Semuanya berdiri kaku mencoba memahami maksud kata-kata Mike. Barusan dia berteriak kalau semua mayat penumpang yang tertinggal di dalam pesawat telah menghilang.
Shena tidak memiliki bayangan ada berapa mayat di dalam pesawat itu dan bagaimana kondisi mereka karena Shena memang tidak pernah memasukinya lagi sejak ia diseret keluar oleh Firza.
Mereka semua berhenti beberapa meter dari bangkai pesawat. Sudah sehari lebih mereka meninggalkan pesawat, dan sejauh itu tidak ada lagi tanda-tanda bahwa pesawat akan kembali meledak. Mereka semua setuju kalau pesawat sekarang berada dalam kondisi yang aman.
Firza mendudukkan Shena bersandar di sebuah pohon yang rapat, pria itu meletakkan tas parasut dan tas tangan Shena yang sedari tadi disandangnya. Firza mengeluarkan ponsel dari kantong celananya untuk mengecek daya baterai yang sudah menipis.
Meski di dalam hutan belantara itu tidak ada sinyal sedikit pun tapi dia tetap berharap bahwa ponselnya masih mengirim sinyal radio kepada para pencari pesawat.
"Ponsel kamu di tas, kan?" Firza bertanya tanpa membutuhkan jawaban karena dia langsung membuka tas Shena dan mencarinya sendiri.
Tak perlu waktu lama bagi Firza menemukan benda itu, karena tak berapa lama kemudian dia sudah mengetuk layar ponsel Shena untuk melihat daya baterainya.
Screen saver ponsel Shena menyala dan memperlihatkan wallpaper foto dirinya dan Ramon. Shena sedang bersandar manja sambil memonyongkan bibirnya dengan ekspresi lucu, dan pose Ramon yang tersenyum bahagia dengan tampannya.
Tanpa sadar Shena tersenyum tipis melihat wallpaper ponselnya. Tersenyum karena dia mengingat bahwa kenangan di balik foto itu sangatlah lucu dan membuatnya bahagia.
Dan sekarang dia kembali bisa mengingat dengan jelas wajah Ramon. Mungkin Ramon sudah menganggapnya menghindar dan menghilang tanpa jejak. Padahal dia berada di tengah hutan, sedang terluka dan ketakutan.
Shena tak bisa membayangkan jika dia berada di kondisi ini bersama Ramon. Karena sepanjang perjalanan mereka bersama, Ramon dan dirinya hampir tak pernah berada di posisi sulit.
Hubungan mereka dulunya adalah impian semua gadis. Pacar ganteng yang kaya dan baik hati. Tidak pelit, romantis tapi juga tidak peka.
Shena menepis pikirannya cepat-cepat dan kembali memusatkan perhatiannya pada pria di
sebelahnya. Firza melirik daya baterai ponsel Shena, dan berhenti lama melihat wallpaper ponsel itu.
Seperti tersadar dengan apa yang dilakukannya, Firza memasukkan kembali ponsel Shena ke dalam tasnya.
"Maaf. Ga bermaksud lancang, tapi aku perlu memastikan kalau ponsel kita bisa dipakai bergantian sebagai senter jika keadaan darurat. Sebisa mungkin kita harus menghemat baterainya," tutur Firza agak salah tingkah. Pria itu mendadak kaku seperti anak-anak yang ketahuan mencuri permen. Tangannya merapikan tali tas Shena yang sebenarnya baik-baik saja.
Shena agak geli karena selama mereka bersama, Firza menjadi seperti asistennya. Pria itu menjepit tasnya di lengan. Tubuh Firza yang maskulin tampak luwes membawa dan menjepit tas perempuan tanpa rasa risih. Bagi Shena, Firza tampak semakin menggemaskan.
Lagi-lagi Shena ingin menjitak kepalanya sendiri karena isi pikirannya.
"Ga apa-apa. Lagian kita udah berbagi pakai tas itu sejak awal, sejak tiba di hutan ini," balas Shena sambil tersenyum nyaris tertawa.
Firza terkekeh pelan. Kemudian ia menepuk tas yang masih di tangannya sambil bertanya, "pacar kamu?" Firza sedang membahas wallpaper ponsel Shena sekarang.
Shena menjawab santai, "tadinya dia pacarku. Sekarang udah ga lagi. Aku belum sempat ganti wallpaper. Aku diputusin. Dia dijodohin ibunya, dan bilang ke aku ga mungkin nerusin hubungan kami karena ga mau jadi anak durhaka. Keputusannya udah bener. Ga mungkin kita jadi anak yang durhaka. Tapi dia emang kayak ga ada usaha untuk memperjuangkan hubungan kami dari awal. Maklum, cinta beda kasta." Shena tertawa sumbang.
