Seperti biasa, saat take-off dan landing merupakan saat yang menyiksa bagi Shena. Ia harus memejamkan mata rapat-rapat dan tangannya mencengkeram erat pegangan kursi. Untungnya lampu kabin nyaris gelap gulita hingga tidak ada yang melihat wajah pucat pasinya saat itu.
Ternyata Tuhan memang baik ke hamha-Nya. Setelah Ramon pergi, dalam perjalanan ini setidaknya aku diberi pemandangan yang memanjakan mata. 13 jam mungkin bisa jadi pengalaman perjalanan paling manis dalam hidupku.
Saat membetulkan letak tasnya, Shena sempat menoleh ke sisi kanan. Ia melihat Bu Sofia sudah kembali tertidur dengan bantal lehernya. Hatinya terbersit rasa iba karena melihat Sofia bepergian sendiri. Sebagai anak, mungkin ia tidak akan membiarkan ibunya bepergian sejauh itu sendirian. Memandang Sofia, membuat Shena tanpa sadar melirik pria di sebelahnya.
Pria bernama Firza yang mungkin seorang dosen itu menyilangkan kedua tangannya di dada. Pegangan kursi sepenuhnya dibajak Shena. Pria itu tampak santai dan sepertinya tidak terlalu membutuhkan pegangan. Shena kembali memejamkan mata. Ia sedih rileks karena makhluk ganteng yang dari postur tubuhnya sangat bisa diandalkan.
Mahasiswinya pasti rajin masuk kuliah karena dosennya begini.
Setelah pesawat mencapai posisi stabil di langit Indonesia, lampu kabin segera menyala. Dengan berdeham pelan Shena merapikan rambut dan kembali menyerahkan hak pegangan kursi pada Firza.
Firza masih asyik membaca, tapi perlahan mulai meletakkan tangan kirinya bertumpu di pegangan kursi. Shena melirik dengan lega.
Diam diam Shena melemparkan pandangan ke Firza. Pria itu masih asyik membaca hingga ia merasa aman meneliti lengan berisi dibalik kemeja yang lengannya tergulung ke siku.
Ini cowo nggak putih banget kayak Ramon. Tapi warna kulitnya malah bikin dia keliatan makin laki. Jantan. Menantang. Eh ....
Ya, Tuhan. Bersihkan isi kepalaku dengan hal-hal nggak baik.
Shena memejamkan mata beberapa detik. Lalu ia kembali membukanya saat pramugari mendekat dan menawarkan minuman.
"Teh, kopi, atau jus, Bapak?" tanya Pramugari yang berhenti di sebelah Firza.
"Saya air mineral aja," sahut Firza. Pramugari mengisi cangkir kertas dengan air mineral dan menyerahkannya pada Firza.
"Untuk ibunya mau minum apa, Pak?" tanya pramugariagi.
Firza menoleh Shena yang sudah menjulurkan selimut dan menutup tubuhnya nyaris semua meskipun Shena sebenarnya tidak tidur. Sebelum Shena berbalik untuk menjawab, Firza langsung menjawab, "Oh, sama. Air putih aja. Mungkin bangun tidur nanti haus." Firza tersenyum dan kembali menerima segelas air putih.
Shena yang belum menoleh, mengernyit. Pria di sebelahnya terlalu berani dan sok akrab, pikirnya. Setengah kekaguman yang sudah disusunnya dalam kepala mendadak hilang.
Sok tau banget, ya. Terlalu inisiatif. Kayanya aku nggak bisa temenan sama dia. So sorry. Kayanya nggak cocok. Sorry kalau aku nggak akan meladeni kamu ngobrol.
Belum lagi Shena puas mengata-ngatai Firza dalam pikirannya, tiba-tiba pesawat berguncang. Shena sontak memejamkan mata dan mencengkeram pegangan pesawat. Sangat erat. Sekeras-kerasnya.
Pengumuman dari kokpit pun mengingatkan penumpang untuk tetap kenakan sabuk pengaman. Shena masih memejamkan mata dengan mulut komat-kamit.
Aduh, Ibu. Katanya pesawat kara jauh lebih besar dan nggak akan segini goyangnya. Ibu, aku takut.
Doa Shena terjawab. Guncangan pesawat berhenti dan tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Ia menegakkan tubuh dan memandang satu tangannya yang sejak tadi mencengkeram Firza dengan keras. Shena mengangkat tangannya dengan gugup. Wajahnya masih pucat pasi.
"M-maaf," ucap Shena.
