Firza dan Shena masih memejamkan mata, ciuman mereka berakhir ketika Firza menariknya ke dalam dekapan. Shena membenamkan wajahnya di dada pria itu.
Langkah-langkah kaki semakin mendekat ketika tiba-tiba saja seekor babi hutan keluar dari balik pohon yang jaraknya tak sampai satu meter dari tempat mereka. Para makhluk itu tampaknya terkejut dan seperti memaki-maki dalam bahasa yang di telinga Shena seperti orang yang sedang kumur-kumur sikat gigi.
Salah seorang dari makhluk itu tampaknya menusuk babi hutan itu dan tertawa-tawa. Mereka berjalan menjauhi pohon tempat Shena dan Firza bersembunyi.
Perlahan Shena mengangkat wajahnya untuk melihat Firza, Firza masih menjulurkan kepalanya dari balik pohon untuk melihat kemana makhluk-makhluk mengerikan itu pergi.
Shena melihat kemeja Firza telah basah oleh airmatanya. Firza kemudian melihat Shena, pandangan mata sayu Firza begitu dalam menatapnya. Entah apa maksud pandangan itu, tapi mereka saling menatap tanpa bicara lebih dari 10 detik. Nafas pria itu masih tersengal-sengal saat pandangan mereka saling bertemu.
Kemudian Firza memeluk Shena lagi, kepala Shena tepat berada dibawah dagunya.
"Maaf." Firza menggumam lirih sambil mencium puncak kepala Shena.
Shena tak menyadari kalau pria itu baru saja mencium kepalanya yang sudah pasti tak karuan aromanya.
Merasa baru saja lepas dari maut, mereka kembali ke lokasi mereka, masih dengan mengendap-endap. Kaki Shena masih terasa sakit jika dibawa berjalan cepat. Tapi karena insiden darurat yang barusan terjadi, dia merasakan kalau kakinya sudah lebih bisa diajak kompromi.
Segala sesuatu yang terjadi karena terpaksa memang tak ada kata tidak bisa. Sekarang kakinya terpaksa sembuh sendiri.
Seandainya bukan karena di tengah hutan begini, karena keseleonya ini, mungkin saja dia memakai kursi roda dan didorong ke mana-mana oleh Ramon.
Ahh... Ramon lagi... Ramon lagi. Shena menggeleng dan berdecak pelan menepis pikirannya.
Ini sudah memasuki hari kedua mereka di hutan, para penumpang yang berasal dari benua yang sama terlihat lebih cepat akrab. Chen sang suami dari pasangan yang berbulan madu ternyata orang yang cukup humoris. Meski terkadang Shena tak mengerti apa yang dibicarakannya bersama sang istri dalam bahasa mandarin, tapi melihat sang istri tertawa, Shena tahu kalau Chen berusaha menghibur istrinya.
Chen juga sering tertawa ke arah Shena jika menyadari Shena sedang mengamati mereka. Shena mengetahui nama pria itu ketika Chris memanggilnya. Setiap berbicara, Chris dan Chen juga selalu menggunakan bahasa Mandarin dengan aksen yang sama.
Firza dan Shena kembali duduk di tempat mereka. Hilmi mendatangi mereka seperti hendak membicarakan sesuatu, tapi pemuda itu malah terlihat heran dengan ekspresi Firza.
"Kamu demam? Wajah kamu merah," tukas Hilmi pada Firza.
Shena berpura-pura tidak mendengarnya dengan membuka tas dan mengaduk-aduk isinya. Dia tak mencari apa-apa. Shena tidak penasaran kenapa wajah Firza memerah. Syok yang baru saja mereka alami dan apa yang mereka lakukan di balik pohon sudah merupakan alasan yang kuat bagi pria maskulin di sebelahnya itu untuk tersipu.
Untungnya Hilmi hanya mengamati wajah Firza, padahal wajah Shena mungkin terlihat lebih kacau lagi.
"Aku baik-baik saja, cuma kepanasan," ucap Firza seraya terkekeh. Hilmi kemudian tersenyum seperti menyadari sesuatu.
"Saya nak cakap, dua lelaki asing berkulit gelap seperti mengetahui sesuatu. Mereka berdua sering berbisik sambil menengok kita semua. Seorang yang pergi tak nampak lagi. Mungkin ke tandas." Hilmi bicara dengan suara rendah.
