Firza tiba kembali di lokasi bangkai pesawat dengan sedikit peluh di dahinya. Sisi kanan kepalanya yang luka karena tertimpa bawaan penumpang tadi juga ikut perih karena keringat juga menjalari kulit kepalanya.
Matanya hampir tak percaya menatap rupa pesawat gagah yang mereka tumpangi tadi.
Bagian kepala pesawat tak jelas bentuknya, bagian ekornya menancap pada beberapa pohon. Bagian tengah pesawat menganga, seolah kulit manusia yang terkoyak. Pesawat miring ke kanan seakan lelah dan bersandar pada bukit.
Firza menyadari bahwa bagian yang meledak adalah bagian depan pesawat. Yang dilihatnya sekarang, keadaan pesawat yang nyaris hanya tinggal setengahnya. Bau hangus dan aroma seperti daging dan rambut terbakar menyeruak dari dalam pesawat.
Asap sisa ledakan masih keluar meski tipis, pemandangan yang pasti akan membuat ciut nyali siapa saja untuk mendekati bangkai pesawat tersebut.
Tiga pemuda yang selama di perjalanan mereka menuju lokasi pesawat, ternyata orang-orang yang cukup ramah dan banyak bicara.
Di sepanjang jalan mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di saat-saat paling menegangkan dalam hidup mereka tadi. Ketiga pemuda itu bernama Chris, Adly dan Hilmi.
Dan dalam sekejab saja Firza sudah berhasil menghafal nama rekan seperjuangannya itu.
Sedangkan Mike berjalan pelan dalam diam di belakang mereka sedari tadi. Mike pria berkulit gelap dengan kepala bulat sempurna tanpa rambut dan berkacamata membuatnya jadi orang yang penampilannya cukup serius dibanding tiga pemuda yang sedang berada dalam puncak menikmati pengalaman hidup yang penuh adrenalin.
Tiga pemuda riang yang kalau bisa dibilang menjadi penghibur pemecah kesunyian dan suasana canggung diantara mereka.
Firza kembali melirik jamnya, karena tidak ada sinyal jamnya sekarang berubah fungsi ke jam manual. Waktu yang ditunjukkan belum mengikuti waktu setempat, jadi Firza hanya bisa mengira-ngira kalau sekarang sudah hampir lewat tengah hari menuju sore.
Mereka sepakat untuk berpencar mencari sesuatu yang berguna bagi mereka di sekitar puing pesawat dan kembali berkumpul tak jauh dari situ. Firza menuju arah ekor pesawat yang koyak karena tertancap di pepohonan.
Untuk menuju ke sana dia harus memanjat bukit dan masuk lewat jendela yang terkoyak. Firza berniat mencari kotak P3K di pesawat, karena menurutnya saat ini Shena paling membutuhkan itu.
Oh ya, bukan hanya Shena, tapi pasangan bulan madu itu juga pasti membutuhkannya. Pikiran Firza melayang ke kondisi Shena yang ditinggalkannya tadi.
Bayangan Shena yang lemah dan kesakitan sementara menggantikan bayangan Risa yang mungkin saat ini masih bisa tidur nyaman tanpa tahu pacarnya sedang berada di hutan.
Risa pasti seperti biasa. Asyik dan sibuk dengan pekerjaan serta pergaulannya di lingkungan, yang baru setahun lebih di jalaninya.
Risa jarang sekali menghubungi Firza lebih dulu, dan Firza sangat memahaminya. Karena Firza turut merasakan kebahagiaan yang dijalani pacarnya itu sekarang. Apa yang membuat Risa bahagia, Firza juga ikut bahagia.
Klise memang, tapi baginya itulah cinta yang sebenarnya.
Tak perlu lama bagi Firza untuk tiba di bagian ekor pesawat dan menyelinap ke dalamnya. Setibanya di dalam dan sedikit berjalan menyusuri kabin ke depan dia disuguhi pemandangan yang menyedihkan, tampak beberapa penumpang diam terduduk di kursinya dengan posisi yang tidak lazim.
Bahkan ada beberapa yang sudah tidak berada di kursinya lagi. Batang pohon yang mengoyak bagian ekor membuat beberapa kursi bagian belakang hilang entah kemana. Firza sempat melihat bagian tempat duduknya bersama Shena dan menyadari kalau sabuk di kursi Shena ternyata terlepas.
Yang membuat Shena tetap duduk hanyalah karena sabuk itu terjepit sisi kiri kursi dan dinding pesawat. Firza tak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada Shena jika saja sabuknya tidak terjepit dan benar-benar terlepas. Pastilah tubuh perempuan itu sudah terlempar entah kemana.
Sebagian kursi penumpang kosong, Firza berpikir mungkin selain mereka masih ada lagi penumpang yang selamat tapi terpencar dan membentuk kelompok lain. Firza kembali menuju bagian belakang pesawat untuk mencari 'dapur'. Dia mendapati gerobak pengantar makanan kabin yang berhamburan isinya dan tak berbentuk.
