Seperti biasa, saat take-off dan landing merupakan saat yang menyiksa bagi Shena. Wanita itu masih memejamkan mata rapat-rapat saat tangannya mencengkeram erat pegangan kursi. Untungnya lampu kabin nyaris gelap gulita, jika tidak pastilah pria di sebelahnya bisa melihat betapa jelek wajahnya sekarang.
Setelah insiden diputusin Ramon, ternyata Tuhan masih baik dengan memberikan Firza sebagai permohonannya yang dikabulkan untuk menemani 13 jam berada di dalam pesawat.
Bu Sophia teman mengobrolnya tadi, mungkin sudah tertidur, karena sebelum mereka boarding beliau sudah mengatakan pada Shena jika beliau sangat mengantuk. Firza menyilangkan kedua tangannya di dada saat take-off karena pegangan kursi sedang dibajak oleh Shena.
Setelah pesawat mencapai posisi stabil di atas langit dan lampu kabin perlahan dinyalakan, Shena berdehem dan merapikan rambutnya. Shena mengangkat tangannya untuk memberi Firza ruang di pegangan kursi.
Pria itu masih asyik membaca, tapi perlahan mulai meletakkan tangan kirinya bertumpu di pegangan kursi yang sekarang tampak mahal buat Shena.
Shena melirik diam-diam tangan yang sedang diam anteng di sebelahnya. Rambut-rambut di tangan itu pun tampak lebih rapi dibanding rambut di tangan miliknya yang terlihat acak-acakan.
Ya Tuhan... Pemikiran apa itu barusan yang merasukinya. Kenapa tiba-tiba rambut tangan pria itu pun jadi bahan yang dibahas dalam pikirannya.
Pramugari sedang berkeliling ke semua penumpang untuk menawarkan bantal atau selimut tambahan. Firza sudah meletakkan bantal di belakang pinggangnya, selimutnya masih terlipat rapi di pangkuan. Sedangkan Shena sudah menjulurkan selimut dari kaki hingga ke pinggangnya.
Tiba-tiba pesawat berguncang, para Pramugari kembali ke belakang dan memberi pengumuman untuk tetap duduk dan memasang sabuk pengaman.
Guncangan yang lumayan keras itu berlangsung cukup lama.
Shena mencengkeram lengan Firza sambil berdoa dan memejamkan matanya. Tak terasa seberapa kuat dia mencengkeram lengan berisi dan padat itu, yang jelas ketika guncangan berhenti dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan, Shena membuka matanya dan melihat spontan ke arah cengkeraman tangannya.
Kemudian dia melihat Firza setengah meringis tapi sedikit tersenyum geli, "takut terbang tapi berani jalan-jalan sendirian ya.. Jauh banget pula."
Shena cuma bisa nyengir, rasa syoknya belum hilang. ia benar-benar sadar jika ekspresi wajahnya belum normal untuk meneruskan pembicaraan itu. Kemudian dia merogoh air mineral di kantong kursi hadapannya.
Setelah meneguk air mineral itu dengan seelegan mungkin Shena merasa dirinya lebih santai.
"Maaf ya Fir.... aku emang takut banget tiap pesawat mau take-off atau landing. Rasanya nyawa ikut kecabut sebentar." Sebuah candaan garing dini hari yang dilontarkan olehnya.
Shena kemudian merasa suasana kembali canggung.
"Ga apa kok. Santai. Kamu sendirian aja? Cape Town?" Firza meletakkan bukunya di atas selimut. Shena kembali melirik jari-jari tangan Firza yang bertaut satu sama lain di atas buku yang baru saja diletakkannya.
Jari-jari Firza lagi-lagi tampak sangat bagus di mata Shena. Kerapian kuku Firza hanyalah hasil dari jepitan kuku biasa, Shena bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Bukan hasil manicure seperti kuku para pria meterosexual di tempatnya bekerja dulu.
Yang ini beda, Shena kekeuh meyakinkan dirinya kalau kuku Firza bukan hasil manicure, padahal tak ada yang mendebat hal itu di dalam pikirannya.
"Iya, aku cuma liburan ke Cape Town. Pengen jalan-jalan aja dan stay maksimal ngabisin masa tinggal di sana"
Dalam pikiran Shena sebuah suara berteriak lantang "Liburan ape loo...kabur iyee..."
Suara usil itu terus berteriak-teriak di kepalanya.
Shena berbicara setengah berbisik karena sadar hampir semua penumpang sedang berusaha untuk tidur.
Beda dengan dirinya yang sedang berusaha untuk tidak tenggelam. Tidak tenggelam dalam pesona Firza yang semakin lama tampak semakin menarik di mata Shena.
Perempuan seperti Shena yang aslinya sangat to the point dan ekspresif akan merasa benar-benar tersiksa jika tidak memiliki teman untuk segera menyuarakan isi pikirannya tentang pria yang berada di sebelahnya saat itu.
