Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre Thriller - Romance 21+ (adult-romance) dan sedang dalam tahap revisi tanda baca.
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...____________________...
"Kira-kira aku perlu baju yang mana selama di Afrika, ya? Kayaknya perlu celana pendek beberapa. Di sana panas, kan?" Shena bicara pada dirinya sendiri. "Kayaknya perlu pakaian-pakaian tipis juga .... Apa aku sekalian pisahin yang mana buat dibawa dan mana yang mau aku singkirkan. Semua yang dikasih laki-laki itu harus segera disingkirkan. Biar nggak bikin pusing." Shena bergerak cepat mencari kardus cokelat yang pernah ia pakai buat pindahan.
Setelah membereskan bawaannya dalam satu koper yang ringkas, Shena juga menatap puas sebuah kardus yang sudah terisi penuh. "Beres. Afrika Selatan yang selama ini cuma ada dalam wishlist, kayaknya bakal segera bisa jadi tempat healing. Dan untuk baju-baju penuh kenangan ini, udah saatnya aku buang semua." Shena tersenyum kecut.
Afrika Selatan memang terlalu jauh untuk jalan-jalan kalau memang tidak menyukai jalan-jalan. Dan Ramon adalah salah satu manusia yang tidak menyukai jalan-jalan. Bagi Shena selama tiga tahun terakhir, tidak apa tidak traveling ke mana-mana. Bali dan Jogja sudah cukup asal bersama lelaki yang diimpikannya menjadi Ayah anak-anaknya kelak.
Shena merasa, kadang ia tak bisa memungkiri, kalau cinta bisa membuatnya menerima segala ketidakcocokan orang yang ia cintai.
Keputusan Ramon mengakhiri hubungan mereka karena 'dijodohkan' seperti membuat 'singa' dalam diri Shena yang sudah lama tidur bangun kembali. Kenaifannya selama ini pun setiap hari disalahkannya. Tiga tahun yang mereka jalani tak cukup membuat Ramon mempertimbangkan dan memperjuangkan dirinya.
Shena berdiri di jendela dan melemparkan pandangannya keluar. Diam-diam ada bagian dalam dirinya yang bersyukur.
"Gimana kalau aku beneran nikah dengan Ramon? Bisa-bisa rumah tanggaku berada dalam kendali ibunya. Mau ganti tirai jendela pun bisa jadi harus nunggu persetujuan Ibu Komisaris." Shena menghela napas panjang, namun masih berat.
*****
"Yayuk ... ini ada kardus yang isinya penuh pakaian bekas aku. Boleh kamu bawa pulang dan bagi-bagi ke siapa pun yang mau kamu bagiin." Shena menepuk kardus besar di sebelah sofa. Yayuk yang baru tiba di apartemennya termangu-mangu melihat kardus yang katanya berisi pakaian.
"Isinya pakaian semua?" Yayuk mengitari kardus.
"Iya, pakaian semua. Nggak mungkin hewan peliharaan disatuin sama baju-baju. Kamu bisa panggil satpam lobi buat bantu bawain itu. Hari ini aku mau ke embassy buat ngurus visa ke Afrika." Shena meletakkan cangkir tehnya dengan mata yang tak lepas dari ponselnya.
"Afrika Selatan? Ngapain? Bukannya Afrika itu hutan semua ya, Mba?" Yayuk meninggalkan kardus dan mendekati meja tinggi tempat Shena menghabiskan sarapannya. Obrolan soal Afrika mulai menarik perhatian. "Memangnya Mbak Shena nggak kerja lagi? Biasa jam segini udah di kantor. Pasti buru-buru berangkat."
"Statusku sekarang pengangguran dan nggak ada hal yang mau aku kejar sampai harus buru-buru. Aku mau liburan dulu dan nyari kerja santai-santai. Ramon ngasih aku duit banyak sebagai tunjangan putus dan kompensasi keluar dari perusahaan." Shena terkekeh-kekeh karena kata-katanya sendiri.
"Putus? Mbak Shena putus dari Pak Ramon yang cakep itu? Rugi dong ...." Yayuk masih terheran-heran.
