“Tiara gak ke sini, Yah?”
“Enggak. katanya dia ada ulangan besok.” Ayahnya mengantongi kembali ponselnya. “Kenapa kamu minta Ayah yang telepon? Gak kamu sendiri?”
“Gak diangkat.”
“Berantem?”
“Enggak.”
Ia tak bertengkar dengan Tiara. Sepertinya Tiara yang marah padanya. Sejak dulu gadis itu memang sering kesal tanpa alasan.
“Udahlah.” Herry merangkul putrinya. “Kita makan aja.”
Vita mengikuti ayahnya tanpa penolakkan. Mereka akan makan malam untuk merayakan ulang tahunnya. Dan Vita ingin Tiara datang, tapi gadis itu tak bisa. Entah Tiara jujur atau tidak mengatakan pada ayahnya bahwa ia ada ulangan besok sehingga tak bisa datang. Menurut Vita, sih, Tiara berbohong. Gadis itu memang tak ingin datang.
Vita menyelipkan rambutnya yang menghalangi pandangan ke belakang telinga. Malam ini ia tampak berbeda dengan rambut yang tergerai ikal didampingi gaun tiga perempat yang bagian pinggang ke bawah mekar. Gaunnya berwarna putih di bagian atas dan hitam di bagian bawahnya. Ini gaun hadiah ulang tahun dari ayahnya. Ia senang mengenakannya.
Biasanya, setiap ada yang berulang tahun di keluarganya, mereka akan makan malam di luar. Tapi di ulang tahunnya yang ke delapan belas tahun ini, Vita sedang ingin makan cumi panggang masakan ibunya, jadi ia meminta untuk makan di rumah saja. Lagi pula masakan ibunya tak kalah dengan makanan di restauran.
Sempat ada penolakkan dari ibunya tadi pagi ketika Vita berkata untuk makan di rumah dengan hidangan utama cumi panggang. Vita tahu ibunya itu malas. Tetapi, dengan sedikit ucapan dari ayahnya, ibunya setuju juga. Walau begitu, sepanjang hari ibunya uring-uringan, dan terus mencari alasan untuk memarahinya.
Ia ingin sekali ibunya bersikap seperti ibu lain yang akan sangat senang membuatkan makanan untuk ulang tahun anaknya. Ulang tahun yang hanya terjadi setahun sekali. Tapi selama bertahun-tahun, keinginan Vita tak pernah terjadi. Ini sudah ketiga kalinya ia ingin makan malam di rumah saat ulang tahunnya, dan hasilnya tetap sama. Ibunya tetap nampak tak ikhlas memuatkan makanan untuknya.
Betahun-tahun ibunya selalu begitu. Kapan ibunya akan menyayanginya? Kapan ibunya akan tersenyum ramah saat membukakan pintu saat ia pulang sekolah? Kapan ibunya akan mengatakan bahwa ia bangga pada Vita saat ia mendapatkan gelar juara umum di sekolah? Kapan ibunya akan membuatkan kue ulang tahun untuknya? Kapan ibunya akan menghiburnya saat ia sedang sedih? Kapan ibunya akan mengajaknya belanja dan memilih-milihkan baju yang cocok untuknya? Kapan ibunya akan memeluknya? Kapan... kapan semua itu terjadi? Apa ia ini anak yang begitu buruk untuk ibunya?
Sekeras apa pun ia berusaha bersikap cuek terhadap sikap ibunya, ia terkadang tetap merasa sedih. Ia ini ‘kan masih delapan belas tahun. Ia masih bisa dikatakan anak-anak. Bahkan jika seorang anak berumur 40 tahun nanti, bukankah orang tua akan tetap menganggap anaknya sebagai anak-anak, anak kecil?
So, ibunya menganggapnya apa?
Vita merapikan bagian bawah gaunya sebelum duduk di kursinya yang biasa. Adiknya sudah siap di kursinya, sedang ibunya masih sibuk dengan cuminya. Di atas meja di depan Vita, sudah ada kue tar yang di bawa ayahnya. Lilinnya sudah tidak berupa angka delapan belas lagi, sudah lilin-lilin kecil yang menghiasinya. Butuh banyak napas untuk memadamkannya.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamualaikum!” Seseorang di luar memberi salam.