Seandainya sekarang bisa mengirimkan pesan kepada Kak Shinta, Shena pasti akan langsung mengetik, "Kak... Gilaaak.. Tebak dong temen seperjalanan gua 13 jam ke depan kayak gimana?"
But at this time, Shena harus menutup mulutnya rapat-rapat dan hanya duduk seelegan mungkin di sebelah makhluk tampan dan ramah itu.
Seperti yang ayahnya selalu bilang padanya dulu, "Shena anak Ayah... Apapun kondisi kesulitan yang sedang kamu lalui, percayalah pasti akan selalu ada hal baik yang bisa kamu nikmati."
Dan mungkin begini salah satu contohnya.
Ahhh... Ayahnya tak pernah salah jika memberi wejangan kepadanya.
"Udah pernah ke Cape Town sebelumnya?" Pertanyaan Firza mengembalikan pikiran Shena ke kabin pesawat.
"Belom pernah. Pertama kali...dan sendirian." Shena nyengir lagi sambil sedikit mengedikkan bahunya sok oke.
"Wow... keren. Kamu berani. Padahal Cape Town... Yaahh..." Firza sedikit memiringkan kepalanya seperti sedang berpikir.
"Emang kenapa? Serem ya? Kamu udah sering?" Shena memutar kepalanya dan melihat Firza lekat-lekat merasa seperti sudah mengenal lama pria itu.
Firza menjadi agak kikuk dan kemudian tertawa renyah, serenyah emping soto.
"Belom pernah juga. Sama dengan kamu. Ini pertama kali." Firza menjawabnya disertai dengan cengiran jahil.
"Yeeee...." Shena mendorong pelan bahu Firza dengan bahunya.
Asli saat itu Shena merasa dirinya menjadi sangat sok asyik. Dia merasa berlebihan bersama orang asing yang baru dikenalnya beberapa saat.
Perasaan kikuknya datang lagi, tiba-tiba Shena merasa gerah dan melipat selimutnya. Firza juga mengangkat selimutnya yang masih terbungkus plastik dan meletakkannya di kantong depan kursi. Buku yang sedari tadi dipegangnya pun ikut disimpan di kantong itu.
Shena tak sengaja menatap paha Firza. Sejak tadi paha pria itu tertutup oleh selimut dan bukunya. Shena semakin merasa gerah.
Ya Tuhan... Kenapa perpaduan jari-jari dan paha pria di sebelahnya ini bisa membuat pikirannya camping ke mana-mana. Padahal pria di sebelahnya berpakaian tertutup lengkap. Shena merasa pikirannya mirip seorang pikiran pria mesum, tak pantas rasanya seorang wanita memiliki pikiran seperti yang ada di dalam kepalanya saat itu.
Shena membenarkan letak syalnya, membukanya lalu memakainya lagi. Persis pramugari yang sedang melakukan peragaan alat keselamatan dalam pesawat.
Kemudian Shena merasa Firza sedang mengamatinya. Shena lalu menatapnya, "yaa... ada apa Pak?"
Firza seperti terkesiap. "Syal kamu sepertinya pernah aku liat. Tapi mungkin cuma ingatan samar aku aja."
"Ohh.. syal ini? Dari ayahku. Lebih tepatnya, ini hadiah ulang tahunku yang ke 17 dari Ayahku yang sekarang udah meninggal." Shena sedikit tertegun sambil memegang ujung syalnya.
Firza langsung merasa tidak nyaman karena sepertinya pembicaraan itu mengangkat suatu topik yang sensitif bagi wanita di sebelahnya. Pria itu membetulkan posisi duduknya. "Maaf ga maksud buat kamu sedih, aku cuma..."
"Engga kok... Ga apa-apa. Tapi syal ini memang diberi ayahku sebagai hadiah ulang tahun yang ke 17. Waktu itu aku sibuk pergi makan ke cafe bareng temen-temen. Remaja 17 tahun yang egois pergi bareng temen-temennya, yang tanpa sadar sedang ditunggu ayah-ibunya di rumah untuk makan malem sama-sama. Sampai di rumah agak larut waktu itu, aku ngeliat rumah udah rame ama tetangga, ayahku kena serangan jantung. Tetangga sibuk bantuin ibu ngangkat ayah masuk ke dalam mobil. Yang kulakuin malah lari ke dalem rumah dan ngeliat meja makan penuh ama makanan. Ada kado juga di atas sana, kado dengan tulisan ayah. Katanya 'untuk Shena anak Ayah'. Aku ngebuka kado itu dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Isinya syal ini." Shena melirik Firza yang masih dengan tekun menyimak ceritanya.
