Shena meraba-raba dahinya yang sekarang terasa perih. "Ini sakit," kata Shena.
"Kamu terbentur," ucap Firza, membuka tas Shena mencari-cari sesuatu yang bisa dipakainya untuk membersihkan luka itu. "Pakai ini aja. Agak perih." Dia mulai membersihkan luka robek di dahi Shena.
Shena meringis. Banyak hal yang disyukurinya hari itu. Pakaiannya tidak membuatnya kesulitan. Berangkat tadi ia memakai celana jeans biru gelap, kaos oblong putih dan kemeja lengan panjang berwarna biru yang dibiarkannya tak terkancing. Andai ia pergi mengenakan rok, suasana saat itu pasti akan berbeda. Dan hal paling utama yamg disyukurinya adalah dia masih bisa melihat langit. Shena menghela napas.
"Maaf kalau aku membersihkannya begini. Tapi sementara ini cukup." Firza mengulas senyum memandang Shena.
"Makasih," ucap Shena, ia berusaha berdiri dengan berpegangan pada Firza. Dia mengamati sekeliling. "Kayaknya cuma kita yang orag Indonesia," bisik Shena.
Ada dua orang yang mungkin penduduk asal Afrika yang kemungkinan besar juga adalah rekan kerja, terlihat mereka terus berbicara dalam bahasa Inggris fasih. Lalu ada pria dan wanita muda berwajah oriental dari Singapura yang akan berbulan madu. Kemudian dua orang gadis Malaysia berusia dua puluhan. Lalu yang berdiri paling ujung ada tiga orang pria muda asal Singapura. Yang terakhir adalah Firza dan Shena, dua orang asing yang baru kenal beberapa jam terakhir.
Dilihat dari kejauhan, badan pesawat seakan terbagi dua. Terkoyak hampir tepat di tengah.
Posisi kami sekarang di sini. Kayaknya Firza cukup jauh gendong aku. Apa dia nggak kesulitan?
Shena meringis menatap Firza yang masih mengamati pesawat. Kondisi pesawat itu kini semakin mengerikan. Tiba-tiba Shena membekap mulutnya. "Fir," pekik Shena dengan suara tertahan. "Bu Sofia masih di dalam, kan? Apa Bu Sofia berhasil dibawa keluar dengan awak kabin?"
Firza ikut tersadar. "Bisa jadi yang selamat bukan kita aja," jawab Firza.
Saat itu mereka berdiri dengan jarak hanya sekitar 50 meter dari pesawat yang porak poranda. Mereka berdiri mematung mungkin dengan berpikiran yang sama. Takut ledakan susulan bakal terjadi, mengingat barang bawaan yang tak sempat dibawa, berpikir siapakah lagi yang berhasil menyelamatkan diri atau berpikir kapan bantuan akan datang menyelamatkan mereka.
"Bu Sofia sendirian. Bu Sofia nggak sempat ketemu cucunya." Shena kembali menangis. Ia terisak pelan. Rencana semua orang berganti dalam sekejab. Ketakutan membawa Shena tanpa sadar menggeser tubuhnya ke dekat Firza. Ia memeluk lengan Firza dan menangis di sana. Dan tak hanya dia. Suara isakan tangis terdengar di sekitar mereka.
Firza hanya diam berdiri mematung. Masih sama terkejutnya.
******
Firza menyadarkan kelompok kecil mereka dengan bertanya dalam bahasa Inggris, "Apakah kalian baik-baik saja?"
Semua orang tampak tersadar dari lamunannya masing-masing dan menjawab dengan isi yang hampir sama, "Sepertinya begitu." atau "Kami baik-baik saja."
"Dari ratusan penumpang kita di sini ada tujuh orang. Bisa jadi ada penumpang selamat di sisi lain pesawat ini." Firza bicara sambil memandang semua orang. Tiga orang pemuda yang berdiri paling jauh dikenalinya saat berada di pesawat.
"Saya yakin kalau sejak tadi saya selalu dalam keadaan sadar. Saya tidak melihat pramugara yang membantu kita keluar. Bisa jadi dia sekarang selamat dan membantu penumpang selamat lainnya." Meski berkata begitu dalam hati Firza masih bertanya-tanya ke mana semua orang tadi.