Shena menggeleng. "Nggak rugi. Cuma sakit hati karena laki-laki yang dikira bakal ngebela mati-matian tapi malah ngelepeh begitu aja. Untuk sekarang aku nggak mau ngomong soal itu dulu." Shena berdiri dan meraih tas.
"Kenapa harus ke Afrika, toh, Mba .... Masih banyak tujuan lain. Ke Lampung aja, ke kampung halaman saya. Sekalian saya bawa kardus isi pakaian itu ke Lampung." Yayuk mulai menumpuk piring Shena.
"Aku udah lama banget kepengin ke Afrika Selatan. Bahkan dari sebelum aku kenal Ramon." Shena menerawang beberapa detik. "Oh, ya .... Pakaian itu masih bagus-bagus banget. Nggak ada yang rusak. Aku cuma udah nggak kepengin lagi ngeliat apalagi buat make."
"Baju-baju dari Pak Ramon rupanya," ucap Yayuk.
"Semoga suatu hari nanti aku bisa ketawa nginget pernah menyingkirkan sekardus pakaian bagus." Shena nyengir dan menuju pintu untuk memakai sepatunya.
*****
Sudah hampir setengah jam Shena memandangi paspor yang sudah ditempel dengan visa Afrika Selatan yang pembuatannya memakan waktu hampir dua minggu. Besok dia akan berangkat dan malam itu Kak Shinta mengatakan mereka harus mengobrol di telepon karena wanita itu keesokan harinya tidak bisa mengantarkannya ke bandara.
"Kenapa harus Afrika Selatan?"
Pertanyaan itu kembali muncul dalam percakapan bersama Kak Shinta. Saat itu Shena hanya tertawa kecil dan menanggapi setengah serius awalnya.
"Yang pertama adalah karena semboyan Afrika Selatan sama dengan semboyan negara kita yang kalo diartikan itu bermakna, walaupun berbeda-beda tetap satu jua."
"Serius, dong, kamu ...." Kak Shinta berdecak nyaris merajuk di seberang telepon.
"Bukan alasan yang penting banget, sih, Kak. Dulu almarhum ayahku pernah janji kalau suatu hari nanti beliau bakal ngajak aku safari ke Afrika Selatan. Karena dulunya beliau atlet makanya sering pergi-pergi. Ayah suka jalan-jalan ke tempat yang nggak biasa. Aku rasa hobi itu nurun ke aku tapi tiga tahun belakangan aku pacaran sama laki-laki yang kurang tepat."
Usai percakapan di telepon itu, Shena kembali tercenung mengingat almarhum ayahnya. Selaku mantan atlet nasional, ayahnya memang sering bepergian jauh. Yang mana hobi masa muda ayahnya itu tidak bisa lanjut saat sudah menikah karena kehidupan mantan atlet zaman dahulu tidak semudah sekarang. Ayah Shena berakhir menjadi seorang petugas keamanan di sebuah perusahaan BUMN di usianya yang tak lagi muda.
Tapi menurut pengakuan ayahnya, diterima sebagai satpam BUMN bisa dianggap jauh lebih beruntung. Om Yono; sahabat karib ayahnya harus menghabiskan masa tua menjadi penarik becak.
"Akhirnya packing selesai juga." Usai bertelepon bersama Kak Shinta, Shena kembali mengecek bawaan.
Setelah beres, dia menumpuk bawaannya di dekat pintu dan menyambar secangkir cokelat hangat sebelum berdiri di dekat jendela. Tirai ya sengaja belum ditutup karena dia sedang ingin melihat langit malam. Tirai itu sebenarnya memang jarang ditutup. Terutama kalau Ramon datang ke apartemennya dan bermalam di sana. Mereka akan duduk di sofa sambil berpelukan dan mengobrol ngalor-ngidul.
Malam itu hujan kembali turun seolah kembali ingin merayakan kesedihannya. Memaksa mengingat sosok Ramon si pria baik dan romantis. Ramon yang selalu ada saat dia membutuhkan. Pria yang tahan bercumbu sepanjang malam tanpa harus membuatnya kehilangan keperawanan.
