Anna membuka pintu pondoknya, lalu berbalik ke arah Simon.
"Ini kediaman saya," ucap Anna. Melihat ekspresi Simon yang menggerakkan kepala ke seputar daerah pondoknya.
"ini sangat jauh dari pemukiman."
"Tidak. Di sana ada pondok lain tempat pasangan Wembley ...."
Simon mengikuti arah yang ditunjuk Anna. Ia tidak melihat apapun dibalik pepohonan dan juga rimbunnya semak.
"Apakah di sini tidak ada binatang buas?"
Anna menaikkan alis, pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh Leonard ketika datang ke pondoknya.
"Binatang buas? Seperti?"
"Serigala? Beruang?"
Anna menyembunyikan senyumnya. "Anda kebanyakan menonton film."
Simon mendekat ke arah pintu. Anna menghadangnya.
"Anda mau kemana, Mr. Bernard!?"
"Membawa ini masuk. Kau sepertinya tidak akan menyuruhku masuk."
Simon memaksa masuk, membuat Anna terpaksa bergeser kalau tidak mau ditabrak dan di dorong oleh pria itu.
Simon berhenti di balik pintu, memperhatikan dengan seksama sebuah kunci slot dengan rantai pengaman, lalu kunci biasa pada lubang kunci di pegangan pintu, kemudian sebuah palang kayu di tengah pintu.
Semuanya manual dan tradisional, batin Simon sambil masuk ke ruang tamu. Memperhatikan dengan seksama semua benda di ruangan tersebut, merekam hal yang ia anggap agak aneh, lalu ia berjalan ke arah dapur.
Anna mengerutkan kening tidak suka, tapi ia diam saja. Tetap berdiri di tempatnya di dekat pintu depan. Entah apa yang mau dilakukan oleh ayah muridnya tersebut. Yang pasti Anna akan membiarkannya dan hanya akan tegak berdiri di tempatnya sekarang sebagai tanda bahwa ia ingin pria itu cepat keluar.
Simon melihat sebuah pintu yang ada di dapur. Kunci yang sama seperti yang ada di pintu depan. Hanya saja pintu yang ini tidak berpalang. Ia mengedarkan pandangan, dua jendela kecil di bagian dapur dipasangi terali, namun lubang jendela hanya muat untuk ukuran tubuh seorang bocah kecil. Ia melakukan hal yang sama, memindai ruangan itu dan mencatat dalam hati.
Simon kembali ke ruang tamu, melirik sebuah pintu yang sepertinya adalah kamar Anna. Ia berdecak ketika tiba di dekat wanita yang tengah bersedekap dengan wajah protes di dekat pintu keluar.
"Ck! Tempat ini tidak cocok ditinggali seorang wanita muda sendirian! Kau mengundang bahaya untuk dirimu sendiri!"
"Itu urusan saya, Mr. Bernard. Saya aman tinggal di sini."
Simon memandang lagi berkeliling ruang tamu kecil Anna.
"Ehem! Anda sebaiknya pulang! Orang-orang di rumah Anda mau memasak isi box yang ada di bagasi Anda, Mr. Bernard."
"Simon ...."
"Apa?"
"Panggil aku Simon, Anna."
Anna mengerutkan keningnya.
"Karena Leon sudah memutuskan kau adalah guru kesayangannya dan juga teman baiknya, aku memutuskan menjadi temanmu juga. Jadi panggil Aku Simon. Teman tidak memanggil nama belakang."
Anna menatap tanpa ekspresi, namun bibirnya sempat berkedut sebentar, sebelum diam. Seolah ia menahan berkomentar.
"Baiklah, kau benar. Kokiku menunggu bahan bakunya. Aku pulang dulu ...."
Anna mengangguk. Ingin sekali mengatakan pada pria itu cepatlah pergi dari sini, namun menahan mulutnya.
Simon melangkah sampai keluar pintu.
"Dan ... untuk box tadi ... itu tidak gratis, Ann."
"Hah? " Anna memandang Simon dengan wajah bingung.
"Ada imbalannya. Suatu saat aku akan menagihnya." Simon mengedipkan sebelah mata sebelum berpamitan dan benar-benar pergi.
"Terima kasih sekali lagi, Ann! Istirahatlah dan kunci pintunya!" teriak Simon sambil tetap berjalan.
Anna berdiri di luar pintu sampai sosok Simon menghilang di ujung jalan setapak.
"Suka memaksa ... sedikit usil dengan hidup orang lain ... bahkan senyum jahilnya sama dengan Leonard ...." Anna menggelengkan kepala. Menyadari ia bicara sendiri di beranda. Segera ia masuk dan mengunci pintu. Bersiap memasak, berganti pakaian, istirahat dan sekali lagi melewati malam dalam kedamaian meski dirinya sendirian.
**********
"Kau mengantar ibu guru itu sampai ke rumahnya?" tanya Alric pada Simon.
Mereka tengah duduk santai di beranda depan rumah pantai milik Simon. Marylin dan anak-anak masih bermain di ruang tengah bersama Hamilton.