Firza melihat ke arah Mike yang duduk sendirian menunduk mengusap-usap kepalanya. Firza ingin memberitahu kepada ketiga pemuda itu apa yang baru saja mereka lihat tadi bersama Shena. Tapi Firza tak ingin menimbulkan kesan kepada para penumpang lain bahwa mereka membentuk kelompok di dalam kelompok.
Kemudian Firza berbisik kepada Hilmi. "Sebelum kembali kesini kami berpapasan dengan tiga orang makhluk yang sangat aneh dan mengerikan. Awalnya Shena mengira itu Hana karena salah seorangnya mengenakan pakaian Hana. Tapi ternyata bukan. Entah apa yang terjadi pada Hana, dan makhluk-makhluk itu sedang membawa bagian tubuh manusia."
Hilmi membelalakkan matanya, Firza memberi kode agar tetap tenang kemudian dia melanjutkan.
"Sepertinya makhluk-makhluk itu yang membawa semua mayat dari dalam pesawat. Menurutku tempat tinggal makhluk itu nggak jauh dari sini. Aku dan Shena hampir saja tertangkap barusan. Beritahu temanmu dan pasangan itu, kita tak akan aman kalau terlalu lama berada di sini." Firza bicara dengan tatapan waspada yang sesekali berpindah memandang orang asing di dekat mereka.
Hilmi menelan ludahnya berkali-kali, kemudian segera paham apa yang dimaksud Firza dia berdiri dan kembali duduk bersama teman-temannya.
Shena mengeluarkan syalnya dari tas, benda itu sangat menolong untuk membuatnya merasa aman dan dekat dengan rumah. Baginya syal itu mengeluarkan aroma bantal dan tempat tidurnya. Dia tak memakainya, hanya melihat dan melipat kembali syal itu serta memasukkannya kembali ke tas. Dia khawatir syal itu bakal kotor atau hilang.
Firza meneguk air mineral yang isinya tinggal setengah, kemudian dia menawarkannya pada Shena. Shena mengambil botol air itu dari tangan Firza dan meneguknya. Sambil minum terbayang di kepala Shena betapa panas dan mendebarkannya ciuman mereka tadi.
Tapi demi apapun di dunia ini dia tak akan mau lagi berciuman dalam keadaan sambil bertaruh nyawa seperti tadi.
Shena sadar Firza melakukannya mungkin untuk mengalihkan pikiran Shena akan situasi mereka saat itu. Ditambah lagi mengingat mereka belum ada yang sikat gigi sejak mendarat di hutan ini, Shena tersenyum geli.
Aroma dan rasa bibir pria itu tetap enak baginya, hampir yakin Shena memastikan bahwa Firza bukanlah seorang perokok. Karena aroma Firza terasa begitu menyegarkan di mulut Shena.
Sebelum pikiran kotor lain masuk ke pikirannya, Firza membuka percakapan.
"Menurutku kita harus berpindah tempat sesering mungkin, bahaya sekali kalo kita berada disini terlalu lama. Kita belum tau apa yang ditakuti makhluk itu. Dan makhluk itu jelas-jelas memangsa manusia. Menurutku mereka semacam kanibal penghuni hutan ini. Apa ga pernah ada yang mengetahui keberadaan makhluk ini ya? Karna seingatku, aku belum pernah ngebacanya di jurnal mana pun." Firza berbicara sambil menulis diatas tanah menggunakan ranting, lebih tepatnya dia hanya menggambar bentuk lingkaran berulang-ulang. Pandangannya mengarah ke atas tanah dan lingkaran yang digambarnya.
"Ke mana pun kamu pergi, aku ikut. Jangan tinggalin aku sendirian di sini," sambung Shena.
*Seandainya situasi mereka saat itu hanyalah camping* sabtu-minggu dari kampus mungkin Shena bisa saja menyanyikan lagu yang lebih ceria. Dan Firza kemungkinan besar akan menjadi crush-nya di kampus khayalannya itu.
Ketika suasana hangat dan perasaan aman sedang menyebar di antara mereka, tiba-tiba saja Mike, si pria asing botak dan berkacamata berdiri dan berteriak.