"Ternyata kamu niatnya gitu ...," gumam Shena, menyeruput cokelatnya. Shena kemudian menggigit bibir membiarkan kenangannya bergulir jauh. Mumpung belum berangkat sepertinya dia ingin mengingat apa yang biasa mereka lakukan di ranjang saat di luar hujan. "Aku kangen ... tapi aku tau kamu nggak akan punya banyak usaha untuk aku karena kamu pengecut."
Air mata Shena kembali menetes. Walau memang jahat sekali karena menerima perjodohan dari ibunya begitu saja, Shena harus mengakui kalau Ramon adalah pria normal yang baik. Tidak pernah sekali pun Ramon kehilangan kendali untuk menuntaskan hasrat dan keinginannya sebagai seorang pria meski napas mereka sudah sama kasarnya.
Ramon selalu membuatnya merasa sebagai prioritas utama, dan Ramon seperti selalu membiarkannya menang dalam hal apapun.
Begitulah Ramon yang terasa seperti danau. Selama berpacaran dengan Ramon dia juga tak pernah berharap akan datangnya ombak atau derasnya arus. Karena sejatinya danau yang akan tenang menunggu angin untuk meriakkan permukaannya.
Shena melirik ponselnya di mana sudah tertera 13 panggilan tidak terjawab dari Ramon. Malam itu hanya ada satu orang yang menghubunginya. Pesan Ramon pun masuk bertubi-tubi malam itu.
"Shena .... Kamu lagi apa?"
"Jawab telepon aku, Shen. Aku mau ngomong."
"Kamu kecewa ya?"
"Shen...."
"Kamu lagi dimana?"
"Udah makan?"
"Kamu jadi berangkat?"
"Kapan berangkat?"
"Aku mau ketemu."
"Aku mau ngomong."
Shena tersenyum kecut. Sebenarnya bisa saja sekarang ke studionya saat itu. Dengan membawa bunga atau apa saja seperti yang selalu dilakukan Ramon setiap mereka bertengkar. Ramon pasti tahu kalau untuk mengobrol, Shena pasti akan meladeninya sambil memeluk sebuket bunga. Ramon bukan tidak bisa melakukannya, tapi pria itu tidak mau.
Shena mencampakkan ponsel dan merebahkan dirinya di ranjang. Setelah berpikir beberapa detik, dia memadamkan ponselnya dan bergegas tidur. Shena tidak mau kalau ia sampai khilaf membalas pesan Ramon.
Menangis sebentar tidak apa-apa, pikirnya. Hari ini adalah hari terakhir menangisi Ramon. Besok dia akan berangkat ke Afrika Selatan dan bertemu dengan orang-orang baru dalam perjalanan.
Lelah menangis, akhirnya Shena menyerah. Ia jatuh tertidur dengan wajah basah dan mendekap ponsel yang padam. Esok harinya ia tersentak karena alarm bertubi-tubi yang disetelnya kemarin malam.
"Kenapa masih telat, sih? Kayaknya udah bangun pagi tapi kenapa selalu berangkat buru-buru?" Shena memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. "Yayuk ... Yayuk ... gue berangkat! Eh, saya berangkat!"
"Nggak apa-apa ngomong pakai gue juga lebih asyik, Mbak." Yayuk muncul terkekeh-kekeh seraya menyodorkan tas Shena. "Hati-hati di jalan, ya Mbak. Saya bakal dateng setiap hari seperti biasa. Dateng pagi pulang sore. Aman pokoknya. Mbak Shena liburan aja."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Bakul Lingerie
meskipun Ramon se pengecut itu, tp ga bs benci sama Ramon. Dia tulus sayang dan ga manfaatin Shena.
Ternyata Abang yg "pertama" buat Shena ya, waaah😍
2025-01-30
1
Dewa Rana
baca lagi utk kali kedua thor
2024-12-04
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
mending batalin aja deh shen, liburannya..
😕
2024-11-01
0