Dari lubang jendela, Martin melihat ke arah Anna dengan seringai lebar. Wanita itu tampak mengatur napas sambil berpegangan ke bingkai pintu kamar.
"Halo, Emillia. Lama tidak bertemu. Aku merindukanmu. Ah ... atau kau lebih suka kupanggil Anna?"
Anna memejamkan mata, mengatur debaran jantungnya yang bertalu tidak menentu.
"Martin, lepaskan anak itu."
Leon memandang Anna dengan mata terbelalak lebar. Tampak menahan sakit karena tubuhnya yang ditarik ke arah jendela membuat salah satu pipinya tertekan pada kayu.
"Buka dulu pintunya, Em."
Anna menelan ludah. Itu adalah perintah untuknya. Seperti dulu, Martin akan memerintah karena tahu Anna akan menuruti, sebab ia punya sandera. Anna menatap lekat pada Leonard.
"Kau punya telinga, Em. Buka pintunya sekarang. Tak perlu aku harus mengancam mematahkan lengan anak ini bukan?"
Leon mulai bergerak ketika mendengar kata-kata Martin.
"Mam Ann, siapa orang ini? "Leon berusaha menjauh, menyebabkan pegangan Martin makin kuat. Kedua lengan atasnya terasa seperti dipilin. Pipinya menggesek potongan kayu. Ia mengernyit kesakitan.
"Hentikan, Martin! Kau menyakiti anak itu!"
Martin mendengus. "Kalau begitu bukakan pintunya!"
Anna menyerah. Ia tidak mau membuat Leon menahan sakit. Kedua lengan atas dan pipi bocah itu pasti akan meninggalkan memar besok pagi. Anna bergerak ke arah pintu, membuka kunci, kait pengaman dan juga palang pintu.
"Kau begitu penurut jika ada sandera. Aku beruntung bocah ini ada di sini." Tawa Martin menggema.
Pintu ditarik hingga terbuka. Anna masih berdiri di dalam, memandangi Leon dan memberi isyarat agar bocah itu tetap tenang. Ia mencoba menyunggingkan senyum yang malah nampak seperti seringai, senyum terpaksa karena kecemasan dan khawatir.
"Kemarilah, Em!"
Anna menurut. Ia keluar dan berdiri di depan pintu, menghadap ke arah kirinya dimana Martin tegak dengan tangan memegangi Leon.
"Mendekat padaku!"
Anna berjalan perlahan hingga ia tiba di depan Martin.
Martin melepas pegangannya pada Leonard. Ia memegang Anna dan menatap wanita itu dari atas hingga bawah.
"Wanita bodoh. Siapa yang memasukkan pemikiran konyol ke otakmu itu. Berpikir kau bisa pergi begitu saja dariku?"
Anna tidak menjawab. Ia berdiri kaku ketika Martin menarik tubuhnya dan memeluk.
"Kau menginginkan aku bukan? Lepaskan anak itu. Biarkan ia pulang," bisik Anna pelan di dada Martin.
Martin terkekeh, ia melepas pelukan, lalu menarik Anna masuk ke dalam rumah.
Langkah kaki mereka baru saja melewati pintu ketika Anna bergerak cepat melepas pegangan Martin dan mengambil palang kayu penahan pintu. Ia baru saja akan mengayunkan benda itu ketika Martin menarik Anna dan mendorong tubuh Anna ke arah lantai untuk kemudian menahan dan meninndih dengan bobot tubuhnya.
Leonard menjerit. Ia baru saja akan bergerak mendekat ketika Anna berteriak.
"Leon! Pergilah dari sini! Cepatlah!"
Anna menahan Martin, menarik tubuh pria itu agar tetap meninndihnya. Memberi kesempatan pada Leon untuk lari. Ia bisa menghadapi Martin. Asalkan tidak ada yang dijadikan sandera oleh pria itu. Pria pengecut itu akan menggunakannya untuk mengendalikan Anna lagi.
"Mam bilang pergi!" Anna menjerit ketika ia melihat Leon hanya berdiri dengan kepala menggeleng dan mata melotot.
Kedua tangan Martin terkeliling di leher Anna. Pria itu mulai mencekik dan menekan dengan kuat. Kepala Anna sampai terdongak ke atas. Suara tercekik dan napas yang terhenti membuat kaki dan tangan Anna menggelepar berusaha melepaskan diri.
"Lepas! Lepaskan Mam!" Leon menabrakkan tubuhnya ke arah Martin. Kepalan tinjunya melayang ke arah kepala pria itu. Membuat Martin menoleh, lalu dengan segera melepas leher Anna. Berganti menangkap Leon dan membekap bocah tersebut.
Martin bangkit, satu tangan mengelilingi pinggang Leon, mengangkat tubuhnya dari belakang, satu tangan lagi membekap mulut bocah itu.
"Sudahi ini, Em. Ikut aku dan bocah ini akan baik-baik saja."
Anna sibuk mengisi paru-parunya dengan udara. Perlahan ia duduk di atas lantai. Memandang nanar ke arah Martin yang menyandera Leon.
"Jika kau menuruti semua kata-kataku, bocah ini akan kulepas ketika waktunya sudah tiba nanti."
Anna menatap Martin dengan pandangan putus asa. Jika Leon tidak di sini, maka yang ia akan lakukan adalah mengambil pedangnya di dinding, lalu akan menyerang pria itu. Ia tidak mau lagi hidup dengannya.
"Ingat Em, aku masih suamimu. Kau harus memenuhi keinginan keluarga besarku yang Maha mulia dan sempurna. Mereka ingin cucu dariku, Em. Jadi kita harus cepat-cepat memberikannya. Bukan begitu?"
