Bab 8

Ah... hari ini panas sekali. Vita pikir seragamnya sekarang dapat diperas. Bukan hanya panas yang dikeluhkannya saat ini, pelajaran olahraga tadi juga. Ia kesal sekali pada guru olahraga yang terus-menerus menyuruhnya berlari-lari dan memasukkan bola ke dalam ring basket karena ia tak bisa memasukkan satu pun bola. Semua tembakkannya meleset. Ada yang meleset sedikit, ada juga yang melenceng satu meter. Menyedihkan dan memalukan. Membuat segalanya menjadi jelas kenapa ia tak suka pelajaran itu.

Vita berhenti. Ia melepas satu tali tas yang menggantung di bahunya untuk mengambil kunci cadangan yang sekarang selalu dibawanya. Berjaga-jaga siapa tahu tak ada orang di rumah, dan yang paling penting berjaga-jaga untuk tidak diolemeli ibunya karena mengganggu tidur siangnya.

Pintu terbuka. Vita langsung melangkah tanpa lupa untuk mengucapkan salam dan menutup kembali pintu. Ia berjalan lurus ke kamarnya. Ponselnya sudah mati karena ketiadaan energi. Tadi pagi ia terburu-buru hingga tak sempat mengisi baterai ponselnya, padahal gurunya datang terlambat. Memang benar-benar guru zaman sekarang, hanya memberi tugas dan selalu datang terlambat.

Begitu tiba di kamarnya Vita segera mengisi baterai ponsel. Ternyata ia mendapatkan pesan baru dari  ayahnya.

Papa, Mama, sama Vhindy pergi ke rumah nenek, Ta. Sakitnya nenek kambuh lagi. Baik-baik di rumah.

Pesan itu datang sejak jam 9 pagi tadi. Namun karena ponselnya mati sejak pagi, ia belum membaca pesan dari ayahnya. Ia kira orang tua dan adiknya akan berada di sana tiga sampai empat hari. Tidak mungkin lebih lama, karena adiknya harus sekolah.

Vita meninggalkan ponselnya setelah mencopot tas dan sepatu. Ia akan pergi ke dapur untuk minum. Kepalanya mulai pusing karena terlalu lelah dan panas.

Tiba di dapur, Vita mengambil air dari dalam kulkas, lalu meminumnya langsung dari botol. Hanya menyisakan satu per tiga isinya. Ia ternyata sangat haus. Pantas saja kepalanya pusing. Ia kekurangan cairan.

Vita meletakkan kembali botol bekas minumnya ke dalam kulkas.

Dengan malas ia membuka tudung saji di atas meja. Bukan hanya ia selalu lupa untuk makan siang, ia juga sering malas-malasan untuk makan siang. Apalagi setelah ia meminum terlalu banyak air. Jika perutnya di belah, ia kira isinya hanya air. Air. Tak lebih dari itu.

Sudahlah. Vita menutup kembali tudung saji saat melihat tak ada apapun di balik tudung itu. Bagus sekali. Tak ada alasan untuk makan siang. Ibunya belum memasak apapun. Ia senang sekali. Ia akan makan nanti setelah ia bangun dari tidur siang yang menyenangkan. Bahkan ia mulai mengantuk sekarang.

Tanpa membuang waktu Vita kembali ke kamarnya dan terlelap seketika rebah di kasur.

Beberapa jam kemudian Vita terjaga. Sebelum ini, ia terbangun beberapa kali karena suara kendaraan yang terlalu nyaring. Setiap terbangun, ia menghabiskan waktu 15 menit berdiam diri hingga kembali terlelap. Dan sekarang sekali lagi Vita berdiam diri. Menatap langit-langit kamarnya yang mulai remang. Pukul berapa sekarang?

Vita memandang pada jam dinding di ujung kaki. Pukul lima kurang sedikit. Lebih baik ia bangun sekarang. Beterai ponselnya juga pasti sudah penuh sejak tadi. Ia mesti melepaskan charger-nya, jika tidak ponselnya akan bermasalah.

Vita menyalakan ponselnya. Ah, ia lupa mengganti mode ponselnya, menyebabkan banyak sekali panggilan tak terjawab dari ayahnya. Ia harus menelepon ayahnya segera. Beliau pasti khawatir.

Tepat sebelum Vita menyentuh tombol untuk menghubungi, ada panggilan masuk dari ayahnya. Dan Vita langsung menjawab.

“Halo.”

“Halo. Kenapa baru di jawab sekarang,Ta?”

“HP-nya aku silent, Yah, jadi aku gak denger.”

“Oh, gak pa-pa kalo gitu. Tapi kamu udah makan, ‘kan?”

“Udah,” jawab Vita.

Kriuk...