Shena merasa itu adalah penjelasan yang panjang untuk seorang pria asing yang baru saja dikenalnya. Tapi Shena tak ingin pria tampan di dekatnya sekarang ini mengira bahwa dirinya masih berpacaran dengan pria pengecut di screen saver ponselnya tadi.
Firza merasa tidak nyaman dengan perubahan atmosfer di antara mereka.
Shena menyadari Firza yang tampak seperti merasa bersalah menanyakan hal itu, cepat-cepat meneruskan bicaranya. "Oh aku ga apa-apa kok. Syukur kamu nanya hal itu, aku jadi ada teman cerita. Aku sekarang udah baik-baik aja. Meski hampir 3 tahun masa muda yang aku habiskan bersama mantanku itu jadi sia-sia tapi aku ga nyesel karena pernah ngerasa bahagia ama dia. Sama sekali ga ada yang aku sesali. Meski aku harus resign dari kantor yang notabene adalah milik keluarganya. Meski aku dicap sebagai cinderella gagal di kantor. Aku ga apa-apa. Aku traveling sendirian karena pengen ngelakuin suatu hal yang ga bisa aku lakuin saat kami masih sama-sama."
Shena menerawang dan kemudian beralih melihat Firza yang masih sibuk dengan tali tas miliknya.
Firza kemudian teringat bahwa jika seorang wanita mengatakan "aku ga apa-apa" hal itu berarti merupakan sesuatu yang sebaliknya.
"Kamu suka banget ya sama tas aku? Nanti kalo kita udah keluar dari sini kamu boleh ambil deh," canda Shena.
Firza tersadar dan melihat tangannya yang masih sibuk dengan tali tas. Kemudian mereka saling berpandangan dan tertawa.
Sejenak mereka lupa akan keadaan sekitar mereka yang gaduh. Ketiga pemuda sudah bergantian keluar masuk ke dalam pesawat untuk mencari kebenaran kata-kata Mike. Dan kesemuanya keluar dengan ekspresi ngeri di wajahnya.
Belum ada yang membuka mulut tentang apa yang mereka lihat di dalam pesawat. Ketiga pemuda itu cuma duduk berkumpul bersama Saida dan berbisik-bisik. Sekarang mereka menjadi satu grup. Saida sudah bergantung dengan ketiga pemuda yang sepertinya sudah sangat menerima kehadirannya di antara mereka.
Mereka semua sudah mendapatkan posisi duduk paling nyaman versi mereka masing-masing. Sudah meletakkan perlengkapan mereka di tempat yang mudah mereka jangkau. Kali ini posisi Shena dan Firza persis menghadap ke arah pesawat, dengan ketiga pemuda dan Saida di sisi kanan mereka. 2 pria asing di sisi kiri mereka dengan posisi menyamping arah pesawat.
Tak jauh dari mereka sepasang suami-istri. Si suami tengah sibuk merapikan tempat duduk yang nyaman untuk sang istri. Sambil sesekali mereka berbicara dalam bahasa mandarin.
Firza mendekati kelompok tiga pemuda yang sudah mengecek ke dalam pesawat, bagi Firza ketiga pemuda itu tidak terlalu asing dibanding dua pria lainnya yang duduk di sisi lain.
"What happened in there? (Ada apa di sana?)" Firza memiringkan kepalanya ke arah pesawat.
Hilmi mendekatkan dirinya kearah Firza dan menjawab,
"tak ada jenazah sama sekali. At all. Hanya bagian-bagian tubuh penumpang yang masih terjepit seperti kaki dan tangan. It all looks like a neatly cut. Someone cut it off and brought the body parts that could be taken. (Terlihat seperti dipotong. Seseorang pasti memotongnya dan membawa pergi bagian-bagian tubuh itu)"
Saida yang mendengar menutup mulutnya.
Kemudian Chris menimpali, "ya, itu dikerjakan seseorang, bukan sesuatu. Kita tidak tau berapa banyak mereka hingga bisa mengangkut semua tubuh-tubuh itu. Saya mau muntah mengingatnya." Chris mengusap wajahnya berkali-kali seolah ingin menghapus ingatan akan hal yang baru saja dilihatnya.
Firza tercenung seraya berkata, "makhluk gila apa yang tinggal di dalam hutan ini. Tapi ketika kita dikejar kemarin, mereka tampak berhenti ketika kita hampir tiba. Apa yang membuat mereka berhenti mengejar? Saya tau makhluk itu tidak sendirian. Ada beberapa."
Hilmi dan Chris mengangguk menyetujui.
Tiba-tiba Adly seperti terperanjat, "fire. Api. Kemarin malam saya ada membuat api dengan ranting pohon. Bisa saja mereka takut api. Atau bisa saja karena banyak orang."
