Shena membuka mata pelan-pelan. Ia terbangun karena suara seorang pria di depannya cukup keras.
"Pesawat ini sepertinya mengalami sesuatu. Ada sesuatu yang salah," ucap pria itu. Shena seketika menegakkan duduknya.
Rasa cemas yang menyusup cepat membuat Shena menoleh pada Sofia. Wanita teman perjalanannya tadi menunduk berdoa. Sedangkan Firza memegang buku dan terlihat berusaha keras mengendalikan dirinya.
"Turbulence lagi?" tanya Shena pada Firza dengan bisikan.
Firza mengangguk. "Pesawat ini memang kayaknya terus menerus kena turbulence. Tapi belum tentu penyebabnya cuaca." Firza ikut menjawab dalam bisikan.
Baru saja mereka bicara, satu persatu penumpang terbangun. Seakan bisa merasakan kekhawatiran dari yang terjaga sejak tadi, penumpang yang sejak tadi tertidur kini mulai terlihat khawatir. Shena mengawasi sekitarnya dan berpikir bahwa dia juga harus waspada. Pikiran itu mungkin baru lewat sedetik dari benaknya sampai tiba-tiba pesawat kembali melorot.
Tanpa meminta persetujuan lagi, Shena membenamkan wajahnya di lengan Firza. Pesawat terus melorot seakan kehilangan tenaga. Jeritannya teredam di tenggorokan. Firza yang ikut merasakan itu refleks memegang kepala Shena.
Pesawat terus berguncang keras dan terus melorot. Masker oksigen berhamburan keluar dari bagian atas kepala. Penumpang sudah mulai berteriak-teriak panik. Pengumuman Pilot di speaker tak sampai ke telinga Shena yang tenggelam dalam doa.
Dia menyadari Firza memakaikannya masker oksigen seperti sedang mengurus anak kecil yang ketakutan.
Saat masker telah terpasang. Firza berteriak, "Merunduk, merunduk sekarang. Posisi ini," jerit Firza.
Shena seakan membeku. Ia mengerti apa yang dikatakan Firza tapi tenaganya hilang entah ke mana. Air matanya mulai menetes.
"Aku bantu...aku bantu. Shena kamu harus tetap sadar," ucap Firza, sambil membantu Shena membuat posisi melindungi kepalanya. Firza memegang punggung Shena dan mengarahkannya ke depan. Firza meletakkan tangan Shena menyilang di atas kepala.
"Firza, aku takut," bisik Shena dalam masker oksigennya.
"Kita hampir sampai. Hampir sampai. Matahari sebentar lagi terbit. Shena...." Ucapan Firza tidak selesai. Pesawat semakin lama semakin kehilangan keseimbangan.
Shena memejamkan mata. Ia rindu dengan tanah. Rindu kakinya menginjak bumi. Shena terus menangis. Terbayang wajah ibunya. Kapan terakhir kali ia bertemu ibunya? Tiga bulan lalu. Pulang dari kampung halaman ia selalu dibawakan lauk oleh ibunya. Semua masakan ibu selalu enak. Apakah setiap orang yang mau meninggal akan merasakan hal seperti ini? Ia sedang mengingat hal-hal yang membahagiakan hatinya.
Shena selalu bilang itu terlalu banyak untuk dimakannya sendirian. Dan Ibu selalu meyakinkannya kalau itu semua pasti akan habis. Dan seperti biasa, ibunya selalu benar. Ibu yang sekarang katanya lebih nyaman tinggal di kampung halaman kakek mereka di Subang sambil bercocok tanam hidroponik. Tidak mau tinggal bersamanya di Jakarta yang selalu kekeuh pengen tinggal di kota demi memanfaatkan ijazahnya.
Dalam hati Shena memanggil-manggil ibunya. "Ibu ... Shena takut."
Aku mati muda. Dicampakkan. Nggak nyangka aku bakal menyusul ayah secepat ini. Kasian ibu sendirian sekarang.
Ayah ... jangan sekarang. Kasian ibu sendirian.
Detik berikutnya pesawat sedikit bergerak. Pesawat itu berusaha menaikkan moncongnya. Tapi sepertinya tidak berhasil. Pesawat semakin oleng. Bergerak kencang menuju hutan belantara Afrika.
Dengan tangan yang sangat basah oleh keringat, Shena mendengar suara teriakan penumpang. Ia tidak berteriak. Bahkan tenaganya tidak ada.