"Jadi ... apa yang kita lakukan sekarang?" tanya seorang pemuda dari kejauhan.
Firza melirik Shena yang beringsut menjauhi lengannya. Mungkin wanita itu menyadari kalau posisi mereka bahkan lebih mesra dari pasangan bulan madu yang hanya bergandengan tangan. Setelah melihat Shena menyeka air matanya dengan ujung syal, Firza mengatakan, "Kita tetap dalam satu kelompok. Jangan berpencar."
Jujur saja saat itu Firza lega. Dia tidak mau terlibat perasaan apa pun bersama Shena. Mereka sedang sama-sama butuh pertolongan. Dia benar-benar tidak mau terbawa perasaan.
Shena yang dari luar terlihat kuat ternyata wanita yang berani tapi cengeng.
"Kita jangan berpisah," kata Firza dengan sepasang mata tertuju pada Shena. Mereka berdua berpandangan. Ia memastikan Shena mengerti maksudnya. Dan seperti apa yang diinginkannya, Shena mengangguk samar tapi seraya membuang pandangannya. Entah kenapa ia sedikit kecewa.
"Kita harus tunjuk satu orang sebagai pemimpin. Bagaimana kalau kamu saja?" tanya pemuda lainnya pada Shena.
"Tidak harus ada pemimpin sebenarnya," ucap Firza pelan.
Ada perasaan tidak enak menyergapnya. Di saat tidak tepat ia kepikiran Risa.
Firza melihat jam pintar di pergelangan tangannya. Sudah satu jam berlalu sejak ledakan yang terakhir. "Sisa 40 persen," ucap Firza saat melihat sisa daya jamnya.
Firza lalu mengeluarkan ponselnya dari saku dan mulai memadamkan mode terbang. Sesuai dugaannya, tidak ada perbedaan antara mode terbang dan mode normal di tengah hutan ini.
Tampaknya jam analog di pergelangan tangan Shena bisa diandalkan kalau-kalau jam pintarnya padam. Ketika Firza mengecek ponselnya, beberapa orang dari kelompok mereka pun terlihat melakukan hal yang sama. Saat mengetahui hasilnya, mereka saling bertukar pandang dan mengangkat bahu.
Salah seorang pria yang tampak sebagai penduduk asli Afrika mengeluarkan suara, "Menurutku beberapa dari kita perlu melihat ke bangkai pesawat. Mungkin saja kita menemukan sesuatu."
Pria itu bicara sambil melihat berkeliling dan pandangannya berhenti di Firza.
Firza mengangguk, "Saya setuju kalau beberapa perwakilan dari kita perlu kembali melihat bangkai pesawat untuk menemukan sesuatu. Siapa tahu ada alat komunikasi, makanan atau obat-obatan. Atau selimut. Kita harus menghalau dingin dan serangga."
Setelah berunding beberapa saat, ketiga pemuda asal Singapura memutuskan berangkat semua, lalu ditambah dengan Firza, dan Mike si empunya usul."
"Tidak masalah kalau tidak bisa ikut. Aku akan membagi kepada kalian apa yang aku dapatkan." Firza mengangguk pada suami dari pasangan bulan madu. Firza melihat kaki pria itu terluka dan istri pria itu menunjuk kali suaminya pada Firza.
Sebelum pergi, Firza membawa tubuh Shena untuk duduk dan bersandar di sebuah pohon.
"Pohon ini mudah-mudahan aman. Aku udah cek di tanaman sekitar. Setidaknya nggak ada ular," kata Firza mencoba bercanda di wajah Shena yang sedikit kacau.
"Kamu serius mau ninggalin aku sendiri di sini? Aku nggak kenal yang lain, Fir," bisik Shena.
"Aku juga sebenarnya enggak mau ninggalin kamu di sini. Tapi kaki kiri kamu terluka. Ada luka dan keseleo."
"Ini keseleo?" tanya Shena.
"Sudah aku raba. Itu keseleo bukan patah. Aku perlu ke bangkai pesawat buat cari kotak P3K, siapa tau ada. Meski agak mustahil karena isi pesawat udah berhamburan dan hangus. Tapi aku rasa nggak ada salahnya buat liat ke sana."