"Tolong Freddie... Pasti terjadi sesuatu padanya. Sudah lebih satu jam dan dia belum kembali. Pasti terjadi sesuatu. Dia mengatakan hanya buang air kecil sebentar." Mike mulai menangis.
Di antara mereka tak ada yang menyadari jika salah seorang pria asing itu belum kembali ke tempat mereka berada. Mungkin dikarenakan kedua pria asing itu selalu tampak asik membicarakan sesuatu yang tak dimengerti orang lain di kelompok itu.
Freddie yang beberapa kali bergelagat ingin menggoda Shena sudah sejam lebih belum kembali dari buang air kecil. Tak ada yang ingin pergi berlama-lama memisahkan diri dalam situasi mereka sekarang jika tak terjadi sesuatu.
Mike, temannya Freddie tampak frustasi. Pria itu menggaruk-garuk kepalanya meski kepalanya tanpa rambut. Dia juga menendang-nendang benda apapun yang berada di dekatnya berdiri, meninju udara kosong di hadapannya.
Gejala kecemasan tergambar jelas dalam perilaku Mike. Firza dan ketiga pemuda berdiri menghampirinya dan mencoba menenangkan.
"Tenang, Pak. Bernapas seperti biasa. Kita semua akan mencari teman kamu." Firza menepuk-nepuk bahu Mike.
"Ke mana dia pergi?"Adly bertanya pada Mike. Mike menunjukkan arah belakang tempat mereka duduk tadi.
Kemudian Adly berkata sambil melihat wajah teman-temannya. "Ayo, kita temukan cari sama-sama."
Firza cepat menyanggah ajakan Adly dan berbicara. "Jangan semua. Harus ada yang tetap di sini. Hilmi dan Chris tetap di sini. Chen menjaga istrinya, sedangkan Saida dan Shena sendirian. Hilmi dan Chris bisa menjaga mereka disini. Aku ikut kamu."
Hilmi dan Chris mengangguk, Shena yang mendengar percakapan mereka kembali merasa was-was karena akan ditinggal Firza. Shena tak menyukai situasi jika harus berjauhan apalagi berpisah dengan pria itu di hutan ini. Tapi dia tak boleh egois, mereka saling membutuhkan satu sama lain sekarang.
Tak membutuhkan waktu lama bagi ketiga pria itu untuk segera beranjak menuju tempat yang ditunjuk oleh Mike. Matahari sudah semakin tinggi, mereka yang ditinggalkan di tempat itu hanya bisa diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Pepohonan yang tidak begitu rapat terkadang membuat mereka bisa melihat hewan-hewan kecil yang melintas.
Tapi pepohonan yang tidak begitu rapat ini juga membawa ketakutan tersendiri bagi Shena dikarenakan dirinya merasa begitu terekspos dari kejauhan. Makhluk-makhluk asing di luar sana dengan mudah bisa mengamati mereka. Itu sebabnya Shena selalu mencari pohon yang rapat dan terlindung sebagai tempatnya beristirahat.
Firza, Adly dan Mike sudah berjalan kira-kira seratus meter ketempat yang ditunjukkan oleh Mike tapi belum juga ada tanda-tanda Freddie di sekitar sana.
Mike mengangkat kedua telapak tangannya ke mulut hendak berteriak memanggil temannya tapi Firza menahannya. Firza khawatir suara Mike akan menuntun makhluk-makhluk itu ke arah mereka.
Kemudian Firza mengajak dua orang teman seperjalanannya itu untuk memutar searah jarum jam. Adly mematahkan dahan-dahan pohon rendah yang bisa dijangkaunya untuk membuat tanda di jalan yang mereka lalui.
Mike berjalan lebih dulu dengan tergesa-gesa, dia sepertinya tak sabar ingin mengetahui nasib temannya itu. Tak sampai 50 meter mereka berjalan, Mike jatuh ambruk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Oh Tuhan... Oh Tuhan. Mereka memakannya. Oh Tuhan, Freddie. Freddie yang malang. Kau mengatakan bahwa makhluk itu tak akan memakanmu, karena berkulit serupa. Oh Tidak, mereka pasti akan memangsaku juga." Mike meraung sejadi-jadinya.
Mike menjerit-jerit membelakangi sesuatu yang telah dilihatnya di atas tanah tadi. Firza dan Adly mendekati sesuatu itu dan melihatnya dari jarak dekat.
