Simon tiba ke pondok Anna dengan Leon dalam gendongannya. Ia mendapati Anna berdiri dengan tangan bersedekap di ujung beranda. Matanya menerawang memandang ke arah pepohonan di sisi pondok.
"Ann ... hei!"
Anna terlonjak, menoleh dan sedetik kemudian mengembuskan napas lega. Ia sampai memejamkan matanya.
"Kau kenapa? Kau pikir siapa yang datang?"
"Tidak ... ayo, letakkan Leon di sofa."
Simon masuk lebih dulu disusul Anna. Mereka melihat kantong-kantong belanja yang tadi di letakkan begitu saja oleh Simon.
"Aku akan memindahkannya ke dapur dulu."
"Tidak. Kamarmu saja. Atau sterilkan dulu sofamu dengan desinfektan. Baru aku akan meletakkan Leon di sana."
"Apa! Memangnya kenapa!? Sofaku bersih!"
"Tidak lagi! Entah apa yang menempel di kantong-kantong itu. Cepat! Buka pintu kamarnya," ucap Simon sambil melangkah ke arah pintu kamar Anna.
Anna cemberut, bibirnya mengerut dan memandang kesal pada Simon, berganti-ganti memandangi Simon, lalu sofa lalu kembali lagi.
"Ann, aku mulai pegal. Tolong bukakan, cepatlah," pinta Simon dengan memelas.
"Ck! Kenapa tadi kau malah menaruh semua ini di sofa, dasar merepotkan."
Namun, Anna tetap mendorong pintu kamarnya. Simon langsung masuk. Menatap sekilas ruangan tersebut dan menunduk, bermaksud membaringkan putranya ke atas ranjang.
"Tunggu!" teriak Anna.
Simon berhenti, menatap Anna yan mendekat, lalu menyelipkan tangannya ke bawah bantal. Wanita itu menutupi benda yang ia ambil dengan dua tangan.
Simon hanya diam dan pura-pura tidak memedulikan ketika Anna pergi ke lemari kecil di sudut kamar. Ia menurunkan Leon dan menutupi putranya itu dengan selimut sebatas pinggang.
"Bocah pintar. Tidur yang nyenyak. Oke," bisik Simon sambil menghela rambut Leon yang menempel di telinga.
Simon berdiri, menatap keliling sambil berputar 360 derajat. Membuat Anna mendecakkan lidah, tahu bahwa pria itu menatap keseluruhan kamarnya.
"Keluarlah, Simon Bernard ...," ucap Anna dengan nada datar.
Simon tertawa, melangkah keluar sambil menatap geli pada ibu guru tersebut.
"Segera , Bu guru. Aku takut sekali kalau kau sudah memanggil namaku secara lengkap. Tanda kau sudah sangat jengkel."
Masih sambil tertawa, Simon berjalan ke arah sofa dan mengambil semua kantong belanjaan mereka.
"Sekarang, ayo kita memasak, Bu guru! Lalu makan sampai kenyang!"
Anna mengikuti Simon ke dapurnya. Setelah memakai celemek masing-masing, keduanya sibuk dengan bagian masing-masing. Simon sebagai koki dan Anna yang jadi helper.
"Katakan padaku, kenapa kau memilih tinggal di sini? " Simon memulai percakapan ringan, berharap Anna tidak merasakan keingintahuannya yang begitu kental.
"Aku suka. Tidak ada alasan khusus."
"Dimana keluargamu?"
"Aku tidak punya ...."
Simon mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku punya dua orang kakak. Semuanya sudah menikah. Tapi tidak tinggal di pulau ini."
"Berapa keponakanmu?"
"Tiga. Dua dari kakak lelakiku dan satu dari kakak perempuanku."
"Ah, Leon punya banyak sepupu."
Simon mengangguk. " Kenapa kau tidak punya kekasih?"
Anna menaikkan alisnya. "Kenapa kau kira aku tidak punya? Kita belum lama berteman, bagaimana kau bisa menduga kalau aku tidak punya? Siapa tahu kekasihku sedang di luar pulau?"
Anna mengambil daging yang sudah ia cuci dan menyerahkannya pada Simon untuk dipotong-potong.
"Tidak usah berbohong. Temanmu saja hanya dua, tiga. Semuanya perempuan. Semuanya hanya karena pekerjaan. Kau bahkan tidak punya teman berjenis kelamin pria."
"Aku berteman dengan para security! Juga para guru pria."
"Itu tadi yang kukatakan, Anna Geraldi. Karena pekerjaan!"
Anna mencibir, mengangkat dagu dan menatap menantang pada Simon.