Firza mengangguk seraya mengambil gelas kertas berisi air putih. "Minum dulu. Kamu pucat," kata Firza.
Tanpa mengatakan apa pun, Shena meneguk air putih sampai habis. Dalam hati ia mengutuk dirinya yang mengata-ngatai Firza saat meminta air putih untuknya.
Saat Firza melihat Shena menghabiskan air putih. "Kamu pergi sendirian?"
Shena mengangguk. Belum bisa mengatakan apa pun pada pria di sebelahnya.
"Lucu banget. Padahal penakut tapi berani pergi sendirian." Firza tersenyum geli seraya menggelengkan kepala.
"Maaf, Fir. Aku emang takut banget tiap pesawat mau take-off atau landing. Dan kayanya sewaktu pesawat goyang di atas pun aku takut. Entah kenapa. Mungkin karena rasanya kaki nggak nginjek bumi. Aku jadi parno." Shena ikut meringis. Berikutnya suasana yang tadi mulai santai, kembali canggung. Sepertinya mereka berdua tidak nyaman saat bicara saling memandang.
"Nggak apa-apa, kok. Santai. Jadi ... kamu benar-benar sendirian ke Cape Town?" Firza meletakkan bukunya di atas bungkusan selimut yang belum dibuka.
Shena kembali melirik jari-jari tangan Firza yang bertaut satu sama lain di atas buku yang baru saja diletakkannya. Baginya, untuk seorang laki-laki, jemari Firza sangat bagus. Panjang pipih dengan kuku yang digunting rapi. Rata. Tapi kerapian itu bukan hasil manicure. Firza pria yang rapi dan pembersih. Shena puas dengan penilaiannya itu.
"Iya, aku sendiri. Aku cuma liburan ke Cape Town. Pengen jalan-jalan aja dan stay maksimal ngabisin masa tinggal di sana." Shena mengulas senyum. Mulai menganggap bahwa Firza adalah temannya.
"Liburan?" ulang Firza.
Shena mengangguk. Shena tidak ingin mengeluarkan suara kalau itu tidak terlalu penting. Hampir semua penumpang sudah kembali tertidur. Dia tak mau menjadi penyebab terganggunya orang lain.
Iya. Liburan. Liburan karena patah hati. Ngabisin duit yang dikasih Ramon sebagai pesangon karena udah jadi pacar dia.
Shena susah payah menahan banyak obrolan. Ia belum mengantuk dan harusnya ia bisa menanggapi Firza dengan obrolan akrab. Tapi ... iya tidak mau. Saat itu ia tidak mau terlalu asyik dengan pesona pria yang baru dikenalnya.
Tapi andai saat itu dia bisa mengirimkan pesan pada Kak Shinta, ia pasti akan mengetik, "Kak ... tebak, dong, siapa teman perjalananku 13 jam ke depan?"
Dia harus elegan. Ia tidak ingin terlalu ekspresif menunjukkan perasaannya apa pun itu. Entah itu senang atau sedih. Atau takjub. Ia tidak mau lagi terlalu banyak berbagi perasaannya pada orang lain.
Ayahnya dulu selalu bilang, "Sesulit apa pun Shena, percaya di balik kesulitan itu ada hal indah yang menanti Shena. Jangan terlalu banyak menggerutu." Dan mungkin begini salah satu contohnya. Ia patah hati dan dalam pelariannya, ia bertemu orang baik. Juga menarik.
"Udah pernah ke Cape Town sebelumnya?" Pertanyaan Firza mengembalikan pikiran Shena ke kabin pesawat.
"Belum. Ini pertama kali. Sendirian." Shena meringis karena mendengar kalimatnya sendiri.
"Keren. Kamu pemberani," ucap Firza.
"Enggak. Aku nggak sekeren itu," sambut Shena jujur.
"Tapi kamu tetap bisa disebut pemberani. Padahal Cape Town itu ...." Firza sengaja menggantung kalimatnya.
"Emang kenapa? Serem ya? Kamu udah sering?" Shena memutar kepalanya dan melihat Firza lekat-lekat merasa seperti sudah mengenal lama pria itu.
Firza menjadi agak kikuk dan kemudian tertawa renyah. Mungkin setengah emping soto, pikir Shena.
"Belum pernah juga. Sama dengan kamu. Ini pertama kali," Firza menjawab disertai dengan cengiran jahil.
"Yeee ...." Shena mendorong pelan bahu Firza dengan bahunya.
Oh, my God. Sok asyik banget aku. Mana tiba-tiba jadi gerah gini.