Tampak oleh mereka Freddie tergeletak dengan kondisi yang mengenaskan. Tangan dan kaki kirinya tidak ada lagi. Bagian lengan kemeja dan celananya yang terpotong terletak di dekatnya. Keningnya berdarah seperti penyok ke dalam, tanda bahwa sesuatu yang keras menghantam wajahnya dari depan. Karena wajah itu rusak parah. Itu juga berarti Freddie melihat orang yang melakukan itu padanya ketika ia diserang.
Adly menjauh dan muntah di belakang Firza. Firza masih mengamati kondisi mayat Freddie. Mike terus meraung-raung dan meracau mengatakan hal-hal aneh.
Firza berbalik dan berbicara pada Adly.
"Potongan kaki yang kulihat bersama Shena dan dibawa oleh makhluk-makhluk itu adalah kaki Freddie. Itu pasti kaki Freddie. Freddie sudah dibunuh sejak dua jam yang lalu saat aku dan Shena berpapasan dengan mereka. Kemungkinan besar makhluk itu akan kembali ke sini untuk mengambil potongan tubuh Freddie yang lain. Kita harus segera menjauh."
Adly yang memahami maksud Firza terhuyung-huyung menarik lengan Mike untuk pergi. Tubuh Mike yang besar menyulitkan Adly sehingga Firza ikut menarik Mike untuk pergi dari sana.
Setengah terengah-engah dalam perjalananan kembali mereka, Firza bertanya pada Mike dalam bahasa yang dimengerti pria itu, "Apa maksudmu mengatakan kalau Freddie pernah bilang makhluk itu tak akan memangsa kalian?"
Mike masih meracau dalam bahasa asing yang berarti : "Aku tak tau, tapi Freddie bilang dia tak takut, makhluk itu sudah lama tinggal di hutan ini, mereka hanya memangsa orang asing tapi tidak dengan yang berwarna kulit yang sama dengan mereka. Tapi mereka memakan Freddie. Mereka pasti akan memakanku juga. Ya Tuhan.. kukira selama ini makhluk itu hanya mitos saja. Habislah aku. Lebih baik aku mati saja ketika pesawat itu jatuh disini."
Pria asing itu terus menangis tersedu-sedu. Tak menyangka seoramg pria dengan tubuh sebesar itu ternyata bisa menangis tak henti-henti seperti anak kecil.
"Mereka akan mencincangku, aku hanya tinggal menunggu waktu." Mike kembali meratap.
Mike mengatakan semua hal yang ada dipikirannya saat itu. Firza dan Adly tetap konsentrasi berjalan cepat menarik Mike untuk pergi sejauh-jauhnya dari sana.
Pikiran Firza berjejalan di dalam kepalanya.
Berarti selama ini kedua pria asing yang bersama mereka tau makhluk apa yang sedang mengawasi mereka di dalam hutan. Alasan Freddie begitu santai selama ini adalah karena Freddie percaya diri tak akan dimangsa oleh makhluk-makhluk itu. Persediaan air mereka menipis, dan mereka harus segera berpindah tempat sesering mungkin. Mereka harus bergerak selangkah lebih dulu ketimbang makhluk-makhluk itu. Tapi tampaknya malam ini mereka masih akan aman beristirahat karena Freddie sudah tersaji untuk 'makan malam' mereka.
Terbayang lagi di kepalanya, tubuh Freddie dengan sebelah tangan dan kaki. Potongan tubuh itu begitu halus menandakan bahwa senjata pemotongnya sangatlah tajam dan pelakunya sangatlah mahir melakukan hal itu.
Di mana ada mata air, di situ ada kehidupan. Mereka harus segera mencari sungai.
Firza memantapkan rencananya untuk segera menemui Shena dan berkemas. Mereka harus pergi sebelum gelap.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Mereka memang d biarkan hidup, dan mereka itu keturunan orang kaya ..
adanya makhluk itu karena uji coba orang tuanya, yg menginginkan anak ..
2024-11-01
0
Indah Lestari
terbiasa baca novel sweet romance, eh ketemu novel ini.. di baca terus deg"an, gak di baca kepikiran🫥
2024-12-09
0
Indah Lestari
kok aq deg"an yah
2024-12-09
1