Firza kembali tiba di lokasi bangkai pesawat dengan peluh di dahinya. Bagian kanan kepalanya yang tadi terluka kini ikut perih karena keringat menjalari kulit kepala.
Tiba di sana ia tertegun sejenak. Hampir tak percaya menatap rupa pesawat gagah yang mereka tumpangi tadi. Bagian kepala pesawat tak jelas bentuknya. Bagian ekor menancap pada beberapa pohon. Bagian tengah pesawat menganga, seolah kulit manusia yang terkoyak.
"Bagian depan meledak dan pesawat sekarang hampir tinggal setengah. Ditambah bau hangus daging yang terpanggang." Firza bergidik.
Tiga pemuda yang ikut berangkat ternyata orang yang cukup ramai. Dalam perjalanan menuju tempat itu mereka saling bertukar cerita soal keterkejutan tadi. Mereka bilang tadi adalah peristiwa paling menegangkan dalam hidup mereka. Ketiga pemuda itu belakangan diketahui bernama Chris, Adly dan Hilmi.
"Salam kenal Chris, Aldy dan ... Hilmi," ucap Firza saat baru selesai menjabat tangan ketiga pemuda yang sepertinya bisa ia percaya.
"Mike dari tadi diam saja," kata Aldy.
"Jangan diganggu. Dia mungkin juga syok," balas Hilmi.
Mike berjalan pelan di belakang mereka sedari tadi. Mike pria berkulit gelap dengan kepala bulat sempurna tanpa rambut dan berkacamata membuatnya jadi orang yang penampilannya cukup serius di antara mereka semua.
Saat itu, Chris, Aldy dan Hilmi menjadi pemecah kesunyian dan suasana canggung di antara mereka.
Firza kembali melirik jam yang kini berubah menjadi jam manual. Sinyal membuat jam itu tidak menyesuaikan dengan waktu setempat. Firza hanya bisa mengira-ngira jam berapa pada saat itu.
"Apa ini hampir sore?" tanya Firza pada tiga pemuda.
"Bisa jadi. Kalau kita hampir sampai, bisa jadi sebentar lagi malam," sahut Chris yang bermata sipit.
"Kita berpencar di sini dan berkumpul di sini dalam waktu setengah jam. Setuju?" Firza tidak membutuhkan waktu lama. Semua orang mengangguk setuju. Sejak tadi mereka menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Tapi saat mengatakan ungkapan tertentu, tiga pemuda Malaysia sering menggunakan bahasa Melayu yang dimengerti Firza.
Firza langsung menuju ekor pesawat yang koyak karena tertancap di pepohonan. Dia harus memanjat bukit dan masuk lewat jendela yang terkoyak. Firza berniat mencari kotak P3K di pesawat, karena menurutnya saat ini Shena paling membutuhkan itu.
Oh ya, bukan cuma Shena. Pasangan bulan madu itu juga pasti membutuhkannya. Pikiran Firza melayang ke kondisi Shena yang ditinggalkannya tadi.
Bayangan Shena yang lemah dan kesakitan sementara menggantikan bayangan Risa yang mungkin saat ini masih bisa tidur nyaman tanpa tahu pacarnya sedang berada di hutan.
Risa pasti seperti biasa. Asyik dan sibuk dengan pekerjaan serta pergaulannya di lingkungan, yang baru setahun lebih yang wanita itu jalani.
Risa jarang sekali menghubungi Firza lebih dulu, dan Firza sangat memahaminya. Karena Firza turut merasakan kebahagiaan yang dijalani pacarnya itu sekarang. Apa yang membuat Risa bahagia, Firza juga ikut bahagia.
Klise memang, tapi baginya itulah cinta yang sebenarnya. Pikiran klise itu juga menilai bahwa Shena lebih membutuhkan dirinya saat itu.