Perut Vita berbunyi. Ia berpindah dari tempatnya. Makin banyak hal yang ingin dibicarakan ayahnya. Jadi, ia berpikir untuk duduk. Kepalanya kembali sedikit pusing. Perutnya juga mual. Ini pasti efek belum makan dan terlalu lelah. Setelah ayahnya selesai ia akan memasak sesuatu untuk di makan.

***

Bola basket melambung-lambung setelah melewati ring basket. Sekuat tenaga Rafka menendang bola itu hingga hilang entah kemana. Ia mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah oleh keringat. Sudah satu jam lebih ia bermain sendiri. Tak ada lawan, tak ada kawan. Ia bermain hanya untuk menghabiskan waktunya. Kerena ia kurang banyak kegiatan hari ini.

Rafka menepi ke pinggir lapangan. Ia mengambil tasnya yang tergeletak sembarang. Sembari menyampirkan tasnya, Rafka berpikir akan ke mana ia pergi untuk menunda kepulangannya ke rumah. Apa sebaiknya ia bermalam di rumah Genta saja? Tapi ia tak enak pada ibu dari temannya itu, ia sudah terlalu sering berada di sana bulan ini.

Ah, lebih baik ia mencari tempat untuk makan. Ia sama sekali belum makan siang. Perutnya sudah sejak tadi berbunyi. Kasihan perutnya ia terlantarkan.

Rafka melangkah keluar dari lingkungan sekolah. Ia akan makan mie ayam untuk makan siang-kesorean-nya. Dan ia tahu tempat makan mie ayam yang enak. Biasanya ia pergi ke sana bersama teman-temannya, tapi kali ini ia pergi sendiri. Karena entah sibuk ke mana semua teman-temannya yang tidak setia itu.

Apa ia mengajak Vita saja, ya? Pikir Rafka. Tapi mungkin gadis itu sudah makan. Sudahlah. Ia makan sendiri saja.

Setelah berjalan lebih dari 10 menit Rafka menghentikan taksi. Tempat yang  menjadi tujuannya terlalu jauh untuk di tempuh dengan berjalan kaki. Bisa magrib nanti ia baru akan sampai. Sudah mati kelaparan juga dirinya.

Sesampainya di tujuannya, Rafka langsung mencari tempat duduk yang masih tersisa setelah menyampaikan pesanannya. Tak perlu dilakukan sebenarnya, karena Abangnya sudah hafal pesanan Rafka. Karena ia sudah terlalu sering datang ke sini. Selama ia berlangganan, tempat ini selalu penuh. Ia pernah menunggu untuk mendapatkan kursi kosong, karena semua kursi sudah terisi. Itu sekitar satu bulan yang lalu. Saat itu ia pergi hanya bersama Genta.

Sambil menunggu pesanannya, Rafka mengetik pesan yang akan di kirimkannya pada Vita. Tapi sebelum sempat ia mengirimkan pesannya, ponselnya sudah mati.

“HP sialan!” umpat Rafka pelan.

“Silahkan.” Pesanan Rafka tiba.

Rafka mengambil sumpit dan langsung memakan mie ayamnya tanpa menambahkan saus atau apapun. Ia tak suka jika rasa asli mie ayamnya tercemar oleh rasa saus dan sambal, apalagi kecap.

“Rafka!”

Menengadah Rafka ketika namanya di sebut. Didapatinya sosok tak asing gadis cantik yang dulu pernah membuat ia dengan Andra bertengkar. Tapi apa yang gadis itu lakukan di sini? Ia kira teman dari Reina itu bersekolah di luar negeri. Bukankah begitu dulu yang dikatakan gadis itu—Tiara?

Dengan sedikit merasa tak nyaman, Rafka tersenyum membalas senyum Tiara yang lebar. Ia jadi tak berselera makan lagi. Dulu ia sangat suka mengobrol dengan Tiara. Namun, karena ia tahu gadis itu menyukainya, dan pernah ditolaknya, ia jadi merasa canggung dan tak enak.

“Boleh gabung, enggak?” Tiara sudah menguasai kursi di depannya.

Rafka mengangguk kecil.

“Siapa, nih, Ra?” Datang gadis lain yang mengambil tempat di sisi Tiara, yang Rafka duga—dan pasti benar—adalah teman Tiara.

“Temen SMP gue. Rafka.”

“Hai,” sapa gadis itu sembari tersenyum, “gue Fia.”

Rafka tersenyum membalasnya.

“Lo sekolah di mana?”

Sebelum Rafka sempat menyebutkan nama sekolahnya, Tiara sudah lebih dulu mengatakannya. Entah dari mana gadis itu tahu sekolahnya. Ia tak pernah memberitahunya. Apa Tiara sekarang jadi stalkernya di dunia maya? Tapi ia ‘kan tak pernah memposting apapun yang berhubungan dengan sekolahnya. Apa mungkin Tiara tahu dari Reina? Mungkin saja. Mereka berdua ‘kan sangat akrab. Yang satu sangat menyukainya dan yang satunya lagi sangat tak menyukainya. Gabungan yang luar biasa, bukan?

