"Ini juga yang ingin aku sampaikan padamu malam ini. Kami tidak akan mengganggumu beberapa hari ke depan, Ann. Kau ingat? Kami akan pergi ke Green Forest."
Anna mendengar ucapan Simon sambil mengambil kunci dan membuka pintu pondok dengan tangannya yang tidak memegang ponsel.
"Leon bilang tiga hari lagi kalian berangkat." Anna mengedarkan pandangan sekali lagi sebelum masuk ke pondok dan kembali menguncinya rapat-rapat.
"Keberangkatannya dipercepat. Kakakku memutuskan berangkat dua hari lebih cepat. Jadi besok pagi kami sudah akan pergi. Izin sekolah Leonard sudah kau urus bukan?" tanya Simon.
"Ya. Aku bisa mengubah harinya."
"Bagus. Jadi malam ini, kau bisa makan malam dulu dengan kami kan. Kami tidak akan bertemu denganmu beberapa hari."
"Tidak bisa."
"Ini permintaan Leon, Ann."
"Maaf, aku sakit kepala."
"Istirahat dan minum obat. Nanti malam aku jemput pasti sudah reda."
Anna mengembuskan napas panjang. Ia merasa amat kesal dan juga marah. Perasaan tidak menentu karena cerita dari Ted dan Dora membuat Anna merasa ingin sekali berteriak sekaligus menangis.
"Apa kau tidak mengerti arti kata tidak, Simon! Aku tidak bisa! Aku tidak mau! Kau mengerti!?"
Anna terduduk di sofa, ponselnya masih di telinga. Tangannya yang lain menutup kedua mata, ia tertunduk, menahan sebak yang mulai menggulung dan terasa akan tumpah menuruni lereng pipi. Anna merasa begitu kesepian.
Hening, tidak ada kalimat yang Simon ucapkan. Pria itu mungkin terkejut sekali mendengar teriakannya tadi. Namun, Ann tahu pria itu masih di sana.
"Ann, ada apa?" Simon bertanya dengan suara amat lembut.
"Kau bisa ceritakan padaku ... apapun itu ... aku temanmu. Aku pasti akan membantumu."
Anna menelan ludah, menghapus aliran bening yang ternyata tidak bisa ia tahan. Ia berusaha berkata senormal mungkin.
"Aku tidak bisa ikut makan malam, Simon."
"Baiklah ... Aku mengerti. Aku akan mengatakannya pada Leon. Dia menyayangimu, Ann. Meski kecewa karena tidak bisa bersamamu sebelum kami pergi besok, Leon akan mengerti."
Anna memejamkan mata, bersandar di sofa, terbayang wajah ceria Leon yang menatapnya dengan mata berbinar. Jika tahu kalau rencana berangkat ke Green Forest dipercepat, Anna yakin sepulang sekolah tadi Leon akan memaksa mengantarkannya pulang. Jika bocah itu meminta menghabiskan waktu di pondoknya sebelum dijemput sang ayah, Ann pasti tidak bisa menolak, karena besok Leon akan pergi. Leonard sudah menempati tempat khusus di hati Ann, celoteh dan tingkah bocah itu selalu berhasil membuat suasana hatinya menjadi ringan.
"Titip salamku pada Leon. Sampaikan aku tidak bisa datang untuk makan malam." Ann memijit pelipisnya. Ia tak berbohong ketika mengatakan kepalanya sakit.
"Bagaimana kalau ia yang memaksa mau ke sana?" tanya Simon, belum mau menyerah.
"Simon ... jauhkan Leonard dariku."
"Apa? Kenapa!?"
"Bukan aku tidak menyayanginya. Akan berbahaya untuk Leonard jika ia ada bersamaku."
"Jelaskan kenapa hal itu bisa terjadi!?" Simon sama sekali tidak mengerti arti ucapan Anna itu.
"Hanya itu yang perlu kau ketahui. Aku serius. Jauhkan Leonard dariku. Aku memperingatkanmu, Simon. Sampaikan padanya, sampai jumpa beberapa hari lagi di sekolah."
Lalu Anna menutup telepon. Ia meletakkannya ke atas sofa di sampingnya. Anna menggosok kedua matanya. Menyeka pipi dan kemudian bangkit.
Hal pertama yang ia lakukan adalah berkeliling mengecek pintu, jendela dan kemudian ia pergi ke kamar mandi. Ia butuh menyegarkan diri dan bila memang akan terkurung sampai besok pagi di pondok ini, Anna memastikan tubuhnya merasa nyaman.
"Apapun yang terjadi aku tidak akan mundur, Martin. Bila kau menerobos pintu pondokku, aku akan menyambutmu." Hal terakhir yang ia ucapkan sambil memandang pintu depannya yang terkunci.
*********
Senja sudah menapak ketika Anna memutuskan untuk memejamkan mata, ia bertahan tidak ingin meminum obat sakit kepala. Ia yakin dengan berbaring nyeri yang berdenyut itu akan hilang.
Ia terlelap dengan cepat, karena tubuhnya memang lelah. Segera semua masalah menghilang ketika tubuhnya terhanyut, berlayar ke alam mimpi, memimpikan kebebasan untuk hidupnya.
Suara kayu yang di ketuk berirama memasuki indera Anna. Ia bergeming. Ketukan makin kencang, diiringi suara orang yang memanggil namanya.
"Ann! Katakan kalau kau baik-baik saja! Ann! Kau ada di dalam bukan!?"
Kelopak mata Anna otomatis terbuka, ia menoleh ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Belum lama, ia baru tertidur sekitar setengah jam.
"Mam ... ini Leon."
Anna bangkit dengan perlahan. Suara bocah itu terdengar serak. Seperti habis menangis. Ia segera bangkit dan pergi menuju pintu. Dengan tergesa Anna membukanya.
