Vita menguraikan rambutnya yang terbungkus handuk. Bukannya lanjut untuk menyisir, gadis itu berlari ke depan mendengar deru mobil ayahnya mendekat. Ayahnya pulang lebih awal.
Vita membuka pintu, menunggu ayahnya yang tengah memarkirkan mobil di garasi. Tak berapa lama ayahnya muncul dengan plastik menggantung di antara jari-jari panjangnya. Ayahnya itu menghampiri Vita, memberikan plastik yang dibawanya.
“Buku?” tanya Vita begitu merasakan berat benda yang diterimanya.
“Novel.” Ayah merangkulnya.
Sekilas dilihatnya novel yang dibelikan ayahnya. Ia sangat suka. Sampulnya bagus dan menarik. Ia harap ceritanya juga sama menarik dan bagusnya.
“Makasih, Yah.”
“Iya. Kamu suka, ‘kan?”
Vita mengangguk sembari tersenyum senang pada ayahnya.
“Itu dari Ayah...”
“Aku tahu.”
Ayah menarik tangannya, mengurut-urut keningnya sendiri.
Baru Vita sadar ayahnya nampak lebih tua saat ini. Setiap laki-laki yang berstatus sebagai ayahnya ini sedang banyak pikiran, pasti tercermin diwajahnya, membuatnya terlihat lebih tua. Saat ia masih kecil, ia sering menyentuh kerutan yang terbentuk di kening itu, mencoba menghilangkannya. Tapi sia-sia. Itu hanya akan hilang jika ayahnya sudah menyelesaikan sesuatu yang menjadi bebannya.
“Mama mana?”
“Nganterin Vhindy les Bahasa Inggris.”
“Bisa tolong buatin Ayah kopi?”
Vita mengangguk, “Iya.”
“Sekalian anterin ke ruang kerja Ayah, Ayah mau bicara sama kamu.”
Sementara ayahnya pergi ke ruang kerjanya, Vita melangkah ke dapur. Apa yang ingin ayahnya bicarakan? Mungkinkah tentang sekolahnya? Atau... yang lain.
Vita menambahkan kopi pada gelas yang telah diisinya lebih dulu dengan gula. Kemudian ia menuangkan air panas, dan mengaduknya searah jarum jam. Ia tak pernah mengaduk kearah sebaliknya sejauh yang dapat diingatnya. Dan syukurlah ingatannya cukup bagus. Karena ingatannya cukup bagus jugalah, ia tak pernah lupa bahwa ayahnya tak suka menggunakan gelas kecil untuk kopinya. Menurut ayahnya, menggunakan gelas besar akan membuat suhu kopinya lebih cepat turun. Tinggal tunggu waktu ayahnya akan meminta kopinya dibuat berwadahkan mangkuk atau piring.
Vita membawa kopinya dengan sebelah tangan, sedang tangan lain masih menjinjing plastik.
Dengan pundaknya, Vita mendorong pintu ruang kerja ayahnya hingga terbuka. Ruangan itu kecil, cukup gelap agar tak menandingi cahaya layar laptop bila sedang bekerja. Di ruang itu terdapat cukup banyak buku—sedikit lebih banyak dari jumlah bukunya di kamar—yang di tata rapi di rak yang merapat ke dinding. Selain itu, juga ada beberapa foto anggota keluarga dan banyak piagam terbingkai pigura yang menempel di dinding. Sebagian besar adalah piagam yang Vita dapatkan. Tak hanya piagam, tapi juga piala. Karena semua penghargaan yang Vita dapatkan dalam bidang akademis terdapat di ruang ini. Namun bukan semua itu yang membuat Vita begitu senang jika berada di ruang milik ayahnya ini, melainkan sebuah pigura kecil yang berdiri di sudut meja, berisi gambar sketsa pertama ayahnya yang Vita buat. Jauh lebih buruk dari gambarnya sekarang, tapi ,toh, ayahnya tak pernah menurunkannya, yang berarti ayahnya sangat menyukai karyanya itu. Membuatnya sangat bangga.