"Cukup menanyaiku. Kau sendiri, kenapa tidak sibuk berkencan dengan kekasihmu? Malah menggangguku. Kau teman yang merepotkan, kau tahu?"
Simon terkekeh.
"Ya. Aku tahu itu."
"Lalu ... apakah karena ibunya Leon? Pasti karena Nyonya Mary bukan? Ah, ibu Leonard memang sangat cantik. Wajar saja kau tidak bisa melupakannya."
"Mary memang sangat cantik."
"Lalu kenapa kau melepaskannya? Jika kau masih mencintainya, seharusnya kau jangan bercerai."
"Siapa yang bilang aku bercerai?"
Anna berhenti dari kegiatannya mencuci sayur. Ia memandang Simon yang nampak sedang membumbui irisan daging.
"Kau tidak bercerai? Tapi ... Mary menikah dengan Tuan Lucca!"
Kembali tawa Simon menggema. "Benar. Lucca adalah suami Mary."
Anna makin tidak mengerti. Wajahnya tampak bertanya-tanya, berbagai perkiraan berlintasan di otaknya.
"Aku tahu apa yang sedang beterbangan di otakmu sekarang, Anna Geraldi. Tapi aku tidak akan menjawabmu. Karena kau juga tidak mau menjawabku. Kau punya rahasia, aku juga!" ujar Simon sambil tertawa.
"Kalau mau tahu, aku akan memberimu kesempatan, kau jawab satu pertanyaan, maka aku akan menjawab satu pertanyaan juga," tambah Simon lagi penuh siasat.
Anna mendengus. "Tidak. Selesaikan memasak, Tuan koki! Lalu makan dan pergilah dari sini!"
"Ck? Ibu guru tidak punya hati, anakku sedang tidur."
Anna mengembuskan napas panjang, namun senyum geli terbit di bibirnya ketika melihat pria tampan di sampingnya itu menoleh dan mengedipkankan mata nakal ke arahnya. Tubuh besar dengan celemek berenda berwarna kuning itu pemandangan yang langka di dapurnya yang kecil. Anna mengakui, kehadiran sosok itu memberi sedikit nuansa cerah di hari-harinya yang sepi, memberi sedikit kelonggaran bagi napasnya dari rasa waspada yang menggerogoti dadanya. Meski pertemanan itu hadir karena dipaksakan oleh Simon dan Leon.
********
Tengah malam sudah beranjak pergi sejak tadi, namun kedua mata Anna tidak juga dapat dipejamkan. Seluruh suara di luar pondoknya seakan terdengar di telinganya saat ini. Desau angin, gemirisik daun, dahan, juga suara jangkrik. Sejauh ini tidak ada yang aneh, namun ia tetap tidak bisa tidur. Pot bunganya yang jatuh masih terasa jadi ganjalan dalam pikiran Anna.
"Martin ... aku tidak mau kembali. Jangan mencariku. Carilah orang lain yang mau hidup denganmu. Nuella, alasanku bertahan sudah tiada ...," bisik Anna pelan.
Anna menyelipkan tangannya ke bawah bantal. Ia tidur dengan memiringkan tubuh, menatap ke arah jendela kecil tertutup yang ada di dinding menghadap bagian depan rumahnya.
Tangan Anna menyentuh sebuah benda di bawah bantal. Benda yang tadi siang ia pindahkan ketika Simon mau membaringkan Leon. Simon pernah mengatakan Leon tetap bergerak aktif meski sedang tidur. Ia bisa berputar sampai seratus delapan puluh derajat dari tempat semua meski sedang terpejam. Anna tidak mau benda kecil tersebut membahayakan Leon. Meski benda itu bersarung. Pisau kecilnya yang membuatnya merasa aman ketika matanya telah terpejam.
NEXT>>>>>
**********
From author,
Nantikan chapter-chapter selanjutnya, Sosok Martin yang mungkin jadi tanda tanya. Mulai naiiiiiik naiik ke puncakkk gunungggg😂😂😂
Tekan like ya sayangku semua, love, bintang lima, komentar dan votenya untuk PS. Biar popnya naik, otor pengen femes weyyyy...pengennnnn, ngidammmm ini🤭🤭
Terima kasih Readers Dianaz yang cantik, ganteng, bohay dan dijamin baik hati. Luv youuu😘
Salam. DIANAZ.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
sherly
kasian banget Anna setiap waktu TDK pernah tenang...
2023-09-27
1
Ney maniez
🤔🤔
2023-03-06
0
Serra Lumbert
Anna gak mau terjebak dengan permainan Simon 😁😁😁
2022-07-28
0