Hal pertama yang ia lihat adalah kegelapan, lalu sosok Leon yang memeluk sebuah bantal berbentuk potongan buah apel. Bantal kecil yang selalu ada di mobil Simon.
"Kenapa kau tidak menyalakan lampunya?" Simon muncul dari kegelapan beranda.
"Oh, ya ...." Anna segera menekan saklar dan seketika beranda itu terang benderang.
Mata Anna langsung melihat Leon ketika mendengar bocah itu membersit hidung. Ia menunduk dan mendapati Leon juga sedang menatapnya dengan wajah memelas.
"Leon? Ada apa? Kau menangis?" Anna berjongkok agar wajahnya sejajar, mendapati mata bocah itu bengkak. Leon langsung memeluknya.
"Ya, di menangis karena kumarahi. Aku punya banyak pekerjaan yang harus kukerjakan sebelum cuti besok. Jadi aku pulang dan meminta Paman Hamilton makan malam dengannya berdua saja. Aku mengatakan padanya kalau kau sakit kepala dan tidak bisa datang. Aku menyampaikan pesan sampai jumpa beberapa hari lagi di sekolah darimu dan ia berkeras minta diantar kemari. Aku tidak mau, lalu ia mulai memaksa dan aku jadi marah. Karena aku marah dia mulai menangis tiada henti dan ...."
Anna merentangkan telapak tangan kirinya ke arah Simon, menghentikan pria yang mengoceh tersebut. Tangan kanannya menepuk pelan punggung Leon yang kembali menangis.
"Aku tidak mau mengganggumu, Ann. Tapi lihatlah. Leon ...."
"Tidak apa. Sungguh." Anna menganggukkan kepalanya sedikit sebagai isyarat pada Simon.
"Jangan salahkan Daddymu, Leon. Mam Ann memang sakit kepala dan tidak bisa datang. Mam juga tidak mengizinkan Daddymu mengantarkanmu kemari. Kau perlu istirahat, Mam juga tidak dapat menemanimu karena sakit kepala. Besok kau memang akan pergi, tapi kita kan akan bertemu lagi beberapa hari mendatang ...."
Anna mendengar bocah itu membersitkan hidungnya lagi. "Maaf ... Leon hanya mau bertemu Mam sebelum pergi .... lima hari akan terasa lama ...."
Anna mendengar Simon mengembuskan napas panjang. "Kau lihat kan? Mam Ann sedang sakit dan Leon malah kemari mengganggu istirahatnya."
Leon akhirnya berbalik menghadap sang ayah.
"Maafkan Leon, Dad."
"Sekarang bagaimana? Dad harus kembali mengurus beberapa hal." Simon menatap putranya. Melihat kalau keputusan yang ada di pikiran bocah itu bukanlah pulang.
"Jam berapa kau kembali?" Anna bertanya, membuat Simon menoleh.
"Dua atau tiga jam lagi ...."
"Jemput Leon setelah kau kembali." Anna memutuskan dengan cepat. Ia hanya perlu menjaga Leon selama tiga jam dan besok Leon akan pergi. Ia akan aman.
Leon bergerak cepat menghadap ibu gurunya. Langsung memeluk kaki Anna begitu mendengar ucapan ibu gurunya tersebut.
"Kau yakin? Tidak menganggu istirahatmu?" tanya Simon.
"Ya. Pergilah."
"Baiklah ... Leon belum makan apa-apa."
"Kami akan makan malam berdua."
Simon mengangguk puas. Ia mendekat dan mengelus rambut putranya.
"Dad akan datang menjemputmu. Jaga Mam Ann. Jangan nakal. Habiskan makan malammu."
Leon mengangguk.
"Masih marah dengan Daddy?"
Leon menggeleng. Sebuah senyum terkembang untuk ayahnya itu.
"Kau ini ...." Simon berjongkok, mencium gemas pipi putranya, kiri, kanan, lalu bagian kening.
Leon melepas pegangan pada kaki celana piyama Anna, lalu memeluk ayahnya itu.
"Maafkan Leon," bisiknya pelan.
"Baiklah."
"Katakan maaf juga pada Kakek Hamilton."
"Baiklah." Simon balas memeluk putranya itu.
"Jangan lupa peluk Mam Ann juga," bisik bocah itu lagi.
Simon melonggarkan pelukan, mengangkat alis memandang putranya. Seringai lebar sudah kembali di wajah yang tadi berhias mendung itu.
"Bocah nakal," ucap Simon sambil bangkit, lalu dengan cepat ia merengkuh Anna ke dalam kedua lengannya, sebuah kecupan mendarat di puncak kepala ibu guru itu.
"Terimakasih, Ann. Titip Leon," bisik Simon.
Leon tersenyum makin lebar. Sedangkan Anna berdiri kaku di tempatnya. Kedua ayah anak itu bertukar lambaian dengan senyum lebar menyeruak di bibir.
"Jangan nakal, Oke!" teriak Simon ketika sudah setengah perjalanan di jalan setapak. Masih tergapai oleh cahaya dari beranda.
"Ya, Daddy!" balas Leon dengan nada gembira.
NEXT >>>>>>
**********
From Author,
Leon sayanggggg Mam Ann😄😄🥰🥰
jangan lupa like, love, bintang lima, komentar dan vote untuk Leonard ya.
Terimakasih banyak semuanya.
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
gian rasyid
tp aq makin takut
2023-03-23
0
Griselda Nirbita
ku rasa Simon mencuri kesempatan utk bertemu dg Anna... pepet terus bang jgn kasih kendur...
2023-03-13
0
Ney maniez
🤗🤗
2023-03-06
0