Firza memungut semua makanan dan minuman yang dinilainya masih layak konsumsi dan memasukkannya ke dalam sebuah tas parasut yang ditemukannya di dalam kabin setelah sebelumnya dia menumpahkan semua isinya keluar.
Di antara isi tas parasut yang ditumpahkannya keluar tadi, Firza melihat sebuah jaket dan kembali memungutnya. Pria itu membuka laci kabin yang bisa dijangkaunya dan mendapati beberapa selimut maskapai yang masih terbungkus plastik.
Samar-samar di kejauhan dia mendengar suara pria berteriak, "Sir... Bro..." seperti memanggilnya.
Firza sempat menjawab, "wait a minute (sebentar)" tapi sepertinya suara yang memanggilnya itu tak bisa mendengar jawabannya.
Panggilan itu terus didengarnya, tapi Firza belum menemukan benda yang paling penting untuk didapatkannya. Kotak P3K. Firza kembali ke bagian kabin paling belakang. Keadaan di sana cukup susah untuk dilewati dengan badannya yang tinggi. Batang-batang kayu membuat bagian ekor pesawat itu seperti penyok dan sempit.
Firza sadar suara-suara tadi sudah hening tak terdengar lagi dan dia berpikir kalau dirinya baru saja ditinggalkan oleh keempat pria yang pergi bersamanya.
Firza berusaha membuka lemari-lemari bagian belakang kabin yang karena bentuknya tak beraturan menjadi sangat susah untuk dibuka. Sepintas dia melihat ke arah luar jendela pesawat bahwa hari sudah mulai gelap. Matahari yang sudah bergeser ke barat membuat cahayanya tak lagi sampai dari balik-balik pepohonan yang rimbun.
...--oOo--...
Shena melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah disesuaikannya dengan waktu setempat, dia hanya mengira-ngira lokasi mereka sekarang sudah memasuki wilayah Afrika selatan.
Jadi kalau dia tak salah, sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore lebih sedikit. Yang artinya sebentar lagi matahari akan tenggelam. Firza dan keempat pria dari grup mereka sudah pergi hampir dua jam tapi belum kembali.
Shena mulai gelisah karena merasa benar-benar sendirian dan kesakitan. Tak lama dia menatap ke bagian jalan tempat mereka menghilang tadi, didengarnya suara langkah kaki dan orang yang sedang berbicara. Matanya berbinar penuh harap.
Tak lama muncullah para pria itu satu persatu. Hingga akhirnya keempat pria kecuali Firza sudah tiba kembali di lokasi mereka tadi. Shena mulai merasa tidak nyaman karena Firza belum juga muncul.
Diantara rasa sakit dan lemas tubuhnya, akhirnya Shena mengeluarkan suara.
"Where is the another man? Where is my fiance (Mana pria satunya lagi? Mana tunanganku)?" Shena menatap wajah keempat pria tadi satu persatu.
"We split up when looking for some stuffs on the wreck. It was getting dark, we call him but no answer. So we decide to leave. (Kami berpisah saat mencari beberapa benda saat berada di bangkai pesawat itu. Hari mulai gelap, kami memanggilnya tapi tak ada jawaban. Jadi kami memutuskan pergi.)"
Seorang pria muda berwajah oriental menjawab pertanyaan Shena.
Dan yang satunya menatap Shena dan bertanya,
"Are you okay miss (Kau baik-baik saja nona)?"
Shena menjawab kikuk, "oh yeah...i am okay (yah aku baik-baik saja)", tapi matanya tak lepas memandang ke arah pepohonan tempat keempat pria tadi muncul.
Para pria itu sudah membagikan apa yang mereka temukan dari bangkai pesawat. Shena mendapat jatah dua bungkus roti dan sebotol air mineral.
Dia sudah meneguk sedikit air mineralnya dan menyisakannya untuk berjaga-jaga seandainya mereka harus menunggu lama di hutan sebelum ditemukan.
Perutnya lapar tapi sekarang rasanya tak sanggup menelan karena Firza belum muncul dan dia belum mengetahui bagaimana nasib pria itu. Ada apa di reruntuhan pesawat sehingga pria itu belum juga kembali.
Dadanya terasa sesak dan dia merasa airmatanya akan segera tumpah. Lukanya masih berdenyut dan dia mulai kedinginan di hutan yang sekarang sudah sepenuhnya gelap.
Para penumpang yang lain sudah duduk dalam diam. Sebagian sudah mencari-cari sesuatu yang bisa dipergunakan untuk duduk atau meringkukkan badan. Shena bergidik membayangkan serangga atau ular yang bisa saja mendatangi mereka saat mereka sedang terlelap.
Ketika dia sedang melamun dengan wajah yang menyedihkan tiba-tiba seorang penumpang pria yang disadarinya adalah teman perjalanan Mike, si pria botak mendekatinya sambil berjongkok dan tersenyum.
"Hello...I am Freddie. You need something? You look cold and sick. I can sit next to you if you need it. (Halo, Aku Freddie. Kau membutuhkan sesuatu? Kau terlihat sakit dan kedinginan. Aku bisa duduk di sebelahmu kalau kau mau.)"