Firza menyetujui soal api yang dikatakan Adly, tapi dia tidak setuju kalau makhluk itu mundur karena mereka ramai.
Karena makhluk itu tidak sendirian, mereka tidak akan takut terhadap mereka yang sebagian besar sedang terluka dan tak berdaya untuk melawan.
"Malam ini kita harus menjaga agar api tetap menyala. How many lighters we have? (Berapa pemantik yang kita punya?" Firza bertanya kepada Adly.
Adly mengeluarkan sebuah korek api gas berbentuk sederhana dengan sisa gas yang terlihat masih lumayan banyak. "Unfortunately only one. (Sayangnya hanya satu)"
Firza mengangguk, "jangan sampai basah, apalagi hilang. Hidup kita sekarang bergantung pada benda kecil itu."
Adly memasukkan kembali korek api itu ke dalam tas yang dibawanya. Seolah tak mau membahas hal mengerikan apa yang bisa terjadi pada malam hari, mereka mengeluarkan jatah roti yang masih mereka miliki. Roti itu sudah mengeras tetapi masih layak dimakan.
Hilmi berdiri membagikan roti yang dibawanya kepada pasangan suami-istri dan kedua pria asing. Kedua pria asing menolak karena masih memiliki roti mereka sendiri. Sedangkan pasangan suami-istri itu mengambil secukupnya.
Ada hal yang mereka setujui tanpa dibicarakan, mereka semua sepakat untuk bersama-sama menghemat persediaan makanan dan air minum. Firza dan Shena juga menolak roti pemberian Hilmi karena mereka juga masih menyimpan beberapa.
Sang suami dari pasangan yang sedang berbulan madu itu tampak berdiri mengumpulkan ranting kayu di sekitar dan menumpuknya ke tengah lingkaran mereka.
Kemudian beberapa orang lainnya juga berdiri melakukan hal yang sama, termasuk juga Firza. Firza berdoa di dalam hati semoga tak banyak malam yang bakal mereka lalui di hutan ini. Hari masih pagi, terlepas karena makhluk tak jelas yang sepertinya berada di sekitar mereka hutan itu sangatlah indah dan menenangkan. Pohon dan tanahnya lembab tetapi tidak basah.
Pohon-pohonnya tinggi menjulang berbatang ramping dan tumbuh tidak terlalu rapat. Suara burung sayup-sayup terdengar bersahutan dengan indahnya, tetapi kadang juga terdengar menyeramkan di keheningan.
...--oOo--...
(Sementara itu tim pencari dari pemerintah setempat sudah mulai memasuki hutan. Tim pencari terbagi atas 8 kelompok yang memasuki hutan dari arah yang berbeda. Setiap kelompok terdiri dari 5 orang, yang diketuai oleh seorang senior mereka. Mereka masuk dengan rute yang mengelilingi lokasi jatuhnya pesawat. Seolah ingin mengepung pesawat malang itu, mereka sudah bergerak masuk ke dalam hutan dengan perlengkapan dan rencana yang matang.)
...--oOo--...
Firza duduk di sebelah Shena sambil memejamkan mata dan memijit-mijit bahunya. Posisinya cukup dekat dengan Shena untuk mendengar suara perut Shena yang seperti sedang merintih.
Firza menoleh kearahnya dan bertanya, "kamu masih laper?"
Shena nyengir, "ga laper. Tapi kangen nasi." Shena malu bilang kalau sedari tadi dia menahan hasrat ingin buang air kecil. Bukan hanya karena kondisinya yang masih kurang mandiri untuk berjalan, tapi dirinya juga takut pergi sendirian.
Susahnya jadi perempuan yang mau menuntaskan hasrat saja harus berjongkok dan melihat kiri kanan, beda dengan para lelaki yang hanya tinggal membuka resleting dan menempel ke pohon-pohon kemudian selesai.
"Kamu kenapa? Kebelet?" Firza menatapnya serius.
Rasanya ingin saja Shena mencubit pria di sebelahnya sekarang. Firza bisa tahu cuma dengan melihat gelagatnya yang gelisah dari tadi menekuk kaki secara bergantian.
"Aku kebelet pipis Fir... Tapi malu kalo kamu yang temenin. Mau pergi sendiri juga takut." Nada suara Shena memelas.
"Ga apa-apa. Aku ga bakal ngintip kok. Bahaya juga kalo kamu pergi sendirian." Firza tersenyum ramah sembari tertawa agar Shena merasa nyaman.
Kemudian pria itu mengangkat tubuh Shena dengan meletakkan tangan perempuan itu di pinggangnya. Dan Shena memikirkan kata-kata Firza 'aku ga bakal ngintip' yang membuat Shena sedikit geli.
