Anna mengembuskan napas berat ketika tiba di ruang tamunya dan melihat Simon sudah duduk dengan santai. Leon yang datang dari arah belakang Anna segera menghampiri ayahnya dan menunjuk ke arah kantong berisi makanan yang tadi mereka bawa.
"Daddy, makanannya dibawa ke belakang atau biar di sini saja?" tanya Leon.
"Biar di sini saja Leon. Daddy tidak muat jika kita makan di meja Mam Ann di belakang."
Anna mengernyit mendengar ucapan Simon. Bukan karena ucapan Simon yang mengatakan secara tidak langsung bahwa dapurnya kecil, tapi karena kesimpulan bahwa ayah dan anak itu mau makan malam di pondoknya membuat Anna merasa gusar.
Leon menganggukkan kepala ke arah ayahnya, lalu memandang ke arah Mam Ann yang diam tidak bergerak, hanya memandangi Leon dan ayahnya silih berganti.
"Mam, kami akan makan malam bersama Mam. Makanannya sudah Daddy bawa. Jadi Mam tidak perlu memasak untuk malam ini."
"Tung-tunggu dulu, Leon ... ini ... tidak bisa. Kenapa tiba-tiba sekali dan kenapa harus di sini. Mr. Bernard ...." Anna berhenti bicara ketika Simon bangkit berdiri dan berbalik, melangkah ke arahnya. Di bawah penerangan lampu pondoknya yang tidak seberapa, sosok pria itu tampak tinggi dan besar. Bayangan Simon memanjang bahkan sampai ke dinding pondok.
Anna bertatapan dengan mata Simon yang nampak berkilau dengan kesan menantang sekaligus agak geli. Sambil merapikan rambut hitamnya dengan jari-jari tangan, Simon berhenti satu langkah di depan Anna. Membuat ibu guru itu harus mendongak agar bisa terus bertatapan dengan wajah pria itu.
"Kau bilang aku hanya perlu menyediakan waktuku, bermain dengan Leon juga mendengarkan apa keinginannya. Aku melakukannya tepat seperti saranmu, Ann ... dan keinginan Leon saat ini adalah menikmati makan malam dengan ibu gurunya. Jadi di sinilah kami ...."
Kepala Anna menggeleng, kernyitan di keningnya makin dalam, bibirnya baru saja mau berucap ketika Simon sudah melangkah ke belakang.
"Ayo, Ann. Kita ambil piringnya."
Ucapan itu membuat Anna menyusul mengikuti Simon ke dapur.
Anna bermaksud menyuruh pria itu pulang bersama putranya. Namun tatapan penuh tekad di mata Simon membuatnya mengurungkan niat.
"Percuma kalau kau mau mengusir kami. Kau hanya akan membuat Leon sedih. Lebih baik kita siapkan piringnya, lalu makan malam tanpa banyak berdebat."
"Tapi, Mr. Bernard ...."
"Ya ampun. Simon, Ann. Panggil aku Simon."
Melihat Anna mengatupkan bibirnya rapat-rapat, Simon terkekeh geli.
"Piringnya Ann..."
Anna bergerak dengan terpaksa. Menyiapkan peralatan makan yang diperlukan dan membawanya ke ruang tamu.
Simon bersyukur makan malam itu akhirnya berlangsung lancar. Mereka makan bertiga di meja tamu Anna. Leon yang menguasai sebagian besar percakapan. Anna melayani semua pertanyaan Leon dan hanya bersedia bercakap-cakap dengan bocah itu. Simon tahu Anna sengaja mengabaikannya.
Ketika makan malam selesai, Anna menyibukkan dirinya dengan membereskan peralatan makan dan membersihkannya di dapur.
Mengikuti nalurinya, Simon bangkit dan berniat menyusul Anna.
"Leon tunggu di sini. Dad membantu Mam Ann dulu di belakang. Oke?"
Leon mengangguk dengan penuh semangat. Menatap sosok ayahnya sampai menghilang di pintu dapur.
"Ada yang bisa kubantu?"
Pertanyaan itu membuat Anna melirik, lalu ia menggelengkan kepala sambil terus mengerjakan pekerjaannya mencuci piring.
Simon bersandar di dinding, menjauhi pintu dan berada tepat beberapa langkah di belakang Anna.
Merasa diperhatikan dari belakang, Anna menoleh, mendapati sepasang mata pria itu mengawasinya.
"Mr. Bernard. Silakan duduk saja di depan."
Simon menjawab dengan mengangkat bahu.
"Atau pulang saja. Tidak baik pulang terlalu malam dengan seorang anak kecil." tambah Anna lagi.
"Boleh aku bertanya, Ann?"
Simon menatap Anna tajam. Membuat wanita itu akhirnya mematikan kran air. Ia berbalik menghadap Simon dan bersedekap. Bokongnya bersandar pada sisi wastafel.
"Baiklah. Tanyakan, lalu pulanglah, Mr. Bernard."