Tak perlu lama bagi Firza untuk tiba di bagian ekor pesawat dan menyelinap ke dalamnya. Dia sedikit berjalan menyusuri kabin yang kini tinggal sedikit. Sisanya hancur. Hanya ada beberapa kursi yang utuh lengkap dengan penumpangnya. Firza terkesiap. Semua penumpang itu dalam posisi yang tidak lazim.
"Mungkin tadi ada yang masih tertidur," ucap Firza muram. Sedikit di depan Firza disuguhi pemandangan yang menyedihkan, tampak beberapa penumpang diam terduduk di kursinya dengan posisi yang tidak lazim.
Bahkan ada beberapa yang sudah tidak berada di kursinya lagi. Batang pohon yang mengoyak bagian ekor membuat beberapa kursi bagian belakang hilang entah kemana. Firza sempat melihat bagian tempat duduknya bersama Shena dan menyadari kalau sabuk di kursi Shena ternyata terlepas.
Yang membuat Shena tetap duduk hanyalah karena sabuk itu terjepit sisi kiri kursi dan dinding pesawat. Firza tak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada Shena jika saja sabuknya tidak terjepit dan benar-benar terlepas. Pastilah tubuh Shena bisa terlempar entah kemana.
Sebagian kursi penumpang kosong, Firza berpikir mungkin selain mereka masih ada lagi penumpang yang selamat tapi terpencar dan membentuk kelompok lain. Firza kembali menuju bagian belakang pesawat untuk mencari 'dapur'. Dia mendapati gerobak pengantar makanan kabin yang berhamburan isinya dan tak berbentuk.
Firza memungut semua makanan dan minuman yang ia nilai masih layak konsumsi. Firza memasukkan semua temuannya ke dalam tas parasut yang ditemukannya di lantai. Ia mengeluarkan isinya sebagian dan tetap menyimpan kemeja milik entah siapa.
Di antara isi tas parasut yang ditumpahkannya tadi, Firza juga melihat sebuah jaket dan kembali memungutnya. Firza membuka laci kabin untuk mencari selimut. Ia memasukkan selimut-selimut yang masih terbungkus plastik dan memasukkannya ke tas parasut.
Samar-samar di kejauhan dia mendengar suara pria berteriak, "Sir! Bro!"
Firza sempat menjawab, "Sebentar!" sahutnya. Tapi jawabannya seperti tidak terdengar ke luar karena orang di luar masih berteriak.
Di dalam, Firza belum menemukan benda yang paling penting. Kotak P3K. Dia kembali ke bagian kabin paling belakang. Keadaan di sana cukup susah untuk dilewati dengan badannya yang tinggi. Batang-batang kayu membuat bagian ekor pesawat itu seperti penyok dan sempit.
Firza sadar suara-suara tadi sudah hening tak terdengar lagi dan dia berpikir kalau dirinya baru saja ditinggalkan oleh keempat pria yang pergi bersamanya.
Firza berusaha membuka lemari-lemari bagian belakang kabin yang karena bentuknya tak beraturan menjadi sangat susah untuk dibuka. Sepintas dia melihat ke arah luar jendela pesawat bahwa hari sudah mulai gelap. Matahari yang sudah bergeser ke barat membuat cahayanya tak lagi sampai dari balik-balik pepohonan yang rimbun.
******
Shena melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah disesuaikannya dengan waktu setempat. Dia hanya mengira-ngira lokasi mereka sekarang sudah memasuki wilayah Afrika selatan.
Jadi kalau dia tak salah, sekarang sudah menunjukkan pukul lima sore. Artinya sebentar lagi matahari akan tenggelam. Firza dan keempat pria dari grup mereka sudah pergi hampir dua jam tapi belum kembali.
Shena mulai gelisah karena merasa benar-benar sendirian dan kesakitan. Tak lama dia menatap ke bagian jalan tempat mereka menghilang tadi, didengarnya suara langkah kaki dan orang yang sedang berbicara. Matanya berbinar penuh harap.