Hey! Vita mengenali suara itu. Ia hampir saja tersenyum. Untung ia ingat untuk menahan diri. Apa yang ayahnya pikirkan nanti? Sudah sejak beberapa hari yang lalu ayahnya menggodanya tentang laki-laki yang mungkin ada di balik pintu luar sana. Padahal ia tak ada apa-apa dengan laki-laki itu. Ia hanya senang bersama laki-laki itu, meskipun tingkahnya menyebalkan. Ia sudah terlalu terbisa dengan keberadaannya di sekitarnya.
“Siapa itu?” tanya ayahnya.
Vita mengangkat bahu, pura-pura tak punya gambaran. “Enggak tahu.”
“Buka sana Vita!” perintah ibunya.
Ia beranjak dari kursinya untuk melaksanakan perintah ibunya sekaligus mememastikan apakah benar dugaannya.
***
Rafka bersembunyi di belakang bonekanya setelah menurunkan tangannya dari daun pintu. Ia gugup. Beberapa kali ia menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Ia senang dua temannya sudah pulang. Mereka berdua sangat menikmati kegugupannya selama di mobil.
Rafka menoleh ke belakang sejenak, melihat kendaraan melintas sesekali. Menunggu beberapa menit rasanya lama sekali. Gugupnya menjadi-jadi. Seperti demam panggung. Ini dikarenakan pemikirannya belakangan ini.
Sekali lagi Rafka menghela napas panjang. Ia mendengarkan lebih saksama suara dari balik pintu, menanti saat yang tepat untuk berteriak. Rafka berhitung dalam hati, satu... dua... tiga...
Pintu terbuka.
“HAPPY BIRTHDAY!” teriak Rafka, kepalanya menyembul dari sisi lengan boneka panda raksasa.
Oh... no! Bukan Vita. Astaga. Ayahnya!
Rafka berdehem, bersusah payah ia melangkah dari belakang boneka. Sebelah tangannya merangkul pinggang boneka. Ia mengucapkan salam, dan menyalami ayah Vita yang tersenyum ramah dengan tangannya yang kosong.
“Rafka, ya?”
Masih dengan rasa malu yang tak biasa dirasakannya, Rafka mengangguk. Ya Tuhan, kenapa ia tak berpikir besar kemungkinan jika bukan Vita yang membuka pintu. Ia optimis sekali Vita yang akan muncul. Rusak sudah kejutannya.
“Ayo masuk, Raf,” ajak ayah Vita, Herry, seperti yang sudah diketahuinya. Senang mengetahui laki-laki ini seramah yang Vita bicarakan.
Sembari mendorong bonekanya, Rafka mengekor di belakang Herry. Untung rumah Vita dua pintu, jadi tak sulit mendorong kadonya masuk. Bayangkan, kalau ia harus susah payah mendorong boneka sebesar ini setelah mempermalukan diri sendiri beberapa waktu yang lalu. Ia pasti terlihat menggelikan sekali di mata ayah Vita, gadis yang disukainya, atau mungkin lebih dari sekedar disukainya. Siapa yang tahu.
“Om,” panggil Rafka, ia kembali mengatur posisinya di sisi boneka, “Vitanya di mana, ya?”
Herry berputar, dengan menggunakan dagunya ia menunjuk bagian belakang Rafka. Rafka mengerti, ia membebaskan tangannya dari bulu-bulu lembut boneka panda. Secara dramatis, ia berbalik, menemukan Vita berdiri anggun di belakang pintu yang baru saja tertutup. Sejak kapan Vita berada di sana? Ia sama sekali tak menyadarinya.
Lagi, entah sudah untuk ke berapa kalinya Rafka kembali menghela napas. Belum penah ia melihat Vita seperti itu. Gadis itu terlihat... mengagumkan. Rambutnya yang biasa hanya lurus sekarang tampak berbeda. Pakaiannya yang biasa hanya jeans dan sweater, sekarang berganti gaun yang membuatnya lebih anggun.
Ia terpesona...
Lampu rumah yang terang-benderang meredup dalam pandangannya. Ada lampu besar yang menyorot Vita yang melangkah pasti kepadanya.