Vita meletakkan kopi. Sebelum gadis itu sempat mengatakan sesuatu, Ayah telah lebih dulu mengambil sesuatu dari sakunya—yang berupa selembar kertas—lalu mengangsurkannya hingga ke ujung meja, kepada Vita.
Tangan Vita tetap di tempatnya, belum berniat mengambil kertas itu, ia lebih dulu bertanya, “Apa ini?”
***
Dengan perlahan Vita menutup pintu di belakangnya. Ia akan pergi ke lapangan basket di dekat sini. Tentu saja setelah Vita mendapatkan izin dari ayahnya. Lagi pula ayahnya tahu jika orang yang akan mengajarinya adalah orang yang Vita ajari. Ia berkata pada ayahnya ini layaknya simbiosis mutualisme, sehingga ayahnya mengizinkan.
Vita berjalan kira-kira 10 menit, hingga tiba di tempat Rafka tengah melambung-lambungkan bola di bawah tangannya.
Ya ampun... Sudah lewat magrib dan Rafka belum pulang sama sekali. Seragam sekolah masih melekat di tubuh laki-laki itu. Tidakkah laki-laki itu berpikir untuk berganti pakaian terlebih dahulu?
Rafka melemparkan bola ke arah Vita, dengan refleks ia menghindar. Dan bola itu menghilang entah ke mana.
“Lama banget, sih,” keluh Rafka. Ia berjalan melewati sisi Vita, menjemput bola yang dilemparnya.
“Aku gak terlambat lagi.” Vita melirik jam tangannya. “Kamu aja kali yang datangnya kecepetan.”
“Memang. Lagian aku ‘kan gak bilang kalo kamu telat.” Rafka kembali dengan bola dalam lengkungan lengan di sisi tubuhnya. Kemudian dia duduk di tepi lapangan. Vita mendekat, mengambil tempat di samping laki-laki itu. Vita melirik sekilas wajah dan rambut Rafka yang basah oleh keringat.
“Kamu bau banget tahu gak, Raf,” Vita mengeluh.
“Masa?” tanya Rafka, tak acuh.
“Kamu belum pulang dari tadi?”
Dengan ringan Rafka menggeleng di antara kibasan-kibasan tangannya.
“Tolong kipasin, dong, Cha.”
Vita mendesis, tapi toh ia tetap membantu Rafka dengan mengibas-ngibaskan tangannya sendiri. Ia pun heran, sejak kapan ia begitu baik pada seseorang. Sejak kapan pula ia begitu sabar dengan tingkah menyebalkan seseorang. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa ia begitu baik pada Rafka? Kenapa ia tak menjauhinya karena sikap menyebalkan Rafka?
“Kamu tahu caranya nge-drible?”
Vita langsung menghentikan tangannya dan melompat berdiri. Ia menerima lemparan bola dari Rafka dan menunjukan kebolehannya. Ia perlu betul-betul membungkuk agar bola tetap dalam kendalinya. Bahkan bola sering kali berhenti melambung karena di pukul terlalu lemah.
“Jangan terlalu rendah, Cha,” Rafka mengingatkan.
Tolakkan Vita sedikit lebih keras pada bola, membuat ia harus berdiri tegak untuk tetap dapat menyentuh bola. Beberapa kali bola itu hilang kendali, melambung terlalu jauh dari yang diharapkannya.
“Jangan terlalu tinggi juga, Cha,” Rafka mencela. “Ah! Guru olahraga aja bakalan nyerah ngajarin kamu.” Ia bangkit berdiri, merebut bola dari pelukan satu tangan Vita.
“Guru Fisika juga bakalan nyerah ngajarin kamu,” balas Vita. Mungkin ia memang mangatakan yang baik-baik tentang Rafka, tapi itu hanya untuk menjaga nama baik laki-laki tak tahu diri ini. Menyesal ia memberikan penilaian baik pada Rafka di depan Andra. Seharusnya ia sebarkan saja betapa kosongnya otak laki-laki di hadapannya ini.