Setelah makan malam, Simon dan Alric memutuskan menghabiskan waktu duduk santai di beranda depan.
"Ya."
"Apa benar ia tinggal di pondok kecil di dalam hutan?"
"Darimana kau tahu?"
"Leon cerita setelah kau pulang."
"Itu benar."
"Sendirian?"
"Ya."
"Astaga ...."
"Aku juga heran. Flat kecil atau kondo yang nyaman pasti ada di dekat Rainbow Kindergarten, sekolahnya Leon tempat Anna bekerja. Tapi ia memilih tempat seperti itu ...."
"Pernah kau tanyakan kenapa?"
Simon mengangguk. "Dan jawabannya adalah, itu bukan urusanku." Simon tertawa.
"Dia ... agak misterius bukan?"
"Kau juga merasa begitu?"
"Ya ... Mary juga merasakan hal yang sama. Mary bilang, ketika ia tiba dan menyapa Mam Ann, wanita itu tengah termenung memandangi ruang duduk kami. Kesedihan seperti membayangi matanya. Mary mengatakan hatinya pilu melihat tatapan Mam Anna waktu itu. Tapi wanita itu sangat tertutup. Ia bicara formal sekali."
Simon mengangguk. "Ann memasang jarak pada setiap orang, kecuali anak-anak."
"Begitukah?"
"Setelah beberapa pertemuan, begitulah pendapatku tentangnya."
"Leon menyukainya."
"Oh ya? Apa katanya?"
Alric melirik dan tersenyum miring. "Dia bilang ... dia merasa seperti Mom Catty atau Mom Mary ada di sekolah saat bersama Mam Ann."
Simon mendengus. "Bocah itu selalu merasa seperti itu pada setiap wanita yang baik dan sayang padanya."
"Tidak. Tidak semua. Tidak semua orang baik dan sayang padanya disandingkan dengan sosok dua Mommy kesayangannya."
Simon bersandar di kursi dan memanjangkan kaki, berselonjor dengan mata memandang ke arah langit malam.
"Maksudmu, Leon menganggap Ann seperti Mommy?" sindir Simon.
"Bagaimana aku tahu? Tanya Leonard apa memang begitu. Ceritanya tentang Mam Ann sangat sempurna, jarang-jarang ada wanita yang disamakan dengan posisi Mom Catty dan Mary."
"Apa maksudmu sebenarnya, Lucca," sindir Simon lagi.
Alrico Lucca tiba-tiba tertawa geli.
"Well ... siapa tahu kau berminat mencari istri. Pertimbangan Leon sepertinya layak dipikirkan.
Dia suka ibu guru itu," ucap Alric seperti berpromosi.
"Kau masih cemburuan, Lucca."
"Aku tidak cemburu! Istriku hanya mencintaiku!"
Ganti Simon yang tertawa.
"Aku percaya itu. Marylin Lucca dan Alrico Lucca pasangan fenomenal yang dimana-mana selalu mengumbar kemesraan! Kau harus mengurangi sifat posesifmu, Lucca!"
"Ah ... kau iri ...."
Simon mendengus keras.
"Makanya carilah istri!"
Simon tidak menjawab. Matanya menerawang ke arah langit malam. Mengingat wajah cantik dengan mata hijau jernih dan rambut halus kecoklatan. Perawakan tubuh Anna tergolong kurus, namun entah kenapa kesan kuat dan tangguh membayangi ketika melihat sosoknya yang tergolong mungil.
"Ada sesuatu yang aneh ketika aku berkunjung ke pondoknya," ucap Simon tiba-tiba.
"Aneh? Apa?"
"Kenapa seorang wanita membutuhkan senjata di setiap ruangan di dalam rumahnya?"
Alric menoleh penuh, duduk menyamping menghadap Simon. "Maksudmu?" tanyanya penuh minat.
"Orang lain akan menganggap bilah pedang pendek di ruang tamunya yang kecil hanya sebagai hiasan dinding. Ornamen pada pangkal pedang seakan benda itu hiasan tradisional Tapi aku melihat bahwa bilah pedang tersebut di urus dengan baik ...."
Alrico membelalak.
"Benda itu diurus secara berkala ... kau bisa menebas seseorang dengan sekali ayun."
Mata Alric makin lebar. "Kenapa seorang ibu guru memerlukan benda seperti itu?"
"Itulah yang membuatku penasaran. Tidak hanya satu, ada dua di ruang tamunya. Di dapur ... pisau dapur malah terletak di tiga tempat. Padahal dapur itu kecil."
"Seolah ... ia menyiapkannya agar mudah diambil kapan saja. Dimanapun ia berada di dalam rumah itu ...."
Simon mengangguk. "Ya, pendapatku sama ... aku penasaran dengan kamarnya ... apa ia menyimpan benda tajam juga di bawah bantalnya saat tidur," ucap Simon sambil tersenyum penuh spekulasi ke arah Alric.
NEXT >>>>>>
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Dessy Rinda
cari tau dong simon
2023-07-23
0
Ney maniez
🤔🤔
2023-03-06
0
Orange
pertahanan diri Simon
2022-07-28
0