Tak lama muncullah para pria itu satu persatu. Hingga akhirnya keempat pria kecuali Firza sudah tiba kembali di lokasi mereka tadi. Shena mulai merasa tidak nyaman karena Firza belum juga muncul.
Diantara rasa sakit dan lemas tubuhnya, akhirnya Shena mengeluarkan suara.
"Mana pria satunya lagi? Mana tunanganku?" Shena menatap wajah keempat pria tadi satu persatu.
"Kami berpisah sewaktu mencari beberapa benda di bangkai pesawat. Hari mulai gelap, kami memanggilnya tapi tak ada jawaban. Jadi kami memutuskan pergi." Chris menjawab dengan sopan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hilmi.
Shena menjawab kikuk, "Aku baik-baik saja." Meski menjawab begitu mata Shena tak lepas memandang ke arah pepohonan tempat keempat pria tadi muncul.
Para pria itu sudah membagikan apa yang mereka temukan dari bangkai pesawat. Shena mendapat jatah dua bungkus roti dan sebotol air mineral.
Dia sudah meneguk sedikit air mineralnya dan menyisakannya untuk berjaga-jaga seandainya mereka harus menunggu lama di hutan sebelum ditemukan.
Perutnya lapar tapi sekarang rasanya tak sanggup menelan karena Firza belum muncul dan belum tahu bagaimana nasibnya. Ada apa di reruntuhan pesawat sehingga pria itu belum juga kembali.
Shena mulai merasa sangat hancur. Bagaimana mungkin keadaannya jadi seperti itu. Bagaimana kalau Firza tidak kembali? Ke mana Firza? Apa pria itu baik-baik saja? Airmatanya mulai mengambang.
Hutan perlahan gelap. Matahari sebenarnya belum benar-benar hilang. Tapi pepohonan yang dapat membuat keadaan di sana menjadi lebih gelap.
Para penumpang yang lain sudah duduk dalam diam. Sebagian sudah mencari-cari sesuatu yang bisa dipergunakan untuk duduk atau meringkukkan badan. Shena bergidik membayangkan serangga atau ular yang bisa saja mendatangi mereka saat mereka sedang terlelap.
Ketika dia sedang melamun dengan wajah yang menyedihkan tiba-tiba seorang penumpang pria yang disadarinya adalah pria Afrika yang tidak ikut ke bangkai pesawat mendekatinya.
"Halo, Aku Freddie. Kau membutuhkan sesuatu? Kau terlihat sakit dan kedinginan. Aku bisa duduk di sebelahmu kalau kau mau," ujar Freddie.
Shena menjawab cepat, "Tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih." Shena tersenyum kaku.
Pria itu tersenyum penuh arti sambil menepuk lututnya sebelum pergi. Shena tak menyukai cara pria itu menatapnya. Terlebih 'keramahan' tangan yang menyentuh lututnya barusan. Hati Shena menjerit memanggil Firza.
Kamu dimana?
Kok, lama banget?
Kamu nggak apa-apa?
Cepat ke sini, Fir.
Aku takut.
Jangan tinggalin aku di sini.
Bayangan mati di hutan karena infeksi luka, kelaparan, kedinginan dan dikelilingi orang asing menghantui pikirannya. Shena menggeser duduknya hingga dia berada di balik pohon agar tidak terlihat langsung oleh Freddie yang masih terus menerus menatapnya. Ia mau muntah dilihat dengan cara seperti itu.
Saat Shena susah payah mengatur tempatnya bersandar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Shena menoleh ke tempat di mana suara itu. Pandangannya tidak berpindah. Lalu sosok pria tinggi berkemeja putih berwajah lelah namun tetap tampan muncul di hadapannya.