Shena mengepalkan tangannya erat-erat di atas kepala. Suara gemuruh udara dan mesin pesawat nyaris memekakkan telinga. Terdengar bunyi ledakan beberapa kali. Penumpang yang semakin panik menjerit-jerit semakin keras. Bahkan sebagian tidak peduli dengan masker oksigennya. Dalam hati Shena yakin kalau pilot akan membawa pesawat itu dengan sebaik-baiknya. Pilot akan memberikan yang terbaik.
Sepersekian detik kemudian, pesawat seperti menghantam sesuatu yang bukan tanah. Shena terdorong ke depan, kepalanya menghantam bagian depan kursi. Tutup bagasi terbuka dan melontarkan isinya. Sebagian mengenai kepala penumpang. Shena sempat melirik Sophia teman perjalanannya dari Jakarta ke Singapore tadi, tampaknya Sophia pingsan.
"Bu Sofia! Bu Sofia!" Shena menjerit tak berdaya.
Belum lagi selesai ketakutan itu pesawat kembali menghantam sesuatu yang lebih besar. Kali ini Shena terbentur lebih keras. Sepersekian detik sebelum ia tidak sadarkan diri, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan kakinya.
******
Firza bisa melihat mulut Shena yang meringis dan memanggil-manggil ibunya. Tak hanya Shena yang takut, dia juga sama takutnya. Dia tak pernah membayangkan berangkat dengan tubuh segar bugar dan sehat tapi besok namanya akan masuk ke daftar nama korban jatuhnya pesawat.
Bayangan Risa menyeruak ke pikirannya. Risa yang lembut dan selalu penuh pesona tegas. Risa seorang perempuan yang punya tekad baja ingin mengabdikan hidupnya pada kemanusiaan.
Dia terbang jauh-jauh ke Afrika untuk memberi kejutan pada pacarnya itu. Kejutan itu diharapnya menjadi hal yang luar biasa. Dia berhasil mendapat pekerjaan di sana dan dan peringatan hari jadi mereka di tahun ketiga. Dia berencana melamar Firza kekasihnya itu. Risa tak akan tahu kalau dia jadi korban kecelakaan pesawat. Karena sebelum berangkat dia tak memberitahu siapa pun.
"Kejutan? Orang yang akan terkejut," bisik Firza nyaris tanpa suara.
Hempasan keras terakhir kali membuat suara penumpang bilang sebagian. Dia sendiri mampu mempertahankan posisinya. Ia mengangkat kepalanya. Memandang bagian depan pesawat yang robek. Posisi pesawat belum aman. Hutan dengan pohon yang mungkin berusia ratusan tahun itu kedatangan tamu raksasa. Firza menebak kalau mereka tersangkut di antara pepohonan. Pesawat luar biasa besar itu entah membentur apa.
Walau bisa dibilang posisinya tidak bergerak, Firza menyadari kepalanya berdenyut hebat dan darah segar menetes ke pelipisnya. Ia tertimpa salah satu bawan penumpang tapi nyaris tidak terasa. Mungkin karena rasa takut yang lebih besar, pikirnya.
Dia mengguncang tubuh Shena yang kehilangan kesadaran entah kapan. Percikan api muncul dari sisi kiri bagian pesawat yang robek namun pesawat belum berhenti melorot. Dan untuk kesekian kalinya Firza merasakan tubuhnya seperti jatuh tidak menjejak ke bumi. Layaknya sensasi mengerikan yang kerap dialami setiap orang dalam tidurnya. Melayang jatuh dari tempat tinggi dengan kaki yang berusaha mencapai tanah.
Lalu dentuman keras mengakhiri sensasi itu. Pesawat jatuh miring ke kanan, dengan bagian depan pesawat yang sudah tidak jelas bentuknya.
Percikan api belum berhenti ketika seorang awak kabin berteriak memberikan komando untuk pergi ke arah pintu darurat bagian kiri.
"Pelan-pelan! Jangan saling mendorong. Pelan-pelan," teriak seorang awak kabin. Ia memberi instruksi dengan berusaha terlihat tenang. "Yang bisa berdiri pelan-pelan silakan ke bagian kiri."
"Pintu tidak bisa dibuka. Jangan lewat sana. Maaf mengatakan ini tapi saat ini hanya bagian ini yang bisa saya pandu untuk keluar." Teriakan awak kabin ini tidak terlalu disambut oleh penumpang. Sebagaian besar tidak bergerak.
Harapan satu-satunya bagi penumpang yang selamat adalah keluar dari bagian kiri pesawat yang masih mengeluarkan percikan api. Beberapa penumpang tampak mencoba berdiri meski terhuyung-huyung.