"Aku ga sadar ibu di mana waktu itu, yang kuingat cuma mengalungkan syal ini ke leherku seketika dan ikut berlari di sepanjang tempat tidur rumah sakit yang nganter ayahku masuk ruang IGD. Tapi terlambat. Ayah ga tertolong lagi. Aku bahkan meyakini kalo ayahku sebenarnya udah meninggal saat masih di rumah. Mungkin para tetangga membawanya ke rumah sakit hanya untuk memuaskan hati kami. Aku terlambat pulang hari itu. Ga sempat ketemu ayah. Ayah dan ibu nungguin untuk makan tapi aku malah asik dengan teman-temanku. Aku ga punya ponsel, jadi kedua orangtuaku cuma bisa berharap aku cepat pulang ke rumah".
Perasaan bersalah yang sama selalu datang tiap Shena menceritakan soal syal yang selalu dipakainya. Shena tak pernah merasa bosan untuk menyiksa dirinya sendiri dengan menceritakan hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Shena belum move-on dari rasa bersalahnya pada malam itu. Mungkin lebih tepatnya, dia belum mau membiarkan dirinya untuk move-on.
"Jadi Ayah kamu meninggal malam itu?" Firza melembutkan suaranya karena bersimpati dengan cerita Shena. Tatapan mata Firza juga ikut melembut. Shena meneruskan ceritanya.
"Iya, kata dokter jaga malam itu, ayah udah meninggal beberapa saat dari sebelum tiba di rumah sakit. Selanjutnya aku ga tau aku ngapain lagi di rumah sakit itu. Aku nangis ga berenti serasa duniaku runtuh. Dan kenyataannya emang bener, duniaku runtuh malam itu. Aku ga inget apa-apa lagi, cuma ada bayangan sekilas di dalam ingatanku salah seorang dokter dari ruang IGD itu keluar untuk menepuk-nepuk pundakku. Aku cuma ngeliat ujung sepatunya aja." Shena tersenyum ke arah Firza dan kemudian dia melirik jamnya.
"Udah ah...tidur yuk. Emang kamu ga takut jetlag kalo ga tidur? Perasaan dari tadi kamu seger terus ga keliatan ngantuk." Shena kembali membuka selimutnya.
"Ya udah kamu tidur duluan aja sebelum pesawatnya berguncang lagi. Sebentar lagi aku juga pasti ngantuk." Firza tertawa pelan diikuti senyum usil karena mengingat tingkah dan ekspresi Shena tiap pesawat mengalami turbulence.
"Ya udah...aku tidur ya. Night Fir" Shena memposisikan tubuhnya setengah membelakangi Firza dan menghadap jendela kabin yang tertutup. Suara mesin pesawat samar-samar terdengar di telinganya.
Aura sedih selalu menyusup tiap dia mengingat cerita syal dari Ayahnya yang telah diceritakannya ratusan kali kepada Ramon.
Hah? Ramon? Siapa itu? Pikiran Shena kemudian terbang ke alam mimpi.
Sementara Firza membuka plastik pembungkus selimutnya pelan-pelan agar tidak mengeluarkan suara berisik.
Pikirannya terbang ke masa-masa dirinya menjadi koas di rumah sakit pemerintah dulu. Tengah malam, pasien gagal jantung menuju ke UGD. Tapi pasien tak terselamatkan. Anak perempuannya menjerit-jerit histeris sepanjang ayahnya berusaha diselamatkan. Dan ketika salah satu Dokter menyampaikan ke anak perempuan itu bahwa sang ayah sudah meninggal, anak perempuannya berhenti menjerit histeris. Berjalan melenggang keluar ruangan. Karena penasaran Firza mengikutinya.
Dan kemudian dirinya melihat anak perempuan yang membawa ayahnya ke rumah sakit tadi menangis tertahan dengan posisi duduk menekukkan kaki dan merapatkan dirinya ke dinding seolah tak ingin terlihat. Firza mendekatinya untuk menepuk-nepuk pundaknya mengisyaratkan
"Kamu yang kuat yaa.."
Iya. Anak perempuan itu ternyata Shena.
Cerita 9 tahun yang lalu dilengkapi hari ini di dalam pesawat. Begitu ajaib dan uniknya takdir melengkapi tiap potongan cerita masing-masing manusia.
Firza menatap Shena yang sudah terlelap, pelan-pelan dia membetulkan letak selimut di bahu Shena yang terlipat.
"Kamu yang kuat yaa.." bisik Firza lirih.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Mytha🕊
gokil bgt shenaaaaa, ampe segitu telitinya segala jarinya firza ampe di perhatiin 😆
2024-03-07
1
Triple R
rambut mana lagi yang si bayangin
2024-01-27
2
maytrike risky
🤣🤣🤣🤣Pesonanya lebih lebih dari si setan
2023-12-19
2