Tertatih-tatih Shena berjalan mengikuti langkah Firza yang menjauhi kelompok mereka, pria itu membawa Shena ke arah belakang pesawat. Firza kemudian melepaskan Shena dan berjalan sedikit menjauh.
"Jangan lama-lama ya...." Firza melihat ke arah depan dan membelakangi Shena. Dengan secepat kilat Shena menuntaskan hasrat buang air kecil yang sudah ditahannya sedari malam.
Setelah membereskan jeans-nya, Shena mendengar langkah kaki dari arah belakangnya. Hanya terdengar langkah kaki, dan sekelebat pakaian yang ia kenali.
"Fir... Pssst... Firza!" Shena memanggil Firza setengah berbisik. Pria itu menoleh dan mendatanginya. Shena menunjuk ke arah sosok dengan warna pakaian yang dikenalnya.
"Itu Hana. Itu pakaian Hana. Ayo kita liat." Dengan terpincang-pincang dan penuh semangat Shena menggandeng Firza untuk mendekati sosok yang sekarang sedang berdiri bersama seseorang dan berbicara. Beberapa langkah lagi ketika hampir sampai dan bisa melihat dengan lebih jelas.
Shena dan Firza terbelalak. Tercekat menahan nafas. Spontan Firza menarik Shena ke balik pohon. Sosok yang mereka lihat ternyata bukan Hana, tetapi orang lain yang memakai pakaiannya. Seorang perempuan yang berambut terjalin dengan rumitnya menggunakan akar-akar pohon.
Perempuan itu bersama dengan dua orang lain yang sepertinya adalah laki-laki jika dilihat dari pakaian mereka yang compang-camping.
Keduanya membawa senjata yang terlihat sangat tajam. Mata mereka memiliki selaput putih, yang hampir tak memiliki warna hitam. Tubuh mereka gelap tetapi juga pucat. Gigi mereka terlihat sangat besar-besar. Dan mereka berbicara dalam bahasa yang tidak jelas.
Shena memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dibawa kedua pria itu. Shena nyaris menangis ketika menyadari bahwa kedua makhluk pria itu membawa sebuah kaki manusia yang terpotong dari pangkal paha. Dilihat dari ukurannya itu adalah kaki seorang pria. Shena sekarang sudah menangis dan merasa kakinya lemas hingga tak kuat berdiri, dia merasa akan ambruk karena rasa mual.
Kaki Shena yang secara refleks bergeser mundur karena melihat pemandangan mengerikan di depannya mengeluarkan suara pecahan ranting yang terinjak. Makhluk perempuan yang mengenakan baju Hana melihat ke arah pohon yang mereka jadikan tempat bersembunyi. Firza memeluk tubuh Shena dan menempelkannya ke tubuhnya sedekat mungkin.
Airmata Shena mengalir, bibirnya bergetar. Dan Firza menciumnya. Firza mencium Shena selama mungkin. Dirinya bahkan tak berani melihat ke arah tiga orang makhluk yang sekarang seperti sedang mempertimbangkan akan menuju ke arah mereka.
Firza terus mencium Shena dan memeluk tubuh wanita itu, dia bisa merasakan dada Shena yang naik turun karena adrenalin tak biasa yang mereka rasakan.
Firza berkata dalam hatinya, "kalo emang hidup kita semua harus berakhir di sini, setidaknya aku ga nyesel karna bisa ketemu kamu. Waktu yang kita rasain sama-sama dan perasaan takut karena merasa maut yang semakin mendekat. Semoga kita panjang umur Shen... Semoga aku bisa nyeritain bahwa dokter yang menghibur kamu di lorong rumah sakit waktu ayah kamu meninggal itu aku."
Firza mengucapkan kata-kata yang baginya seperti mantra di dalam pikiran untuk mensugesti dirinya sendiri.
Sesaat konsentrasi Firza terpecah antara langkah kaki yang mendekat dan ciuman mereka yang semakin dalam. Nafas Firza dan Shena semakin memburu hanyut dalam ciuman itu. Shena pun sudah melingkarkan tangannya ke sekeliling tubuh pria itu, membelai punggung bagian atas dan kemudian memegang leher dan pipi pria itu.
Langkah kaki ketiga makhluk asing itu terdengar pelan mengendap-endap menuju kearah pohon. Firza dan Shena semakin memejamkan mata.
...***...
...To Be Continued...
...Mohon dibantu likenya ya......
...Terimakasih...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Ya Allah ..
gak bisa bayangin gimana jadi mereka, dalam keadaan terluka, lapar, lelah, letih ,lesu d intai sama makhluk menyeramkan pula
2024-11-01
0
PHSNR👾
tegang, tegang, TEGAAAANNGGGG.... 😲😲😲
2025-02-19
0
Wayan Sucani
Waduh.. tegang bgt
2025-02-08
0