"Shena! Shena! Ayo, sadar. Shena kita harus keluar." Firza meraba menyentuh leher Shena untuk memastikan wanita itu bernapas dengan benar. Meski wajahnya pucat pasi, Firza bisa memastikan kalau Shena tidak mengalami luka serius.
Dengan satu tangan Firza mengangkat tubuh Shena agar bertumpu padanya. Satu tangan lainnya berusaha melepaskan sabuk pengaman yang masih menempel. Tidak ada siapa pun di sana. Sepertinya hanya mereka warga negara Indonesia tersisa. Ia harus menyelamatkan Shena.
Firza tak sempat menghitung berapa penumpang yang sudah berhasil keluar dengan tangga darurat berbentuk slide yang direntangkan satu awak kabin tadi.
Setelah berhasil membebaskan Shena dari sabuknya, Firza memungut bawaan mereka dan memasukkan semuanya ke dalam tas tangan Shena. Namun ia sendiri tidak begitu beruntung. Tas cokelat kecilnya hilang entah ke mana.
"Sepertinya kamu pas di 50 kilo," gumam Firza saat sekuat tenaga mengangkat Shena.
"Tidak boleh berlama-lama berada di depan pintu darurat!" teriak awak kabin dengan bahasa Inggris. "Bawa dia bersamamu. Tapi kamu harus lebih dulu," pinta awak kabin tadi pada Firza sambil menunjuk Shena. Ia berjongkok dan membuat posisi tangan Shena aman. yang sedari tadi bekerja sendirian tampak memberi isyarat agar menurunkan Shena dan meminta Firza untuk turun lebih dahulu.
"Oke," ucap Firza yang paham dengan perintah awak kabin. Dia meluncur turun lebih dulu dengan tas tangan Shena berada dijepitan lengan kanannya. Setibanya di bawah, ia memberi kode pada awak kabin untuk meluncurkan Shena yang belum juga sadarkan diri. Firza menangkap tubuh Shena dengan cekatan.
"Oke, sekarang kamu sudah ada denganku. Kamu aman dan tetap tidak tau apa-apa." Bukan hanya karena sumpahnya sebagai seorang dokter untuk menyelamatkan nyawa manusia. Kaitan kisah di masa lalu membuat Firza merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan mereka berdua selamat. Dia tidak bisa lagi menganggap Shena orang asing.
Firza kembali menggendong Shena pada punggungnya untuk menjauhi pesawat karena khawatir pesawat itu akan meledak. "Ayo, kita menjauh. Menjauh," ucap Firza sendirian.
Sepertinya beberapa penumpang mendengar dan berpikiran sama dengannya. Mereka bergerak menjauhi pesawat.
Pohon-pohon yang rapat dan kontur tanah yang tidak rata sangat menyulitkan mereka. Fisik yang lemah karena kurang istirahat dan asupan makanan membuat Firza cepat kelelahan dan memutuskan berhenti untuk meletakkan Shena.
Firza berjongkok. Shena masih berbaring samban tubuh tersandar padanya. Sembari mengatur napas mereka semua yang ikut berhenti melihat ke arah yang sama.
Api yang tadi tidak bisa dipadamkan membakar pesawat pelan-pelan. Tidak ada suara kepanikan. Seakan semua suara hilang ditelan ketakutan dan kebingungan. Asap tipis mengepul ke udara karena api lebih besar melahap pesawat. Tidak ada yang tersisa. Tidak banyak orang yang berhasil selamat keluar.
******
Shena membuka mata karena mendengar ledakan. Dia menyipit karena ternyata pagi sudah datang. Saat matanya terbuka pemandangan pertama yang dilihatnya adalah kantong kemeja Firza dengan bercak darah yang sudah menggelap.
Lalu dia mendongakkan kepala. Ia melihat dagu Firza yang berjenggot tipis rapi tampak mendongak melihat ke arah sumber ledakan. Ternyata Firza memeluknya, tangan Firza melingkari tubuhnya.
Kami semua nggak di pesawat lagi. Udah di luar dan kayaknya yang selamat nggak banyak. Gimana Firza bawa aku turun? Dia keren banget ....
Detik Shena membatin soal Firza, Shena cepat-cepat memejamkan mata kembali.
"Shena .... Kamu udah sadar?"
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
bisa ku bayangkan rasakan takut, trauma ini mah, kalau aku bisa gemeteran sebulan ini
2024-12-23
1
Dewa Rana
bagus ceritanya Thor
2024-12-05
0
Wo Lee Meyce
mash asyik crtax,,,
2024-11-19
0