“Lo, kok, ada di sini, Ra? Bukannya lo sekolah di luar negeri, ya?”

“Oh. Gue pindah setahun yang lalu. Gak betah gue di sana.”

Pesanan Tiara dan Fia datang. Rafka merasa makin tak nyaman mendapati teman Tiara selalu saja meliriknya. Apa yang diharapkan gadis itu darinya? Ia jungkir balik? Terbang? Atau menelan mangkuk mie ayam ini?

Hilang sudah keinginan Rafka untuk makan siang (sore) yang santai dan menyenangkan. Ia bahkan tak sempat mengunyah makanannya dengan benar. Yang diinginkannya adalah pergi jauh dari kedua gadis yang saling berbisik kemudian terkikik tidak jelas. Sungguh menyebalkan.

Sambil meminum lemon tehnya, Rafka berpikir bagaimana tanggapan Vita melihat kedua orang di hadapannya itu. Vita ‘kan bukan tipe gadis seperti itu. Bukan gadis populer yang di kelilingi banyak teman-teman wanita seumurnya yang selalu bersama sembari menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tak begitu lucu dan menarik.

Rafka meletakkan gelasnya, lalu berdiri dan merenggut tasnya dari kursi sebelah. “Gue duluan, ya, Ra.”

“Eh?” Tiara melirik makanan Rafka yang sudah tandas.

“Bye.” Rafka melemparkan senyum yang diharapkannya ramah.

***

Menggunakan earphone yang terhubung dengan ponsel mati sambil memandangi layarnya, bukankah tanda-tanda bahwa ada yang tak beres dengan otak seseorang? Jika memang iya, berarti Rafka memang sudah tak waras. Laki-laki tampan itu melakukan hal ‘kurang’ itu di depan rumah Vita. Apa yang dilakukannya? Dirinya sendiri pun tidak tahu.

Gue bener-bener ngerasa kurang waras sekarang. Ngapain coba gue di sini?

Tok! Tok! Tok!

Suara tukang siomay mengetuk kentongan. Dengan kecerdasan terbatasnya, Rafka memutuskan untuk membeli siomay dan berpura-pura lewat depan rumah Vita dan... kebetulan sekali sedang lapar.  Kadang-kadang otaknya ini memang tidak dapat diduga.

“Mang! Siomay!”

Si Tukang Siomay berhenti. Ia menanyakan siomay apa yang Rafka inginkan. Rafka langsung menjawab, apa saja yang penting bukan siomay pare. Ia tak suka jenis sayuran itu. Sayuran macam apa yang rasanya begitu pahit.

“Kentongannya di pukul, Mang,” ucap Rafka memerintah tukang siomay. Ia sekarang sudah berjongkok di dekat pagar rumah Vita.

Suara kentonganlah yang akan membawa Vita keluar. Bukan dirinya yang memanggil gadis itu. Ketongan tukang siomay yang paling besar perannya disini. Terimah kasih banyak kentongan.

“Jangan pakek kecap, Mang!” sergah Rafka. Tukang siomay yang malang itu hampir saja menjatuhkan botol kecap karena terkejut.

“Nih, Mas.” Tukang siomay memberikan pesanan Rafka.

“Makasih.”

Rafka mendengar derap langkah mendekat. Ia menoleh, menemukan Vita tengah menghampirinya. Buru-buru ia mengembalikan pandanganya ke arah semula, berpura-pura tak acuh.

“Ngapain kamu di sini, Raf?”

“Makan,” jawab Rafka singkat, bertingkah sok sibuk dengan makanannya.

“Dari kapan kamu di sini?”

“Dari tadi.”

“Siomay, Neng,” tawar Mamang tukang siomay.

Vita mengangguk, “Jangan pakek kecap,” tambahnya. Kemudian ia ikut berjongkok di sebelah Rafka.

“Memang kamu gak haus, ya, Raf?” Vita memandang Rafka prihatin.

“Hauslah. Memangnya kamu kira aku ini onta apa?”

“Kalo mau minta minum itu bilang,” ujar Vita. Tanpa membuang waktu, gadis itu masuk ke dalam rumah dan kembali beberapa saat kemudian bersama dua gelas air dingin.

“Makasih,” ucap Vita saat menerima mangkuk siomaynya.

“Ditumpahin pewarna dikit, kek, Cha... Cha, biar gak bening banget,” ucap Rafka saat mengangkat gelasnya.

“Protes aja.”

***

Di tengah malam Vita terjaga dari tidurnya. Ia menggerak-gerakkan kepala. Itu dilakukan untuk mengetahui seberapa parah pusingnya. Dan ternyata cukup parah, selain itu perutnya juga mual. Bahkan sekarang ia ingin muntuh.

