalipun pria itu memotong ucapannya. Tapi pembicaraan sana menggunakan sedikit kekecewaan. Ia merasa Firza benar-benar mahal. Shena baru sadar kalau sejak tadi hanya ia yang berbicara. Firza tidak ikut menimpali.
Harusnya aku memang nggak perlu beramah-tamah dengan laki-laki ini. Kami cuma kenal di perjalanan. Bisa aja dia memang orang nggak bener. Tadi bangunin aku tidur. Sekarang diajak ngomong sok dingin banget.
Dalam remang cahaya kabin Shena melihat Firza mengetuk-ngetuk buku yang dibacanya tadi dengan telunjuk. Terlihat nyata kalau Firza memang tidak tenang. Rambut yang tadi tersisir rapi dan terlihat basah, kini sudah turun ke dahinya. Shena menghela napas diam-diam. Shena menyesal memandang Firza karena pria itu terlihat semakin tampan sekarang.
Ganteng. Dia memang ganteng. Satpam di mana, sih?
Shena masih memandang Firza yang kini sedikit menunduk. Tatapan Shema masih berlama-lama di cambang Firza ketika pesawat itu seperti sedang melewati lubang yang dalam. Terasa melonjak kemudian turun tiba-tiba.
“Aduh!” pekik Shena. Tak hanya mencengkeram lengan Firza, Shena membenamkan wajahnya di lengan pria itu. Mulutnya merapal doa yang ia hafal. Mulutnya komat-kamit dan matanya terpejam. Hidungnya dipenuhi aroma banget parfum pria dan lengan padat berisi itu membuat ketakutannya berangsur hilang. Seakan lengan berisi itu baru mengatakan bakal melindunginya. Pelan-pelan ia bangkit. Saat kepalanya tegak ia langsung menatap sepasang mata. Firza sedang menatapnya.
“Aku takut. J-jadi … pegang sebentar,” ucap Shena terbata.
“Itu bukan pegang,” sahut Firza.
“Peluk lengan,” ucap Shena, meringis.
“Memeluk,” ulang Firza.
Shena mengangguk sambil membasahi bibir lalu menjauhkan diri dari Firza. Merasa kalau wajahnya saat itu pasti merah. Di tambah lagi ia melihat noda lipstik di kemeja Firza. Matanya mendelik.
"Sekarang udah nyampe di mana?" tanya Shena, melirik noda lipstik yang ditinggalkannya.
Kalau enggak dikasih tau sekarang, Firza bisa malu kalau noda lipstik itu sampai dilihat orang. Atau bisa aja noda lipstik itu menimbulkan salah paham kalau dia ketemu istri atau pacarnya di tujuan nanti.
"Kalau perkiraanku nggak salah harusnya kita udah masuk ke wilayah Afrika. Biasa di layar ini kan keliatan kita udah nyampe mana. Tapi mungkin sambungan tv ke penumpang lagi error. Tv-nya juga belum bisa dinyalain sejak guncangan pesawat pertama terjadi.” Firza memalingkan wajah untuk menatap Shena.
"Ummm, Fir. Maaf yang tadi. Aku takut jadi….”
“Nggak apa-apa,” jawab Firza. Ia tersenyum sambil masih mengamati awak kabin ke sana kemari.
"Umm … Itu kemeja kamu lengannya kena lipstik ak--ku….” Shena mengatupkan bibirnya dan menatap Firza. Ia menunggu Firza mengecek lengan bajunya. Yang sesaat kemudian memang benar, Firza memutar sedikit lengan kirinya untuk melihat maksud Shena.
Firza menatap noda lipstik di lengannya. Bukan berbentuk bibir melainkan seperti noda lipstik yang dibersihkan dengan kapas. Ia lalu memandang Shena.
"Oh … ini? Nggak apa-apa. Pacarku bukan di Cape Town. Dia di daerah lain. Jadi, sampai di sana nanti aku nggak langsung ketemu dia. Jadi aku sempat mandi dan ganti baju. Nggak perlu khawatir,” ujar Firza seraya terkekeh.
Pacar ….
Tiba-tiba saja kekecewaan yang tidak dimengerti oleh Shena menyusup ke hatinya. Kenapa harus kecewa? Firza bukan siapa siapanya. Shena kemudian membalas senyuman pria itu.