Ternyata perasaan gerah itu tidak hanya dirasakan oleh Shena. Firza juga mengangkat selimutnya yang masih terbungkus plastik dan meletakkannya di kantong depan kursi. Firza juga meletakkan buku yang dibacanya di kantong kursi pesawat. Sedangkan Shena melipat selimutnya dan juga menjejalkannya ke kantong kursi.
Adegan itu membuat mata Shena tak sengaja menatap paha Firza yang sejak tadi tertutup selimut. Shena tak sengaja menatap paha Firza. Sejak tadi paha pria itu tertutup oleh selimut dan bukunya. Shena semakin merasa gerah.
Shena membetulkan letak syalnya, membuka lalu memakainya lagi. Persis pramugari yang sedang melakukan peragaan alat keselamatan dalam pesawat.
Kemudian Shena merasa Firza sedang mengamatinya. Shena sontak berbalik dan membalas tatapan pria itu. "Ya? Ada yang aneh, Pak?"
Firza seperti terkesiap. "Syal kamu sepertinya pernah aku liat. Tapi mungkin cuma ingatan samar aku aja. Nggak terlalu yakin. Itu syal beli di mana?"
"Oh ... syal ini? Ini dari ayahku. Lebih tepatnya, ini hadiah ulang tahum sweet seventeen dari ayahku yang sekarang udah meninggal." Shena sedikit tertegun sambil memegang ujung syalnya.
"Maaf. Aku nggak ada maksud buat kamu sedih. Syal ini unik dan aku rasa selama ini nggak pernah liat syal yang begini. Makanya aku tanya. Bisa jadi almarhum ayah kamu buatin itu khusus." Firza tersenyum tulus.
"Aku nggak apa-apa, kok. Tapi ide kamu tadi boleh juga. Bisa jadi ayahku memang buatin ini khusus buat aku. Soalnya ibu juga nggak tau. Dan dalam kotaknya nggak ada merek atau apalah. Aku juga nggak pernah liat orang lain pakai suap begini. Lalu ... kamu liat di mana?" Gantian Shena bertanya. Firza terlihat seakan baru tersadar dengan percakapan itu.
"Syal? Oh, mungkin aku cuma salah liat. Nggak sama. Sepertinya beda," kata Firza tak yakin.
"Beda ya syalnya? Kalau syal ini ... ini memang dikasih ayahku buat kado ulang tahun. Waktu itu aku sibuk pergi makan ke cafe bareng temen-temen. Remaja 17 tahun yang egois pergi bareng temen-temennya. Aku nggak mikir kalau ayah-ibuku nunggu di rumah buat makan malam keluarga." Shena memalingkan wajah. Tidak lagi menatap Firza melainkan dua gelas kertas di meja Firza.
"Lalu?" tanya Firza. Ia mulai penasaran dengan cerita hidup Shena.
"Zaman itu aku nggak ada ponsel. Aku sampai di rumah agak larut waktu itu. Aku ngeliat rumah udah ramai tetangga. Mereka bilang ayahku kena serangan jantung. Tetangga sibuk bantuin ibu ngangkat ayah masuk ke mobil. Yang kulakuin malah lari ke dalam rumah dan ngeliat meja makan penuh makanan. Ada kado juga di sana. Kadonya ada tulisan ayah. Tulisannya, 'Untuk Shena, Anak Ayah'. Aku buka kado itu dalam perjalanan ke rumah sakit. Isinya syal ini." Shena lalu melirik Firza yang masih tekun menyimak ceritanya.
"Jadi, ayah kamu yang ...."
"Yang apa?" tanya Shena karena Firza menghentikan ucapannya.
"Nggak apa-apa. Lanjutnya?" tanya Firza cepat-cepat untuk mengalihkan perhatian Shena.
"Lalu aku nggak sadar Ibu di mana waktu itu. Yang aku ingat, aku cepat-cepat pakai syal ini dan lari ngikutin ke mana Ayah dibawa. Ayah masuk ke IGD. Waktu itu seseorang di ruangan ngomong kalau Ayah udah meninggal. Aku percaya. Detik itu aku bahkan mengira kalau Ayah meninggal di rumah. Mungkin tetangga bantu bawa Ayah kke rumah sakit cuma untuk memuaskan hati kami." Shena mendongak untuk menghalau air matanya keluar. "Aku terlambat pulang hari itu. Nggak sempat ketemu ayah. Ayah dan ibu nungguin untuk makan tapi aku malah asyik dengan teman-temanku." Vena nyaris terisak. Cepat-cepat ia memalingkan wajah untuk memandang jendela yang menyuguhkan kegelapan. Hanya lampu di ujung sayang pesawat yang berkedip-kedip.