Airmatanya langsung bercucuran tak terbendung. Shena menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersimbah air mata. Terdengar suara Firza menjelaskan sebab dia lama dan dia berhasil mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Firza lalu menghampiri Shena dengan wajah bingung dan khawatir. Firza duduk di sebelah Shena meletakkan tas parasut yang dibawanya dari pesawat. Dalam kegelapan ia luput memperhatikan wajah Shena yang basah. Ia lalu mengambil air mineral dari dekat Shena dan meneguknya. Saat itulah ia memandang wajah Shena lekat-lekat.
"Kamu nangis? Kamu kesakitan, ya? Nggak tahan sakit?" tanya Firza dengan nada kekhawatiran.
Shena menggeleng sambil mengusap airmatanya buru-buru. Tapi sialnya air mata itu malah keluar lebih banyak karena mendengar pertanyaan Firza.
"Kamu nggak apa-apa, kan? Ada yang jahatin kamu di sini?" Selesai bertanya itu Firza memeluk Shena. Bahunya yang lebar dan lengannya yang berisi melingkari tubuh Shena dan menempatkan kepala Shena di dadanya. Semua orang pasti semakin yakin mereka adalah sepasang manusia yang sudah bertunangan.
Tangis Shena semakin pecah dan Firza berbisik, "Maaf udah buat kamu khawatir. Kamu pasti ketakutan sendirian di sini. Kamu juga pasti kesakitan dan kedinginan. Aku cari kotak P3K untuk ngobatin kamu. Untungnya udah ketemu. Aku mau kamu tetap sehat agar kita bisa sama-sama bertahan sampai kita ditemukan nanti."
Kata-kata Firza bagai obat penenang paling ampuh yang rasa hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuh Shena. Perlahan Shena berani melingkarkan tangan ke pinggang Firza bagai memeluk sebuah guling yang hangat. Setidaknya kenyaman sementara itu bisa menyelamatkannya.
Shena melepaskan pelukan dan bertatapan dengan Firza. "Kamu benar, Fir. Aku takut sendirian. Jangan tinggalin aku lagi. Aku juga takut sama laki-laki asing itu. Aku kira kamu kenapa-napa. Kalau kamu kenapa-napa aku pasti nggak akan selamat. Aku juga kangen ibuku, Fir." Shena lagi-lagi membasahi kemeja Firza dengan air mata.
Tangisan yang reda membuat Shena kembali mengangkat wajahnya dari pelukan Firza. Mereka kembali bertukar pandang cukup lama.
"Aku enggak akan ninggalin kamu sendirian lagi," ucap Firza. Di balik pohon itu Firza seakan mengucap janjinya.
Lalu saling bertukar pandang itu ternyata memiliki daya magnet yang amat kuat. Tiba-tiba saja bibir mereka saling melumaat. Isi kepala Shena seakan kosong saat itu. Matanya memejam dan tubuhnya terasa ringan. Rasa sakit berdenyut di dahinya hilang seketika.
Firza membalas ciuman Shena dengan sama panasnya. Entah apa yang membuat pikiran soal Risa hilang begitu saja dari pikirannya. Entah karena apa.
Entah karena Risa yang jarang menanyakan kabarnya? Entah Risa yang terlalu sibuk. Entah karena Risa yang terkesan tidak membutuhkannya. Entah karena apa. Atau entah karena dia merasa dibutuhkan seseorang? Tapi ... ia akan melamar Risa?
Firza memejamkan mata memaguut bibir Shena dengan lembut dan lama. Dia bahkan mengetatkan pelukannya.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
iiih..aaaah ..looh kooo..TPI gimana yaaa....yaah di mengerti daah..nmnya sama² menderita karena kecelakaan terdampar di suatu tempat asiing ...dah gitu sesama satu Negara jdi saling membutuhkan...jdi gituh deh pemirsa...bisa aja kan tetiba tumbuh "perasaan "..🤭🤭
2025-02-25
1
annis
heh... loh kok tiba2 bgitu...
eh tapi aku syukaa.. 🤭
2025-02-06
0
Dewa Rana
wow... 😲
2024-12-05
0