Tergeras-gesa Vita bangkit dari kasur yang nyaman dan hangat. Ia nyaris berlari menuju kamar mandi.

Vita memuntahkan semua yang ia makan tadi sore, termasuk siomay teraktiran Rafka. Setelah mengeluarkan semuanya, Vita berkumur-kumur. Ia berkaca, tampangnya kacau.

Ia benci sekali tentang kebiasaannya sakit di tengah malam. Tidak bisakah ia sakit ketika hari sudah pagi? Khususnya hari ini. Ia sangat lelah, matanya saja sulit untuk terbuka. Tetapi karena kepalanya begitu pusing, ia jadi tak bisa tidur.

“Kenapa aku harus sering banget sakit, sih?” gumam Vita.

Ia melangkah keluar dengan gontai. Karena baru saja mengeluarkan semua isi perutnya, ia harus mengisi perutnya kembali. Siomay dan beberapa butir apel memang tak akan cukup mengisi perut hingga malam. Setelah itu ia harus meminum obat sakit kepala. Lagi.

Ketika akan pergi ke dapur Vita berhenti sebentar di ruang keluarga. Ia mengambil dua lembar koyo untuk ditempelkan di kedua pelipi. Koyo ini cukup dapat diandalkan untuk mengurangi rasa pusing. Sungguh ia ingin menggunakannya di perut juga, namun ia berpikir lebih baik memuntahkan semua yang ingin keluar daripada menahannya dan terus merasa mual.

Sembari melangkah, Vita memakai koyonya tanpa kesulitan. Ia sudah sering memakai koyo, maka dari itu ia bisa memperkirakan posisinya dengan tepat. Sudah pakar.

Vita mengeluarkan dua butir telur, sebuah apel dan sebatang sosis. Ia akan membuat omelet. Itu yang paling cepat dibuat di saat seperti ini. Itu juga makanan yang ia sukai dan bisa dibuatnya sendiri.

Dua butir telurlah yang pertama kali masuk ke dalam mangkuk, di susul irisan bawang bombay dan sosis. Vita mengaduk semua itu hingga tercampur rata, kemudian ia menambahkan sedikit garam dan lada. Dan yang terakhir, Vita mengiris apel panjang-panjang tipis, namun tak langsung dicampurkannya ke dalam mangkuk.

Vita memanaskan penggorengan yang sudah ia beri sedikit margarin di dalamnya. Begitu margarin itu meleleh, ia langsung menumpahkan semua isi mangkuk ke dalam pengorengan, dan menaburkan potongan apel di atasnya dengan rata.

Setelah bebrapa waktu, Vita mengangkat omelet spesialnya. Ia melipat dua omlet tersebut, dan menambahkan sedikit nasi dan saus di piringnya. Ia butuh usaha ekstra untuk membuat makanan yang begitu sederhana ini.

Sejenak Vita hanya berdiri memegangi keningnya. Kepalanya semakin pusing, ia juga menyadari suhu tubuhnya meningkat. Selain itu, rasanya ia ingin muntah kembali. Ia demam.

Langkah Vita panjang-panjang ketika ia terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi. Memuntahkan segala yang masih tersisa di lambungnya. Setelah selesai Vita mencuci wajah dan kembali lagi ke hadapan makanannya.

Ia menungkan segelas air dan membawanya bersama piring makanan ke ruang keluarga.

Untuk menemani midnight eat-nya, Vita mengajak televisi menemani. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan yang hanya dikunyah-kunyah-telan, tak perlu peduli tentang rasa. Yang membutuhkan waktu lama adalah menunggu dirinya cukup rileks dan tenang untuk melanjutkan mimpinya tadi.

Vita tak benar-benar memerhatikan apa yang ditampilkan layar televisi, hanya dipandanginya dengan wajah kosong. Ia teringat ayahnya saat ini. Akan lebih baik jika ayahnya ada di sini. Walaupun mungkin ayahnya akan marah-marah karena ia tidak makan siang, dan malah makan satu mangkuk siomay dan tiga buah apel.

Tapi ia tak masalah, ia hanya ingin ada seseorang yang akan mengompresnya sekarang ini, karena ia sudah malas sekali untuk berdiri.

Ayah....

***

Kasian ya, si Vita.

Btw, kalian lebih suka Vita sama Andra atau Rafka?

Dan, sebenernya cerita ini udah selesai loh, jadi kalo kalian mau sering dan cepat di publish setiap chapternya, jangan lupa vote, komen, dan share ya....

Terpopuler

Comments

yul,🙋🍌💥💥💥

yul,🙋🍌💥💥💥

rafka

2021-04-14

3

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

semangat 👍🏻

2020-12-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!