Aku nggak akan pernah puas menyiksa diriku dengan menceritakan itu berkali-kali. Aku memang belum bisa lupa kalau aku nggak ketemu Ayah di saat-saat terakhirnya. Sampai kapan pun kurasa perasaan bersalah ini akan sulit hilang.
"Jadi ... ayah kamu meninggal malam itu," ucap Firza dengan lembut. Tatapan matanya pun ikut melembut.
"Iya. Kata dokter jaga malam itu, ayah udah meninggal beberapa saat sebelum tiba di rumah sakit. Selanjutnya aku nggak tau apa yang aku lakukan di rumah sakit. Duniaku runtuh malam itu. Aku keluar IGD. Aku nggak ingat di mana aku menumpahkan sedihku. Yang pasti bukan di depak Ibu. Aku nggak ingat apa-apa lagi. Ingatan itu memudar. Tapi ... aku ingat ada orang yang menepuk-nepuk pundakku di luar IGD. Aku nggak liat siapa. Aku cuma bisa liat ujung sepatunya." Shena kemudian tersenyum pada Firza.
"Dan akhirnya kamu di sini," kata Firza.
Shena mengangguk. "Ya, udah. Tidur, yuk. Biar kalau kita nyampe nanti, kita nggak jetlag. Emang kamu nggak takut jetlag kalo nggak tidur? Perasaan dari tadi kamu seger terus. Nggak keliatan ngantuk." Shena kembali membuka selimutnya untuk melemparkan tatapan penuh selidik.
"Ya, udah. Kamu tidur duluan aja sebelum pesawatnya berguncang lagi. Sebentar lagi aku juga pasti ngantuk." Firza tertawa pelan diikuti senyum usil karena mengingat tingkah dan ekspresi Shena tiap pesawat mengalami turbulence.
"Aku tidur, ya. Night, Fir." Shena mengubah posisinya sampai setengah membelakangi Firza untuk menghadap jendela kabin yang sudah ditutupnya. Ia memejamkan mata dengan suara mesin pesawat yang samar-samar terdengar di telinganya.
Aura sedih selalu menyusup tiap dia mengingat cerita syal dari ayahnya yang telah diceritakannya ratusan kali kepada Ramon.
Hah? Ramon? Siapa itu?
Pikiran Shena kemudian terbang ke alam mimpi.
Sementara itu Firza membuka plastik pembungkus selimutnya pelan-pelan agar tidak mengeluarkan suara. Ia menoleh pada Shena dan mengulas senyum tipis.
Pikirannya terbang ke masa-masa dirinya menjadi koas di rumah sakit pemerintah dulu. Suatu malam, pasien gagal jantung menuju ke UGD. Pasien itu tak terselamatkan. Anak perempuannya menjerit-jerit histeris sepanjang ayahnya berusaha diselamatkan. Dan ketika salah satu dokter menyampaikan pada keluarga bahwa pria itu tidak bisa diselamatkan dan telah meninggal beberapa saat lalu, seorang remaja berjalan keluar IGD begitu saja. Karena penasaran dan rasa khawatir, Firza mengikutinya. Jelas ia khawatir pada remaja itu. Jiwa muda remaja bisa saja labil dan melakukan hal tidak-tidak karena kesedihan.
Dan kemudian ia melihat anak perempuan tadi menangis tertahan dengan posisi duduk di lantai. Gadis itu memeluk kedua lututnya dengan bahu berguncang. Mati-matian menahan air mata yang sulit dihalau. Firza mendekati gadis itu untuk menepuk-nepuk pundaknya. Ia sempat berkata pelan, "Kamu yang kuat ya ...."
Ternyata anak perempuan itu Shena, pikirnya. Cerita 9 tahun yang lalu dilengkapi hari ini di dalam pesawat. Begitu ajaib dan uniknya takdir melengkapi tiap potongan cerita manusia.
Firza menatap Shena yang sudah terlelap dan pelan-pelan membetulkan letak selimut yang terlipat di bagian bahu.
"Kamu yang kuat ya," bisik Firza.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Tarsini Fahri
masih bagus cerita yang dulu thor
2025-01-03
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Iya Pak dokter, penguat aku sekarang udah datang🤭
2024-11-01
0
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Ya Allah ikut deg²an
2024-11-01
0