"Oh, syukurlah. Tadi aku nggak enak. Sekarang udah lega karena orangnya udah tau.” Shena masih tersenyum dan Firza masih menatapnya. Senyuman itu tidak dipaksakan. Hanya senyuman itu tiba-tiba menjadi canggung. Tak mau berlama-lama saling menatap, Shena merogoh ponselnya dari tas. “Mumpung lagi tenang, aku baca-baca chat yang belum sempat aku balas tadi.” Shena lalu berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Meski yang baru dikatakan Shena hanya sebuah alasan, tapi hal itu membuatnya tanpa sengaja membuka aplikasi pesan dan kembali melihat ratusan pesan dari Ramon.
Shena nyaris mendengus keras. Ramon memang mencoba menghubunginya, tapi laki-laki itu tidak benar-benar mencarinya. Saat ia masih berada di Jakarta kemarin, kenapa Ramon tidak mendatanginya? Kenapa laki-laki itu cuma minta maaf berkali-kali melalui pesan? Shena menggeleng. Pria itu memang tidak benar-benar mengusahakan kebaikan untuknya. Kesedihan kali ini benar-benar beralasan.
Percakapan singkat soal pacar bersama Firza barusan kembali membangkitkan kerinduannya pada Ramon.
Firza yang berada jauh di ketinggian puluhan ribu kaki masih mengingat untuk menjaga perasaan wanita yang dicintainya. Sementara Ramon, hampir tidak ada usaha apa-apa untuk memperjuangkannya.
Shena membuka pesan dari Ramon yang sejak dari Jakarta diabaikannya, dirinya mencari kata-kata yang paling manis. Misalnya, “Aku udah bilang ke mama kalau aku akan tetap menikah dengan kamu."
Tapi meski Shena menggulir pesan itu sampai jarinya pegal, ia cuma melihat pesan Ramon berisi, "Kamu di mana? Aku minta maaf. Kamu jangan telat makan. Kalau kamu butuh bantuan hubungi aku. Aku banyak salah sama kamu." Hal-hal yang dikatakannya hampir serupa dan mirip-mirip. Tapi tetap tidak ada menceritakan usaha yang dibuatnya.
Sekarang aku cuma punya Ibu dan Kak Shinta. Nggak ada siapa-siapa lagi. Ramon yang kuanggap seperti kekasih dan sahabat sekaligus, sekarang nggak ada lagi.
Kenapa harus ingat Ramon lagi? Kenapa aku jadi sedih? Apa aku nggak cukup berharga buat Ramon? Kenapa dia nggak bisa menolak perjodohannya?
Matanya terasa panas dan penuh. Pelan-pelan Shena menghapus air matanya sebelum turun. Tak mau kalah Firza melihat dan bertanya. Pria itu pasti akan mengira kalau ia menangis karena guncangan pesawat tadi.
Ketika Shena diam-diam menghapus air mata, ia melihat Firza dari sudut matanya. Pria itu merebahkan kepala dengan mata memejam.
“Syukurlah,” batin Shena.
******
Firza mencoba mencari kesibukan. Ia tidak mau membuat Shena malu karena memergokinya menangis. Gadis itu sudah bersusah payah menyembunyikan tangisnya. Sejak tadi Firza sadar kalau tujuan Shena ke Afrika sendirian bukan hanya sekedar jalan-jalan.
Firza menebak kalau sana sedang mencoba lari dari sesuatu. Walau terlihat ceria, Firza tahu kalau Shena menyimpan banyak hal. Gadis itu tidak menceritakan semuanya dengan gamblang. Ada bagian-bagian yang sengaja tidak disebut. Firza memberi Shena ruang privasi. Hak semua orang untuk bersedih dan diam menikmati kesedihan itu sampai mereka sendiri yang membuka diri.
Firza memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Ia sangat berharap kalau itu adalah air mata terakhir Shena untuk kesedihan yang sama.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Bakul Lingerie
apa karena udah lama banget sampe memori pertemuan Shena - sama Firza terasa agak samar. Kayaknya dlu pas baca, setelah Firza bangunin Shena, mereka ga ngobrol se aktif ini. apa cuma perasaanku aja ya😅
2025-01-31
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
😁
2024-11-01
0
🥑⃟вуυηgαяι
aaaa mo atu cwok kek Firza😩😩😩
2024-07-26
0