Pria itu melihatnya kedinginan dan terlihat sakit dan dia menawarkan bisa duduk disebelah Shena jika Shena membutuhkannya.
Shena menjawab cepat,
"No. I am okay. Thankyou. (Tidak. Aku baik-baik saja. Terimakasih.)" Shena tersenyum kaku.
Dan Pria itu tersenyum penuh arti sambil menepuk lutut Shena sebelum pergi.
Shena tak menyukai cara pria itu menatapnya. Terlebih 'keramahan' tangan yang menyentuh lututnya barusan. Shena merasa benar-benar sendirian dan takut.
Hatinya sedari tadi sudah menjerit-jerit memanggil Firza.
"Kamu dimana? Kok lama banget? Kamu gapapa? Cepat kembali. Aku takut Fir.... please.. jangan tinggalin aku sendirian disini." Mata Shena mulai berkaca-kaca.
Bayangan mati di hutan karena infeksi luka, kelaparan, kedinginan dan dikelilingi orang asing menghantui pikirannya. Shena menggeser duduknya hingga ke balik pohon agar tidak terlihat langsung oleh Freddie yang masih terus menerus menatapnya.
Ketika Shena susah payah mengatur tempatnya bersandar, dia mendengar langkah kaki di kejauhan. Kemudian sosok pria tinggi berkemeja putih berwajah lelah namun tetap tampan muncul di hadapannya.
Airmatanya langsung bercucuran tak terbendung. Firza sempat berbicara kepada pria-pria yang pergi bersamanya tadi, mengatakan sebab dia lama karena dia harus menemukan apa yang dicarinya. Dan dia berhasil menemukannya.
Kemudian dia langsung menghampiri Shena dengan wajah bingung dan khawatir. Firza duduk di sebelah Shena meletakkan tas parasut yang dibawanya dari pesawat.
Kemudian Firza meneguk air mineral Shena dan mengamati wajah wanita itu samar-samar dalam cahaya remang bulan yang hanya sedikit berhasil menerobos masuk ke hutan.
"Kamu nangis? Kamu kesakitan ya? Ga tahan sakit?"
Shena menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengusap airmatanya buru-buru. Tapi sialnya airmatanya malah keluar lebih deras karena mendengar perkataan Firza yang menurutnya sama sekali tidak peka.
Firza yang tidak peka atau dirinyalah yang terlalu berlebihan, dia masih belum memahami.
Firza tak tega melihat Shena yang terlihat sangat sedih kemudian memeluk perempuan itu. Firza menarik Shena ke dalam pelukannya. Bahunya yang lebar dan lengannya yang berisi melingkari tubuh Shena dan menempatkan kepala Shena di dadanya.
Tangis Shena semakin pecah dan Firza berbisik ditelinganya.
"Maaf udah buat kamu khawatir. Kamu pasti ketakutan sendirian di sini. Kamu juga pasti kesakitan dan kedinginan. Aku cari kotak P3K untuk ngobatin kamu. Untungnya udah ketemu. Aku mau kamu tetap sehat agar kita bisa sama-sama bertahan hingga kita ditemukan nanti."
Kata-kata Firza bagai obat penenang paling ampuh yang rasa hangatnya langsung menjalar ke seluruh tubuh Shena. Shena melingkarkan tangannya ke pinggang Firza bagai memeluk sebuah guling yang hangat.
Kemudian Shena mengangkat kepalanya dan menatap wajah Firza yang juga sedang menatapnya.
"Aku takut sendirian Fir.... Jangan tinggalin aku sendiri lagi disini. Aku juga takut pria-pria asing itu. Aku kira kamu kenapa-napa... Aku ga sanggup kalo harus sendirian lagi." Airmatanya masih mengalir deras.
Mereka bertatapan sesaat yang rasanya sangat lama bagi Shena.
Kemudian Firza menundukkan wajahnya ke arah Shena dan berkata, "aku ga akan ninggalin kamu sendirian lagi."
Dan kemudian entah siapa yang memulai, Shena seperti tertarik sebuah magnet yang amat begitu sulit ditolaknya.
Dia mencium bibir pria itu. Bibir Firza yang penuh dan sangat menarik perhatiannya setiap pria itu berbicara membuat Shena lupa akan situasi mereka saat itu. Dan seperti yang diharapkannya, ternyata reaksi Firza itu seperti yang diharapkannya.
Firza membalas ciuman Shena dan semakin mengetatkan pelukannya di tubuh wanita itu. Tangan kanan Shena sudah berpindah memegang leher Firza.
Dalam sekejab saja, malam yang dingin berubah menjadi hangat bagi Shena.
...***...
...To Be Continued...
...Terimakasih telah meringankan jari untuk memberi like atas karya ini....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
shan
anjiiiiiirrr jek sempet ae...
2023-12-28
2
maytrike risky
Omaigattt🤭
2023-12-19
2
@🍾⃝🄷🄸🄰🅃🅄🅂✅
masih sempat"nya weh /Facepalm//Facepalm/
2023-12-09
1