"Apa kau tidak pernah berteman?"
Anna mengernyit, heran dengan pertanyaan itu.
"Kau sulit sekali memanggilku Simon. Padahal itu adalah langkah awal agar kita bisa berteman baik."
"Saya tidak membutuhkan pertemanan dengan Anda."
"Teman tidak dilakukan hanya saat kau butuh, Ann ... Leon menyukaimu. Ia ingin mengenalmu lebih akrab. Hanya kau, ucapanmu dan kegiatan yang kau lakukan yang ia ceritakan ketika kembali ke rumah. Kau bisa berteman dengan Leon. Kenapa tidak denganku?"
"Leon murid saya, Mr. Bernard."
"Maksudmu, dengan Leon hanya sebatas kewajiban, begitu? Sedangkan denganku tidak ada istilah kewajiban. Dengan begitu tidak perlu menerima hubungan pertemanan atau apapun yang tidak perlu? Kenapa? Karena kau mampu hidup sendiri?"
"Itu bukan urusan Anda."
"Benar. Tapi aku sungguh penasaran. Sama penasarannya dengan Leon. Kau pikir kenapa Leon begitu memaksa datang kemari malam-malam begini? Cukup sekali datang kemari, kau sudah membuatnya ingin tahu lebih jauh tentang dirimu. Pondok ini mencerminkan misteri untuknya."
"Jauhkan Leon dari kehidupan pribadi saya, Mr. Bernard"
"Katakan sendiri padanya. Dia menyayangimu. Guru favoritnya. Usir saja dia sekarang," tantang Simon.
Anna menarik napas panjang. Menolak beradu kata dan kembali berbalik ke arah wastafel, memilih melanjutkan pekerjaannya mencuci piring.
Hening sementara di dapur tersebut sampai Anna selesai lalu mengelap tangannya dengan serbet.
"Boleh aku minta kopi?" tanya Simon. Ia masih bersandar dengan posisi yang sama.
Anna menoleh, bahasa tubuh pria tersebut memberitahunya bahwa Simon tidak akan bergerak untuk pulang sampai ia memutuskan sendiri bahwa sudah saatnya untuk pergi.
"Tentu," jawab Anna.
"Dengan sedikit gula," ucap Simon.
"Satu sendok? Setengah sendok?" tanya Anna sambil mulai mengambil cangkir dan membuat kopi.
"Setengah."
"Masih akan terasa pahit dengan gula setengah," ucap Anna sambil lalu.
"Itu cukup. Hariku sudah cukup manis, apalagi ditambah makan malam bertiga dengan seorang wanita cantik."
Ucapan Simon membuat Anna menoleh. Tidak ada wajah malu atau ekspresi tersanjung bahkan terkejut sedikit pun di wajah ibu guru itu. Tatapannya datar dan malah sedikit meremehkan ke arah Simon.
"Mr. Bernard. Anda memilih orang yang salah. Saya tidak menyukai ucapan manis, tidak menyukai rayuan, tidak menyukai pendekatan. Jadi hentikan apapun yang ada di pikiran Anda.
"Apa yang kupikirkan ... hanyalah keingintahuan atas kehidupan seorang ibu guru yang menurutku agak aneh. Pendekatan? Ya, hanya untuk membayar rasa ingin tahuku. Rayuan? Ucapan manis? Itu bukan rayuan, Ann ... itu hanya pujian untuk seorang teman. Karena jika itu rayuan, kau akan menemukan tubuhmu sudah dikelilingi oleh lenganku dari belakang sejak saat kau mulai membuat kopi. Jika itu rayuan, aku tidak akan mengucapkannya dari sini, tapi tepat dari belakangmu dan membisikkannya langsung ke telingamu."
Simon merasa sangat puas. Wajah Anna memerah malu mendengar ucapannya. Wanita itu membuang muka dan menyibukkan diri dengan kopi. Satu cangkir lagi tampak disiapkan oleh Anna. Wanita itu sepertinya memutuskan ia juga membutuhkan cafein.
Setengah menyeringai Simon memutuskan meninggalkan Anna dan menunggu kopinya di ruang tamu. Bergabung dengan Leon yang sudah mengatur posisi setengah tidur di atas sofa.
NEXT. >>>>>>>
**********
From Author,
Tabahkan hatimu, Mam Ann😆😆😆
Like jangan lupa ya, favorit, bintang lima dan komentarnya sekalian. Bantuin vote pengantin Simon bagi yang punya poin dan coinya🙏🙏😊
terimakasih pembacaku sekalian. Sayang kalian banyak-banyak. Muach😘😘😘😘😘🥰😁😁🤭🤭🤭
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Anonymous
keren beutt papa leon...rantetan kata2mu menghujam euyy
2023-10-08
1
Griselda Nirbita
seandainya aku yg jadi Anna.. aku akan meleleh dg sikap manisnya si Simon... hmmm
2023-03-13
0
Ney maniez
🤭🤭💪💪💪💪
2023-03-06
0