"Martin, kau harus minum obatmu!"
Tawa Martin menggema mengerikan.
"Ayolah, Emillia. Aku sudah berhenti bekerja di perusahaan tak bermutu itu. Kau tahu aku hanya bermain-main di sana. Kita tidak butuh uang mereka. Keluargaku bisa memberikannya sebanyak yang aku minta. Asal aku memperlihatkan hidup yang normal dan bagi mereka, kaulah hidup normal tersebut. Jadi aku sudah mengurus pindah. Rumah baru, pekerjaan baru, tetangga-tetangga baru.Tetangga baru yang tidak akan mengurusi urusan kita! Tentu saja ketika pindah nanti, kita adalah pasangan berbahagia yang tengah menanti kelahiran anak pertama."
"Martin ... kau sudah gila! Kau tahu kau tidak bisa memenuhi semua keinginan keluargamu!"
Anna bangkit berdiri, Ia melihat Martin menurunkan Leon ke lantai.
"Tentu saja bisa. Mereka akhirnya mengakuiku. Itu luar biasa." Martin tertawa lagi. Anna memejamkan matanya, mengutuk keluarga Andreas yang sudah membesarkan Martin, orang tua yang hanya menginginkan kesempurnaan pada setiap putra-putri mereka. Membuat depresi berkepanjangan mengubah jiwa Martin. Kebutuhan untuk diakui membuatnya melakukan segala cara untuk menyenangkan orang tuanya.
"Martin ... bocah itu ... punya keluarga. Kau tidak bisa membawanya serta. Tinggalkan dia di sini dan aku akan mengikutimu dengan sukarela."
Kata-kata Anna membuat Martin melonggarkan pegangannya pada Leon.
"Kalau begitu ayo pergi sekarang."
"Tinggalkan anak itu."
"Tidak. Dia ikut. Dia baik-baik saja kalau kau menurutiku. Titik."
Anna menimbang, tampak ragu sejenak. Ia melihat wajah Leon yang pucat pasi ketakutan.
"Baiklah. Namun ijinkan aku bersamanya. Kau membuatnya takut."
"Aku yang memerintah di sini, Em. Ayo pergi. Sekarang!"
"Kalau begitu, ijinkan aku memakaikan jaket untuknya."
Martin mengangkat bahu, pernyataan terserah yang diiringi dengan mata menatap tajam dengan menyipit. Tanda agar Anna bergegas.
"Aku akan mengambil mantelku dulu," ucap Anna sambil menunjuk ke kamar.
Kembali Martin hanya mengangkat bahu.
Anna berjalan cepat menuju kamar. Menarik sebuah mantel di gantungan yang ada di balik pintu, sedetik kemudian ia memaki di dalam hati. Ponselnya tadi ia lempar ke sudut sofa. Ia tidak bisa menghubungi simon, lalu bergegas ia pergi ke arah ranjang, merogoh ke bawah bantal dan memasukkan pisau kecil bersarungnya ke dalam saku celana piyama.
Dengan tergesa Anna keluar lagi dari kamar. Ia tidak mau matanya teralihkan terlalu lama. Ia perlu terus mengawasi Martin. Leon harus segera dijauhkan dari pria itu. Sambil memakai mantel ia mencari keberadaan jaket Leon yang tadi diletakkan di ruang tamunya.
"Kemarilah, Leon. Pakai ini." Anna menatap ke arah Leon.
"Tidak. Kemarikan jaketnya!" perintah Martin.
Anna melempar jaket yang segera disambut oleh Martin.
"Pakai!" perintah Martin pada Leonard.
Bocah itu mengambil jaket, berusaha memasukkan tangannya yang gemetar ke dalam tangan jaket. Gerakannya sangat pelan dan tampak kesulitan.
"Ck!" Martin berdecak. Ia berjongkok, lalu memaksa tangan Leon masuk ke dalam jaket, membantu agar bocah itu cepat mengenakan jaketnya.
Melihat Martin yang sibuk memakaikan jaket, Anna mengeluarkan pisau, lalu membuka sarungnya dan bermaksud menghujamkan pisau tersebut ke punggung Martin. Leon menatapnya dengan mata terbelalak lebar sehingga memberi sinyal pada Martin bahwa Anna sedang melakukan sesuatu di belakangnya.
Martin menoleh, sedikit bergeser dari posisi. Membuat target Anna sedikit melenceng. Pisau kecil itu menusuk, membelah daging bagian lengan atas Martin. Ia berteriak marah sambil memegangi pisau.
Anna menarik Leon, berlari ke arah luar.
Martin melepas pisau Anna dan melemparnya ke sudut ruangan. Giginya gemeretak melihat percikan darah menodai lantai dan juga pisau yang ia lempar. Dengan cepat ia bangkit. Berlari keluar dan melihat kelebat Anna yang berlari sambil menarik Leon. Kakinya memburu keduanya, menerobos kegelapan malam.
NEXT >>>>>
**********
From Author,
Mana Daddynya nih😣😣😓
Pembaca sekalian,diharapkan jangan nabung bab ya, begitu up cuss baca. Mempengaruhi retensi baca tiap chapter. Level karya tergantung konsistensi pembaca membuka setiap bab. Jika berhenti karena bermaksud nabung dulu, langsung anjlok level. Kesian authornya dong😭
Like, love, bintang lima, komentar, dan vote untuk PS ya. Chapter kedua hari ini😁 Atas dukungannya author ucapkan terima kasih banyakkk.
Salam hangat, DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Griselda Nirbita
hedehhh aku jd tegang thor...
2023-03-13
0
Ney maniez
😱😱😠😠
2023-03-06
0
eli rina
bikin tegang bacanya ih😬
2022-09-25
0