Rafka mengerjap, dan semuanya kembali seperti semestinya. Lampu seterang kenyataan dan tak ada cahaya yang mengikuti Vita. Ia terlalu sering nonton drama dan film romantis bersama Genta. Pikirannya jadi eror sekarang. Roman picisan tak baik di keadaannya sekarang. Ia jadi banyak menghayal.
Vita tersenyum, dan Rafka baru tersadar bibirnya sudah tertarik lebih dulu sebelum diperintahkannya. Ia mencengkram boneka pandanya saat Vita melangkah mendekat. Jantungnya seperti kupu-kupu yang ingin terbang bebas. Astaga... ia harus periksa jantung setelah pulang dari tempat ini.
“Happy birthday,” gumam Rafka ketika Vita berhenti di hadapannya. Diam-diam ia mencoba menenangkan diri sebisanya. Keadaannya saat ini, layaknya baru saja menyelesaikan sprint seratus meter. Ia butuh pendinginan.
“Bonekanya gede banget.”
“Mm,” Rafka bergumam. Terggorokannya terasa kering.
“Ehem!”
Rafka menoleh.
“Kadonya bisa tolong di taro’ di sana, Raf?” Herry menunjuk kamar putrinya, “Di dekat pintu aja. Tolong, ya.”
Rafka mengangguk untuk kedua kalinya.
“Om duluan,” pamit Herry, dan ia berlalu meninggalkan Rafka dan Vita berdua. Sebelum pergi, ia sempat memberikan isyarat pada putrinya. Saking buntu otaknya saat ini, Rafka tak mengerti apa yang dimaksud pria itu. Masa bodohlah.
“Mau dibantuin?” tawar Vita.
“Enggak usah. Enggak berat lagi.”
Rafka memeluk boneka untuk menyeretnya ke tempat yang dikehendaki pemilik rumah.
“Kenapa tadi gak sekolah?” tanya Vita yang melangkah di sisi Rafka.
“Enggak punya alasan.”
“Enggak punya alasan buat apa? Sekolah atau enggak sekolah?”
“Enggak sekolah.”
“Terus kenapa enggak sekolah?”
“Aku aja bingung kenapa tadi enggak sekolah,” bohong Rafka. Ia tahu kenapa ia tak masuk sekolah tadi. Namun jika ia jujur, akan bereaksi apa Vita? Sebelum ia mengatakan alasannya tak sekolah, lebih baik ia mencari tahu lebih dulu bagaimana perasaan Vita padanya. Ia belum siap di tolak.
“Ada, ya, Raf, orang kayak kamu.”
Disertai hembusan napas, Rafka menjatuhkan barang bawaannya. Ia beralih pada Vita, lalu berkata, “Enggak mau makasih?”
“Makasih.”
“Kalo aku ulang tahun nanti kasih hadiah yang bagus, loh. Aku aja ngasih kamu hadiah yang gak bakal kamu bayangin.”
“Pamrih,” cibir Vita. Ia dan Rafka sudah kembali melangkah ke arah di mana ayahnya tadi menghilang. “Tapi kenapa kamu ngasihnya boneka panda? Gede banget lagi.”
“Kamu ‘kan pernah bilang kamu suka panda.”
“Masa? Kok aku gak inget.”
“Memang kamu bakal inget semua yang kamu omongin?”
“Ya, enggak juga. Tapi aku ngerasa gak pernah ngomong. Aku cuma pernah kepikiran kalo kamu mirip sama panda. Itu juga berbulan-bulan yang lalu. Waktu kita pertama ketemu di sekolah. Aku pernahnya bilang ke kamu kalo aku suka komodo waktu kecil.”
Dia? Panda? Dari sisi mana mereka mirip? Apa ia segempal itu? Atau ada lingkaran hitam di bawah matanya ketika itu? Atau ia ini makan bambu?
“Dari sisi mananya aku mirip panda, Cha?” tanya Rafka.
Vita bergidik dengan wajah tanpa dosa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Suri Hadassa
Buka Hati sudah mendaratkan jempolnya ❤️❤️❤️
jangan lupa feedbacknya 😊🙏😊
semangat up Thor 💪💪
2021-04-24
0
alisha
vote, like dan 5 ⭐
2020-11-27
0