“Terserahlah,” Rafka berkata untuk menyudahi. Ia memandang ke langit malam yang gelap tanpa bintang sekejap, lalu mulai melambungkan bola dengan baik. Memberikan contoh yang paling mudah untuk dipahami seperti yang dilakukan Vita kemarin padanya. Sedetail-detailnya. Walau kemarin ia tak mengerti. Hingga akhirnya, Vita harus mulai dari mata pelajaran SMP agar ia dapat tahu dari mana mulanya.
“Santai,” ujar Rafka, “stabil,” tambahnya, disela pantulan bola basketnya yang tak hilang dari kendali.
Rafka menangkap bolanya, dan melemparkannya lagi pada Vita. “Ayo coba,” perintah Rafka selaku pelatih yang dibayar dengan pelajaran Fisika, Matematika, dan Kimia tambahan.
Bukankah Vita mengajarkan lebih banyak? Berarti Rafka untung lebih banyak darinya.
Dengan konsentrasi tingkat tinggi, Vita berupaya keras bolanya tetap stabil di bawah telapak tangannya yang berkeringat. Rasanya ini lebih menguras konsentrasi daripada bermain piano dengan lagu-lagu Beethoven dan pelajaran kalkulus.
“‘Gini?” tanya Vita saat ia rasa ia cukup baik pada akhirnya.
“Lebih kuat sedikit nolaknya.”
Sebagai murid yang baik, Vita mengikuti pentunjuk-petunjuk Rafka dengan sebaik-baiknya. Jika ia bisa menguasai ini nantinya, ia bakal bisa membaenggakan dirinya pada Tiara. Tiara ‘kan selalu mengejeknya karena tak bisa melakukan olahraga apapun selain lari dan bersepeda. Dan anak kecil saja bisa melakukannya. Padahal Tiara saja tidak bisa naik sepeda.
“Sekarang ‘gimana?”
“Lumayan.” Rafka tersenyum. “Yang penting bolanya jangan lepas.”
“Selanjutnya...” dengan cepat Rafka merebut bola dari Vita dan men-dirible-nya sejenak, kemudian memasukkannya ke dalam ring basket.
Wah... Rafka keliatan lebih...
Vita mengerjap, menghilakan rasa terpesonanya.
“...tangkep bolanya, terus langsung di dribel,” Rafka memberi tahu lagkah selanjutnya. Ia berdiri menjauh dari Vita, tangannya siap di atas kepala bersama bola di antara kedua telapaknya.
Bola melayang ke arah Vita dari tangan Rafka yang tertolak ke depan.
***
Tangan Vita menopang dagunya di atas meja. Ia memandang sekitar. Ramai. Tentu saja kantin ramai ketika jam istirahat. Banyak murid yang ingin makan, minum, dan sebagainya. Vita sendiri bukan murid yang sering ke kantin ketika jam istirahat, hanya karena Rafka menyeretnya ke sini, ia terpaksa ikut.
Vita menoleh sekilas, memandang Rafka yang berdiri membelakanginya, menunggu makanan yang sudah mereka pesan.
Ketika Vita mengembalikan wajahnya ke depan, tanpa sengaja ekor matanya menangkap Reina bersama dua temannya memasuki kantin dengan Reina di jajaran terdepan, seakan gadis itu peminpin dua gadis lainnya, Tisa dan Mia.
Apa status mereka bertiga itu sebenarnya? Pikir Vita. Reina dan teman-temankah, atau Reina dan dua upik abunya? Benar-benar dramatis bila opsi kedua yang benar. Tapi bukankah itu cocok untuk ketiga gadis itu? Dramatis... Vita menahan senyumnya.
“Nih, makanannya,” ucap Rafka yang membawa nampan berisi pesanan mereka. “Nasi goreng tanpa MSG, Vita Anstasya,” Rafka mengabsen makan Vita yang di turunkannya ke meja, “sama susu kotak dingin.”