"Kayaknya aku memang nggak bisa melarang kamu," ucap Shena dengan nada lesu.
"Aku memang harus pergi, Shena. Inget, di antara orang-orang di sini, cuma kita yang berangkat sendirian. Mereka punya teman seperjalanan yang bisa dipercaya. Dalam keadaan darurat dan situasi yang berbahaya, sifat asli manusia akan keluar. Kita harus waspada dan saling percaya. Kamu harus waspada. Kalo ada yang nanya, bilang aja kamu tunangan aku. Biar ga ada yang macem-macem." Firza memberi wejangan dengan berbisik dan melihat ke kanan-kiri.
Shena mengangguk. "Oke, tunanganku?" ucap Shena meringis. Seolah tenaganya sudah terkuras karena kaki kirinya mulai berdenyut sakit. Keringat dingin membasahi dahinya, bibirnya hampir tak berwarna.
"Kamu memang perlu obat," kata Firza, menyingkirkan rambut Shena dari dahi dan merabanya. "Aku nggak mau kamu sampai demam." Firza lalu bangkit.
Shena menarik ujung kemeja Firza. Pria itu menunduk dan memandangnya. "Jangan lama-lama," ucap Shena dengan parau.
Firza tersenyum dan mengangguk. Shena melihat punggung Firza perlahan menghilang di balik pepohonan bersama keempat pria lainnya. Sementara yang tertinggal semuanya sudah duduk mencari tempat beristirahat paling nyaman.
Para penumpang yang selamat belum banyak berbicara satu sama lain, semua sibuk dengan aktifitas memeriksa keadaan diri sendiri dan teman seperjalanannya.
Mereka semua sama syoknya. Mereka belum siap bercerita atau pun bertanya tentang hal yang baru saja menimpa mereka.
Dalam hati Shena berharap kalau Firza bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Selain kepala dan kakinya yang berdenyut, lambungnya juga sudah mulai teriak minta diisi. Shena juga berharap hilangnya pesawat mereka dari radar cepat dideteksi dan dicari keberadaannya, hingga mereka tak perlu berada lama di hutan untuk bertahan hidup.
Pikirannya melayang ke percakapannya barusan bersama Firza. Senyum hangat pria itu berhasil menenangkan hatinya yang sedang tak karuan.
"Aku benar-benar nggak kenal dia. Firza benar-benar stranger from nowhere. Orang asing yang entah dari mana," Shena bicara dalam bisikan.
Memang sulit dipercaya. Dia tidak mengetahui apa pun soal Firza. Andai Firza seorang anggota gangster pun ia pasti tidak tahu.
Siapa nama lengkapnya?
Apa pekerjaannya?
Apa dia punya pacar? Atau istri?
"Nanti aku harus tanya Firza," ucap Shena kemudian.
Shena biasanya memang selalu blakblakan. Dia juga bukan orang yang bisa disebut penyabar. Tapi sikap bukan penyabar itu tidak berlaku untuk situasinya saat putus dari Ramon. Ia sabar tidak membuka pesan-pesan pria itu. Dia takut mendengar andai ada kenyataan lain yang tidak ingin didengarnya.
Laki-laki yang udah lama sama-sama denganku aja nggak bisa dijadikan tempat bergantung. Nggak bisa dipercaya dan nggak ngebela aku. Jadi ... sepertinya aku juga harus hati-hati dengan Firza. Dia cuma orang asing.
Shena kembali meraba dahinya yang sepertinya membengkak. Dia lalu melemparkan tatapan ke tempat di mana Firza menghilang tadi. Shena mau Firza cepat kembali.
Maaf, Fir.
Untuk saat ini aku nggak akan peduli dengan siapa kamu nanti setelah kita selamat dari sini.
Saat ini aku harus memikirkan diriku sendiri. Aku nggak mau jadi orang baik terus.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Herlina Lina
ada benerny wejangan firza
2024-07-06
1
lily
syok berat
2024-06-15
0
ShuChade🌈
Like..
2024-04-28
0