Belum sempat pantat Rafka menyentuh kursinya, ia sudah terloncat berdiri seraya berkata, “Oh, iya, minumku belum.” Laki-laki itu berbalik lagi menjemput minuman yang terlupa.
Vita menggapai sendoknya dan mulai memasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulut. Ini kedua kalinya ia makan makanan ini dalam waktu setengah hari. Sebab, tapi pagi saat sarapan di rumah, ia juga mendapatkan menu nasi goreng bersama satu telur mata sapi yang bulat sempurna—keahlian ibunya.
Sembari mengunyah, Vita melihat-lihat layar ponselnya, menghapus pesan-pesan yang masuk beberapa waktu yang lalu. Ia bukan tipe orang yang hobi mengoleksi pesan. Lagi pula kebanyakan pesan yang di dapatnya berasal dari Telkomsel, pacar setianya. Nyaris setiap hari menawarinya kouta besar berharga murah, menurut operator provider-nya.
Tiba-tiba Vita menoleh saat mendengar suara jeritan wanita di belakang. Reina sudah basah kuyup membelakanginya, menghadapi Rafka yang tersenyum konyol dengan gelas dalam genggamannya. Artinya Rafkalah yang menyiram Reina, bukan? Tapi kenapa?
Gelas jus yang masih penuh tergengam kendur di tangan kiri Reina.
Itukah sebabnya? Rafka melihat Reina ingin melakukan penyiraman jus padanya, jadi laki-laki itu dengan tenangnya mendahului gadis gila di hadapan Vita ini. Ah... ini jadi tak lucu lagi. Reina sudah melewati batas yang dapat Vita maklumi.
Apa yang Reina pikirkan? Vita tak akan membalas jika gadis itu menyiramnya? Ia mungkin tak akan membalasnya dengan segelas jus, tapi ia akan menendang Reina masuk ke dalam kolam berenang di belakang sekolah. Ia tak main-main. Ia bukan orang yang begitu baik hati.
“Rafka lo apa-apaan, sih?!” lengking Reina. Ia mengusap wajahnya yang di aliri cairan kuning, jus jeruk. Para penghuni kantin menontonnya dengan berminat.
“Jangan coba-coba buat ngelakui hal-hal gila sama Vita. Kalo enggak—”
“Apa?!” Reina menantang. Ia maju mendekati Rafka, sedetik ia mencoba untuk menatap lurus-lurus ke matanya, namun langsung mengerjap dan mengalihkan pandangannya pada detik berikutnnya.
“Lo kira lo bisa ngancem gue?” suara Reina menurun.
“Menurut lo?” tanya Rafka tenang. Tatapan matanya datar, tak dapat dibaca. Ia jadi tak tahu pasti apa yang laki-laki itu pikirkan.
Tangan Reina terangkat untuk mendorong pundak Rafka, yang langsung ditepis laki-laki itu sehingga Reina tak dapat menyentuhnya dan berlalu begitu saja.
Gadis itu nampak terluka parah. Bukan hanya harga dirinya, juga hatinya, Vita kira.
Vita fokus kembali pada makanannya. Tak lama kemudian Rafka datang dengan gelas dan jus baru.
Selama beberapa waktu, Vita sama sekali bungkam, sampai Rafka bertanya, “Kenapa diem aja?”
“Enggak pa-pa. Lagi gak ada yang mau diomongin aja.”
“Kamu gak mau nanya ‘gitu kenapa aku nyiram Reina?”
Vita menggeleng dengan santai di sela kunyahannya.
“Memangnya kamu gak mau tahu alasannya?”
“Karena Reina mau nyiram aku,” ujar Vita setelah menelan makanannya. "Aku tahu."
Rafka diam.
“Nanti mau belajar di mana?” Vita mengubah topik pembicaraan.
“Mmm...”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
yul,🙋🍌💥💥💥
sungguh aq suka...
2021-04-16
1
Aktivis
sejauh yg kubaca bagus thor ceritanya, penokohannya tidak terlalu menonjol namun cukup
2021-04-06
4